"Apa mungkin rambut Alina yang rontok, tapi kenapa sebanyak ini," gumamnya lagi. Menurut Wildan sangat tidak wajar.
***Selepas mencuci wajahnya, Wildan bergegas keluar dari kamar mandi. Ia cukup terkejut saat melihat jika istrinya sudah berada di kamar, terlihat jika Alina sedang mengambil pakaian kotor miliknya, dan menaruhnya ke dalam keranjang tempat pakaian kotor."Alina, itu di kamar mandi kenapa banyak rambut di lantai. Apa rambut kamu rontok?" tanya Wildan. Ia dapat melihat gelagat aneh dari istrinya itu."Oh iya, Mas. Itu rambut aku yang rontok," jawab Alina. Sebisa mungkin ia bersikap biasa, agar tidak menimbulkan rasa curiga."Rambut kamu rontok sebanyak itu, kok bisa." Wildan menatap mata istrinya, ia berusaha mencari kebenaran melalui sorot mata istrinya itu."Iya, Mas. Aku salah pakai vitamin rambut, oya makan malamnya sudah siap," ujar Alina."Iya, kamu turun saja dulu nanti aku nyusul," sahut Wildan."Iya, Mas." Alina mengangguk, setelah itu ia bergegas keluar dari kamar, sementara itu Wildan masih terdiam. Ia berusaha untuk mencari kebenaran dari ucapan istrinya itu, rasanya ia kurang yakin.Waktu terus bergulir, usai makan malam, Wildan kembali sibuk dengan pekerjaan kantornya. Dan seperti biasa, Alina sama sekali tidak protes, rasanya sangat janggal dengan perubahan istrinya itu."Kenapa aku tidak suka dengan perubahan Alina, seharusnya aku senang karena sekarang Alina tidak secerewet dulu. Sekarang aku bebas, bahkan pernah pulang sampai larut pun, Alina diam," gumamnya. Saat ini Wildan berada di ruang kerja untuk menyelesaikan pekerjaannya.Wildan mengusap wajahnya dengan gusar. "Alina, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku. Kenapa sekarang kamu jadi diam seperti ini."Selang lima menit, tiba-tiba ponsel Wildan berdering, ia meliriknya lalu tangan kanannya bergerak untuk mengambil benda pipih itu. Wildan tersenyum setelah melihat nama Rena tertera di layar ponselnya.[Halo ada apa][Mas, besok bisa temenin aku ke rumah sakit nggak. Besok waktunya aku periksa kehamilan][Boleh, jam berapa][Jam sembilan, Mas][Ya sudah, besok jam sembilan aku jemput][Iya, Mas. Kapan kamu nginep di sini, udah lama loh][Kapan-kapan ya, akhir-akhir ini aku sibuk dengan urusan kantor][Ok deh, ya udah aku mau tidur udah malam][Iya, selamat malam]Sambungan telepon terputus, setelah itu Wildan kembali meletakkan ponselnya itu. Wildan melirik jam yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Pekerjaan masih belum selesai, tetapi rasa kantuk sudah menyerang. Setelah itu Wildan memutuskan untuk kembali ke kamar.***Pagi menyapa, mentari pun sudah terbit daru ufuk timur. Cuaca hari ini begitu cerah, burung-burung yang berkicauan di atas sana menambah indahnya pagi. Dan seperti biasa pagi ini Alina sedang sibuk untuk menyiapkan sarapan.Selang beberapa menit, Wildan turun, penampilannya sudah rapi. Kemeja berwarna putih, dipadukan dengan setelan jas berwarna hitam, menambah ketampanan pada diri Wildan. Tidak dipungkiri jika banyak wanita yang tergila-gila olehnya."Sarapan dulu, Mas." Alina menarik kursi untuk duduk sang suami."Aku sarapan di kantor saja, soalnya pagi ini ada meeting," ucap Wildan, lalu menyeruput kopi yang sudah Alina siapkan."Ya sudah, aku bawakan bekal gimana." Alina menawarkan."Boleh." Wildan mengangguk, setelah itu Alina bergegas menyiapkannya.Wildan memperhatikan istrinya yang begitu cekatan dan juga telaten. Alina tidak pernah mengeluh dengan apa yang dilakukannya. Wanita terbaik yang pernah Wildan temui, beruntung ia yang memilikinya."Ini, Mas." Alina menyodorkan bekal yang telah disiapkannya."Terima kasih, ya sudah aku pergi sekarang ya, assalamu'alaikum," pamitnya seraya mencium kening istrinya itu."Wa'alaikumsalam." Alina mencium punggung tangan suaminya. Setelah itu ia mengantarkan sang suami sampai di teras depan.Perlahan mobil melaju meninggalkan halaman rumah, setelah itu Alina memutuskan untuk masuk ke dalam. Sementara itu, Wildan terus melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sebelum mengantarkan Rena ke rumah sakit, Wildan harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya di kantor.Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas, perjalanan yang cukup jauh memakan waktu tempuh yang cukup lama. Kini Wildan dan Rena baru saja tiba di rumah sakit, usai memarkirkan mobil, keduanya bergegas turun, setelah itu mereka segera masuk ke dalam gedung rumah sakit tersebut.Setibanya di dalam, Wildan langsung menuju ke tempat pendaftaran, sementara Rena menunggu di ruang tunggu. Usai mendaftar Wildan bergegas menyusul istrinya. Setelah menunggu cukup lama, kini giliran Rena dipanggil, untuk menjalankan pemeriksaan.Tidak butuh waktu lama, pemeriksaan selesai, setelah itu keduanya beranjak meninggalkan ruang pemeriksaan. Saat hendak menebus obat, Wildan dan Rena tidak sengaja berpapasan dengan seorang wanita berjilbab. Sontak keduanya terkejut, dan seketika mereka menghentikan langkahnya.Tidak butuh waktu lama, pemeriksaan selesai, setelah itu keduanya beranjak meninggalkan ruang pemeriksaan. Saat hendak menebus obat, Wildan dan Rena tidak sengaja berpapasan dengan seorang wanita berjilbab. Sontak keduanya terkejut, dan seketika mereka menghentikan langkahnya. ***"Mas Wildan," gumam Alina. Ia tidak menyangka kalau akan bertemu di saat yang tidak tepat. "Alina, kamu ... kamu ngapain di sini." Wildan nampak gugup, bahkan wajahnya sudah pucat pasi. Alina menatap suami serta Rena secara bergantian. "Aku mau jenguk teman, Mas sendiri ngapain di sini.""Aku .... ""Habis nemenin aku periksa kehamilan, memangnya kenapa." Rena memotong ucapan Wildan. Seketika pria berkemeja putih itu menoleh dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Alina aku .... ""Duluan ya, Mas. Bicara di rumah saja nanti." Alina memotong ucapan suaminya, setelah itu ia memilih untuk beranjak pergi meninggalkan mereka."Rena maksud kamu apa bicara seperti itu." Wildan menatap tajam wanita yang berdiri di
"Sayang baju aku di .... " Wildan menggantung ucapannya saat mengetahui siapa yang berdiri di hadapan Rena. Mendadak lidahnya terasa kelu, Wildan tidak tahu harus berkata apa. ***Suasana masih hening, terlihat raut wajah panik antara Rena dan juga Wildan. Tetapi tidak dengan Alina, wanita berjilbab itu terlihat tenang. Meski hatinya sejujurnya hancur, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar. "Alina." Wildan meraih tangan Alina, tetapi dengan lembut Alina melepasnya. "Mas aku ke sini untuk mengantar ini." Alina menyodorkan botol kecil yang berisi vitamin milik suaminya. Setiap akan tidur selalu Wildan minum. "Terima kasih." Wildan menerima botol kecil itu. "Kalau begitu aku pamit ya, maaf udah ganggu," ucap Alina. "Assalamu'alaikum.""Alina tunggu." Wildan mencekal pergelangan tangan istrinya itu. "Ada apa, Mas. Ini sudah malam, lebih baik sekarang kamu istirahat saja, agar besok tidak kesiangan." Alina melepas cekalan suaminya, setelah itu ia memilih untuk pulang. Alina sudah ikh
"Ya Allah perut aku," ucap Alina, rasa sakit di perut bagian bawah semakin kuat. ***Kini Wildan dan Rena sudah berada di rumah sakit, bahkan Erika, ibunda Wildan juga sudah ada di sana. Setibanya di rumah sakit, Rena langsung mendapatkan penanganan, tapi sayang. Rena tidak bisa melahirkan secara normal, tapi harus operasi. Setelah Wildan mengurus semuanya, kini operasi sedang berlangsung. Sementara Wildan dan ibunya tengah menunggu di depan ruangan operasi. Erika terus berdo'a agar operasi berjalan dengan lancar, lalu anak yang Rena lahirkan berjenis kelamin laki-laki, untuk bisa menjadi pewaris ayahnya kelak. "Alina, maafkan aku, aku janji setelah operasi selesai. Aku akan pulang menemui kamu dan menjelaskan semua ini," batin Wildan. Hatinya benar-benar tidak tenang, bayangan Alina terus berputar di benaknya. "Wildan kamu kenapa sih kaya orang bingung begitu. Kamu tidak perlu khawatir, operasinya pasti berjalan lancar," ucap Erika. "Iya, Bu. Aku kepikiran dengan Alina saja, soa
Sementara itu, Wildan masih berdiri mematung dengan berbagai pertanyaan. Untuk apa Alina menyuruh mang Asep mengantarkan koper miliknya. Apa mungkin Alina mengusir dirinya dari rumah itu, karena rumah yang mereka tinggali, atas nama Alina. ***"Maksud Alina apa, kenapa dia ... apa jangan-jangan Alina meminta cerai," gumamnya. Setelah itu, Wildan menaruh kopernya ke dalam, lalu ia bergegas keluar. Wildan berniat untuk ke rumah menemui Alina, sekaligus meminta penjelasan darinya. Karena sampai kapanpun Wildan tidak akan pernah rela berpisah dengan Alina. "Alina, sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan kamu." Wildan membatin. Saat ini ia dalam perjalanan pulang. Dalam perjalanan pikiran Wildan benar-benar tidak tenang. Ini memang salahnya, selama tiga hari Wildan tidak pulang, karena memang Rena tidak mengizinkannya. Wildan pikir Alina akan mengerti, tetapi ternyata dugaannya meleset. "Alina, maafkan aku. Maaf karena sudah membuat kamu marah, membuat kamu kecewa," batin Wil
Jika rahim Alina diangkat, itu artinya Alina tidak punya kesempatan untuk hamil. Wildan tidak menyangka jika kejadiannya akan seperti ini, apa ini yang membuat istrinya itu berubah. Apa ini arti diam yang Alina lakukan, diam yang pada akhirnya membuat luka. ***Alina menyeka air matanya yang sempat menetes, setelah itu ia bangkit dan berjalan menuju laci untuk mengambil map berwarna merah yang sebelumnya sudah Alina siapkan. Setelah itu Alina berjalan menghampiri Wildan, lalu duduk di sebelahnya. "Mas aku boleh minta tanda tangan kamu," ucap Alina. "Tanda tangan? Tanda tangan apa?" tanya Wildan. "Aku mau nyumbangin sebagian harta kita ke panti asuhan, Mas. Bukan itu saja, aku juga berniat menyumbangkan tanah kosong kita, agar dibangun sekolah untuk anak-anak yang menderita disabilitas, Mas." Alina menjelaskan. Wildan terdiam sejenak. "Ok, di mana aku harus tanda tangan.""Di sini, Mas." Alina menyodorkan map tersebut. Tanpa membacanya terlebih dahulu, Wildan langsung menanda tang
"Maaf ya, Mas. Tapi aku tidak rela jika harta yang kamu miliki jatuh semua ke tangan Rena. Aku yang menemani kamu mulai dari nol, jadi aku yang lebih berhak. Jika Rena ingin hidup bersama kamu, dia juga harus memulai dari nol juga, sama sepertiku dulu." Alina memotong ucapan suaminya. Seketika Rena terkejut mendengar hal tersebut. ***Suasana mendadak hening, Rena benar-benar tidak menyangka jika semua harta kekayaan Wildan sudah berpindah ke tangan Alina. Rena juga tidak menyangka kalau Alina ternyata juga licik. Ia pikir jika Alina hanya wanita lemah yang mudah untuk dibodohi. Wildan mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku tidak menyangka kalau kamu setega itu.""Apa aku tidak salah dengar, bukankah kamu yang lebih tega, Mas." Alina menatap pria yang sudah lima tahun bersamanya. "Kamu licik, bisa-bisanya kamu mengambil semua harta milik, Mas Wildan. Apa kamu tidak sadar, aku berhasil melahirkan seorang putra yang nantinya akan menjadi pewaris ayahnya. Tapi dengan licik kamu mengambi
"Aku tidak takut dengan tantangan kamu itu." Wildan menatap tajam pada wanita yang duduk di hadapannya itu. Suasana benar-benar tegang, bukan hanya Erika dan Wildan yang kecewa, tetapi juga dengan Rena. Kecewa dan kesal telah berubah menjadi satu. ***"Dikasih pilihan yang enak kok nggak mau," ucap Erika dengan sinis. Sementara Alina hanya tersenyum, sejak dulu ibu mertuanya memang seperti itu. "Rena, Bu lebih baik kita pulang saja, karena percuma bicara dengan perempuan keras kepala seperti dia," ucap Wildan. Setelah itu mereka bertiga segera berpamitan, tatapan sinis dari mereka kembali Alina dapatkan. Bahkan mungkin sekarang mereka bertambah benci terhadap Alina atas masalah tersebut. Namun bagi Alina itu tidak menjadi masalah. "Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah," gumamnya. Setelah itu Alina beranjak masuk ke dalam kamarnya. Setibanya di kamar, Alina meletakkan tasnya setelah itu ia berjalan menuju lemari untuk mengambil berkas penting yang akan ia jadikan satu. Alina jug
"Apa." Wildan terkejut saat tahu jika isi amplop itu adalah surat perceraian dari Alina. Wildan tidak menyangka jika diam-diam Alina menggugat cerai dirinya. Bahkan Alina juga menjual rumah yang sudah lima tahun mereka tempati bersama. ***"Alina kamu benar-benar tega, diam-diam kamu menceraikan aku," gumamnya. Wildan meremas kertas yang ia pegang. Setelah itu, Wildan mengambil ponselnya berniat untuk menghubungi nomor Alina. Namun, setelah dicoba, hasilnya nihil, nomor Alina sudah tidak aktif lagi. Wildan mengerang frustasi, setelah itu ia berlari ke dalam untuk mengambil sertifikat rumah miliknya itu. "Ada apa, Tuan?" tanya bi Inah. "Ada sesuatu yang akan saya ambil, Bi." Wildan berlari masuk ke dalam menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Setibanya di ruang kerja, Wildan langsung mencari yang ia butuhkan. Setelah cukup lama mencari, akhirnya yang ia butuhkan dapat ditemukan. Wildan langsung mengeceknya, beruntung sertifikat tersebut masih ada dan tidak ada yang berub
"Syukurlah, mudah-mudahan ini awal yang baik," gumamnya. Amara ikut bahagia melihat mantan ibu mertua dan suami yang kini sudah berbaikan. ***Tidak terasa lima tahun telah berlalu, kini Asha tumbuh menjadi anak yang cantik dan juga cerdas, tak beda dengan Nafisa. Sementara Iqbal juga semakin dewasa, bahkan kini Iqbal tengah melanjutkan kuliahnya di Jakarta, awalnya di Bandung, tetapi Adam memintanya untuk pindah ke Jakarta. Iqbal mengambil fakultas kedokteran, karena memang cita-citanya ingin menjadi dokter. Lima tahun lebih Alina membina rumah tangga bersama dengan Adam. Perbedaan usia tak menjadi masalah, justru Alina merasa lebih nyaman jika bersanding dengan suaminya yang sekarang. "Sayang dasinya di mana," teriak Adam dari dalam kamar. "Masih di laci, Mas." Alina pun ikut berteriak. Saat ini wanita berjilbab itu sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. "Sayang nggak ketemu." Adam kembali beteriak, hal itu membuat Alina menghela napas. "Sayang sebentar ya, bunda ke atas dulu,"
"Iya, mas Wildan mengira jika ibu adalah kamu," ucap Amara. Sejak saat itu, ibu mertuanya trauma dan memilih untuk mengurung diri di kamar.***Sejak pulang dari rumah Wildan, Arina sering melamun, jujur Alina merasa kasihan melihat mantan suaminya itu. Sejahat apapun Wildan, tetapi pria itu pernah menjadi bagian dari hifup Alina. Pernah menjadi imam dalam bahtera rumah tangganya dulu. "Sayang kamu kenapa? Kok ngelamun gitu, apa yang kamu pikirkan." Adam duduk di sebelah istrinya. Alina menghela napas. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma masih kepikiran tentang ... keadaan mas Wildan yang sekarang. Maaf, Mas aku nggak bermaksud untuk .... ""Iya, nggak apa-apa, aku ngerti bagaimana perasaan kamu. Bagaimanapun juga, kalian pernah hidup bersama, kamu do'akan saja semoga Wildan bisa sembuh seperti dulu." Adam memotong ucapan istrinya, lalu merengkuhnya. "Mas, Nafisa di mana?" tanya Alina. "Masih di rumah mama, memangnya kenapa." Adam balik bertanya. "Memangnya belum pulang ya, kok tad
"Janji kamu untuk menikahi Sindy," jawab Mila, seketika Alina terkejut mendengar hal itu. Bukan hanya Alina, Adam pun demikian. ***Suasana menjadi tegang, khawatir terjadi kesalah pahaman terhadap sang istri. Adam berjalan mendekati Alina. Adam tidak pernah merasa berjanji untuk menikahi Sindy, adik kandung Winda mendiang istrinya. Namun kenapa tiba-tiba mereka datang dan menagih janji. "Maaf, tapi aku tidak pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," ucap Adam. "Adam, mbak itu nggak lupa, kalau kamu pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," kekehnya. Mila tetap bersikeras untuk meminta agar Adam menikah dengan Sindy. Adam menggelengkan kepala. "Enggak, Mbak. Kalau, Embak tidak percaya, kita tanya langsung ke mama sama papa!" tegasnya. Adam tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba kakak iparnya datang dan bicara omong kosong seperti itu. "Apa alasan kamu, tidak mau menikah dengan Sindy?" tanya Mila. "Karena aku sudah menikah dengan perempuan kini berdiri di sampingku," jawab Ada
"Aku nggak mau, lepas, Boby aku nggak mau." Rena terus berteriak agar Boby mengurungkan niatnya itu, tetapi Boby tidak peduli dengan teriakan Rena. Ia tersenyum karena rencananya telah berhasil. ***Kini kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Adam, Alina berhasil melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Meski harus melalui operasi, kini bayi mungil itu tengah menjadi rebutan oleh kakek serta neneknya. Sementara Adam memilih untuk menemani istrinya, yang kondisi masih lemah. "Terima kasih ya, Sayang." Adam mencium kening istrinya dengan lembut. Kebahagiaan itu kembali Adam rasakan, meski bukan dengan wanita yang sama. Namun Adam beruntung bisa memiliki istri seperti Alina. "Sama-sama, Mas." Alina menganggukkan kepalanya. Bagi Alina, kebahagiaan yang ia rasakan saat ini bahagia yang tidak ada duanya. Kini Alina bisa merasakan menjadi istri yang sesungguhnya, menjadi ibu dari anak yang ia lahirkan, meski bukan dari rahimnya sendiri. "Mas kapan aku boleh pulang?" tanya Alina. Ju
Tiba-tiba bug, tubuh Wildan ambruk dan jatuh tersungkur. Alina yang melihat itu seketika terkejut, lalu ia menoleh ke arah belakang. Alina kembali terkejut saat melihat siapa yang menolongnya. ***"Iqbal, kamu .... ""Ma, Mama nggak apa-apa kan?" tanya Iqbal dengan raut wajah khawatir. "Iya, dari mana kamu tahu kalau .... ""Ayah yang kasih tahu, ayah nggak bisa jemput, lalu nyuruh aku untuk jemput, Mama." Iqbal kembali memotong ucapan Alina. Alina benar-benar bahagia, mungkinkah jika Iqbal telah menerimanya. Wildan memegang tengkuknya yang masih terasa sakit, perlahan pria itu bangun. Melihat Wildan bangun, Alina berjalan menghampiri Iqbal dan berdiri di belakangnya. Wildan meringis seraya memijit tengkuknya. "Dasar bocah bau kencur, jangan sok jadi pahlawan kamu," ujar Wildan. Sesekali ia memijit tengkuknya. "Lebih baik sekarang, Om pergi saja, sebelum aku panggil temen-temen untuk menghajar, Om." Iqbal menyuruh Wildan untuk mundur dan pergi. "Kamu yang harus pergi dari sini,
"Kami suruhan, Tuan Burhan. Kami bertugas untuk mengosongkan rumah ini, karena Tuan Burhan telah menyitanya sebagai pelunas hutang Rena," jelasnya. Mendengar itu, jantung Wildan serasa ingin loncat. Rena benar-benar keterlaluan, sudah membohonginya, dan sekarang membuatnya sengsara. ***Setelah membereskan pakaian, Wildan memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut. Rumah yang sengaja ia beli untuk Rena dulu, tapi dengan gampang Rena melenyapkan rumah itu. Kini Wildan memilih untuk pulang ke rumah ibunya. "Apa?! Jadi Alva itu bukan anak kamu! Dan sekarang Rena pergi dengan laki-laki lain." Erika terkejut mendengar cerita Wildan. "Iya, Bu." Wildan mengangguk. "Terus kalau sudah seperti ini, kita mau bagaimana?" tanya Erika. "Aku nggak tahu, Bu." Wildan menggelengkan kepalanya, lalu menyenderkannya di sandaran sofa. "Alina sekarang sudah bahagia dengan orang lain, sementara kamu. Diusir Amara dan diselingkuhin Rena," ujar Erika, mendengar itu kepala Wildan bertambah pusing. "Ter
"Aarrrght, sial." Wildan mengerang frustasi bahkan kaki kanannya ia gunakan untuk menendang pintu rumah Amara. Wildan tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. ***"Amara, kamu lihat saja nanti, kamu akan menyesal," gumamnya. Setelah itu Wildan memutuskan untuk pergi. "Apa aku pulang ke rumah Rena saja ya," batin Wildan. Kini ia sudah dalam perjalanan, Wildan bingung harus pulang ke mana. "Lebih baik aku ke rumah Rena saja," putusnya. Setelah itu Wildan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, kini Wildan tiba di rumah Rena. Setelah memarkirkan mobil Wildan bergegas turun, lalu melangkah menuju teras rumah. Namun tiba-tiba Wildan menyipitkan matanya saat melihat ada sebuah mobil terparkir di tak jauh dari mobil miliknya. "Itu mobil siapa, kok ada di sini," batin Wildan. Setelah itu ia memutuskan untuk masuk ke dalam, tetapi niatnya terhenti saat pintu rumah tiba-tiba terbuka. "Rena, kamu mau ke mana? Lalu dia siapa." Wildan
Alina terkejut lalu menoleh ke arah kiri, terlihat jika suaminya sudah berdiri di sebelahnya dengan wajah yang sudah merah padam. Ternyata bukan hanya Alina yang terkejut, Iqbal pun demikian, dan sepertinya usahanya akan gagal, karena potongan martabak yang ia campur dengan obat sudah terlempar ke lantai. ***"Mas, kenapa martabaknya .... ""Iqbal, ayah kecewa sama kamu. Apa ini yang ayah ajarkan, kamu sekolah itu untuk belajar yang bener, bukan seperti ini." Adam memotong ucapan Alina. Suasana benar-benar tegang, bahkan Nafisa langsung bangkit dan memeluk kaki Alina. "Iqbal melakukan ini karena, Ayah menikah lagi, apa ayah lupa kalau bunda meninggal gara-gara dia," ungkap Iqbal. "Iqbal." Adam mengangkat tangan hendak melayangkan tamparannya ke pipi Iqbal. Namun niatnya terhenti saat Alina memegangi tangan suaminya itu. "Jangan, Mas. Aku tahu kamu ayahnya dan berhak melakukan apa saja, tapi bukan seperti ini caranya," ujar Alina. Sementara Iqbal sudah memalingkan wajahnya. Adam m
Amara mengantar suaminya sampai di teras depan, saat membuka pintu utama. Seketika mereka terkejut saat melihat Rena sudah berada di depan pintu. Terlebih Wildan, jantungnya seakan ingin loncat saat melihat istri keduanya sudah ada di depan mata. ***"Rena." Wildan membatin. "Rena kamu ada di sini, sama siapa? Terus Alva mana?" tanya Amara. "Alva ada di rumah sakit, aku ke sini untuk memberitahu ayahnya. Kalau sudah seminggu lebih putranya mencarinya," ucap Rena dengan sorot mata yang tajam. Rena sudah tidak peduli lagi, jika nanti harus diceraikan oleh Wildan, asalkan ia sudah memberitahu jika lelaki yang bersama Amara bukan laki-laki baik. "Maksud kamu, Rena aku nggak ngerti ke mana arah bicara kamu," ujar Amara yang benar-benar merasa bingung dengan sikap Rena. "Sayang sudahlah mungkin Rena .... ""Temui putra kamu, Mas. Apa kamu lupa dengan darah dagingmu sendiri." Rena memotong ucapan Wildan. "Rena, mas Wildan itu suami aku, dia bukan .... ""Dia juga suamiku, ayah Alva." R