Kendaraan roda dua itu melaju dengan kecepatan di ambang batas normal. Keduanya saling melafalkan doa perlindungan, rasanya kematian begitu dekat melihat bagaimana samurai yang tampak lentur itu terus diacung-acungkan ke atas, juga teriakan gerombolan begal yang sepertinya sengaja agar membuat target incarannya gugup dan ketakutan. Hingga pecah konsentrasi. Masih butuh waktu sekitar 5 menit lagi, untuk sampai di jalanan yang padat penduduk.
Pria terus menambah kecepatan laju kendaraannya lagi dan lagi. Hingga cahaya terang dari lampu-lampu rumah warga mulai terlihat ada sedikit lega di hatinya. Perlahan pria itu melirik ke arah spion. Gerombolan itu semakin menjauh darinya. Bahkan sebagian telah berputar arah. Hingga, ia pun mulai berani menurunkan kecepatannya sedikit demi sedikit. Tepat di sebuah mini market yang cukup ramai pengunjung meski sudah larut, ia menepikan kendaraan roda duanya.
“Turun!” bentak pria itu, yang tentu saja seketika membua
“Apa sekarang Om sedang membelanya?”“Bukan, aku sedang menasihatimu. Jangan kotori tanganku dengan menyentuh wanita sepertinya.”“Apa kamu bilang, memangnya aku ini wanita seperti apa? Lepas, kalian pikir aku enggak bisa pulang sendiri. Dasar laki-laki enggak punya perasaan. Aku enggak terima ya, kalian hina aku. Jangan mentang-mentang aku lemah, kalian bisa bicara seenaknya.” Tangan Alea bahkan kini telah mengepal erat. Dia begitu berapi-api, hanya karena perkataan Syahru yang di luar prediksinya. Berharap akan dibela nyatanya dia malah sama-sama merendahkannya.“Memang lemah ‘kan? Kamu memang kuat di depan hukum. Sudah menculik orang dan menganiaya pun masih bisa bebas berkeliaran. Hari ini lo selamat dari maut, besok enggak tau hal apa lagi yang bakal menimpa hidup lo.”“Jangan bicara sembarangan, itu hanya sebuah kebetulan.” Reno malah tertawa, saat menyadari jika Alea termakan ucapann
“Sungguh hari yang sangat melelahkan bagi Alea, tetapi tidak bagi Reno yang melihat berita di televisi. Mobilnya memang tidak hilang, tetapi semua kacanya pecah. Seingatnya mobil itu memang sudah mogok sejak saat Reno ingin mengerjainya. Ayu yang melihat anaknya terus terkekeh di depan televisi lantas mendekat.“Ren, jangan tertawa di saat orang lain tertimpa musibah.”“Ini bukan musibah, tapi azab.”“Astaghfirrullah, Ren,” ucap Ayu yang langsung membuat Reno membetulkan posisi duduknya.“Maafin Reno Mah, aku cuma kesel sama dia, tapi tenang saja urusan video sama foto-foto itu udah selesai. Aku sudah minta dia buat hapus. Bahkan kalau sampai dia masih punya salinannya aku bisa jamin dia enggak akan berani sebarkan itu ke media,” ucap Reno yakin. Pelan dia meraih tangan ibunya.“Ada Reno di sini Mah, ke depannya tolong jangan menyembunyikan apa pun lagi dariku. Kita keluarga, masa
“Keluarga apa maksudmu Reno, aku enggak berbuat apa pun sama mereka.”“Kau lihat itu Pak Satpam, dia dengan sengaja membawa kue yang sudah dia racuni ke rumahku lalu sekarang berpura-pura seperti orang bodoh yang tak bersalah. Munafik!” umpat Reno dengan kedua tangan yang meremas erat. Kini ia bahkan menatap Alea dengan seringai, yang menakutkan. Membuat wanita itu bergidik ngeri. Ia lantas melirik Rana yang terlihat santai.“Rana, aku tidak menaruh apa pun di kue itu. Bukankah kamu tahu sendiri, kalau kita beli kue itu di jalan. Mana bisa tiba-tiba beracun.”“Kamu yakin?” tanya Rana yang langsung membuat mata Alea membulat.“Aku enggak sedang bercanda, tolong serius Rana,”“Aku hanya membantumu, selebihnya kamu urus sendiri.” Sekarang dengan tanpa bersalah sedikit pun Rana malah berbalik dan berjalan kembali ke arah lift.“Rana apa maksudmu! Jelaskan dulu, a
PoV Andi“Sudah Abang katakan ‘kan Dek. Jangan terima apa pun dari Alea. Kamu sendiri ‘kan yang kena. Dia itu wanita jahat. Enggak akan segan buat menyakiti siapa aja yang menghalangi jalannya.”“Aku benar-benar enggak sengaja, maafin keteledoran aku, ya. Aku enggak berpikir sejauh itu,” kata Ayu yang tertunduk. Bahkan di saat seperti ini saja, wanita itu masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kalau kamu sampai kenapa-kenapa, Abang harus bagaimana?” ucapku sambil menatap lurus ke arah netranya yang mulai berembun. Sesekali membelai wajahnya yang memucat tanpa rona itu.“Sekali lagi maaf ya, bikin Abang khawatir.”“Abang akan kasih dia pelajaran Dek,” ucapku dengan penuh amarah.“Enggak perlu Abang, kadang-kadang kita cuma perlu mengabaikan orang-orang seperti Alea. Lalu, fokus aja sama kehidupan kita. Bukankah hukum enggak bisa menjerat dia. Jadi, buat apa buang-
Hari-hari berlalu, sampai tiba di mana kami mulai terbiasa dengan kehidupan sederhana. Menjadi orang biasa, ternyata jauh lebih menyenangkan. Tak ada yang perlu ditutupi, juga rumah kami juga tak lagi kerumuni karyawan. Meski, tak memungkiri sampai kini masih saja ada agensi yang menawarkan untuk kembali merekrutku menjadi artis mereka. Sayangnya, aku sudah lelah dengan dunia hiburan yang menyilaukan itu. Aku takut, terbuai dengan gemerlapnya yang fana, tetapi lambat laun justru menjerumuskan pada jurang nestapa. Jika yang harus aku pertaruhkan adalah keutuhan keluarga, maka lebih baik kembali bekerja keras dengan tenaga, dari pada mengorbankan suatu hal yang telah kujaga bertahun-tahun. Apalah arti harta yang berlimpah jika tak ada ketenangan dalam hidup. Hari ini adalah bulan ketiga setelah aku memutuskan untuk fokus kembali pada usaha ayam geprek. Ayu yang kini terlihat lebih segar dan ceria juga membuat aura kecantikannya semakin terpancar. Sesekali ia membantu untuk mengecek
Pov Alea“Kita memang menikah, tapi ingat ini semua hanya karena kepentingan saja. Kita saling membutuhkan satu sama lain,” ucap Mas Syahru, Pria keturunan India itu melangah menjauh. Meninggalkan aku sendirian di ranjang pengantin yang penuh dengan taburan kelopak bunga mawar merah. Ya, kami menikah memang bukan saling mencintai. Namun, karena suatu kepentingan yang menguntungkan satu sama lain, karena kebodohanku yang mengejar Mas Andi begitu menggila aku diteror di mana-mana. Dicap pelakor tak tahu diri. Yang paling parah adalah ketika aku berjalan-jalan di keramaian. Orang-orang tak lagi memandangku kagum seperti dahulu. Mereka malah cenderung memaki dan menghinaku. Parahnya ketika aku mulai sering mendapatkan lemparan telur busuk. Ya Tuhan, entah kenapa aku harus menanggung semua ini, padahal aku sudah benar-benar berhenti mengejar pria itu. Pria yang kuanggap seperti malaikat itu. Namun, apalah artinya dia berjiwa malaikat kalau sudah milik orang lain. Keteguhannya untuk memp
Saat itu aku merasa benar-benar ditolak dunia. Dibenci masyarakat, tak dianggap oleh suami, juga tak punya pekerjaan. Lengkap sudah penderitaanku ini. Aku tidak tahu berapa lama aku menangis di kamar, sampai aku terbangun ketiak matahari sudah naik.Aku memutuskan untuk turun, setelah sebelumnya memastikan tak ada suara di bawah sana. Rupanya pria itu sudah pergi. Ia bahkan meninggalkan rumah tanpa pamit.Aku duduk di sofa bekas tidur Mas Syahru yang bahkan masih berantakan.Haruskah aku yang membereskannya? Untuk apa, aku bahkan tidak dibayar sebagai pembantu.Namun, tetap saja rasanya mataku sakit melihat pemandangan yang berantakan ini. Apa lagi bau selimut ini, seperti tak pernah tersentuh air. Warnanya saja sudah sangat dekil. Bagaimana dia bisa sejorok itu.Akhirnya dengan sedikit perjuangan aku membawa benda bau dan dekil itu ke mesin cuci. Untunglah meski rumah ini sangat mini, tetapi peralatan elektroniknya cukup lengkap.~Entah ke mana dia pergi pagi ini. Bahkan, semalam ia
Melihat wajahnya yang menyeramkan, aku hanya bisa menggigit bibir bagian bawah, demi menghilangkan rasa gugup. Namun, setelah menciptakan jeda yang cukup panjang, tanpa kata pria itu langsung meninggalkan kamar begitu saja.Lebih baik aku segera menyelesaikan makan dari pada nanti dia akan mempermasalahkannya lagi. Ternyata makan di kursi gamers seperti ini sangat nyaman. Seharusnya dulu aku membeli kursi yang seperti ini.Setelah makan aku kembali ke bawah dan langsung mencuci piring. Namun, entah hanya perasaanku saja atau memang benar. Cara Syahru melihatku sungguh sangat mengganggu.“Sejak kapan kamu jadi suka cuci piring?”“Ini hanya pekerjaan gampang, semua orang juga bisa melakukannya?”“Enggak takut kukumu patah?”“Aku sudah lama enggak pakai kuku palsu?”“Oh ya, kenapa? karena, gak ada kerjaan?”Di antara banyak perkataan lain yang lebih ramah di teli
Aku tidak menyadari jika aku terlalu lama berada di toilet, sampai kemudian Mas Syahru menyusul ke sini. Aku buru-buru keluar agar ia tak khawatir.“Ada apa? Kenapa lama banget ke toiletnya? Perutmu sakit?”“Hm, sedikit, tapi udah lebih baik.”“Apa karena obat antidepressant itu?”“Enggak.”“Obatnya sudah habis dan aku udah enggak pernah minum lagi sejak sebulan yang lalu.”“Loh, kenapa?”“Maaf, tapi kepalaku sering sakit kalau terus-terusan minum obatnya.”“Terus sekarang kenapa bisa sakit?”“Mungkin cuma masuk angin. Aku mau ganti baju dulu, gamisku kena muntahan.”“Muntah? Memangnya dari tadi kamu muntah?”“Iya.”“Kapan terakhir datang bulan?”“Hm, ya Allah udah 2 minggu yang lalu.”Pria itu mendadak tersenyum, bukan hanya tersenyum ia bahkan tiba-tiba saja mengangkatku dan memutarnya.Ya Tuhan aku masih lemas karena muntah yang tak kunjung usai, ia malah membuatku pusing dengan berputar-putar.“Mas turunin dulu, aku mabok!”“Maaf ya, Mas seneng aja. Ini kamu pasti hamil Sayang.”
Bahkan sekarang melihatku tak berdaya. Pria ini tak hanya memanggilkan dokter, ia juga rela mengurus rumah bahkan menyuapiku makan dan membantu ke toilet.Entah kenapa dengan fisikku. Aku begitu takut dengan ancaman, setelah berbulan-bulan terus saja ditekan dengan berbagai hinaan, makian bahkan kadang-kadang ada juga beberapa akun yang mengancamku. Aku masih baik-baik saja, karena aku pikir itu hanya ucapan tanpa pembenaran. Namun, nyatatanya saat tahu jika kemarin aku benar-benar diancam. Pertahananku benar-benar runtuh.“Al, kita ke rumah sakit saja ya!”“Enggak Mas, aku baik-baik saja.”“Kamu terus saja waspada sejak kemarin bahkan belum tidur sama sekali.”Bagaimana aku bisa tidur jika, setiap waktu aku terus ketakutan kalau mungkin saja ada yang akan datang ke rumah. Ketakutan itu semakin menjadi mana kala tak ada orang di rumah.“Reza enggak akan ke sini Sayang, kalau kamu terus begini bisa ganggu kesehatan. Kita ketemu psikiater aja oke?”“Aku enggak gila.”“Enggak semua orang
“Ya Allah Mas, itu bukannya orang yang pernah datang ke rumah kita?”“Iya, itu anak buahnya Reza.”“Mau apa lagi coba? Kok bisa tahu kita ada di sini?”“Entah, nah itu Rezanya datang. Kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Sini pegangan! Kita emang enggak bisa terus menghindar. Di sini banyak CCTV jadi kalau ada apa-apa banyak saksinya. Kamu jangan takut!”Pria itu menggenggam lenganku lantas mulai berjalan menuju Reza yang kini juga menatap kami ke arah yang sama. Di sampingnya sudah ada dua orang pria berbadan tegak dan besar yang melihat kami dengan tatapan sangarnya yang khas.Tak lama beberapa bawahannya yang lain juga datang dan berjajar di belakangnya. Namun, seolah tak kenal takut Mas Syahru terus melangkah.Sampai kemi berdiri tepat di depan pria itu, ia tiba-tiba saja menghadiahi pukulan yang cukup keras di perut sahabatnya. Hampir saja dua bawahannya membalaskan apa yang ia lakukan pada Reza, kalau saja tak dicegah oleh atasannya, aku yakin Mas Syahru juga sudah mendapatkan pukula
“Apa sih Sayang, pikiran kamu itu ya! Kotor banget.”“Memang kenyataannya begitu ‘kan?”“Suamimu ini masih normal. Mana mungkin mau melakukan hubungan sesama jenis. Membayangkannya saja sangat mengerikan.”“Ya terus kalau Reza nginep dia tidur di mana?”“Di bawah, di sofa tempat Mas biasa tidur.”“Memangnya dia mau.”“Ya, harus mau. Suruh siapa numpang tidur di sini. Sudah tahu rumahnya kecil.”Ternyata berbeda sekali perlakuannya padaku dan orang lain.“Meskipun Mas berteman baik, Mas juga enggak naif. Dia dari awal memang keliatan enggak normal sejak kasus pelecehan itu, jadi harus pintar jaga diri.”“Baguslah.”“Udah enggak marah lagi?”Aku hanya menggeleng.“Cie ada yang cemburu.”“Aku hanya bertanya, tolong jangan menafsirkannya sebagai cemburu.”“Orang enggak akan bertanya jika tidak cemburu.”Entah sejak kapan pria ini menjadi sangat narsis. Sepanjang jalan menuju rumah ia bahkan terus saja memaksaku untuk mengakui kecemburuanku padanya.“Iya, aku cemburu sama Reza. Puas?”Seka
“Loh, memangnya sudah?”Aku bahkan bisa melihat matanya yang sejak tadi meredup, mendadak berbinar.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah kembali memelukku. Kali ini ia bahkan mendaratkan kecupan singkat di kening.“Sejak kapan?”“Memangnya harus aku kasih tahu?”“Ya harus dong, Sayang.”“Mungkin sebelum Mas mengutarakan semuanya.”“Ya Allah, ih masa sih. Enggak nyangka deh.”“Terus kenapa kemarin kesannya kamu kayak mau nolak Mas.”“Siapa yang enggak shock lihat pasangan sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan sesama jenis lagi. Aku hanya perlu waktu meyakinkan diriku sendiri, kalau memang semua in hanya salah paham.”“Jadi sekarang ceritanya sudah yakin?”“Insyaallah, melihat bagaimana Mas bersikeras untuk melindungiku. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan semuanya.”“Kalau begitu ayo!”“Ke mana?”Ia malah menatap pintu kamar kami yang saat itu masih terbuka. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Reza si pembuat onar itu bahkan tak menutupnya kembali.“Mas memangny
“Kamu di rumah aja. Mas yang ke sana. Kunci pintu ya, jangan keluar kalau ada yang ketuk. Mas ‘kan tahu sandinya jadi pasti langsung masuk.”“Oke.”Aku hanya bisa mengiyakan apa yang diperintahkan suamiku, sebelum akhirnya ia pergi untuk mengatasi kekacauan. Saat itu aku memang mengantarnya sampai ke depan.Namun, begitu aku akan kembali masuk, Luna yang kebetulan tengah membuang sampah malah menyapaku.“Pagi Ka, baik-baik aja ‘kan?” katanya.Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Apakah memang wajahku terlihat bermasalah?“Alhamdulillah.”“Syukurlah, oh ya Ka, aku boleh minta tolong boleh enggak?”“Apa?”“Hari ini aku masak banyak buat acara nanti siang. Kakak bisa enggak cobain masakan aku, kurang apa gitu. Aku enggak percaya diri, masalahnya aku baru mau coba masak. Resepnya aja lihat di youtube.”“Boleh.”Gadis cantik berusia 22 tahun ini merupakan seorang karyawan di bank swasta. Setahuku ia memang tak suka memasak, bahkan pernah mengatakan jika ia tak tahu sama sekali tentang bu
Hingga terdengar decit pintu yang terbuka barulah aku berani untuk membuka selimut. Untungnya yang datang suamiku.“Jangan takut Al, itu hanya ban motor yang tetangga yang pecah.”“Astaghfirrullah.”“Kejadian kemarin pasti bikin kamu trauma, ya?”“Enggak kok Mas, aku cuma sedikit takut aja. Enggak sampai ke tahap trauma. Terus bagaimana orang yang bawa motornya baik-baik aja ‘kan?”“Alhamdulillah. Mas Danu baik-baik saja kok. Dia baru aja pulang shift 3.”“Ada-ada saja.”“Iya, sampai tetangga kita keluar semua. Dikira bom.”Aku sampai tertawa karenanya. Memang bunyinya seperti itu.“Nah, begitu dong. ‘Kan tambah cantik kalau ketawa.”“Apa sih Mas, pagi-pagi bukannya sarapan malah gombal.”“Lihat wajah kamu aja sudah kenyang kok.”“Ih, malah tambah gombal. Sudahlah aku mau ke bawah dulu, kita sarapan roti bakar dulu ya.”“Hm, boleh. Asalkan buatanmu semuanya enak.”“Timbang masukin ke panggangan aja kok enak, Mas. Itu mah standar rasanya.”“Tapi, ‘kan beda rasanya kalau makanan dibuat
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali