Saat itu aku merasa benar-benar ditolak dunia. Dibenci masyarakat, tak dianggap oleh suami, juga tak punya pekerjaan. Lengkap sudah penderitaanku ini. Aku tidak tahu berapa lama aku menangis di kamar, sampai aku terbangun ketiak matahari sudah naik.Aku memutuskan untuk turun, setelah sebelumnya memastikan tak ada suara di bawah sana. Rupanya pria itu sudah pergi. Ia bahkan meninggalkan rumah tanpa pamit.Aku duduk di sofa bekas tidur Mas Syahru yang bahkan masih berantakan.Haruskah aku yang membereskannya? Untuk apa, aku bahkan tidak dibayar sebagai pembantu.Namun, tetap saja rasanya mataku sakit melihat pemandangan yang berantakan ini. Apa lagi bau selimut ini, seperti tak pernah tersentuh air. Warnanya saja sudah sangat dekil. Bagaimana dia bisa sejorok itu.Akhirnya dengan sedikit perjuangan aku membawa benda bau dan dekil itu ke mesin cuci. Untunglah meski rumah ini sangat mini, tetapi peralatan elektroniknya cukup lengkap.~Entah ke mana dia pergi pagi ini. Bahkan, semalam ia
Melihat wajahnya yang menyeramkan, aku hanya bisa menggigit bibir bagian bawah, demi menghilangkan rasa gugup. Namun, setelah menciptakan jeda yang cukup panjang, tanpa kata pria itu langsung meninggalkan kamar begitu saja.Lebih baik aku segera menyelesaikan makan dari pada nanti dia akan mempermasalahkannya lagi. Ternyata makan di kursi gamers seperti ini sangat nyaman. Seharusnya dulu aku membeli kursi yang seperti ini.Setelah makan aku kembali ke bawah dan langsung mencuci piring. Namun, entah hanya perasaanku saja atau memang benar. Cara Syahru melihatku sungguh sangat mengganggu.“Sejak kapan kamu jadi suka cuci piring?”“Ini hanya pekerjaan gampang, semua orang juga bisa melakukannya?”“Enggak takut kukumu patah?”“Aku sudah lama enggak pakai kuku palsu?”“Oh ya, kenapa? karena, gak ada kerjaan?”Di antara banyak perkataan lain yang lebih ramah di teli
“Kalau aku menikah karena kasihan memangnya kenapa?”Pria itu malah tersenyum.“Bukankah kita sudah menikah sekarang, enggak peduli alasan dibalik semua ini. Aku suamimu sekarang!” tegasnya lagiAda apa dengan pria ini. Kata-katanya itu kenapa sering kali membuatku menjadi salah mengartikannya.“Siap-siap sebentar lagi kita dipanggil!”Sekarang bahkan ia tersenyum padaku.Ah, iya aku lupa jika aktingnya akan segera dimulai. Kenapa juga dengan pikiranku. Sekarang ketika nama kami dipanggil, ia bahkan mengulurkan tangannya.Kami bahkan terlihat seperti pasangan yang saling mencintai. Sudahlah, sepertinya Tuhan bahkan menakdirkanku menjalani pernikahan sandiwara. Sesuai dengan pekerjaan yang kutekuni bertahun-tahun yang lalu.~“Kalian tuh settingan enggak sih? Tuh sekarang nitizen tuh banyak banget yang mempertanyakan pernikahan kalian yang serba mendadak di tengah gempuran gossip yang ssst!”Host itu langsung menutup bibirnya.Pertanyaan itu, padahal sudah dipersiapkan. Namun, sepertin
“ENAKNYA KITA APAIN INI!” Ya Allah aku harus bagaimana, bahkan orang-orang yang semula hanya hitungan jari sekarang hampir semua yang melintas jadi berhenti dan memperhatikanku. Saat itu aku ingin kembali masuk. Namun, seseoran malah menjaga di depan pintu. “Ih, mau ke mana?” kata wanita yang entah siapa. Dia bahkan mulai mendorongku, agar menjauh dari pintu kaca. “Mbak maaf, tapi saya di sini sama suami. Enggak mungkin juga saya menggoda suami orang.” “Alah, kamu bisa aja bohong! Saya tahu bagaimana jahatnya kamu. Kamu tuh sampai nyulik istrinya Mas Andi. Emang enggak malu, ya datang ke sini?” “Kalau saya jadi Mbak Ayu sudah saya masukin kamu ke penjara. Biar tahu rasa!” “Muka aja cantik tapi hatinya busuk!” Wuuuh! Sekarang mereka malah meneriakanku. Aku yang sudah tak tahan lagi, memilih meninggalkan tempat ini. “Tolong biarkan saya masuk! Suami saya di dalam.” “Hih! Enggak! Kal
“Mbak, kenapa? Abis dikejar-kejar siapa? Sini istirahat dulu!”Seorang ibu paruh baya tiba-tuba saja menghampiriku. Tak hanya itu, ia bahkan mengeluarkan botol air mineral ke pangkuanku.“Diminum dulu! Biar tenang!”Aku menatapnya sebentar. Bagaimana pun aku harus tetap waspada pada orang asing. Sejak kejadian itu, pikiranku jadi tak pernah tenang. Selalu saja waspada. Aku pikir semua orang pasti membenciku.“Tenang aja Mbak, ibu bukan orang jahat kok. Nah itu warung ibu.”Wanita itu menunjuk ke arah toko serba ada di seberang jalan.“Kalau mau istirahat di sana. Ayo bareng sama ibu! Dari pada di sini enggak ada kursi. Masa mau duduk di batu.”Sepanjang trotoar memang hanya ada batu-batu besar. Sekali lagi ibu itu merangkulku. Ia bahkan tak segan menuntunku menyebrangi jalan, yang saat itu masih ramai kendaraan berlalu lalang.“Ibu tinggal dulu, ada yang beli. Mbak tenagin diri di sini dulu, ya!”Saat itu memang ada 2 orang pembeli yang datang ke tokonya. Untunglah masih ada orang yan
Baik salah, tak peduli juga salah. Rasanya semua yang aku lakukan hanya sia-sia. Ia selalu punya cara untuk mencaci.~Malam itu aku tak peduli lagi, ia akan memakai selimutnya atau tidak, kalau pun ia kedinginan itu bukan salahku, tapi salahnya sendiri. Ternyata susah sekali menjadi istri, bahkan aku saja masih belum bisa mencuci dengan benar.Aku pikir uang bisa membeli segalanya, tetapi tak ada yang tahu nasib seseorang seperti aku sekarang. Tak ada gunanya tas-tas mahal koleksiku. Pada akhirnya semuanya hanya akan tersimpan di gudang.Andai dulu, aku mengalihkan dana itu untuk membangun sebuah bisnis, pasti di saat terpuruk seperti ini masih ada yang bisa diandalkan. Setidaknya tidak perlu bergantung hidup pada orang yang sama sekali tak tahu caranya menghargai.Malam itu sungguh aku menghabiskan malam dengan penuh penyesalan. Menyesali pernikahan, gaya hidup hedonis, juga aku yang selalu berpikir pendek. Alhasil keesokan harinya mataku membengkak cukup parah. Tadinya aku i
Entah kenapa waktu seakan enggan berlalu. Aku sudah sangat merasa tidak enak. Apa lagi hari ini aku makan cukup banyak. Pasti sangat berat.“Turun aja ya, Mas! Enggak apa kok. Aku biasa kayak gini. Namanya juga perempuan.”“Jangan bawel. Sebentar lagi nyampe!” katanya.Pria itu benar-benar menggendongku sampai ke rumah. Herannya, Mas Syahru masih saja mempertahankan wajah datarnya. Bahkan ketika ia menurunkanku.“Udah nyampe. Masih mau digendong?” tanyanya sambil menatapku, tanpa senyum sedikit pun.Bagaimana bisa ia biasa saja dengan jarak sedekat ini?Ah, iya bagaimana aku bisa lupa kalau dia seorang model profesional. Jelas saja ia sangat biasa dengan adegan seperti ini.Sepertinya aku terlalu lama menganggur. Sehingga terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting.“Alea, kalau memang enggak mau turun, bukakan pintunya!”“Oh, a-aku mau turun kok, Mas!”“Enggak usah, sudah tahu sakit. Kenapa tetep maksain buat jalan sendiri?”“Ayo, bukain handlenya? Tanganku dua-duanya sibuk
“Apanya yang yang jangan sekarang?”Pria itu malah menatap bingung.“Ka-kamu mau i-itu ‘kan?”“Dasar mesum! Aku mau ambilkan kamu minyak kayu putih. Ini!”Tanpa merasa bersalah pria itu meletakkan benda kecil itu ke genggamanku.“Aku sudah bilang ‘kan belum mau menyentuhmu.”Dia bilang belum? Itu artinya?Ah, tidak. Jangan berpikir macam-macam. Dia menyukai sesama. Bahkan jika aku memakai pakaian terbuka pun ia tak akan tergoda.Tanpa sadar aku telah menggelengkan kepala. Sekarang Mas Syahru jadi semakin memperhatikanku.“Aku akan ngebut! Kamu jangan kabur lagi, oke?”“Siapa juga yang mau kabur, bisa bocor di jalan nanti.”“Nah, itu tahu. Jadi anak baik! Yang nurut sama suami!”Suami?Kenapa rasanya aneh sekali.Pria itu datang dengan membawa pembalut beserta minuman untuk meredakan nyeri datang bulan, tetapi dengan jumlah yang sagat banyak. Aku masih memaklumi jika ia membeli pembalut yang sangat besar. Aku juga suka begitu, tetapi minuman sebanyak ini siapa yang akan mengonsumsinya?
Aku tidak menyadari jika aku terlalu lama berada di toilet, sampai kemudian Mas Syahru menyusul ke sini. Aku buru-buru keluar agar ia tak khawatir.“Ada apa? Kenapa lama banget ke toiletnya? Perutmu sakit?”“Hm, sedikit, tapi udah lebih baik.”“Apa karena obat antidepressant itu?”“Enggak.”“Obatnya sudah habis dan aku udah enggak pernah minum lagi sejak sebulan yang lalu.”“Loh, kenapa?”“Maaf, tapi kepalaku sering sakit kalau terus-terusan minum obatnya.”“Terus sekarang kenapa bisa sakit?”“Mungkin cuma masuk angin. Aku mau ganti baju dulu, gamisku kena muntahan.”“Muntah? Memangnya dari tadi kamu muntah?”“Iya.”“Kapan terakhir datang bulan?”“Hm, ya Allah udah 2 minggu yang lalu.”Pria itu mendadak tersenyum, bukan hanya tersenyum ia bahkan tiba-tiba saja mengangkatku dan memutarnya.Ya Tuhan aku masih lemas karena muntah yang tak kunjung usai, ia malah membuatku pusing dengan berputar-putar.“Mas turunin dulu, aku mabok!”“Maaf ya, Mas seneng aja. Ini kamu pasti hamil Sayang.”
Bahkan sekarang melihatku tak berdaya. Pria ini tak hanya memanggilkan dokter, ia juga rela mengurus rumah bahkan menyuapiku makan dan membantu ke toilet.Entah kenapa dengan fisikku. Aku begitu takut dengan ancaman, setelah berbulan-bulan terus saja ditekan dengan berbagai hinaan, makian bahkan kadang-kadang ada juga beberapa akun yang mengancamku. Aku masih baik-baik saja, karena aku pikir itu hanya ucapan tanpa pembenaran. Namun, nyatatanya saat tahu jika kemarin aku benar-benar diancam. Pertahananku benar-benar runtuh.“Al, kita ke rumah sakit saja ya!”“Enggak Mas, aku baik-baik saja.”“Kamu terus saja waspada sejak kemarin bahkan belum tidur sama sekali.”Bagaimana aku bisa tidur jika, setiap waktu aku terus ketakutan kalau mungkin saja ada yang akan datang ke rumah. Ketakutan itu semakin menjadi mana kala tak ada orang di rumah.“Reza enggak akan ke sini Sayang, kalau kamu terus begini bisa ganggu kesehatan. Kita ketemu psikiater aja oke?”“Aku enggak gila.”“Enggak semua orang
“Ya Allah Mas, itu bukannya orang yang pernah datang ke rumah kita?”“Iya, itu anak buahnya Reza.”“Mau apa lagi coba? Kok bisa tahu kita ada di sini?”“Entah, nah itu Rezanya datang. Kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Sini pegangan! Kita emang enggak bisa terus menghindar. Di sini banyak CCTV jadi kalau ada apa-apa banyak saksinya. Kamu jangan takut!”Pria itu menggenggam lenganku lantas mulai berjalan menuju Reza yang kini juga menatap kami ke arah yang sama. Di sampingnya sudah ada dua orang pria berbadan tegak dan besar yang melihat kami dengan tatapan sangarnya yang khas.Tak lama beberapa bawahannya yang lain juga datang dan berjajar di belakangnya. Namun, seolah tak kenal takut Mas Syahru terus melangkah.Sampai kemi berdiri tepat di depan pria itu, ia tiba-tiba saja menghadiahi pukulan yang cukup keras di perut sahabatnya. Hampir saja dua bawahannya membalaskan apa yang ia lakukan pada Reza, kalau saja tak dicegah oleh atasannya, aku yakin Mas Syahru juga sudah mendapatkan pukula
“Apa sih Sayang, pikiran kamu itu ya! Kotor banget.”“Memang kenyataannya begitu ‘kan?”“Suamimu ini masih normal. Mana mungkin mau melakukan hubungan sesama jenis. Membayangkannya saja sangat mengerikan.”“Ya terus kalau Reza nginep dia tidur di mana?”“Di bawah, di sofa tempat Mas biasa tidur.”“Memangnya dia mau.”“Ya, harus mau. Suruh siapa numpang tidur di sini. Sudah tahu rumahnya kecil.”Ternyata berbeda sekali perlakuannya padaku dan orang lain.“Meskipun Mas berteman baik, Mas juga enggak naif. Dia dari awal memang keliatan enggak normal sejak kasus pelecehan itu, jadi harus pintar jaga diri.”“Baguslah.”“Udah enggak marah lagi?”Aku hanya menggeleng.“Cie ada yang cemburu.”“Aku hanya bertanya, tolong jangan menafsirkannya sebagai cemburu.”“Orang enggak akan bertanya jika tidak cemburu.”Entah sejak kapan pria ini menjadi sangat narsis. Sepanjang jalan menuju rumah ia bahkan terus saja memaksaku untuk mengakui kecemburuanku padanya.“Iya, aku cemburu sama Reza. Puas?”Seka
“Loh, memangnya sudah?”Aku bahkan bisa melihat matanya yang sejak tadi meredup, mendadak berbinar.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah kembali memelukku. Kali ini ia bahkan mendaratkan kecupan singkat di kening.“Sejak kapan?”“Memangnya harus aku kasih tahu?”“Ya harus dong, Sayang.”“Mungkin sebelum Mas mengutarakan semuanya.”“Ya Allah, ih masa sih. Enggak nyangka deh.”“Terus kenapa kemarin kesannya kamu kayak mau nolak Mas.”“Siapa yang enggak shock lihat pasangan sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan sesama jenis lagi. Aku hanya perlu waktu meyakinkan diriku sendiri, kalau memang semua in hanya salah paham.”“Jadi sekarang ceritanya sudah yakin?”“Insyaallah, melihat bagaimana Mas bersikeras untuk melindungiku. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan semuanya.”“Kalau begitu ayo!”“Ke mana?”Ia malah menatap pintu kamar kami yang saat itu masih terbuka. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Reza si pembuat onar itu bahkan tak menutupnya kembali.“Mas memangny
“Kamu di rumah aja. Mas yang ke sana. Kunci pintu ya, jangan keluar kalau ada yang ketuk. Mas ‘kan tahu sandinya jadi pasti langsung masuk.”“Oke.”Aku hanya bisa mengiyakan apa yang diperintahkan suamiku, sebelum akhirnya ia pergi untuk mengatasi kekacauan. Saat itu aku memang mengantarnya sampai ke depan.Namun, begitu aku akan kembali masuk, Luna yang kebetulan tengah membuang sampah malah menyapaku.“Pagi Ka, baik-baik aja ‘kan?” katanya.Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Apakah memang wajahku terlihat bermasalah?“Alhamdulillah.”“Syukurlah, oh ya Ka, aku boleh minta tolong boleh enggak?”“Apa?”“Hari ini aku masak banyak buat acara nanti siang. Kakak bisa enggak cobain masakan aku, kurang apa gitu. Aku enggak percaya diri, masalahnya aku baru mau coba masak. Resepnya aja lihat di youtube.”“Boleh.”Gadis cantik berusia 22 tahun ini merupakan seorang karyawan di bank swasta. Setahuku ia memang tak suka memasak, bahkan pernah mengatakan jika ia tak tahu sama sekali tentang bu
Hingga terdengar decit pintu yang terbuka barulah aku berani untuk membuka selimut. Untungnya yang datang suamiku.“Jangan takut Al, itu hanya ban motor yang tetangga yang pecah.”“Astaghfirrullah.”“Kejadian kemarin pasti bikin kamu trauma, ya?”“Enggak kok Mas, aku cuma sedikit takut aja. Enggak sampai ke tahap trauma. Terus bagaimana orang yang bawa motornya baik-baik aja ‘kan?”“Alhamdulillah. Mas Danu baik-baik saja kok. Dia baru aja pulang shift 3.”“Ada-ada saja.”“Iya, sampai tetangga kita keluar semua. Dikira bom.”Aku sampai tertawa karenanya. Memang bunyinya seperti itu.“Nah, begitu dong. ‘Kan tambah cantik kalau ketawa.”“Apa sih Mas, pagi-pagi bukannya sarapan malah gombal.”“Lihat wajah kamu aja sudah kenyang kok.”“Ih, malah tambah gombal. Sudahlah aku mau ke bawah dulu, kita sarapan roti bakar dulu ya.”“Hm, boleh. Asalkan buatanmu semuanya enak.”“Timbang masukin ke panggangan aja kok enak, Mas. Itu mah standar rasanya.”“Tapi, ‘kan beda rasanya kalau makanan dibuat
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali