'Baiklah, Mas. Aku ingin melihat seberapa pintar kamu menghancurkanku.' Aku tersenyum sinis. Aku akan membuktikan, bahwa aku adalah Laura yang dulu sebelum ia mengenaliku.
'Kamu akan menyesal, Mas!' batinku."Bagaimana jika dia benar-benar membawa wanita itu, Ra?" tanyaku."Itu akan lebih baik, Lau. Dan tentu saja akan mempermudahkan kita mengumpulkan bukti-bukti." Tiara mengetuk dagunya dengan jari telunjuk."Aku berharap itu hanya editan, Ra. Hatiku menolak menerima berita ini, Mas Alif adalah sosok kepala keluarga yang paham dengan agama. Tak mungkin rasanya dia mendua," ucapku masih menentang apa yang disampaikan Tiara. Namun di sisi lain, Tiara sahabatku sekaligus calon iparku. Apa mungkin dia ingin menusukku dari belakang, dengan cara menghancurkan rumah tangga yang terbangun selama ini.Rasanya mustahil, Tiara bukanlah orang yang seperti itu, dia adalah sosok yang paling mengayomi. Sosok yang selalu ada untukku di saat susah maupun senangJadi untuk apa dia bersusah payah mengedit foto ini dan memberikannya padaku. Akan tetapi, rasanya aku masih tak terima jika benar kenyataannya Mas Alif telah mendua.Itu seperti sulit diterima oleh akal dan logika. Sungguh, benar-benar tak bisa tergambar dengan sempurna bagaimana rasa sakitnya.Dadaku terasa perih. Sesak menghampiri, hingga bernapas pun rasanya sangat sulit."Semoga saja, Lau. Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf karena sudah memberitahukan ini padamu," ucap Tiara dengan wajah seperti menyesal. Namun aku paham, ini semua juga dilakukannya karena dia begitu sangat menyayangiku. Selama abangku tak ada, dialah sosok yang menjadi penasehat."Tak masalah, Ra. Mungkin ini memang jalannya aku mengetahui itu semua, tapi kenapa Mas Alif melakukan itu?" Aku menangis terisak kembali."Kenapa dia harus menyembunyikannya dariku, mengapa dia berbohong. Andai dia bosan, dia bisa mengatakannya. Tak perlu bersusah payah untuk menyakitiku. Cukup kembalikan saja aku pada orang tuaku secara baik-baik, sama seperti saat dia datang untuk meminang ku sebagai calon istrinya."Kuungkapkan keckecewaanku yang begitu dalam pada Tiara. Mengapa harus aku tahu dari orang lain, kenapa tak dia sendiri yang mengatakan sejujurnya."Jangan menangis, Lau. Jika kamu menangis, aku semakin merasa bersalah karena memberitahukan ini semua."Aku menatap manik mata Tiara dengan sendu. Andai dia tau, aku hanya kecewa hingga tak bisa lagi menahan air mata."Aku hanya tak dapat membayangkan, bagaimana Mas Alif bisa membagi hati bahkan memadu kasih bersama wanita lain," lirih aku berucap, nyaris tak terdengar."Lau .... Kamu kuat, aku tau itu. Kamu bukanlah wanita yang gampang untuk disakiti, Lauraku harus bangkit demi dirinya sendiri," ujar Tiara sambil menunjuk dadaku.Aku terdiam menunduk dalam. Benar yang dikatakan oleh Tiara."Lau ...."Tiara memanggil namaku lagi, aku menoleh menatapnya.Mataku mengisyaratkan tanya 'ada apa'?"Mungkin sekitar tiga jam lagi, Alif akan sampai ke rumah ini," ucapnya.Aku termenung lama."Lalu?" tanyaku tanpa menatap Tiara. Namun, mataku menatap lantai rumah."Aku harus pulang, ingat jangan menangis. Jangan langsung menanyakan padanya, itu terlalu gegabah." Tiara memegang pundakku. Kini jelas terlihat wajah serius Tiara ketika berbicara."Aku tak bisa janji, Ra," ucapku memandangnya sendu."Baiklah ... baiklah. Tapi tolong, jangan gegabah. Apalagi sampai membuat Alif curiga bahwa kamu sudah mengetahui semua, nanti yang ada kita akan semakin sulit mendapatkan bukti secara pastinya.""Doakan saja semoga aku bisa menjalankan dengan baik. Sekarang yang harus aku lakukan adalah, berpura-pura bod*h agar Mas Alif tidak mencurigaiku, 'kan?" tanyaku pada Tiara."Oh tidak! Aku memang b*d*h tak pernah mengerti bahwa Mas Alif ada wanita lain. Benar-benar sangat b*d*h!" Aku tertawa miris.Kupukul kepalaku berkali-kali, diimbangi dengan sesak yang kian mendera."Stop! Kalo kamu kayak gini terus, aku nggak yakin mau ninggalin kamu. Biarlah, kita menunggu kedatangan Alif bersama-sama, aku nggak bisa ninggalin kamu," ucap Tiara sambil memegang tanganku yang terus memukul kepala ini.Kutarik paksa tangan yang dipegang Tiara. Aku menghapus air mata dengan kasar, lalu menghirup nafas dalam."Pulanglah, lagian ini sudah hampir waktunya Asar, nanti kamu dimarahin abangku," ucapku mencairkan suasana sambil tertawa."Tapi ... kamu tidak berpikir untuk mengakhiri hidup kan, Lau?" tanya Tiara dengan tatapan menyelidik.Aku mencubit pipi tembem Tiara. Sungguh lugu sekali sahabatku yang satu ini."Mana mungkin aku melakukan itu, hidupku terlalu berharga untuk sebuah penghianatan," ucapku, lalu melepaskan cubitan di pipinya.Tiara hanya bisa mengaduh kesakitan karena ulahku."Baguslah ... aku khawatir kau akan melakukan itu. Kalo kamu pergi, nanti nggak ada yang dampingin aku ketika di pelaminan sama abangmu," ucapnya dengan percaya diri."Dih, kamu nyuruh aku jadi tukang kipasmu gitu?" tanyaku sambil memukul lengannya pelan. Walaupun bercanda, itu sama sekali tak menghapuskan ingatan yang menyakitkan ini."Ya nggak papa lah, daripada nggak ada kerjaan, 'kan," jawabnya mencoba menghiburku. Aku tersenyum tipis."Udah ah, kalo ngobrol terus kapan pulangnya aku. Emang ya, ibu-ibu suka gitu, kalo udah ngobrol suka lupa waktu." Tiara lalu berdiri dari duduknya. Kami cipika-cipiki, lalu aku mengantarkannya sampai ke depan pintu."Aku pulang dulu ya, ingat jangan coba-coba buat ngelakuin hal yang dilarang agama." Jari telunjuknya mengarah ke hidungku."Iya, udah sana pulang gih," ucapku."Ngusir nih ceritanya, ya udah ah aku pulang. Assalamualaikum, Laura jangan kangen ya," teriaknya sambil berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman rumah."Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan," jawabku sambil melambaikan tangan padanya.Baru saja kepergian mobil Tiara, tiba-tiba masuk mobil berwarna hitam ke halaman rumahku.Dan sudah dipastikan bahwa itu adalah mobil Mas Alif.Saat dulu, setiap dia pulang dari bekerja. Deru mobilnya terdengar, aku langsung berlari dari dalam rumah untuk menemuinya. Bahkan, kadang aku langsung menghampiri mobilnya yang baru saja terparkir, menyambut pelukan hangat yang disediakannya untukku.Mesra sekali, bukan. Entahlah, tapi sekarang rasanya aku malas untuk melakukan itu.Walau sebenarnya itu belum terbukti benar. Namun, aku sudah merasakan sakit yang teramat sangat di dalam dada."Dedek!" Teriakan Mas Alif mampu menyadarkanku dari lamunan panjang.Terlihat ia merentangkan tangannya, menunggu aku untuk berlari dan langsung memeluknya.Tapi, di mana wanita itu. Apa dia tidak ikut, pikirku. Ah, sepertinya Mas Alif sudah menyediakan rumah indah untuknya."Ayo sini," ucapnya lagi, yang membuatku menatapnya.Kubalas hanya tersenyum tipis. Kakiku tak kunjung ingin melangkah, bahkan sekedar menjawab ucapannya pun rasanya kelu."Baiklah ... baiklah, sepertinya Mas yang harus menghampirimu," ucapnya dengan senyum yang mengembang.Mengingat perlakuannya ini, rasanya aku masih tak percaya dia menghianatiku.Mas Alif, pria dengan postur tubuh yang tinggi, bisa dikatakan ideal. Dengan kumis tipis, dan juga berlesung pipi. Bisa dikatakan ia adalah idaman wanita di luaran sana."Dedek, Mas kangen banget sama kamu. Dua Minggu serasa dua tahun tak bertemu," ucap Mas Alif yang langsung saja memelukku.Kalo dulu, aku akan memukul dada bidangnya ketika ia berbicara begitu. Namun, sekarang rasanya sudah basi."Kamu kenapa sih, kok daritadi diam mulu?" tanyanya, mungkin dia bingung dengan sikapku."Mas, bukannya tiga jam lagi ya. Kok cepat banget sampainya?" tanyaku berbasa-basi."E-eh itu ... Mas salah ketik angka yang harusnya tiga jam, malah Mas tulis lima jam. Maaf banget ya, Sayang," ucapnya.Duh, pintar sekali ternyata ia berbohong sekarang."Tadi mobil siapa yang ke luar dari halaman rumah kita, Tiara ya?" ucapnya yang menebak langsung.Aku mengangguk pelan.Aku mencium aroma farpum yang membuat kepalaku pusing."Mas, kok bajumu kayak bau vanilla ya?" tanyaku sambil menutup hidung."Hah?" Mas Alif terlihat gelagapan."Ini bau parfum vanilla, parfum cewek. Kamu main sama cewek ya, Mas?" tanyaku pelan sambil menatapnya tajam."E--eh, nggak ... Dek. Minuman vanilla Mas tadi tumpah ke baju," jawabnya pelan, wajahnya terlihat pias.Tikus kecil yang pintar berbohong, batinku."Oh," jawabku tak acuh. Lalu berjalan mendahuluinya.Terdengar helaan nafas dari belakang.Kali ini kamu aman, Mas. Entah untuk besok atau seterusnya, aku tersenyum getir.Next?Tikus kecil yang pintar berbohong, batinku."Oh," jawabku tak acuh. Lalu berjalan mendahuluinya. Membiarkan ia tenang sebentar.Terdengar helaan nafas dari belakang. Sepertinya sangat susah untuknya bernapas di depanku.Baiklah, tak apa, kali ini kamu aman, Mas. Entah untuk besok atau seterusnya. Aku tersenyum getir, begitu bersemangat sekali Mas Alif menutupi kebohongannya. Semakin ia menutupi, semakin aku bersemangat untuk mencari bukti agar secepatnya berpisah dengan Mas Alif."Oh iya, Mas. Minuman vanilla yang tumpah ya, sejak kapan kamu suka minuman begitu?" Aku bertanya sambil berbalik menghadapnya. Kulihat dia yang mulai tergagap karena aku yang tiba-tiba memberikan pertanyaan seperti itu padanya."Sejak ... e-em sejak Mas kerja kemaren itu, M-mas kan ngurusin proyek." Mas Alif makin terlihat seperti orang yang hilang kesadaran."Kamu kok kayak polisi gitu toh, Dek. Dedek gemes!" ucapnya sambil melangkah maju dan mencium kedua pipiku.Aku langsung mendorongnya dengan pelan. Mer
Hal tak terduga terjadi, Mas Alif langsung buru-buru mengambil gawainya. Sedangkan tanganku melayang di udara bersama gelas yang berada di genggaman.Aku tertawa miris.Luar biasa tingkah yang kau buat Mas, batinku perih. "Aku hanya ingin mengisikan air ke dalam gelasmu yang kosong ini," ucapku tanpa menatapnya."E-eh itu, maaf, Dek. Mas hanya takut gelasnya jatuh, lalu gawai Mas rusak kan bisa ribet urusannya." Mas Alif mencoba memberi alasan. Tak perlu mengungkapkan alasan, karena aku sudah sedari tahu lebih awal. Banyak dusta yang sengaja kamu tutupi, Mas.Sekali saja dia berbohong, maka seterusnya akan begitu. Orang yang pandai berbohong, akan selalu mencari celah agar kebohongannya tersimpan rapi, tanpa ada yang harus mengetahui. Padahal kenyataannya salah, karena serapi apapun bangkai disembunyikan, suatu saat nanti pasti akan tercium baunya."Kalo rusak bisa beli lagi kan?" tanyaku, lalu mengembalikan gelas yang awalnya kosong itu."Bukan masalah hapenya, Dek. Tapi nomor pent
'Enak saja wanita itu. Kita lihat siapa yang akan menang, aku atau istri baru Mas Alif itu. Malam ini Mas Alif menjadi milikku, maafkan aku ya. Semoga aku tidak berdosa.' Aku bersorak riang di dalam hati, karena Mas Alif lebih memilih bersamaku daripada wanita itu.'Selamat menikmati tidur sendiri malam ini, wanita penggoda,' batinku. Aku tersenyum sinis, membayangkan bagaimana kesalnya wanita itu.****Saat pagi hari, kurasakan sentuhan di pipiku terasa dingin. Saat menoleh, ternyata di sana ada Mas Alif sudah berdiri lengkap dengan pakaian untuk salat."Ayo bangun, Sayang. Sebentar lagi azan Subuh," ucap Mas Alif padaku.Dengan kepala yang sedikit pusing, aku bangun untuk melafazkan doa bangun tidur."Udah jam berapa, Mas?" tanyaku dengan suara serak."Hampir jam empat pagi lah, siap-siap aja dulu. Mandi dulu sana, habis itu baru salat berjamaah," ucapnya sambil mengecup keningku.Ia lalu mempersiapkan sajadah untuk kami.Tak menunggu waktu lama, aku bergegas melaksanakan tugas yang
"Maafkan Mas, Sayang." Mas Alif bersimpuh di depan kakiku."Mari kita bercerai, Mas ...." Ucapan itu tiba-tiba ke luar begitu saja dari mulutku.Aku enggan menatap Mas Alif. Hatiku terasa selalu sakit ketika melihat wajah teduh yang selalu menatapku penuh cinta.Beberapa menit, hening menyelimuti ruangan ini."Astaghfirullah ...." Terdengar hembusan nafas kasar dari Mas Alif.Mas Alif mendekat, belum sempat aku menghindar ia langsung memegang bahuku dengan erat."Istighfar, Dek. Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan, hah?" tanya Mas Alif. Matanya menatapku dengan tajam. Aku diam, menangis semakin tersedu-sedu. Hatiku benar-benar terasa diremas dengan begitu kuat. Aku sadar, Mas, aku sadar, ucapku di dalam hati. Aku ingin mengeluarkan suara, tapi rasanya tercekat di tenggorokan."Kamu sadar dengan yang kamu ucapkan, Dek!" bentak Mas Alif. Dia mengguncang bahuku lagi dengan pelan. Aku menunduk dalam, entahlah aku hanya ingin lepas dari semua sedih yang terasa menyiksa ini."Jangan bi
'Mas, kamu benar-benar ingin membunuhku secara perlahan, bukan,' batinku benar-benar perih.Aku memijit kepala yang terasa pening. Haish! Masalah ini membuatku terlalu berpikir berat.Tidak bisa! Aku tak boleh terus menerus larut dalam kesedihan. Ini akan membuatku semakin merasa lemah.Enak saja, nanti Mas Alif akan merasa bahwa dia akan sangat mudah meluluhkan hatiku yang terluka.Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku mencintainya, tapi bukan berarti cinta harus membuatku terlihat b*d*h."Mungkin memberitahukan Ibu akan lebih baik, daripada menyimpannya sendiri," gumamku pelan.Aku lalu membersihkan sisa-sisa air mata yang mengalir di pipiku.Sekarang aku ingin pergi ke tempat yang bisa menenangkan aku.Aku perlu udara segar, perlu tempat untuk meluapkan segala sakit. Perlu tempat menenangkan diri, setelah tenaga terkuras habis ketika menangis tadi.Kujalankan mobil ke tempat di mana pertama kalinya aku bertemu dengan Mas Alif. Karena hanya di sana tempat sepi yang bisa dijadik
****Di perjalanan tak ada yang memulai pembicaraan, padahal biasanya kami selalu bercanda.Namun, kali ini suasana berubah menjadi canggung dan lebih serius. Aku juga merasa aneh, tumben-tumbenan sekali Tiara berubah menjadi sosok yang sangat pendiam seperti ini. Biasanya dia lebih banyak bicara daripada diriku. Namun kali ini, dia tak kunjung bicara.Karena Tiara yang tak kunjung berbicara, maka aku mencoba untuk memulai suasana agar terlihat lebih berwarna dan rasanya menjadi lebih hangat."Ra.""Lau."Terkejut atas apa yang terjadi, kami lalu tertawa bersama. Bisa-bisanya kami memanggil nama secara bersamaan. Rupanya kami berdua tadi bergelut dengan pikiran masing-masing."Ya sudah kamu duluan saja, Ra. Mau bicara apa?" tanyaku sambil meliriknya sekilas."Kamu saja duluan," ucap Tiara lagi. Haduh, ada saja ingin menentukan siapa yang berbicara lebih dulu pun kami harus melakukan perdebatan terlebih dahulu.Karena tak ingin memperpanjang perdebatan, aku lalu segera memulai apa yang
'Awas saja kau, Mas! Kau bilang tak cinta, tapi dia kau biarkan duduk di pangkuanmu dengan begitu lama,' ucap batinku dengan geram."Masuk mobil," ucap Tiara sambil membukakan pintunya.Dan sekarang dia yang mengambil alih posisiku sebagai sopir.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, aku masih mengatur nafas yang terasa cepat."Gimana udah enakkan?" tanya Tiara.Aku hanya diam, kesal dengannya. Andai dia tak melarangku, sudah kujambak, kuhantam wanita itu."Jangan marah, aku hanya tak ingin kamu terlibat dalam masalah. Aku hanya takut kamu khilaf menghajar wanita itu, benar, dia akan merasakan sakit tapi nanti malah kamu yang masuk penjara," ucap Tiara panjang lebar.Aku hanya diam, sambil sesekali menghembuskan nafas pelan.Menetralkan perasaan yang campur aduk menjadi satu."Sudah, nanti kita bicarakan jika sampai di rumahmu. Aku tak ingin kamu bertindak gegabah, lalu menghancurkan apa yang sudah direncanakan," ucap Tiara lagi.Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Tiara.****Mobil sud
"I-ibu kok di sini?" tanya Mas Alif dengan nada gugup.'Kehancuran menantimu, Mas!' batinku tersenyum penuh makna."Iya, dadakan. Kangen aja sama putri Ibu." Ibu mengusap punggung tanganku."Itu siapa sama kamu?" tanya Ibu seolah-olah tak tau."D-dia ...." Mas Alif seperti kesulitan untuk menjawab.Dia menatapku seakan-akan meminta pertolongan."Dia, pembantu baru di rumah ini, Bu?" jawabku yang berhasil membuat mata Mas Alif melotot ingin keluar."Waduh, pembantu baru ya. Bagus dong, bisa bantu bersih-bersih," ucap Ibu tersenyum sumringah."Iyaa, Bu. Ya udah Mas pembantu barunya biar aku aja yang nyiapin kamar buat dia," ucapku pada Mas Alif yang masih tak percaya.Wanita di sebelah Mas Alif terlihat menahan amarah yang ingin ia luapkan."Beneran pembantu 'kan dia, Lif?" tanya Ibu dengan nada tegas.Raut wajah keterkejutan Mas Alif atas kelakuanku, berubah menjadi pucat karena tatapan Ibu."I-iya, Bu," ucap Mas Alif gugup.Aku tersenyum penuh kemenangan di sini.Awas saja kau wanita
Aku terdiam tatkala Ibu mengungkapkan kekhawatirannya pada Laura. Aku merasakan sedih saat Ibu masih tak dapat memberikan kepercayaannya lagi padaku.Ya, aku sadar luka hati Laura begitu besar. Sikap dan perbuatanku dulu memang tak akan mungkin terlupakan. Aku juga tak ada niatan untuk melakukan pembelaan terhadap diriku sendiri.Kutatap manik mata milik Laura yang sudah basah, bergantian dengan Ibu yang juga terlihat berkaca-kaca. Karenaku, sebuah keluarga mengalami pertengkaran hebat. Karena kehadiranku, mereka tak seharmonis dahulu."Ibu hanya khawatir Laura, Ibu takut kamu tersakiti lagi. Ibu masih belum yakin Alif bisa berubah seperti yang kamu harapkan." Dari awal memang aku memilih untuk diam, mendengarkan pembicaraan antara Ibu dan anak. Masih tak berani ikut berbicara takut menambah keadaan semakin memburuk."Tak perlu mengkhawatirkan Laura, Bu. Mas Alif sudah menjadi sosok suami yang bertanggung jawab. Mas Alif sudah benar-benar berubah, Bu, dia sudah tak lagi mengambil peke
"Bu," tegurku saat mendengar Ibu seperti sedang memojokkan Mas Alif."Laura, Ibu seperti ini karena Ibu tidak ingin kamu merasakan sakit kembali. Ibu tak ingin kejadian yang lalu terulang lagi, cukup sekali saja dia berkhianat dan membuat kamu seperti mayat hidup.""Dari awal memang Ibu kurang setuju jika kamu harus berbalikan dengan Alif, tapi saat melihat binar di matamu. Ibu jadi tidak tega jika harus menghalangimu untuk bersama dengannya. Kamu harus mengerti, Laura, semua yang Ibu lakukan murni untuk kebaikan kamu untuk kebahagiaan kamu dan juga Reyhan. Kalo kalian jauh dari Ibu, Ibu tak bisa memantau rumah tangga kalian, Ibu juga tidak bisa mengawasi Alif lagi." Ucapan membuatku membeku seketika. Pertanyaan demi pertanyaan berputar dalam pikiran.Mengapa?Hanya satu kata yang menimbulkan banyak tanya, mengapa Ibu menjadi berubah, ke mana sosok ibuku yang begitu lembut dahulu. Sosok Ibu yang tak pernah menilai seseorang dari masalalu mereka. Mengapa Ibu seperti sosok yang tak bisa
"Dek, tadi Mami ada menghubungiku," ucap Alif saat sedang menikmati masakan milik istrinya. Sedangkan Laura sibuk mengurus Reyhan yang berlarian ke sana kemari."Oh ya, Masyaa Allah kangen banget aku sama Mami. Gimana kabar Mami sekarang, Mas, udah lama kita nggak ketemu sama beliau," kata Laura pada Alif. Ia lalu berjalan mendekati Alif dengan Reyhan dalam gendongannya."Alhamdulillah baik, Dek. Tapi Mami tadi ada ngomong sesuatu sama, Mas. Mami nyuruh Mas untuk pulang ke B******. Katanya kita disuruh ngurus butik yang dahulu di kelola sama Almarhum Mama. Tapi kalo Adek nggak mau, ya nggak papa. Mas nggak bisa maksa juga, Mas nggak mau kalo Adek nggak nyaman nantinya di sana." Alif berbicara langsung tanpa menunggu jawaban dari Laura. Alif hanya takut Laura tak mau pergi meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama dengannya dan juga pastinya Laura akan berjauhan dengan Ayah dan Ibunya.Sedangkan Laura dia nampak terdiam. Lalu setelahnya menatap Alif dengan wajah tersenyum. "Kata
"Mas, mau langsung berangkat kerja, nggak sarapan dulu?" tanya Laura saat melihat Alif yang buru-buru karena bangun kesiangan."Mas langsung berangkat saja ya, Sayang, takut telat. Nanti kalo kamu mau datang aja ke kantor aku ya, ajak Reyhan sekalian. Kapan lagi kan kamu ke kantor aku," ucap Alif sambil memakai sepatunya."Iya, nanti aku ke kantor kamu ya, Mas. Oh ya, mau dibawain apa bekal siang nanti?" tanya Laura lagi sambil mendekat pada sang suami."Apa saja, masakan kamu selalu pas di lidah aku. Jadi apapun itu pasti akan aku makan, termasuk kamunya." Alif langsung tertawa ketika mendapat pelototan tajam dari Laura."Udah, jangan kebanyakan gombal. Lihat tuh udah jam berapa," ucap Laura sambil menggandeng tangan Reyhan dan juga mengamit lengan kekar sang suami."Aku berangkat kerja dulu ya, Sayang. Kamu hati-hati di rumah, jangan terlalu kerja yang berat-berat nanti capek," ucap Alif begitu perhatian pada Laura."Iya, kamu juga, ya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut pokoknya kal
"Kamu yakin ingin kembali dengan Alif, Lau?" Tiara tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Laura.Bukan hal mudah, apalagi Tiara juga termasuk orang yang ikut dalam kisah hidup Laura. Sosok yang juga ikut serta jatuh bangun bersama dengan Laura."Seminggu lagi hari pernikahanmu dan Alif, Lau. Rasanya aku tak menyangka kau kembali lagi pada seseorang yang sudah membuatmu terluka dahulu.""Jujur, aku sebagai seorang sahabat seperti merasa tak rela sahabatku jatuh ke lubang yang sama. Aku takut dia akan mengulangi kesalahannya lagi.""Tiara, aku meminta banyak terima kasih padamu, karena selalu ada untukku. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat dan juga Kakak Ipar sepertimu. Doakan yang terbaik untuk adik iparmu ini. Walau rasanya, ini seperti dejavu. Aku juga tak menyangka akan jatuh cinta kembali pada Mas Alif." Laura memegang tangan sang sahabat, dia menatap Tiara dengan rasa sayang yang dalam. Tiara sendiri langsung memeluk Laura. Air matanya menetes begitu saja, antara rasa tak rela dan ju
Debi terduduk di pinggir jalan, ia menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Lalu memutuskan untuk pergi ke tempat penginapan berbekal uang seadanya.Debi ingin mengakhiri hidupnya, akan tetapi teringat bahwa dia memilih melakukan tindakan b*d*h itu agar dirinya tetap hidup.Jadi Debi memutuskan untuk mengistirahatkan pikiran terlebih dahulu, selanjutnya baru ia akan memikirkan tahap selanjutnya.Debi bersyukur polisi tak ada mencarinya, itu artinya mereka tak melaporkan kasus kepada pihak berwajib.Setelah seminggu menghilang, Debi merasakan badannya sering kelelahan, saat malam badannya berkeringat. Selain itu berat badannya pun menurun dan sering mengalami sakit kepala.Jadi Debi memutuskan untuk memeriksa kondisinya ke rumah sakit.****"Lu nggak apa-apa, kan?" tanya Ningsih melihat Ressa yang terbaring lemah di ranjang."Gue baik-baik aja," jawab Ressa. Matanya menatap kosong."Gue ngerasa bersalah sama dia, gue terlalu jauh membuatnya sengsara," ucap Ressa tanpa sadar mengeluarkan
Ia benar-benar menyesal dan merasa bersalah karena menjadi penyebab hancurnya keharmonisan rumah tangga orang lain.Dan sekarang Debi mulai terbiasa dengan pekerjaannya, bukan terbiasa tapi terpaksa. Ia harus jatuh ke dalam lembah dosa yang ke sekian kalinya."Maafkan aku, Mas Alif," ujarnya melemah. Debi lalu menghapus jejak air mata dan langsung masuk untuk melakukan pekerjaan yang tak halal itu kembali.****Setelah selesai, Debi lalu pulang bersama dengan Ressa. Mereka berdua pergi ke kontrakan milik Ressa, di sana sudah ada Ningsih dan juga temannya yang lain."Bagi hasil lagi nih kita," ujar Ningsih sambil tertawa.Debi hanya diam, lalu melangkahkan kaki untuk pergi."Mau ke mana lu?" tanya Ressa dengan nada tak enak."Mandi," jawab Debi ketus."Oh, oke, jangan lama-lama. Nggak gue bagi jatah lu entar," ancam Ressa.Debi tak memedulikan ancaman dari Ressa, ia tetap melanjutkan langkah dengan pikiran yang kosong."Gue lihat-lihat tuh anak makin ngelunjak, Res," ujar Ningsih."Iye,
***Setengah tahun sudah berlalu, selama itu juga Alif dan Laura tak pernah bertemu. Tak dipungkiri rasa rindu di hati mereka berdua masih sama.Namun mereka sendiri bingung, bagaimana cara menumpahkan rasa rindu itu. Padahal jelas-jelas mereka berdua tak bersama lagi.Kembali?Tak mungkin, menurut mereka hubungan mereka sudah berakhir sejak lama. Sejak Alif memutuskan untuk mendua. Hari ini Alif harus menarik pelanggan kembali, setelah beberapa bulan itu. Sebenarnya ia bisa saja berhenti bekerja begitu. Dia harusnya pulang ke tempat mamanya, dan mengelola butik yang tersisa.Namun Alif tak mau, dia masih bertekad untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri. Tabungannya sekarang pun sudah lumayan untuk membeli rumah, walaupun tak terlalu besar. Tapi setidaknya bisa dijadikan tempat untuk tinggal.Ia berhasil membeli rumah sendiri dengan hasil kerja kerasnya saat menjadi buruh bangunan.Tak berapa lama, ia lalu menjemput pelanggannya."Mas ke hotel ***, ya," ujar seseorang yang s
"Laura!" panggil Tiara pada Laura. Tiara mihat Laura yang dari tadi melamun. Ia pikir Laura masih teringat kejadian yang membuatnya merasa takut."Eh." Laura tersentak kaget, lalu menghapus air matanya."Ada apa, Ra?" tanya Laura pada Tiara.Tiara menatap lama mata Laura."Maaf, Lau. Aku benar-benar minta maaf karena sudah datang terlambat," ujar Tiara penuh penyesalan. Ia merasa bersalah karena sudah memperkenalkan Yoga pada Laura.Bahkan merasa sangat berdosa karena menyuruh Yoga untuk perlahan-lahan mendekati Laura."Hey, ini bukan salahmu, Ra. Mungkin itu adalah alur yang diciptakan Tuhan dalam hidupku. Anggap saja sebagai pelajaran, bahwa aku tak boleh terlalu percaya dengan orang yang baru saja dikenal," jawab Laura sambil memegang tangan Tiara.Tiara segera membawa Laura dalam pelukannya."Jika terjadi apa-apa lagi padamu. Aku akan secepatnya datang untuk melindungimu," ujar Tiara lagi. Ia memegang telapak tangan Laura dengan lembut. "Aku sama sekali tak tahu mengapa Yoga sepe