Kita hanya manusia, bintik-bintik yang bergerak dinamis dalam semesta permainan sang pencipta. Kita dilahirkan dari ketiadaan, berjuang untuk keberadaan. Kita hanya manusia yang dibekali beban, menyebutnya tujuan untuk sekedar penghiburan. Kita ditemani waktu, dimusuhi waktu. Pada akhirnya dikejar waktu. Kita tidak punya waktu.
Kita tidak lengkap. Dibuat untuk saling mencari. Kita lahir sendiri, tapi kesendirian tidak pernah membuat kita lebih berani. Untuk menjalani, apalagi mati tanpa ditemani.
Kita hanya manusia. Kita berangkat dari yang sudah ada. Kita boleh mengeluh, tapi tidak boleh berbuat banyak. Kita boleh berharap, tapi tidak boleh punya suara utuh untuk memutuskan.
Begitu, ketika Svaha ingin membantah semua keputusan Cantra, ia tidak bisa.
Cantra menginginkan istirahat. Istirahat artinya berhenti dengan tenggang waktu tertentu, sementara. Kadang pasti, seringkali sebaliknya.
Gadis itu meyakinkan Svaha kalau istirahat baik buat hubungan m
Mereka harus menempuh setidaknya enam jam perjalanan untuk sampai ke kota kecil bernama Eila. Kota kecil yang masih kental dengan bau tanah berkadar asam tinggi, perkebunan dan bau kotoran hewan dari peternakan lokal. Orang-orang sering menyebut kota kelahiran mereka sebagai tempat yang kuno karena penduduknya masih sangat menikmati produk makanan (tumbuhan dan hewani) yang diolah tanpa bantuan mesin. Apa salahnya?Arkana pikir penduduk kota Eila sangat mandiri. Mereka membayar pajak pada negara juga, dan memanfaatkan yang mereka punya untuk hidup lebih sederhana. Penduduk Eila tidak boros energi. Mereka makan yang ada, mewah untuk tolak ukur orang modern kadang-kadang. Orang dari kota yang lebih besar seperti Harsha menyebutnya organik.Menurut gadis itu juga, kota kelahirannya tidaklah kuno. Kota ini bahkan sedang berkembang. Mereka mengembangkan apa saja. Ada gedung baru, ada sekolah, ada rumah sakit kecil yang sepi, ada kantor dan bengkel. Yang tidak ada hanya toko
Svaha sempat memeriksa telepon genggamnya ketika ia dan Arkana turun dari mobil. Hujan gerimis dan kabut pelan-pelan menjauh. Pukul dua lebih sedikit. Memang sudah waktunya makan siang. Keduanya berjalan di atas batu-batu kerikil dari tempat parkir menuju sebuah restoran yang nampak sederhana namun berlantai dua. Favorit nama restoran itu. Mereka selalu makan di sini kalau sedang pulang kampung atau akan kembali ke kota Harsha. Restoran ini berada tepat di tikungan. Ya, bukan pilihan baik kalau dibandingkan dengan restoran lain yang berada di sisi kiri dan kanannya. Sulit mencari haluan, sulit menyeberang ke sini kalau datang dari arah berlawanan. Tapi, masakannya enak. Porsinya banyak. Murah. Meriah. Dan, karena restoran ini cukup sepi, dia dan Arkana jadi bisa berlama-lama tanpa takut mengganggu pengunjung yang antre. Interiornya juga cantik. Lantainya dilapisi kayu, dinding sekat juga berbahan kayu, semua pernak-pernik terbuat dari kayu. Semuanya berbau ka
Arkana ingat, saat Svaha kembali dari kamar kecil. Menanyai hal tak penting yang dijawab dengan kata pendek yang juga tak penting. Arkana membasahi bibir bawahnya, Svaha memperhatikannya. Arkana merasa aneh, hasrat itu turun dari langit seperti plastik tipis yang lengket. Membungkus badannya dan tidak menyisakan ruang nafas sama sekali. Otaknya terasa kosong. Hanya satu kata yang berpendar di sana. Berteriak. Kesetanan. Kebingungan. Svaha, Svaha, Svaha dalam desah yang menggebu dan menyakitkan. Arkana takut meledak. Jadi ia berdiri. Svaha juga. Kebetulan. Dan rasa lapar; ayam bakar dan sate daging sapi telah mereka lupakan. Arkana mengikuti Svaha ke kamar itu. Nomor sepuluh. Tanggal lahir sahabatnya, dua hari sebelum miliknya sendiri. Pentingkah itu? Lalu Svaha menjatuhkan kunci, Arkana menertawai kecerobohan lelaki itu dalam hati. Lapisan itu menjerat Arkana lagi. “Cepatl
Ada atmosfer aneh yang menguap setiap kali lampu ungu dari dalam bar bocor keluar dan memulas permukaan kulit Svaha. Rasanya berkeringat dan segar sekaligus. Entah, mungkin saja Svaha ini lelaki yang terlalu pemalu. Mungkin agak tipis bedanya, antara bersemangat dan gejala panic attack. Svaha tidak suka kerumunan. Ia tidak suka kebisingan. Tapi kadang ada baiknya bermain-main di daerah penuh tantangan. Tidak ada yang tahu apa yang bisa terjadi. Semuanya di luar kontrol. Kebanyakan, kejutan. Seperti gadis itu. Dari dalam mobil, Svaha melihat sosok Arkana yang sudah berdiri—bersandar dengan santai di dekat pintu mobil ibunya. Di sebelah Arkana, seorang lelaki ikut nimbrung. Tangannya memegang botol bir yang sudah hangat, juga rokok putih yang tinggal setengah batang. Wajah lelaki yang familiar. Rambut putih, kumis tebal—juga putih. “Svaha, ada pak guru!” teriak Arkana yang terlalu bersemangat menunjuk-nunjuk (agak kurang sopan) ke arah lelaki di sebela
Arkana sengaja tidak langsung menghampiri Svaha, ketika ia melihat perempuan sialan itu—Gilang bicara dengannya. Perempuan itu mengulurkan dua botol bir dingin. Kemudian bicara dengan tubuh menjorok ke depan—meja bar menopang dua gundukan kenyal dan membuatnya seperti dua mata yang melotot genit. Gilang. Sebelas IPA satu. Dulunya juara kelas. Kini jadi bartender. Arkana tidak tahu apa yang ada dalam pikiran si bartender. Yang ia tahu, Gilang menggoda Svaha. Svaha-nya. Arkana merasa harus segera menyelamatkan sahabatnya. Svaha yang kikuk menjabat tangan Gilang. Arkana geram, karena ia pikir Svaha masih sakit hati dengan peristiwa dulu itu. Saat Gilang mempermalukannya di depan semua siswa angkatan mereka. Si sialan itu memberi harapan pada Svaha, ia juga yang meninggalkannya. Terpuruk. Arkanalah orang yang membuat Svaha sekolah kembali setelah seminggu mengurung diri dan menangis di dalam kamarnya. Tante Swan, tidak tahu apa-apa. Mereka mengobr
Manusia cuma membutuhkan dua kata untuk melegakan diri setiap pagi. Ketika ia bangun dari tidur, ketika ia terjaga dari mimpi buruk, atau mimpi yang indah sekalipun. Ia hanya membutuhkan dua kata untuk berani membuka mata, menjalani nasib di dunia nyata yang tak hanya sephia, puzzle bongkar pasang yang dirangkai dalam ingatan dan disiarkan kembali jadi angan-angan. Svaha hanya butuh dua kata, ini adalah harapan, untuk menyambut matahari pagi yang menyilaukan, atau musim hujan yang gigil dan menjemukan. Dua kata itu adalah ‘masih bernafas’. Hal yang paling adil dan dibagikan kepada semua mahluk hidup tanpa pengecualian—secara merata, di saat yang bersamaan oleh Sang Pencipta, semesta, atom anti materi dan materi, alien atau apa saja keyakinannya. Adalah bernafas. Lalu bagaimana tentang perempuan yang sedang tidur di sebelahnya? Sahabatnya, masa kecilnya, saudara sepenanggungannya, patner di kala perbuatan baik dan perbuatan jahat minta tempat di dalam takdirnya? Perem
Arkana sedang menyapa ibunya, ketika Svaha kembali dengan ponsel tergenggam erat di tangan kirinya. “Siapa menelepon pagi-pagi?” tanya Arkana. Hanya basa-basi sebenarnya. Ia tidak mengharapkan jawaban apapun, sungguh. “Eh, Uhm, itu…” Svaha terbata. Ia kembali ke kursinya dan menyaup sisa sarapannya. “Cantra,” jawabnya ditengah kunyahan. “Oh, kupikir kalian sedang istirahat.” Arkana berkomentar. “Siapa Cantra?” tanya tante Swan dengan rasa ingin tahu yang luar biasa tinggi. Separuh antusias. Arkana menopang dagunya dengan kepalan tangan di atas meja. Memperhatikan Svaha, ingin tahu apa jawaban selanjutnya. “Kami pacaran, tapi sekarang sedang, anu…” Svaha semakin gugup. Tidak satupun penghuni ruang dapur yang bisa melihat ke mana bola matanya yang lembut itu bergerak. “Mereka sedang istirahat.” Arkana membantu. “Putus?” “Bukan, istirahat.” Arkana menjelaskan, “Masih pacaran tapi sedang menjaga jarak. Agar tidak ad
Svaha tidak pernah menyukai troli belanja. Belum pernah. Tidak pernah seingatnya. Membayangkan bunyi reyot yang membuat telinga ngilu, keempat roda yang sudah usang karetnya, bentuk yang terlalu kecil dan pegas yang kalibrasinya kurang akurat—menggelinding di atas permukaan lantai supermarket yang dipel lalu diinjak selagi basah. Oleh siapapun-dari manapun. Membuatnya tidak berhenti memikirkan seorang anak kecil yang berjalan sendiri di tengah pasar malam. Plin plan. Apalagi keranjang besi besar yang ditumpangkan di atasnya, konon bisa mengangkat beban mungkin sampai lima puluh kilo atau lebih, sungguh mustahil. Svaha tidak menyukai konsep itu. Meski seringkali menyelamatkan, dulu sewaktu kecil Ibunya sering menumpangkannya di sekat kecil itu agar ia tidak merengek minta gendong. Atau supaya tidak harus menyeretnya dari rak penuh camilan. Swan akan mendorong Svaha berkeliling seolah anaknya itu sebungkus makanan siap saji. Mungkin Svaha pernah menyukai troli. Karena
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran
Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya
Svaha sudah terbiasa diejek karena tidak punya ayah. Di sekolah dasar, karena tak ada yang mengambil rapornya, atau hari ayah. Jika teman-temannya ingin tahu apa dia anak di luar pernikahan. Apa dia anak haram. Atau korban perceraian. Apa ayahnya sudah mati seperti ayahnya Arkana. Atau ayahnya berselingkuh seperti dalam telenovela. Biasanya Svaha tidak sempat menjawab, karena Arkana keburu menjitak kepala siapapun yang bicara soal ayahnya Svaha. Meski dalam hati lelaki itu terluka perasaannya. Svaha tidak benar-benar kenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya. Ekanta meninggalkan rumah juga sudah lama, sehingga Svaha tak lagi ingat makanan kesukaan ayahnya. Atau lagu apa yang selalu dinyanyikan Ekanta kalau Svaha tidur di malam hari. Satu-satunya yang Svaha ingat adalah hari di mana ayahnya pergi. Hari sabtu, hari pertama musim panas. Svaha sedang berjongkok di depan rumahnya sambil menghitung kelereng ketika Ekanta menghampirinya. Ayahnya berbau cat minyak, di kukunya ada
Café itu terlihat sama dengan pesaingnya dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, Arkana merasa disentil dengan pemandangan interiornya. Ruang satu dan lain dibatasi kusen tanpa daun pintu yang diwarnai merah. Lampunya berbentuk mangkok putih dengan pendar kuning, digantung dari langit-langit bermotif garis. Sebagian temboknya dihaluskan dan dicat putih sementara sebagian sisanya dibiarkan telanjang dengan motif bata. Untuk menghidupkan inovasi ini, mereka menaruh palem dalam pot di beberapa sisi. Segar sekali. Belum lagi meja dan kursi yang dikordinasikan sedemikian rupa. Meja persegi yang mempertahankan serat kayu, dipadu sofa tunggal berbahan bludru, warna putih tulang dan merah yang diletakkan acak. Di meja besar yang selalu ditempatkan di sudut, sebuah sofa dinding di warna hijau sage. Oh! Arkana merayakan ‘eyegasm’ dalam dadanya. Ia begitu bersemangat sehingga tak sengaja menyeret Banu untuk segera masuk ke sana. Gadis itu memilih duduk di pojokan. Di k