ZOLAUsapan lembutku di kepala Zach terhenti begitu saja ketika mendengar kata-katanya.Aku mengerti dan sangat paham kalau itu adalah acara makan malam keluarga, tapi masalahnya aku nggak mungkin terang-terangan mengatakan pada Zeline bahwa dia nggak boleh ikut. Apalagi Zeline juga menginap di sini. Dia pasti akan curiga jika aku tiba-tiba menyuruhnya menginap di rumah Mbak Zoi.Aku mulai merasa ada yang aneh dengan Maminya Zach a.k.a mertuaku. Memangnya kenapa kalau Zeline ikut? Apa menurut Mami Zeline bukan keluarga? Apa kehadiran Zeline akan mengacaukan acara tersebut?Kenapa Mami terkesan nggak menyukai Zeline? Aku masih ingat ucapan Mami yang mengatakan bahwa ibu-ibu suka yang seperti Zeline. Lantas kenapa sikap dan perkataannya seperti bertolak belakang?“La ….” Zach menggoyangkan tanganku, yang membuatku terbangun dari ketermanguan panjang.“Buat aku nggak masalah, tapi boleh aku tahu kenapa Zeline nggak boleh ikut?”“Bukan nggak boleh, La, tapi Zeline kan belum menikah, se
ZOLAAku menjitak kepala Zeline yang suka ngomong sembarangan.“Kalau mau ngomong tuh dipikirin dulu, jangan asal mangap.”“Aku serius lho, Mbak. Aku pengen tidur sama Pak Ariq aja.”“Kenapa sih kamu?” Lama-lama aku kesal juga sama Zeline yang suka bicara seenak perutnya. Dia persis seperti cewek gampangan yang suka mengobral tubuh.“Nggak kenapa-kenapa, lagi pengen aja. Dari pada nanti aku dan dia tidur berdua karena accident, lebih baik aku rencanain kan? Bukannya segala sesuatu yang direncanakan akan jauh lebih baik?” ucapnya sok bijak.“Kamu nggak usah aneh-aneh ya, Zel, Mbak nggak suka dengernya.”“Anehnya di mana coba? Lagian setelah aku pikirin lagi semua yang Mbak bilang tuh nggak salah. Pak Ariq tuh husband material banget. Sekarang tinggal aku yang harus pandai-pandai ngerayu dia. Iya nggak, Mbak?”Pagi ini Zeline membuatku geleng-geleng kepala. Mungkin otaknya geser.“Kita tuh perempuan, Zel. Dan sebagai perempuan kita harus pandai menjaga diri dan kehormatan. Jangan kamu y
Zola“Zeline over time, jadi nggak bisa ikut dinner sama kita, Mas.” Mas Jevin terdiam sesaat seakan sedang meresapi makna kata-kataku. Lalu setelahnya dia kembali bertanya, “Zeline nggak tahu malam ini kita bakal dinner bareng?”Duh, aku bingung harus menjawab apa. Aku khawatir jika jawabanku akan membuatku Hangout Bertigaterjebak. Jadi lebih baik aku katakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.“Nggak tahu, Mas.”Mas Jevin mengangguk singkat kemudian berlalu tanpa kata, padahal masih banyak yang ingin kubicarakan dengannya. Aku ingin mengonfirmasi mengenai pemandangan yang kulihat kemarin karena aku yakin sepenuhnya pada apa yang kusaksikan. Aku nggak jalan sambil tidur. Apa yang kulihat itu nyata.“Kenapa lama, La?” tanya Mami saat melihatku muncul.“Tadi ke kamar mandi dulu, Mi.” Aku beralasan sambil meletakkan chicken popcorn di meja dan menyalin beberapa ke piring Fai.“Mumpung udah ngumpul semua kita langsung makan aja yuk.” Papi yang sudah lapar tidak sabar untuk memulai ac
ZACH“Zach, lo yang nyetir, gue capek.”Javas memberi kunci mobilnya dan meminta padaku untuk menyetir, padahal aku lagi ingin nyantai. Sebagai adik yang baik aku menerimanya.Javas bermaksud duduk di belakang dan menyuruh Jevin mendampingiku di depan. Tapi Jevin lebih dulu membuka pintu belakang.“Lo aja yang di depan, Jav, biar gue di sini,” ujarnya.“Bisa kualat gue ntar. Lo aja deh yang di depan.”Jevin tertawa pelan. Tawa pertamanya yang kudengar hari ini.“Gue nggak apa-apa di sini. Lo temenin Zach di depan biar bisa direm dikit ngerokoknya.”Javas tertawa lalu mengolok-olokku. “Dia kan udah dari dulu hobi ngerokok atas bawah.”“Kayak lo aja yang nggak.”Kami berdua sama-sama tertawa. Tapi yang paling menggelegar adalah tawa Javas. Entah apa yang membuatnya jadi sebahagia itu. Saat melirik melalui spion tengah aku melihat Jevin hanya diam. Dia sama sekali tidak terpengaruh oleh gurauan kami. Aku menyalakan mesin mobil dan siap-siap untuk melaju. Refleksi Zola sedang menggendon
ZACHTentu saja aku dan Javas terkejut mendengar komentar Jevin mengenai Zeline. Bagaimana bisa Jevin yang baru pertama mengenal Zeline mengatakan dia gampangan? Iya, walau aku nggak suka melihat Ariq yang begitu mudah nempel dengan cewek-cewek, tapi bukan berarti Zeline gampangan kan?“Maksud lo apa, Jev? Kenapa lo bilang Zeline gampangan? Itu Ariq, bos-nya Zeline.” Aku merasa perlu untuk mengetahui alasan Jevin nge-jugde Zeline sebagai perempuan murahan. Aku membayangkan jika Zolalah yang berada di posisi tersebut—ngedance dengan atasannya, lalu orang-orang yang melihatnya akan menuding seperti Jevin tadi.Mendapat pertanyaan dariku, Jevin mengibaskan tangannya lalu menjawab, “Just kidding, just chill out.”“Nggak bisa gitu, Jev, gue pengen tahu kenapa lo nge-judge dia gampangan. Zeline itu adek ipar gue dan Javas. Dia cewek baik-baik. Kalo lo bilang tadi hanya becanda, becanda lo kelewatan. Bahkan lo baru pertama ketemu sama dia.”“Gue salah orang, gue pikir dia temen gue, soal
ZOLAZach bercerita banyak mengenai Zeline dan Mas Jevin saat ke Broken Wings, semuanya, tanpa ada yang terlewat, termasuk mengenai celetukan Mas Jevin yang kontroversial.Aku mulai menghubungkan cerita Zach dengan yang kusaksikan di pinggir kolam renang beberapa malam sebelumnya.Apa mungkin Zeline dan Mas Jevin sudah saling mengenal sebelumnya? Tapi mengapa Zeline menyangkal? Apa salahnya jika dia jujur?Aku ingin menyampaikan berbagai pikiran itu pada Zach, tapi pengumuman yang terdengar bahwa pesawat akan segera mendarat membuat niat itu urung terlaksana.Iya, saat ini kami sedang berada dalam penerbangan ke Semarang setelah sehari sebelumnya aku mengadakan perpisahan kecil-kecilan dengan teman-teman kantor.Mama dan Papa kaget saat membuka pintu dan melihat kami berenam—aku, Zach, Fai, Mbak Zoi, Mas Javas serta Bjorka tiba-tiba sudah berdiri di hadapan mereka.“Kenapa nggak bilang dulu kalau mau pulang?” Pertanyaan itu kudengar dari mulut Mama setelah bergantian memeluk kami.“Kan
ZELINEIni adalah malam pertama aku menginap di rumah orang lain tanpa ada keluarga. Maksudku, aku menginap di rumah mertua kakakku tapi dia tidak di sana.Kedua kakakku dan suaminya serta anak mereka berangkat ke Semarang tadi siang. Andai saja bisa aku juga ingin pulang. Tapi apalah daya, besok aku wajib ngantor.Tadinya aku ingin menginap di rumah Mbak Zoi, karena merasa sungkan pada Tante Rosella, Om Joe, dan … ehm … Jevin.Tapi Mas Javas ngotot agar aku di rumah orang tuanya saja selama dia dan yang lain berada di Semarang.Dulu saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah Tante Rosella aku merasa nyaman karena sambutannya yang hangat. Tante Rosella baik, ramah dan menyenangkan. Tapi segala kenyamanan itu perlahan memudar setelah kehadiran Jevin.Dan saat ini aku sedang berada di ruang makan berdua dengan Tante Rosella. Hanya ada kami karena Om Joe masih belum pulang. Dia lebih sering menghabiskan waktu di kantornya hingga larut malam seakan tempat itu jauh lebih nyaman dari rum
ZELINEDengan perlahan kubuka pintu kamar Jevin. Begitu daun pintu terkuak seketika aromaterapi yang bersumber dari diffuser menguar dan terhidup oleh hidungku.Langkahku tertahan. Di atas tempat tidurnya Jevin sedang duduk dengan punggung tersandar ke headboard, sedangkan wajahnya tersembunyi di balik majalah.“Ini makanannya. Diletakin di mana?” tanyaku pelan.Mendengar suaraku, Jevin refleks menurunkan majalah dari hadapannya, memperlihatkan wajahnya yang terkejut saat melihatku karena menyangka aku adalah ART.Selama seperkian detik dia menatapku tanpa mengatakan apapun. “Mau diletakin di mana?” Aku mengulangi pertanyaan yang belum terjawab.“Kenapa kamu yang mengantar?” Jevin menegakkan duduknya menatapku.“Tadi Bibi yang menyuruh,” jawabku apa adanya.“Taruh disitu.” Jevin menunjuk meja dengan mulutnya, dengan suara yang terdengar dingin.Aku menuruti instruksinya meletakkan nampan berisi piring dan gelas air putih untuknya di meja yang dimaksud.Merasa tugasku sudah selesai, a