ZOLA
Boleh nggak sih marah sama Ariq?Aku belum menjawab apa-apa tapi dia sudah memutuskan sendiri. Dia menganggap diamnya aku adalah sebagai pertanda bahwa aku memberi kesempatan padanya untuk mendekatiku.Tapi kejadian malam minggu tersebut tidak lagi penting karena kini sudah hari senin dan aku sudah berada di kantor.Pagi-pagi sekali aku sudah datang. Senin adalah hari tersibukku, termasuk hari ini. Ariq menyuruhku menyiapkan materi presentasi dan membalas beberapa email dari kolega.Saat aku sedang berkutat dengan laptop, Ariq tampak sedang memeriksa daftar rating program unggulan kami.“Pagi, Pak.” Mbak Nia masuk ke ruangan.“Pagi,” jawab Ariq datar.“Pak, saya mau membicarakan mengenai narasumber Gen Z.”Sontak telingaku menajam mendengarnya. Please, jangan sampai Zach menerimanya.“Ya, gimana?” Ariq menegakkan duduk lalu memusatkan perhatian sepenuhnya pada Mbak Nia.ZACHIt was amazing.Aku nggak nyangka ternyata syarat yang kuajukan dipenuhi oleh Fx Media. Padahal tadinya aku berpikir mereka akan menolak mentah-mentah. Permintaanku sangatlah sederhana. Aku nggak minta bayaranku ditambah, dijemput pakai Limosin ke bandara lalu disediakan karpet merah untuk menyambut kedatanganku. Aku hanya ingin Zola yang meng-interview. Aku mau menghabiskan satu malam untuk makan malam berdua dengannya. Nggak susah kan?Dan sekarang aku bisa tidur dengan tenang karena semua terpenuhi.Memeluk guling, aku memejamkan mata. Tapi aku nggak bisa langsung tidur. Pikiranku berkelana ke mana-mana. Aku memikirkan apa yang akan kulakukan jika sudah bertemu Zola nanti dan bagaimana reaksinya. Entah sambutan seperti apa yang akan kudapat. Apa sambutan yang baik atau mungkin reaksi denial?Rasa rinduku meluap sudah. Andai saja bisa kutambahkan, aku ingin Zola yang menjemputku ke bandara. Tapi pasti Fx Media akan mengan
ZOLASudah empat hari ini dimulai dari hari senin aku berlatih menjadi host. Gampang-gampang susah sih. Aku masih merasa grogi karena ini adalah pengalaman pertamaku tampil langsung di depan kamera. Selama ini aku hanyalah sosok di belakang layar. Pada hari pertama aku benar-benar nervous. Lidahku keseleo saat membaca materi. Gestur tubuhku kaku sejadinya. Tapi makin ke sini aku mulai terbiasa.“Lo santai aja, La, gue yakin Zach orangnya easy going, nggak usah terlalu dipikirin,” kata Mbak Nia memberi semangat.“Aku awalnya dulu gitu juga, La. Malah pernah sampai ngompol di celana.”Aku terbahak mendengar celetukan Gea, host andalan Fx Media, yang pada awalnya direncanakan untuk memandu program Gen Z bersama Zach.Practice makes perfect. Aku sudah jauh lebih baik dari hari Senin, Selasa, dan Rabu. Tinggal tiga hari lagi, maka aku akan bertemu dengan Zach. Bertatap muka dengannya dan bertukar pandang. Pasti aku tegang, tapi aku melarang keras diriku agar tidak terlihat grogi di depann
ZOLADekapan Ariq semakin erat di pinggangku. Tangannya itu kemudian menelusup pelan-pelan menuju punggungku.“Pak ...” Suaraku mencicit memberi peringatan. Ariq benar-benar memelukku saat ini. Tubuhku sepenuhnya berada di dalam dekapannya. “Saya serius Zola. Apa salahnya kita mencoba?” ucapnya dengan dagu bertumpu ke pundakku.“Lepasin saya, Pak. Bapak lagi mabuk makanya jadi bicara sembarangan.” Aku terus melakukan perlawanan agar Ariq membebaskan dari perangkapnya.“Saya nggak mabuk, Zola. Saya sadar apa yang saya ucapkan,” jawabnya membantah.“Kalau Bapak memang nggak lagi mabuk seharusnya Bapak nggak akan bicara seperti tadi. Ini artinya Bapak lagi mabuk.”“Sudahlah, Zola, jangan berkilah lagi. Kalau saya nggak gini kamu nggak pernah sadar kalau saya suka sama kamu.”Aku menelan saliva dalam-dalam saat Ariq mengecup pundakku bersama pengakuannya.“Pak, lepasin saya, Pak.” Aku mendorong dadanya, tapi kuncian Ariq di tubuhku terlalu kuat untuk kupatahkan.“Saya nggak akan melepask
ZOLAAriq memaksa untuk menyetir sendiri, tapi melihat keadaannya seperti sekarang yang katanya nggak mabuk, aku nggak mungkin tetap membiarkannya.“Saya bisa sendiri.” Dia menjauhkan kunci mobil dariku.“Bapak lagi mabuk, saya nggak mau mati sia-sia.” Aku merebut lagi kunci itu darinya.“Siapa bilang saya mabuk? Harus berapa kali saya katakan? Saya sadar betul dengan apa yang saya lakukan.” Meski Ariq sudah berkali-kali meyakinkanku, tapi aku tidak percaya begitu saja. Sama halnya dengan orang gila, mana ada orang gila yang mau mengaku. Pun dengan keadaan Ariq saat ini.“Bapak jangan bandel deh! Kalau selama ini saya yang dengerin Bapak, kali ini saya minta Bapak yang dengerin saya!” Aku berjingkat untuk menjangkau kunci mobil yang berada di tangan Ariq.Di luar prediksiku, Ariq menurunkan tangannya dengan tiba-tiba. Alhasil bibirku bertemu dengan pipinya. Aku menciumnya tidak sengaja.Tentu aku kaget, tapi Ariq malah senyum-senyum nggak jelas.“Ya udah, kalau memang kamu ngotot ka
ZACH“Makanya jangan ngerokok mulu. Disuruh makan nasi malah minum wiski. Kamu ini kapan sih mau berubah? Umurmu itu sekarang sudah dua puluh tujuh, Zach, bukan tujuh belas tahun lagi!”Omelan Mami terasa menusuk-nusuk di telingaku, padahal bukan itu yang aku butuhkan.Semalam, setelah menimbang-nimbangsegala baik dan buruknya, aku memutuskan untuk pergi dari apartemen Ariq dengan membawa rasa kecewa yang tidak akan cukup dijabarkan dengan kata-kata sepanjang apa pun.Lalu pagi ini kondisi fisikkku memburuk. Aku terbangun dengan kepala hampir pecah, badan panas dan muntah-muntah. Mami menginterogasiku tentang ke mana tujuanku dan apa yang kulakukan kemarin malam. Aku terpaksa mengaku. Namun tidak sepenuhnya. Aku hanya mengatakan pada Mami bahwa aku minum sedikit yang menuai omelan Mami.“Kapan kamu akan berubah, Zach? Anak-anak teman Mami di seumuran kamu bukan lagi mabuk nggak jelas. Mereka sudah menikah dan sibuk memikirkan masa depan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan anak dan
ZOLAMemandang ke sekeliling, aku nggak menemukan apa pun selain kesunyian. Hanya ada satu-satu kendaraan yang melintas, dan itu pun melaju dengan kencang.Aku nyaris putus asa ketika menelepon Mas Javas dan Mbak Zoi, tapi keduanya seakan kompak untuk tidak menjawab.Tenang, Zola, kamu masih punya Ariq.Aku hampir saja menelepon Ariq. Namun ingatan seketika memberi peringatan. Ariq sedang berada di rumah orang tuanya yang sedang sakit. Dan aku nggak mau merepotkannya. Akhirnya aku mengurungkan niat itu.Bermenit-menit aku bengong sambil jongkok di dekat ban mobil yang kempes tanpa tahu harus melakukan apa-apa. Rasanya pengen nangis, tapi air mataku nggak mau keluar. Air mataku sudah kering di Canary.Dari jauh aku melihat sebuah taksi melintas. Lampu jauhnya menyorot mukaku, membuatku silau. Aku sontak menutup wajah. Sialan, benar-benar nggak punya etika.Umpatanku terhenti. Taksi tersebut menepi di dekatku
ZOLAAriq terkaget-kaget atas keanehanku. Setelah tadi memanggilnya tidak biasa, sekarang datang-datang aku langsung menghambur ke pelukannya. Namun dia membalas pelukanku dengan sangat erat. Sialan, pasti dia memanfaatkan kesempatan. Kalau bukan karena terpaksa aku nggak rela memberikan pelukan eksklusifku padanya. Setelah kupastikan Zach menyaksikan adegan itu aku langsung menutup pintu. Lalu sesegera mungkin melepaskan diri dari Ariq. Sebut saja aku jahat, tapi semua yang kulakukan bukan tanpa maksud dan tujuan. Aku sengaja melakukannya agar Zach berhenti mengejarku. Agar dia menyadari bahwa di antara kami berdua tidak apa-apa lagi. All is over. Bukannya aku pendendam dan nggak punya kesalahan, tapi list dosa Zach sudah begitu penuh. Mulai dari Cassandra, lalu Venna. Zach nggak jujur soal Venna. Dan yang membuatku kian terluka adalah hubungan Zach dan Venna yang sangat jauh. Venna sampai menggugurkan anak mereka. Apa jadinya jika Zach tahu aku juga hamil akibat perbuatannya?
ZOLANggak tahu kenapa pagi ini Fai nggak seperti biasa.Sejak jam empat sebelum subuh tadi Fai bangun, terus nangis dan minta gendong.Fai nggak mau turun dari gendonganku walau aku sudah membujuk dengan segala cara. Mulai dengan memberi susu, biskuit bayi, sampai menyodorkan koleksi mainannya. Tapi semua itu sama sekali nggak mempan untuk membujuknya. Fai akan menangis sedikit saja kuturunkan dari gendongan.“Fai kenapa sih, Nak? Mama kan mau kerja.”Aku mulai bingung karena nggak biasanya Fai bertingkah aneh begini.Senin pagi ini seharusnya aku datang lebih awal. Aku akan menjadi host untuk acara Gen Z dan mewawancarai Zach. Aku nggak mau datang terlambat yang membuat Zach berasumsi macam-macam padaku. Dan tentunya juga akan membuat orang-orang kantor mengutukku.“Mbak Zoi, Fai tiba-tiba rewel, nggak tahu kenapa. Dari tadi minta gendong mulu nggal mau turun.” Aku mengadu pada kakakku setelah membawanya keluar dari kamar.Mbak Zoi memerhatikan Fai yang berada di dalam dekapanku.
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.