Everyone is a moon and has a dark side which he never shows to anybody.-Mark TwainZOLAKatanya, setiap orang bagaikan bulan. Mereka memiliki sisi gelap yang tidak pernah ditunjukkan pada orang lain.Apakah benda yang saat ini berada dalam genggamanku merupakan salah satu sisi gelap itu?Aku tahu persis apa yang saat ini kupegang. Tapi tetap saja mulutku melontarkan kalimat menanyakannya pada Zach yang saat ini sedang berdiri terpaku di depan pintu kamar mandi.“Zach, ini apa?” tanyaku sambil menunjukkan benda di tanganku.Zach tampak terkejut tapi hanya sesaat. Setelahnya dia tetap terlihat tenang dan melangkah mendekat padaku. “Kamu dapat dari mana?”Aku menunjuk backpack hitam milik Zach yang berada di nakas. Tadi karena ponsel Zach terus berbunyi aku membuka tasnya dan tanpa sengaja melihat pengaman laki-laki yang juga berada di sana.“Jadi kamu meriksa tas aku?” Zach terdengar tidak suka dari nada suaranya.Apa dia menganggapku lancang?“Nggak. Aku nggak meriksa tas kamu. Tapi
ZOLAZach sudah pergi sejak bermenit-menit yang lalu. Dan aku masih di sini, berdiri di dekat pintu seperti orang bingung. Zach seakan ikut membawa akal sehatku pergi.Apa tadi Zach baru saja memutuskanku?Menyakitkan sekali caranya. Setelah meniduriku lalu pergi begitu saja? Mencium keningku sambil mengucapkan kata-kata yang …Aku tidak tahu apa yang tadi merupakan kalimat perpisahan atau peringatan besar untukku.“Mbak Ola, kenapa malah bengong di sini?” Tiba-tiba Zeline muncul mengagetkan, menangkap basah saat aku masih berdiri bengong.Aku terkesiap, lalu menjawab pertanyaannya, “Ini mau nutup pintu.”“Memangnya siapa yang datang, Mbak? Ada tamu?”Aku terjebak oleh jawabanku sendiri karena kini Zeline tengah menatapku penuh selidik.“Nggak ada siapa-siapa, tadi Mbak cuma mau ngeliat ke luar.” Aku menjawab lalu mengalihkan obrolan agar dia tidak curiga. “Udah pulang jalan?”Tapi Zeline tidak menggubris pertanyaanku. Hidungnya mengendus-endus seperti anjing pelacak saat berbaring
ZOLAKakiku mundur selangkah kala melihat siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapanku setelah membukakan pintu untukku.Dia bukan Zach melainkan seorang cewek cantik berambut burgundy yang tingginya hampir sama dengan Zach.Dengan refleks mataku menatap ke arah pintu mencari tahu apa aku tidak salah kamar. Dan ternyata sesuai dengan nomor kamar yang seharusnya kutuju. Ini memang kamar yang dikatakan Tante Rosella. Ini kamar Zach seharusnya. Tapi kenapa malah perempuan ini yang muncul? Kenapa bukan Zach? Apa tadi Tante Rosella keliru dan mengatakan nomor kamar yang salah?Perempuan di hadapanku menatapku penuh tanda tanya. Tubuh menjulangnya membuatku merasa kerdil. Dadanya yang membusung membuatku merasa insecure dengan ukuran dadaku sendiri.“Room service?” tanyanya padaku.Aku menggeleng cepat sembari berpikir bagaimana bisa dia mengira aku adalah room service hotel ini. Aku juga tidak memakai seragam pekerja hotel.Aku baru akan menanyakan apa ini kamar kekasihku ketika suara s
ZOLATawa cekikikan Zeline sayup-sayup menyapa telingaku. Perlahan kelopak mataku pun terbuka. Ternyata aku tertidur entah berapa lama.Zeline yang sedang menelepon dengan seseorang yang tidak kutahu siapa adalah sosok pertama yang tertangkap oleh netraku.Perlahan ingatan tentang kejadian tadi siang mulai menggerogoti kepalaku dan membuatku ingin tidur selamanya.“Mbak Ola lama banget tidurnya,” kata Zeline setelah selesai menelepon.Aku menggeliat meregangkan otot-otot yang kaku. Biasanya setiap ada masalah pelampiasanku adalah dengan tidur yang lama karena saat bangun setelahnya pikiranku kembali jernih meski masalah tersebut tidak selesai. Namun, saat bangun kali ini pikiranku masih sekusut tadi alih-alih akan jernih.Tadi setelah bertengkar dengan Zach aku lari ke kamar lalu menangis diam-diam hingga akhirnya tertidur. Hanya Zach satu-satunya laki-laki yang mampu membuatku meneteskan air mata. Dulu mantan pacarku juga sering membuatku marah karena sikap posesifnya yang menyebalka
ZOLA Zach membalas tatapan intensku padanya tanpa sepatah kata pun yang mampu terucap dari bibirnya. Mungkin dia terlalu syok mendengar ajakanku untuk menikah. Usiaku baru dua puluh dua tahun. Pernikahan tidak pernah ada dalam rencanaku dalam waktu dekat ini. Namun, setelah segala yang terjadi yang mengguncang ketenangan hidupku, aku merasa kali ini akulah yang harus berjaga-jaga. Hidupku tidak akan aman berjauhan dengan Zach selagi di dekatnya ada perempuan lain yang mendampingi hampir dua puluh empat jam. “Zach …” Aku mengusap pipinya agar menjawab pertanyaan dariku. Zach terkesiap, lalu menurunkanku dari atas tubuhnya. Dia duduk, aku pun duduk di dekatnya. Zach menatapku lekat sambil berkata, “Zola, kamu tahu sendiri kan sebesar apa rasa sayang dan cintaku buat kamu?” Aku tidak menjawab. Di dalam hati aku mulai menerka ke mana arah pembicaraan Zach. Kekasihku itu kemudian melanjutkan perkataannya. “Kamu nggak usah meragukan perasaanku buat kamu, La. Sejak pertama bertemu da
#ZOLAAku menahan langkah di tempatku berdiri saat melihat ada Cassandra di tengah-tengah keluargaku dan keluarga Zach. Dia tampak sangat akrab dengan Tante Rosella seakan sudah saling kenal sejak lama.Apa Zach yang mengundang Cassandra ikut dinner dengan kami? Bukannya ini adalah acara keluarga? Sejak kapan Cassandra menjadi keluarga?Rasanya aku ingin kabur dari tempat ini dan kembali ke kamar. Namun, belum sempat niatku itu terlaksana, Mbak Zoia keburu memanggil dengan melambaikan tangannya padaku.Aku terpaksa mendekat dan bergabung dengan mereka.“Zach mana, La?” tanya Mbak Zoia setelah aku duduk di sebelahnya.“Lagi sama Mas Javas, Mbak. Tadi aku disuruh duluan ke sini,” jawabku memberitahu sesuai dengan yang dikatakan Mas Javas tadi.Mbak Zoia masih ingin mengobrol denganku ketika Bjorka merengek minta digendong.“Zola, udah kenalan sama Kessi? Dia temennya Zach.”Aku mengalihkan perhatian pada Tante Rosella yang mengajakku bicara. Di sebelahnya Cassandra melempar senyum padak
ZOLAAku berusaha kuat untuk tidak menangis di depan Zach walaupun saat ini hatiku sakit bukan main. Zach melukaiku lagi dengan cintanya.Zach benar. Untuk apa dipertahankan karena nyatanya aku memang sudah tidak bisa lagi meercayainya. Tidak hanya aku, tapi dia pasti juga akan tersiksa.“Oke,” jawabku tegas menyetujui keputusannya.Setelahnya pintu kututup dengan paksa. Aku tidak tahu lagi apa yang dilakukan Zach di luar sana. Mungkin dia langsung pergi dari kamarku. Bukankah dia memang ingin meninggalkanku?Aku tidak peduli.Langsung kubuka scarf sialan yang seakan ingin mencekik leherku. Dengan geram kupandangi tanda kehitaman di leher yang entah kapan akan mengilang. Bukan hanya ada di leher, tapi bekasnya ada di mana-mana, hampir di seluruh tubuhku. Kalau sebelumnya aku senyum-senyum sendiri memandanginya, maka kali ini aku merasa benci dan ingin marah melihatnya.Sambil membuka pakaian, kupandangi satu demi satu tanda hitam yang katanya tanda kepemilikan itu.“Tanda kepemilikan
ZOLAHari ini adalah hari terakhir pelayaran panjang kami. Aku dan keluargaku serta para penumpang kapal lainnya akan kembali ke Prancis. Dari sana kami terbang ke Indonesia.Begitu banyak hal-hal yang aku alami dan memberikan pengalaman tidak terlupakan. Namun, yang paling berkesan dari semua itu adalah tentang hubunganku dengan Zach.Kami tidak bertemu sejak semalam hingga akhirnya pagi ini berjumpa di meja makan.Dan yang membuat tensiku naik sepagi ini adalah karena Cassandra juga berada di tempat yang sama dengan kami. Lalu pikiranku yang negatif ini mulai bereaksi. Pasti Zach yang mengajaknya. Kalau kemarin Zach beralasan Tante Rosella yang mengajak, maka tidak ada kebetulan yang terjadi dua kali kan?“Mbak Ola, kenapa duduk di sini? Kenapa nggak di dekat Zach?” tanya Zeline ketika aku mengambil posisi di sebelahnya.“Kan udah ada orang di sana,” jawabku menekan nada suara agar terdengar sewajar mungkin. Aku nggak mau Zeline tahu mengenai hubunganku dengan Zach. Aku lebih suka
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.