ZACHDari dulu aku memang tidak dekat dengan Mami. Tidak pernah ada interaksi fisik yang berlebihan dengannya. Mami terbilang jarang memelukku. Bukan seperti Javas yang tiap bertemu mendapat dekapan. Tapi lihatlah yang terjadi sekarang. Kejanggalannya tidak hanya pada pelukan Mami, tapi juga pada kata-katanya.Nggak perlu dilarang pun aku nggak akan cari pengganti Zola. Tapi kenapa sepertinya Mami sangat peduli? Mami tidak pernah mau tahu siapa mantan-mantanku sebelumnya alih-alih akan berekspektasi lebih.Ya, aku tahu jawabannya. Mami bersikap begini pasti karena hubungan kekerabatan Zola dengan Zoia. Itu satu-satunya alasan paling masuk akal yang kutemukan.Mami merenggangkan pelukannya, dan di saat itulah aku melepaskan diri dari dekapannya.“Sampai kapan aku harus nunggu Zola, Mi? Sedangkan aku nggak tahu Zola ada di mana sekarang. Dia juga udah nggak mau lagi sama aku.”Mami tidak mampu menjawab pertanyaanku. Hanya tatapannya yang masih berlabuh di wajahku.“Apa Mami tahu alamat
ZACHSi Bibi ikut mengarahkan matanya searah tatapanku. Mulutnya setengah terbuka, tapi tidak sepatah kata pun terlontar dari sana.“Bi, itu kamar siapa?” Aku mengulangi pertanyaanku yang belum terjawab.“Oh yang itu ya, Mas Zach?”“Iya, Bi, yang itu.”“Itu kamar Bjorka, Mas.”Ternyata dugaanku tidak meleset. Hanya saja sedikit janggal, kenapa kamar Bjorka berada di belakang? Menurutku kamar tersebut lebih cocok disebut sebagai kamar pembantu sebagaimana umumnya. “Tapi kenapa letaknya di belakang, Bi?” Aku menyuarakan keherananku.“Hmm …” Bibi menggaruk-garuk kepalanya. “Kamar Bjorka ada dua, Mas. Yang ini hanya cadangan. Tapi yang sering dipakai yang di depan, yang di sebelah kamar Mas Javas.” Bibi tersenyum menerangkan padaku.Aku memandang ke arah kamar tersebut begitu lama sedangkan Bibi masih berdiri di dekatku sampai akhirnya terdengar suara seperti gelegar petir.“Zach! Lo ngapain ke sini?”Pandanganku beralih pada Javas yang baru saja muncul disusul Zoia di belakangnya sambil
ZACHAku tidak bisa mencegah ketika Khanza keluar dari mobil. Mau dipanggil juga percuma. Akhirnya aku pergi meninggalkan kantor Zoia dan kembali ke rumah. Mami keheranan karena aku pergi hanya sebentar. Setahunya mana pernah ada kata sebentar kalau aku sudah main ke luar.“Kenapa udah pulang aja? Nggak jadi jalan?” tanyanya setelah aku keluar dari mobil.“Udah, Mi,” jawabku lesu lalu langsung masuk ke dalam rumah.Mami mengikutiku sampai ke kamar termasuk duduk di ranjang saat aku menghempaskan tubuh di sana.Aku berbaring membelakangi Mami sambil memeluk guling dan memejamkan mata.“Zach …” Mami mengusap punggungku lembut.Aku tidak menyahut dan mengatupkan mata lebih rapat.“Tadi itu kamu jalannya ke mana kalau Mami boleh tahu?” Mami masih bertanya meski tidak kuladeni.“Tolong tinggalin aku sendiri, Mi,” pintaku bukan bermaksud tidak sopan.“Kamu masih mencari Zola?”Pertanyaan Mami berikutnya membuat mataku terbuka tapi tubuhku tetap membelakangi Mami.“Tadinya iya, aku udah
ZACHIni adalah hari minggu, dan aku yakin Javas ada di rumah. Sebenarnya aku nggak punya kewajiban buat berpamitan pada Javas. Dia juga nggak akan peduli. Namun, entah mengapa aku ingin sekali pergi ke sana. Setidaknya aku bisa menggendong ponakanku yang lucu dan mencium pipi chubby-nya untuk terakhir kali.Aku nggak begitu suka dan hampir tidak pernah berinteraksi dengan anak-anak. Tapi Bjorka berbeda, terlepas dari dia adalah anak kakakku.Supir taksi berhenti tepat di depan rumah Javas. Seperti dugaanku Javas ada di rumah. Itu terlihat dari mobilnya yang parkir tepat di halaman.“Ra, kami tunggu di sini ya, aku mau pamitan sebentar,” kataku pada Cassandra. Terlalu beresiko jika dia juga ikut turun. Javas yang memang sudah sentimen akan semakin meradang jika melihatku bersama perempuan lain.“Oke.” Cassandra menyahut singkat. Syukurlah dia tidak meminta turun dan ikut berpamitan dengan Javas.Ada perasaan sedih yang diam-diam merayap saat aku menginjakkan kaki di rumah kakakku itu.
ZOLAMas Javas merealisasikan kata-katanya. Malamnya setelah pulang kerja Mas Javas memanggilku lalu memberikan selembar kertas padaku.“La, rekrutmennya masih buka. Besok hari terakhir. Semua persyaratan, T&C ada di sana.”Aku menerima kertas tersebut dari Mas Javas lalu membacanya sendiri. Thanks god. Semua kriteria yang dibutuhkan ada padaku. “Makasih banyak, Mas,” ucapku senang lalu kembali ke kamar.Mumpung Fai sedang tidur aku menyiapkan segala sesuatunya. Setelahnya aku menyiapkan pakaian yang akan dipakai besok untuk walk in interview. Jika perusahaan mengadakan walk in interview artinya mereka sedang butuh cepat. Aku harap aku adalah salah satu dari sekian kandidat yang beruntung.***Hari ini untuk pertama kalinya aku harus meninggalkan Fai. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Sedih iya, galau iya, dan masih banyak lagi kegalauan jenis lainnya. Tapi aku tahu, aku harus mengalahkan perasaan itu.Mbak Zoi masuk ke kamarku saat aku sedang bersiap-siap. Aku memandangnya melalui
ZACH“Belum ada, Mami nggak dengar kabar apa-apa tentang dia. Udahlah, kamu yang fokus kerja di sana.”Aku mendesah pelan ketika menelepon Mami dan mendapatkan jawaban yang sama waktu menanyakan Zola.“Mi, apa Mami nggak mau nolongin aku?”“Nolongin apa lagi sih, Zach? Kalau Mami bisa apapun akan Mami lakukan buat kamu.”“Coba Mami bujuk orang tua Zola, Mi, biar mereka mau ngasih tahu alamat Zola. Kalau Mami yang ngomong dan minta sama mereka aku yakin pasti dikabulin.” Aku mulai mendoktrin Mami dengan harapan Mami mau melakukannya. Bukankah baru saja Mami mengatakan akan melakukan apa pun untukku selagi dirinya bisa?Mami tidak seketika memberi jawaban. Tapi aku bisa mendengar embusan nafasnya. Ya, aku jadi tahu pasti Mami akan menolak. Tapi aku bisa apa?Setelah tiga bulan di sini aku masih belum bisa berhenti memikirkan Zola. Dan hari ini adalah puncaknya. Rasa rindu pada Zola sudah sampai di titik didih. Da
“Seriously? Cuma segitu doang?”“Iya, Mbak, Cuma segitu doang.”Mbak Zoi terheran-heran waktu kuceritakan mengenai proses interview tadi siang yang sangat-sangat simpel dan to the point. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan jebakan seputar etos kerja atau uji nyata bahwa aku memiliki kompetensi. Aku tercengang saat Ariq mengatakan bahwa dia menerimaku di perusahaannya. Tidak ada negosiasi gaji yang alot atau sejenisnya. Malah dia sendiri yang bertanya aku mau digaji berapa.Diajukan pertanyaan seperti itu tentu saja aku bingung. Sejujurnya motifku memutuskan untuk bekerja adalah money oriented.“Zola, kamu mau gaji berapa dan fasilitas apa saja?” Suara ngebas Ariq masih terngiang di telingaku.Mengingat waktu kerjaku yang katanya sampai malam, aku pun menyebutkan sejumlah nominal yang worth it menurutku. Siapa sangka Ariq langsung mengiakan. Aku juga menyebutkan beberapa fasilitas lain yang kuinginkan seperti asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, serta annual leave yang jangka wa
ZOLAAku merasa dijebak. Tante Rosella tidak pernah memberi tahu sebelumnya akan menghubungi Zach. Tau-tau sudah langsung bergerak. Ingin menghentikan tapi sudah sangat terlambat. Zach bisa melihatku atau minimal mendengar suaraku jika aku protes. Dan tentu saja hal itulah yang sangat ingin aku hindari. Jadi pilihan terbaik yang bisa aku lakukan adalah mengunci mulut rapat-rapat serta menjaga jarak.Di layar ponsel Tante Rosella aku bisa melihat penampakan Zach saat ini. Zach sedang berbaring di tempat tidur dengan bertelanjang dada. Alih-alih akan terlihat jelek, perpaduan curly hair dan bare face-nya membuat Zach semakin cute. Rasa itu datang lagi. Rasa rindu yang hadir diam-diam tanpa kuinginkan. Semestinya perasaan itu tidak boleh ada. Aku tidak boleh menyimpan perasaan sekecil apapun pada Zach.“Mi, anak siapa sih itu? Kok bisa ada di kamar aku?” Zach mengulang pertanyaannya yang belum dijawab Tante Rosella.Aku melempar pandang pada Tante Rosella dengan sorot penuh peringatan. K
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.