ZACH
“Belum ada, Mami nggak dengar kabar apa-apa tentang dia. Udahlah, kamu yang fokus kerja di sana.”Aku mendesah pelan ketika menelepon Mami dan mendapatkan jawaban yang sama waktu menanyakan Zola.“Mi, apa Mami nggak mau nolongin aku?”“Nolongin apa lagi sih, Zach? Kalau Mami bisa apapun akan Mami lakukan buat kamu.”“Coba Mami bujuk orang tua Zola, Mi, biar mereka mau ngasih tahu alamat Zola. Kalau Mami yang ngomong dan minta sama mereka aku yakin pasti dikabulin.” Aku mulai mendoktrin Mami dengan harapan Mami mau melakukannya. Bukankah baru saja Mami mengatakan akan melakukan apa pun untukku selagi dirinya bisa?Mami tidak seketika memberi jawaban. Tapi aku bisa mendengar embusan nafasnya. Ya, aku jadi tahu pasti Mami akan menolak. Tapi aku bisa apa?Setelah tiga bulan di sini aku masih belum bisa berhenti memikirkan Zola. Dan hari ini adalah puncaknya. Rasa rindu pada Zola sudah sampai di titik didih. Da“Seriously? Cuma segitu doang?”“Iya, Mbak, Cuma segitu doang.”Mbak Zoi terheran-heran waktu kuceritakan mengenai proses interview tadi siang yang sangat-sangat simpel dan to the point. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan jebakan seputar etos kerja atau uji nyata bahwa aku memiliki kompetensi. Aku tercengang saat Ariq mengatakan bahwa dia menerimaku di perusahaannya. Tidak ada negosiasi gaji yang alot atau sejenisnya. Malah dia sendiri yang bertanya aku mau digaji berapa.Diajukan pertanyaan seperti itu tentu saja aku bingung. Sejujurnya motifku memutuskan untuk bekerja adalah money oriented.“Zola, kamu mau gaji berapa dan fasilitas apa saja?” Suara ngebas Ariq masih terngiang di telingaku.Mengingat waktu kerjaku yang katanya sampai malam, aku pun menyebutkan sejumlah nominal yang worth it menurutku. Siapa sangka Ariq langsung mengiakan. Aku juga menyebutkan beberapa fasilitas lain yang kuinginkan seperti asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, serta annual leave yang jangka wa
ZOLAAku merasa dijebak. Tante Rosella tidak pernah memberi tahu sebelumnya akan menghubungi Zach. Tau-tau sudah langsung bergerak. Ingin menghentikan tapi sudah sangat terlambat. Zach bisa melihatku atau minimal mendengar suaraku jika aku protes. Dan tentu saja hal itulah yang sangat ingin aku hindari. Jadi pilihan terbaik yang bisa aku lakukan adalah mengunci mulut rapat-rapat serta menjaga jarak.Di layar ponsel Tante Rosella aku bisa melihat penampakan Zach saat ini. Zach sedang berbaring di tempat tidur dengan bertelanjang dada. Alih-alih akan terlihat jelek, perpaduan curly hair dan bare face-nya membuat Zach semakin cute. Rasa itu datang lagi. Rasa rindu yang hadir diam-diam tanpa kuinginkan. Semestinya perasaan itu tidak boleh ada. Aku tidak boleh menyimpan perasaan sekecil apapun pada Zach.“Mi, anak siapa sih itu? Kok bisa ada di kamar aku?” Zach mengulang pertanyaannya yang belum dijawab Tante Rosella.Aku melempar pandang pada Tante Rosella dengan sorot penuh peringatan. K
ZOLADua minggu sudah aku bekerja. Pelan tapi pasti aku mulai menyesuaikan diri dengan aktivitas baruku. Hingga sejauh ini aku masih pulang sore. Ariq belum menyuruhku bekerja sampai malam.Sebagai seorang personal assistant, tugasku adalah mengurus segala keperluan Ariq. Mulai dari menyiapkan dan mengingatkan jadwalnya, membuat janji temu, membalas surel, menyediakan minumannya, memesan makanannya hingga yang tidak aku sangka, tadi Ariq menyuruh mengambil pakaiannya ke laundry. Aku pikir pekerjaanku hanya menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan kantoran, bukan mengurus keperluan pribadinya juga.“Sit, PA Pak Ariq sebelum aku siapa?” tanyaku pada Sita, karyawan lain yang paling dekat denganku. Aku merasa penasaran siapa yang sebelumnya berada di posisiku.“Namanya Anggi, tapi dia udah resign dua minggu yang lalu, kenapa, La?”“Cuma mau tau aja. Dia resign-nya kenapa ya?” Rasa ingin tahuku berkembang semakin besar. Apa ada yang salah? Apa mungkin dia melakukan kesalahan
ZOLA“Kayaknya aku bakal pulang agak malam deh, Mbak.” Aku langsung mengabari Mbak Zoi setelah mendapat instruksi dari Ariq untuk menemaninya malam ini.“Malamnya jam berapa, Dek?”“Aku nggak bisa pastiin sih sampe jam berapa. Bosku cuma minta ditemenin ke acara nanti malam.”“Ya udah, kamu hati-hati ya.”“Fai lagi ngapain, Mbak?”“Baru habis minum susu.”“Tapi dia nggak rewel kan?” “Nggak kok, kamu fokus kerja aja. Dia aman di rumah.”Lega sekali mendengarnya. Justru aku yang sering galau tidak menentu memikirkan keadaan Fai selama kutinggal kerja. Dulu, di hari-hari pertama kerja, minimal satu kali dalam tiga jam aku pasti menelepon ke rumah menanyakannya. Di tengah-tengah bekerja aku juga sering merasa nyeri lantaran dadaku bengkak. ASI-ku terus merembes keluar tanpa bisa dihentikan. Sampai-sampai aku harus membawa baju ganti. Syukurlah tidak ada yang curiga.***“Kita pakai mobil saya saja, Zola.” Ariq menghentikan pergerakanku yang akan membuka pintu mobil ketika sore itu kami
ZOLATidak tahu berapa lama mataku tertuju pada Tante Rosella dan tiga lainnya sampai suara Ariq menyentak kesadaranku.“La, kita ke sana yuk.”Aku menoleh lalu mengiakan ajakannya.Ariq membawa ke tempat lain setelah berpamitan dengan teman-temannya.Meski tidak lagi bersitatap dengan Tante Rosella dan tiga yang lainnya, tapi aku yakin jika saat ini mereka tengah mengawasi pergerakanku.Apa ada yang aneh jika aku jalan bareng laki-laki?Aku perempuan bebas, tidak menikah dan tidak terikat dengan laki-laki manapun. Tapi reaksi yang kuterima seolah aku sedang melakukan kesalahan besar. Apalagi tatapan tajam Tante Rosella membuatku resah. Seakan aku sedang mengkhianati anaknya. Iya kalau aku istri anaknya. Nah ini, aku kan bukan siapa-siapanya.“La, kita kasih selamat dulu sama Pak Budi baru duduk.”“Baik, Pak,” jawabku setuju lalu menurut ke mana pun Ariq membawaku.Pelan tapi pasti aku mulai mengenal karakter atasanku ini. Tidak hanya tampan dan mapan, tapi dia juga supel. Pergaula
ZOLA“Biar saya saja yang menyetir, Pak,” kataku saat Ariq mengambil kunci mobil dari dalam saku lalu siap-siap memasukinya. Aku nggak mau ambil risiko mati muda dengan membiarkan orang separuh mabuk menyetiriku.“Kamu bisa menyetir memangnya?”Heh? Dia malah bertanya. Apa Ariq lupa kalau tiap hari bolak-balik kantor aku selalu menyetir sendiri?Namun kemudian saat ingat kondisinya saat ini, aku pun menjawab, “Bisa, Pak.”Ariq memberikan kunci mobilnya padaku. Aku membantunya masuk ke mobil lalu memasangkan seat belt ke tubuhnya.“Wangi banget kamu, Zola.” Ariq mengomentari aroma tubuhku saat jarakku dengannya hanya berada dalam hitungan senti.Aku tidak menghiraukan kata-katanya. Setelah memasangkan sabuk pengaman langsung menuju tempat dudukku di belakang kemudi.Ada gunanya juga tadi Ariq membawaku ke apartmennya, jadi aku tahu dia tinggal di mana. Kalau tidak mungkin saat ini aku sudah kebingungan sendiri harus mengantar orang mabuk ini pulang ke mana.Sepanjang perjalanan Ariq me
ZOLAAku mencoba keras mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin malam sampai akhirnya berujung di ranjang atasanku sendiri. Jangan katakan telah terjadi sesuatu yang buruk yang membuatku malu dan menyesal seumur hidup.Aku ingat kemarin Ariq mabuk dan setengah sadar. Apa setelahnya aku juga ikut mabuk? Lalu setelahnya kami ...Di ujung kekhawatiranku, aku menyingkap selimut yang menutupi tubuh untuk melihat keadaanku.Thanks God, aku masih berpakaian lengkap. Gaun pemberian Ariq masih melekat sempurna di sana.Tatapanku lantas pindah ke sisi kanan. Permukaan ranjang di sebelahku kosong melompong. Tidak ada Ariq di sana, pun di bagian lain kamar ini.Turun dari tempat tidur, aku menyambar tas lalu mengambil ponsel dari dalamnya. Banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Mbak Zoi dan Mas Javas. Keduanya pasti cemas setengah mati memikirkanku.Aku langsung men-dial nomor seluler Mbak Zoi yang langsung dijawab saat itu juga.“Kamu ke mana aja, La? Kenapa nggak pulang? Kenapa Mbak ne
ZOLAIni adalah bulan ketujuh aku bekerja di Fx Media. Sesuai dengan namanya perusahaan ini bergerak di bidang penyiaran. Fx terbilang baru. Jika diibaratkan pada manusia dia adalah seorang anak yang sedang belajar merangkak. Fx berdiri sekitar dua tahun yang lalu. Fyi, Fx bukanlah perusahaan keluarga.Di usia dua puluh sembilan tahun atau lebih tepatnya dua tahun yang lalu Ariq mendirikannya bermodal latar belakang pendidikan yang dimilikinya serta tekad yang bulat dan keyakinan bahwa usahanya ini akan berhasil. Itulah yang membuatku kagum pada Ariq. Dia seorang pekerja keras, bukan pewaris perusahaan keluarga yang tinggal menjalankan. Sikap optimisnya menularkan energi positif pada para pegawainya.Hari ini aku sedang menemani Ariq meeting. Kami semua membahas mengenai program Gen Z. Program Gen Z adalah sebuah acara yang mengulik profil anak muda berprestasi di rentang usia lima belas sampai tiga puluh tahun. Selain berada pada umur di atas, profil pengisi acara Gen Z biasanya ada
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.