ZELINESudah sejak tadi aku memandangi Jevin yang fokus menyetir. Berbagai pikiran berputar-putar di kepalaku yang semuanya bermuara pada satu nama. Jevin.Betulkah sampai saat ini Jevin masih mengalami amnesia?Benarkah hanya aku satu-satunya yang mengisi memorinya? Terlihat dari luar Jevin baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia mengalami sesuatu yang berat di dalam hidupnya. Jevin juga tidak terlihat mengalami depresi. Dia tampak normal dan sehat secara kejiwaan. Lalu aku teringat sesuatu. Yang namanya penyakit mental tidak bisa tertebak dari luar.“Jev ...” Aku memanggilnya pelan.“Ya?” Jevin menoleh padaku. Membagi atensinya sejenak dari jalan raya di hadapan kami.“Kamu ... baik-baik saja?” tanyaku hati-hati.“Dari konteks mana dulu?” Jawaban Jevin jauh di luar dugaanku. Tadinya aku pikir dia akan menjawab iya.“Dari konteks mana saja.”Jevin terdiam sesaat lantas memandang lurus pada jalanan di depannya. “Jadi kamu sudah tahu semuanya? Tentang—“ Jevin menjeda kata. D
ZELINEMama dan Papa ikut memandang pada mobil yang berlalu pergi. Kerutan dalam terlihat jelas di dahi mereka. Tapi kemudian perhatian keduanya teralihkan oleh celetukan Kaka yang polos seperti biasanya.“Oma, Opa, long tem no si Kaka linduuuu …”Mama langsung menyambut cucunya lalu memeluknya erat.“Oma sama Opa juga rindu sama Kaka. Udah lama banget Kaka nggak ke sini. Mama sama Papa mana? Kenapa nggak ikut?”“Papa sibuk, Mama kan ulus Bimbi, Oma.”Mama tersenyum sambil membelai kepala Bjorka, lalu anak itu pindah pada kakeknya.Setelah selesai giliran Bjorka giliran aku melepas rindu dengan Mama dan Papa.“Tadinya kalau kamu masih di Jakarta rencananya Mama sama Papa bakal nyusul kamu ke sana,” ucap Mama padaku. “Bener kan, Pa?” Mama melirik Papa meminta dukungan padanya.Papa mengangguk mengiakan lalu menatapku dengan sorot yang dalam ketika aku menunjukkan ijazah dan transkrip nilai sebagai bukti perjuanganku selama dua tahun ini.“Papa bangga sama kamu, Zel, kamu nggak pernah g
ZELINESedari kecil aku diajarkan untuk bersikap sopan kepada kedua orang tua dan mematuhi mereka apapun keadaannya. Aku tumbuh menjadi anak yang patuh dan hampir tidak pernah melawan mereka. Lalu ketika dihadapkan pada pilihan ini aku merasa bimbang.Papa adalah orang tua kandungku yang sangat aku hormati. Tidak terhitung lagi berapa banyak jasa dan pengorbanan Papa untukku. Sedangkan Jevin adalah cinta pertamaku. Jadi ketika dihadapkan pada pilihan untuk memilih salah satu di antara mereka tentu saja sulit buatku.“Jawab sekarang, Zel, tentukan pilihan kamu. Aku nggak meminta kamu untuk jadi anak yang durhaka pada orang tua. Tapi kalau bukan begini aku nggak punya cara lain. Kamu dengar sendiri mereka nggak menyetujui hubungan kita sekeras apapun kita berusaha meyakinkan,” kata Jevin mendesakku.Aku melihat Mama mengaitkan tangan ke lengan Papa dengan ekspresi yang semakin tegang. Sedangkan Papa masih dengan sorotnya yang khas, tenang dan berwibawa.Ini bukan pilihan. Aku sama-sama
JEVIN“Kita ke mana, Jev?” tanya Zeline padaku begitu kami meninggalkan rumah.“Ke kantor KUA,” jawabku lugas.“Jev, jangan main-main!” tegur Zeline penuh peringatan.Aku nggak main-main. Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku akan menikahi Zeline secara resmi tapi tentu bukan sekarang. Masih ada syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti dokumen pengantar ini itu dan segala macam, yang tentunya akan membutuhkan waktu.“Zel, kita ke puncak sekarang,” cetusku impulsif.“Ngapain?” tanya Zeline tak mengerti.“Nikah.” Aku tahu tempat yang kusebut merupakan tempat yang awam untuk menikah secara agama. “Kita nikah secara agama dulu, Zel, nanti setelah syarat-syarat lengkap baru kita nikah secara resmi,” jelasku lebih lengkap.Zeline ternganga, terkejut tak percaya pada ide gilaku.“Are you insane?”Aku memang nekat, tapi inilah satu-satunya jalan yang harus kutempuh sebelum Mami atau Papi kepikiran untuk menyewa orang untuk mencari kami lalu memisahkan aku dan Zeline.“Kita nggak banyak wa
JEVINAku dan Zeline tiba di puncak menjelang malam. Kami langsung ke villa milik temanku.Tomi, temanku si pemilik villa hanya geleng-geleng kepala saat melihatku tiba.“Lo bener-bener ya, Jev. Mau nikah kayak orang lagi kebelet.”Aku hanya tertawa walau benar adanya. “Gimana? Udah lo atur semua? Gue bisa nikah sekarang kan?”Tomi terkekeh geli. “Buru-buru amat, baru juga nyampe. Lo nggak mau minum atau istirahat dulu?”“Minum dan istirahat bisa nanti-nanti, yang penting nikah dulu,” kataku tidak sabar yang membuat Tomi kembali tertawa.“Jadi itu calon lo?” bisiknya memaksudkan Zeline yang berdiri di belakangku.“Yup. Namanya Zeline.” Aku mengenalkan sambil menarik tangan Zeline agar berdiri di sebelahku.Tomi terdiam tak berkedip menatap Zeline hitungan detik lamanya. Anjir juga nih orang.“Woi, jangan kelamaan ngeliatnya. Calon bini gue nih.”Tomi tertawa, sedang Zeline tersenyum sambil mengangguk sopan.Nggak pake lama, aku dan Zeline lalu bersiap-siap.“Aku pake baju apa ya, Jev
ZELINEJevin merengkuhku lalu mempertemukan bibir kami. Tubuhku gemetar. Bertahun-tahun berlalu sejak dia menyentuhku, tapi efeknya masih sedahsyat itu. Saking dahsyatnya aku jadi tidak bisa membalas ciumannya. Aku hanya bisa terpaku merasakan lidahnya menelusupi rongga mulutku yang basah.“Kenapa nggak dibalas?” tanyanya melepas pagutan bibir kami karena aku diam saja.“Aku agak nervous, Jev,” kataku jujur. Dan dia pun terkekeh.Sekarang hal yang aku syukuri adalah karena aku tidak pernah mengizinkan Dimas mencium bibirku. No french kiss. Skinship di antara kami hanya sebatas kecupan di pipi atau sebuah pelukan ringan.“Jadi gimana caranya biar kamu nggak nervous?” tanya Jevin lagi.Aku menggaruk leher belakang, bingung. Sejujurnya efek Jevin pada diriku tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Berdekatan dengannya apalagi dengan kondisi seintim ini membuat dengkulku lemas.“Aku lupa nanya, aku belum tahu selain kuliah, selama di NY kegiatan kamu apa saja?” Jevin merengkuhku l
ZELINEIni adalah hari kedua aku menjadi istri Jevin. Kami masih berada di villa dan berencana kembali hari ini ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan Pak Ariq dan Mbak Niken. Padahal aku masih ingin lama-lama di sini menyegarkan otak yang masih kusut akibat kemelut dengan keluarga kami berdua. Aku belum tahu bagaimana ceritanya Pak Ariq berjodoh dengan Mbak Niken. Aku belum sempat menanyakannya pada Jevin. Kami terlalu asyik menikmati indahnya romansa pengantin baru.Pagi ini aku bangun lebih awal, sedangkan Jevin masih meringkuk di bawah selimut. Tadinya aku ingin membangunkannya. Tapi saat melihat gurat-gurat lelah di wajahnya aku jadi tidak tega. Dan aku tahu dia akan kecewa setelah mendengar kabar yang akan kusampaikan.Aku melihat Jevin sudah bangun saat aku keluar dari kamar mandi. Dia melempar senyumnya yang khas. Senyum yang selalu hadir di dalam mimpiku setiap kali aku merindukannya.“Kenapa mandi duluan? Kok nggak ngebangunin aku? Curang banget, pasti takut aku serang lag
ZELINEKami benar-benar pulang ke Jakarta hari ini dengan status baru sebagai suami istri. Ya, walaupun cara kami menikah tidak selayaknya namun tidak mengurangi kadar kebahagiaanku satu persen pun.Keadaan membuatku harus menyingkirkan jauh-jauh impian menikah dengan konsep beach party dengan sapuan ombak dan sunset sebagai background-nya.“Jev, nanti kalo udah nyampe kita bakal stay di mana?” tanyaku pada Jevin yang sedang menyetir di sebelahku sambil bersiul mengikuti Eminem di audio yang menyala.Jevin memandang ke arahku, siulannya terhenti. “Di hotel lah, mau di mana lagi?”Ya, satu-satunya pilihan yang memungkinkan bagi kami untuk berlabuh adalah hotel. Kami nggak mungkin kembali ke rumah Mbak Zoi atau rumah orang tuanya Jevin.“Kenapa memangnya? Kamu mau kita menginap di mana?” tanya Jevin balik setelah aku diam.“Terserah kamu. Aku cuma nanya. Kamu nggak berniat buat ngasih tahu tentang pernikahan kita sama Mami dan Papi?”“Mereka pasti sudah tahu dari Javas,” ucap Jevin yak