ZOLAMas Javas sangat marah saat mengetahui apa yang dilakukan Zach padaku. Dia menginterogasiku habis-habisan sampai-sampai aku khawatir mulutku akan mengeluarkan hal-hal yang tidak seharusnya dikatakan.“Nggak bisa begini, La, walau gimana-gimana dia harus tahu kelakuan bejatnya. Dia harus tanggung jawab. Jangan seenaknya tidurin anak orang terus main kabur!” Mata Mas Javas memerah membendung emosi. Belum pernah aku melihat kakak iparku semarah ini. Sebagai mantan kekasih Zach aku tidak ingin semua kesalahan dituduhkan padanya. Walau bagaimanapun aku turut berperan sampai hal itu terjadi. Zach tidak mungkin memaksa kalau aku tidak mau.“Mas Javas, Zach nggak sepenuhnya salah. Aku juga salah. Zach nggak memerkosa aku, Mas. Tapi aku dan Zach melakukannya karena sama-sama mau.”Mas Javas menatapku geram karena menganggapku masih membela Zach.“Udahlah, La, bajingan kayak dia jangan dikasih ampun. Kamu nggak usah takut, dia nggak akan berani macam-macam. Ada Mas yang ngelindungin kamu.
ZACH“Zach, ada telfon nih!” Aku mendengar seruan Cassandra memanggilku.“Siapa?” Aku menyahut seruan Cassandra dari belakang.“Mami!”Mami?Seingatku Mami belum pernah menghubungi dalam dua bulan terakhir. Aku terheran-heran mengetahui bahwa mamilah yang menelepon. Ada angin apa yang membuat Mami tiba-tiba menghubungiku?Aku meninggalkan coffee maker dan bergerak ke ruang depan menemui Cassandra yang memegang ponselku. Aku menerimanya ketika Cassandra memberikannya dan melihat sendiri nama Mami tertera di layar.Aku menjauh dari Cassandra lantas menerima telepon dari Mami.“Rahasia banget ya, sampai aku nggak boleh dengar?” Cassandra memprotes, tapi aku tidak menggubrisnya. Rasa penasaranku jauh lebih kuat.Me: Halo, Mi, tumben banget nelfon?Mami: Oh, kamu masih hidup? Mami kira kamu udah nggak ada.Aku tertawa pelan saat mendengar gurauan Mami.Me: Mami g
ZACHMalam ini sangat berbeda dari biasanya. Udara terasa panas meskipun pendingin ruangan sudah kusetel pada suhu paling rendah. Badanku lelah dan meminta agar segera diistirahatkan, tapi mata enggan terpejam.Demi mendatangkan kantuk aku mengambil ponsel dan berencana main sebentar. Sebuah pesan masuk dari Cassandra saat melihat aku online.Cassandra: Belum tidur, Zach?Aku terpaksa membalasnya karena dia sudah keburu tahu. Me: Lagi nggak bisa tidur.Cassandra: Kenapa? Lagi ada yang dipikirin?Me: Malam ini berasa gerah banget.Cassandra: Haha masa sih? Di kamarku nggak tuh.Me: Serius.Cassandra: Ke luar yuk!Me: Ke mana?Cassandra: Cari tempat yang adem.Me: Boleh deh.Aku memutuskan untuk keluar sebentar mencari udara segar. Siapa tahu setelah ini pikiranku bisa merasa sedikit tenang.Heh?Aku nggak lagi mikirin siapa-siapa. Pikiranku tenang-tenang saja. Aku hanya merasa sedikit gelisah karena udara di kamar yang gerah.Cassandra sudah berada di depan pintu kamarnya ketika aku
Hari-hariku sebagai seorang ibu baru pun dimulai. Tidak hanya sekadar baru, tapi juga masih muda dan mentah.Aku yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba memiliki seorang anak laki-laki.Tidak pernah ada dalam rencana hidupku untuk memiliki anak dalam usia sedini ini. Di saat yang sama teman-teman seumuran denganku sedang bersenang-senang menikmati masa muda mereka, sibuk berkarir dan mengejar begitu banyak impian.Sedangkan aku …Tatapanku jatuh pada bayi laki-laki yang sedang tidur di sebelahku. Dia baru saja selesai mandi dan tertidur setelah kususui.Tanpa terasa sudah satu minggu umurnya saat ini. Setelah dia lahir, Mama, Papa dan Zeline langsung ke sini. Mama mengajariku bagaimana caranya menjadi ibu baru. Mulai dari cara menyusui anak yang baik dan benar, memasangkan pakaiannya, mengganti diaper, hingga memandikannya.Dulu di awal dia lahir aku masih gugup saat menggendongnya. Aku takut dia jatuh dari tanganku. Aku juga belum bisa memandikannya. Sejak Mama kembali ke Semarang dua ha
ZACHSudah berjam-berjam berlalu sejak aku menelepon Tante Ruri. Dan aku masih di sini, duduk termangu sambil memegang handphone dengan pikiran melayang jauh ke Indonesia, pada Zola.Berita yang dikabarkan Tante Ruri tadi membuat seluruh tubuhku lemas. Zola sudah punya penggantiku. Dari cara Tante Ruri bicara aku bisa merasakan kalau dia marah padaku untuk hal yang tidak kuketahui dengan jelas apa penyebabnya. Mungkin saja Tante Ruri marah karena berpikir aku benar-benar memutuskan anaknya. Entah bagaimana cara Zola menceritakannya sampai Tante Ruri ikut tersulut emosi.Ah, Zola … harusnya kamu nggak usah kayak gini cerita semua pada orang tuamu.Itu dia yang kusebut Zola masih kekanakan. Dia belum dewasa secara pikiran.Aku harus pulang ke Indonesia untuk memastikan semuanya. Aku harus meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. Pada Zola, pada orang tuanya.Tanpa membuang waktu aku membuka aplikasi yang biasa kugunakan untuk penerbangan lalu mencari penerbangan tercepat yang tersedia ha
ZACHAku bertahan di tempat walaupun Javas sudah berkali-kali membentak, mengata-ngatai dengan kata-kata kasar demi mengusirku pergi. Aku nggak akan angkat kaki sebelum berhasil menemui Zola.“Apa lagi yang lo tunggu bangsat? Mau gue panggilin satpam komplek? Atau lo mau gue yang nyeret lo langsung?” “Izinin gue masuk sebentar dan ketemu sama Zola, gue janji nggak bakal lama. Lima menit aja please …” Aku memohon-mohon tanpa malu pada Javas seperti gembel yang mendatangi rumah penduduk agar diberi makan.“Lo budeg ya? Nggak dengar apa udah dari tadi gue bilang Zola nggak ada di sini?”“Jadi dia di mana kalo bukan di sini? Dia sendiri yang bilang ke gue bakalan kerja di kantor Zoia,” kataku tidak percaya. Jika dugaanku benar, aku yakin seratus persen Zola pasti tinggal di sini. Zola nggak mungkin ngekost atau tinggal di tempat lain. Zoia nggak akan kasih izin.“Makanya jadi orang jangan sotoy. Zola nggak kerja di kantor Zoia apalagi tinggal di sini.”“Jadi dia di mana, Jav? Di Semarang
ZACHBisa dikatakan aku hampir tidak pernah ke Semarang. Ya, pernah sih tapi itu saat aku kecil dulu. Jadi bisa dipastikan aku nyaris buta tentang apa pun yang berhubungan dengan kota itu. Dulu satu-satunya yang menarik di Jawa Tengah bagiku adalah Dieng dengan pemandangan milky way-nya. Aku pernah berjanji akan mengajak Zola ke sana suatu saat nanti. Tapi entah akan terwujud atau tidak karena nyatanya hampir dipastikan aku sudah kehilangan Zola.Dengan bermodalkan alamat orang tuanya yang pernah diberikan Zola, aku nekat terbang sendiri ke Semarang. Tanpa makan, tanpa istirahat.Selepas dari rumah Javas aku langsung ke bandara dan mendapat penerbangan siang ini. Aku tidak tahu apa sambutan Zola dan orang tuanya nanti jika melihatku muncul tiba-tiba. Yang penting aku datang dulu.Rumah Zola terletak tidak jauh dari Simpang Lima. Dan aku rasa supir taksi tidak akan kesulitan menemukannya.“Yang ini rumahnya, Mas.” Baru saja aku berpikir, supir yang membawaku berhenti tepat di depan
ZACHBadanku terasa mengawang-ngawang tidak menginjak tanah setelah keluar dari rumah orang tua Zola. Penolakan dan pengusiran secara halus oleh orang tua Zola sama sekali tidak membuatku tersinggung dan sakit hati. Yang kurasakan adalah perasaan sedih yang tidak terjabarkan dengan kata-kata. Hatiku patah sepatah-patahnya.Wow, baru kali ini ada perempuan yang mampu membuatku hancur. Zola namanya. Dia memang bukan yang pertama, tapi dia wanita pertama yang membuatku seluka ini.Cukup lama aku berdiri di depan pagar rumah orang tua Zola sambil berpikir apa yang akan aku lakukan berikutnya. Sempat melintas ide untuk mencari Zola ke Kaltara. Namun, setelah kupikir lagi menggunakan logika yang lebih jernih, hal tersebut adalah tindakan konyol yang mungkin akan sia-sia. Masalahnya, aku tidak punya pegangan apa-apa. Aku nggak punya alamat Zola yang akan kutuju. Itu sama saja halnya dengan orang buta yang mencoba berjalan tanpa tongkat.Pada akhi
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.