Bagai dikomando Zach dan Zola serempak mengunci mulut mereka saat mobil yang dikendarai Zach memasuki halaman rumah Javas.Mobil Javas tampak terparkir rapi di halaman rumah. Tidak jauh di sebelahnya ada city car Zoia yang bagasinya sedang terbuka. Bagasi tersebut dipenuhi oleh barang-barang.“Zach, lihat tuh mobilnya Mbak Zoi udah penuh. Mbak Zoi pasti mau kabur,” kata Zola cemas. "Please, kita harus cegah mereka bercerai.”Bukannya Zach tidak mau membantu. Tapi ia hanya tidak ingin ikut campur pada urusan Javas apalagi yang bersangkutan dengan Venna. Zach berani menjamin kakaknya itu pasti akan meradang. “Zach, ayolah, jangan cuma diam!” Zola mengguncang-guncang tangan Zach, mendesak lelaki itu.“Sorry, La, bukannya aku diam, tapi sebaiknya kita nggak usah ikut campur masalah mereka. Mas Javas dan Mbak Zoi pasti sudah tahu apa yang terbaik untuk mereka berdua. Lagian sekuat apapun keinginan kita untuk menyatukan mereka kalau
Zoia keluar dari ruang sidang setelah beberapa jam di dalamnya. Pada sidang pertama tadi hakim berusaha mendamaikannya dan Javas. Tapi keduanya tetap bersikukuh untuk berpisah. Javas menepati janjinya tidak akan mempersulit perpisahan mereka. Tadi saat hakim bertanya apakah perpisahan tersebut diinginkan oleh satu pihak saja, Javas menjawab bahwa itu adalah keinginan mereka berdua. Meski begitu mereka tetap harus menjalani sidang mediasi.Zoia berdiri di dekat mobil Zico menanti lelaki itu yang sedang berbicara dengan pengacara Javas. Zoia baru tahu jika ternyata Zico mengenal pengacara Javas.Tiba-tiba Javas melangkah mendekatinya. Wajah lelaki itu terlihat kuyu. Sejujurnya Zoia paling tidak tahan menyaksikan muka sendu Javas.“Zoiang, ada baju kamu yang ketinggalan di rumah. Mau aku antar ke kantor atau kamu jemput sendiri ke rumah?”“Baju yang mana?” tanya Zoia sembari mengingat-ingat. Sepanjang ingatannya Zoia sudah membawa seluruh pakaiannya dari rumah itu tanpa ada yang tersisa
“Zoi! Zoia!!!”Sayup-sayup suara itu membelai telinga Zoia yang memaksanya untuk membuka mata. Zoia tidak langsung bangkit dari tempat tidur. Matanya berotasi mengamati sekeliling sembari pikirannya mencoba mengingat. Ternyata setelah dari pengadilan tadi ia langsung tidur.“Zoia! Lo udah pulang kan, Zoi?” Suara tersebut yang merupakan suara Khanza kembali bergaung.“Sebentar!” Zoia menyahut sembari memandang ke arah pintu. Dengan perlahan Zoia bangkit dari tempat tidur kemudian berjalan perlahan untuk membuka pintu.“Hp lo mati? Tante Ruri nelfon gue dari tadi,” lapor Khanza ketika pintu terbuka.Zoia mengangguk perlahan. “Tadi gue tidur dan sengaja matiin hp,” ucapnya jujur.“Terus gimana hasil sidang? Tadi jadi kan ada putusannya?"“Udah,” jawab Zoia pelan.“Apanya yang udah?”“Udah ada putusannya. Gue sama Javas resmi bercerai,” jawab Zoia lirih.“Yeaayyy!!! Finally!” Khanza bersorak kegirangan. Khanza ikut senang mendengarnya karena ia tahu sendiri betapa tersiksa Zoia dengan per
Suara alarm mengejutkan Zoia. Ia tersentak dan buru-buru bangun. Zoia memang sengaja menyetelnya lebih awal untuk bangun pagi ini. Ada hal super penting yang harus Zoia lakukan.Zoia mengambil test pack yang dibelinya kemarin lalu buru-buru ke kamar mandi. Seharusnya Zoia bisa mengujinya kemarin. Tapi ia sengaja menunggu melakukannya pagi ini karena katanya jika dilakukan pada pagi hari maka hasilnya akan jauh lebih akurat.Dengan tangan gemetar Zoia memegang strip pendeteksi kehamilan yang dibelinya. Bersama dengan itu keringat dingin mulai menyembul di pelipisnya.Zoia memejamkan mata saat mencelupkan alat itu pada sloki berisi sampel urinnya. Zoia menahan napas dan berdoa di dalam hati. Semoga dip stick tidak berubah warna. Semoga tidak ada hormon HCG yang terdeteksi di sana.Zoia menunggu selama beberapa saat sebelum membuka mata.Dan begitu mata ia buka seketika badannya terasa lemas. Zoia merasa tidak lagi berpijak di bumi. Kakin
Sudah bisa ditebak bagaimana reaksi Javas dan Venna yang tidak menyangka akan kedatangan Zoia. Terutama Javas.Belum sempat Javas berkata apa-apa, Venna sudah lebih dulu berbicara.“Hai, Zoi, kebetulan banget kita ketemu di sini,” sapanya dengan senyum terbaik yang dimilikinya.Detik itu juga Zoia menyesali keputusannya untuk datang ke kantor Javas jika ternyata pemandangan seperti inilah yang harus diterimanya. Zoia tidak tahu untuk apa dan sudah berapa lama Venna berada di kantor Javas. Yang ia tahu adalah bahwa keputusannya untuk berpisah dengan Javas merupakan keputusan paling tepat. Zoia tidak akan pernah menyesalinya.Sungguh, entah kenapa Javas merasa kesialan selalu saja menimpanya. Javas tahu pasti Zoia akan menyalah artikan keberadaan Venna di kantornya. Terlebih karena perpisahan mereka dipicu oleh kesalahpahaman.Javas menarik langkah mendekati Zoia yang berdiri mematung.“Zoiang, ayo duduk dulu, aku nggak tahu kamu bakal ke sini,” kata Javas mencoba untuk bersikap biasa
Tanpa perlu dipanggil dua kali Venna muncul dari arah dalam. Begitu matanya bertemu dengan wajah Javas, senyum merekah sempurna dari bibir perempuan itu.Javas yang pada awalnya terkejut menyembunyikan perasaan itu dan bersikap sewajarnya menyikapi Venna yang tahu-tahu berada di rumah orang tuanya.“Ayo, Ven, duduk sini!” Rosella melambaikan tangannya agar Venna bergabung bersamanya dan Javas.Dengan senang hati Venna menarik langkah mendekat kemudian menempatkan diri dengan duduk di sofa panjang yang sama dengan Javas.“Udah lama, Ven?” tanya Javas sekadar berbasa-basi. Ia tidak tahu bagaimana kronologinya Venna bisa berada di rumah orang tuanya dan kenapa bisa kenal.“Paling udah satu jam-an.” Venna menjawab setelah memandang pada jam tangannya.“Jav, kamu tahu nggak, ternyata Mami kenal sama mamanya Venna,” beritahu Rosella memberi informasi.“Oh ya? Kok bisa, Mi?” tanggap Javas.“Kamu ingat waktu seminggu yang lalu Mami ikut reuni?”Javas memang sempat mendengar hal tersebut dari
“Hai, Co, sorry lama.” Zoia menebar senyum manis saat menemui Zico di ruang tamu.Sang pengacara melempar senyum padanya. “Nggak juga. Baru bangun tidur?” tanyanya menyaksikan bareface Zoia.“Bukan tidur sih, cuma rebahan.” Zoia menjawab sambil mengambil tempat, duduk di sebelah Zico di sofa panjang yang sama.Zico kemudian menatap Zoia begitu intens dan dalam, yang membuat Zoia sedikit merasa salah tingkah.“Kamu sehat, Zoi?”“Sehat, kenapa? Mukaku kayak orang lagi sakit ya?” tanya Zoia sambil menangkup pipinya.“Bukan kayak orang sakit, tapi aneh aja,” jawab Zico mengoreksi.Zoia jadi berpikir sendiri apa suasana hatinya begitu kentara hingga terefleksi ke dalam wajahnya?“Anehnya gimana, Co?” tanya Zoia ingin diperjelas.“Hm, gimana ya? Anehnya mungkin nggak seceria biasa. Tapi tetap cantik kok.” Zico tersenyum memuji Zoia yang membuat Zoia juga melengkungkan bibirnya.“Aku ke sini mau kasih ini.” Zico mengatakan maksud kedatangannya dengan mengambil map yang berada di atas meja l
Perpisahan tidak hanya bisa terjadi karena ada orang ketiga, tapi juga karena adanya perbedaan visi dan misi sebagai pasangan. Itu adalah hal yang Zoia simpan di benaknya setelah tadi Zico mengucapkannya. Dan hal itu membuat Zoia merenung panjang. Zoia terkesiap ketika tangan Zico melambai-lambai di depannya. “Ngelamun, Zoi?”“Ah, ehm, ng, Co …” Zoia tergagap, tersadar dari renungan yang sudah cukup lama.“Kita udah nyampe,” beritahu Zico sambil mengulas senyum.Zoia memandang ke sekelilingnya. Ternyata saat ini mereka sudah berada di kawasan parkir sebuah pusat perbelanjaan.“Rara mana, Co?” Zoia menanyakannya ketika menolehkan kepala ke belakang dan tidak mendapati gadis kecil itu di sana.“Tuh, udah turun.” Zico menjawab sambil mengarahkan telunjuknya ke luar. Tampak sang putri sedang meloncat-loncat riang di sana, menandakan betapa bahagianya dia saat itu.Zoia juga tersenyum melihat kelakuan Rara. Dunia anak-anak memang indah. Andai saja bisa ingin rasanya Zoia kembali ke masa
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.