Zola menyipit, menatap perempuan di hadapannya dengan lebih lekat. Ia sangat mengerti maksud perkataan Venna. Tapi ia tidak tahu kenapa Venna berkata begitu padanya.“Apa pun yang aku lakuin sama Zach itu bukan urusan Mbak Venna. Aku nggak perlu mengumbarnya pada siapa pun.”Venna mengembangkan senyumnya. Sampai saat ini perpisahannya dengan Zach yang terjadi tidak secara baik-baik membuatnya sakit hati. Venna tidak rela ada yang menggantikannya apalagi jika masih berasal dan berhubungan dengan Zoia.Venna memang mencintai Javas, tapi ia juga belum rela melepas Zach. Ia masih menyimpan rasa untuk laki-laki itu.“Ya, memang bukan urusan aku. Tapi, aku hanya ingin mengingatkan jangan sampai kamu menyesal,” ucap Venna lagi seakan jika Zola terus bersama Zach maka sesuatu yang buruk akan terjadi.“Kenapa aku harus menyesal?” Zola ingin tahu alasan di balik pernyataan Venna itu.Alih-alih akan menjawab, Venna malah tersenyum penuh misteri yang membuat Zola semakin penasaran. Venna bersikap
Zico berhasil membawa Khanza ke rumah Javas.Tadi saat di apartemen mereka bicara dari hati ke hati. Khanza mengungkapkan segala perasaannya bahwa hingga detik ini ia masih sangat mencintai Zach meski sudah mencoba memupusnya pelan-pelan. “Gue ngerti banget perasaan lo, Ca, emang nggak mudah ngelupain orang yang sangat kita cintai. Tapi sikap lo ini juga nggak bisa dibenerin. Zola nggak salah apa-apa. Lo nggak seharusnya menghindar atau ngejauhin dia. Justru kalo lo menganggap dia kayak musuh yang harus dijauhi semua bakal jadi lebih sulit. Percaya deh sama gue, semakin dihindari perasaan itu bakal bikin lo tambah tersiksa.”Seperti yang Zico lakukan selama ini, ia tidak berusaha menghindari atau menjauh dari Zoia walau sampai saat ini perasaannya pada Zoia tidak berubah. Zico menyayangi Zoia dan selalu ingin melindunginya. Namun rasa cintanya yang besar tidak membuatnya memaksakan diri agar Zoia juga membalas perasaannya. Definisi cinta yang sesungguhnya menurut pria itu adalah ia
“Zoiang, kalo kamu lagi hamil begini spooning-an enak kali ya?”Zoia langsung mendelik mendengar celetukan nakal Javas. Setelah membahas nama untuk anak mereka nanti dan bicara tentang masa depan, keduanya ngobrol ngalur ngidul yang tidak ada hubungannya.“Aku serius, kok malah ngeliat aku kayak lagi nyuri cemilan kamu?” ujar Javas saat Zoia melebarkan mata padanya.“Tapi yang ini lebih parah dari nyuri cemilan,” jawab Zoia galak. “Kamu tuh kapan sih bisa berhenti mikir gituan?”“Nggak bisa, Zoiang, otak aku udah terprogram buat ngebayangin yang indah-indah,” jawab Javas sambil tersenyum jahil yang berbuah cubitan di lengannya."Ih, indah-indah!" Kedua bola mata Zoia berotasi.Lelaki bernama Javas Mahanta itu tertawa kecil. “Makanya kita nikah aja yuk?”“Nggak bisa, Jav, kamu kan ngerti aku nggak bisa ngapa-ngapain. Ini aja udah syukur aku masih bisa jalan dan duduk di luar kayak gini.”“Ya maksudku nanti kalo anak kita udah lahir. Mau ya?” Javas terus membujuk sambil menggenggam tang
Malam semakin menua. Suara-suara tidak lagi terdengar. Seluruh penghuni rumah sudah lelap dalam tidurnya. Hanya Zoia satu-satunya makhluk bernyawa di rumah itu yang masih betah membuka mata. Bukan betah, tapi lebih tepatnya tidak bisa. Sedangkan di sebelahnya Zola sudah lelap sejak tadi.Zoia memiringkan badannya ke kiri. Mengacu pada saran dokter ia dianjurkan untuk lebih sering berbaring miring ke kiri. Maka Zoia pun melakukannya.Zoia mencoba untuk tidur dengan mengatupkan mata. Malam ini terasa berbeda dengan malam-malam lainnya. Perutnya begitu nyeri. Rasa pegal menggerayangi pinggang dan punggungnya. Baru beberapa detik matanya kembali terbuka saat merasakan sesuatu mengalir di area genitalnya. Zoia mengabaikannya. Ia sudah biasa melewati hari-hari dengan pendarahan. Hampir setiap hari ia memakai pembalut.Berusaha untuk melanjutkan niat untuk tidur, Zoia memejamkan mata. Dahinya berkerut dalam saat merasakan aliran di bagian kewanitaannya tidak berhenti mengalir. Ini adalah se
Satu hari pasca Melahirkan Zoia dan bayinya harus terpisah. Berbeda dengan para ibu lainnya yang langsung bisa mendekap, menciumi dan berbagi kasih sayang dengan sang buah hati.Dikarenakan Bjorka lahir prematur maka saat ini bayi mungil itu harus ditempatkan di dalam inkubator dan mendapat penanganan dan perhatian khusus. Sedangkan Zoia sendiri saat ini keadaannya sudah tergolong stabil. Beruntung Javas membawanya cepat ke dokter—mengingat kondisi kehamilannya yang tidak menguntungkan. Jika tidak bisa jadi ia akan mengalami pendarahan hebat.Satu per satu teman-teman Zoia serta rekan-rekan Javas berdatangan ke rumah sakit. Sedangkan orang tua Zoia serta Zeline—adik bungsunya tiba kemarin sore. Mereka semua berbahagia menyambut kelahiran generasi penerus Zoia dan Javas.Javas dengan setia mendampingi Zoia siang dan malam. Ia mengambil peran sebagai seorang suami yang sesungguhnya walaupun faktanya saat ini dirinya dan Zoia tidak lagi berstatus sebagai suami istri.Orang tua serta adi
Yoga atau yang biasa dipanggil Doyog oleh Javas dan teman-temannya menceritakan pada Javas bagaimana ia bisa berada di rumah sakit bersama Prilly. Tidak hanya itu saja. Ia juga menjelaskan awal mula bisa berhubungan dengan Prilly.“Jav, lo ingat nggak waktu dulu nelfon gue malam-malam?”Javas memutar memori usang di kepalanya, menggali lagi momen itu.“Ya,” jawabnya kemudian.“Terus lo nyuruh gue ke apartemen seseorang buat nidurin Prilly. Ingat?”Javas meringis, tapi tidak mengelak.Sedangkan Zoia langsung terperanjat dan melayangkan tatapan penuh protes pada Javas.Javas membalas dengan mengusap pundak Zoia sebagai isyarat agar tenang dulu dan mendengarkan cerita Yoga sampai selesai.“Kejadian itu berlanjut nggak hanya sekali dua kali. Awalnya cuma sebagai temen tidur. Tapi lama kelamaan jadi temen curhat. Prilly stres lo tinggalin, gue stres karena beban kerja. Curhat, curhat, curhat, akhirnya kami berdua ngerasa saling cocok satu sama lain dan mutusin buat pacaran. Terus nikah d
Tiga hari pasca lahiran hari ini Zoia sudah diizinkan pulang. Akan tetapi baby Bjorka diwajibkan kontrol sekali seminggu mengingat kondisinya yang berbeda dari bayi baru lahir kebanyakan.“Zoi, menurut Mama kamu nggak bisa lagi tinggal di rumah Javas. Masalahnya, kalian nggak ada ikatan apa-apa,” kata Ruri menasehati saat siang itu berkemas-kemas.“Jadi aku harus pulang ke mana, Ma?”“Ke apartemen. Walaupun Javas bilang nggak apa-apa kamu tetap di rumahnya, tapi kali ini Mama keberatan. Kemarin janjinya kamu tinggal di sana hanya sampai lahiran kan?”“Mama deh yang ngomong sama Javas,” jawab Zoia. Zoia yakin Javas akan memaksa untuk tinggal di rumahnya jika dirinya yang bicara dengan alasan Zoia akan kewalahan mengurus anak mereka sendiri.“Ya, nanti Mama yang ngomong,” jawab Ruri mengiakan.Tepat beberapa menit setelahnya Javas muncul. Lelaki itu baru saja dari kantornya. Beberapa hari ini lingkup pergerakan Javas tidak jauh-jauh dari kantor dan rumah sakit. Javas nyaris tidak pernah
Sudah seminggu berlalu semenjak Zoia pulang dari rumah sakit. Dan hari ini tepat sepuluh hari sejak baby Bjorka dilahirkan. Hampir setiap hari Javas datang berkunjung. Tidak cukup hanya satu kali sehari. Kadang di sela-sela jam makan siang Javas mencuri waktu untuk datang ke apartemen Zoia. Atau sebelum berangkat ke kantor Javas sengaja menyambangi apartemen Zoia hanya untuk bertemu dengan putra mereka.Selama seminggu ini pula Zoia masih didampingi mamanya. Rurilah yang mengurus sang cucu, mulai dari memandikan, memasangkan baju dan membersihkan kotorannya. Tidak hanya cucunya, ia juga membantu mengurus Zoia yang hingga saat ini masih paranoid untuk bergerak banyak. Zoia sedang memerhatikan Ruri saat mamanya itu memandikan baby Bjorka. Zola ikut mengamati.“Gimana, Zoi, kira-kira nanti udah bisa belum mandiin sendiri kalau misalnya Mama tinggal?”“Mudah-mudahan sih, Ma,” jawab Zoia. Ia tidak mungkin terus mengharapkan mamanya. Papanya dan Zeline sudah kembali ke Semarang sejak beber
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.