ZOLA“Mbak, kok diem aja sih?” Zeline menggoyangkan tanganku agar segera menjawab pertanyaannya.“Apa nggak sebaiknya di rumah Mbak Zoi aja dulu, Zel?” Aku menjawab setelah menimbang-nimbang.“Duh, Mbak, kan udah aku bilang aku digangguin Bjorka mulu. Mana nakalnya minta ampun.”“Namanya juga anak-anak, ya kamu ngertiin lah.”“Udah, Mbak, tapi dia tuh beda banget sama Fai. Aku udah kunci pintu kamar malah dia ngetok-ngetok mulu. Beneran deh aku nggak nyaman di sana.”Aku nggak tahu apa ini alasan Zeline saja. Masalahnya dulu saat aku masih tinggal sama Mbak Zoi, Bjorka nggak banyak tingkah. Apa mungkin karena usianya semakin bertambah? Atau karena Zeline dilihatnya berbeda dari yang lain makanya Bjorka jadi suka mengganggu?“Ya udah nggak apa-apa kalau kamu mau di rumah Mbak. Tapi ada Mas Jevin sih.”“Terus kenapa kalau ada dia?”“Ya nggak apa-apa sih sebenernya. Tapi kemarin-kemarin kamu kan tidur di kamar dia.”“Kamar di sana kan banyak. Ntar aku bisa tidur di kamar tamu.”“Tapi kam
ZOLAAku mengajak Zeline turun dari mobil setelah menasehatinya bermacam-macam. Aku harap Zeline memegang kata-katanya akan menjaga sikap dan tingkah laku di depan Mas Jevin.“Mamaaa!!!” Fai berteriak saat melihatku datang, kemudian bergerak-gerak gelisah dalam gendongan Mas Jevin.Fai mengayun langkah kecilnya mendekatiku setelah Mas Jevin menurunkannya.Aku menyambut Fai dengan pelukan. Lalu kukecup puncak kepalanya yang menguarkan aroma yang begitu wangi.Zeline juga mencuri kecupan di pipi Fai.“Sini yuk sama Aunty.”Aku memindahkan Fai dan membiarkan Zeline menggendongnya sendiri. Kami bersama-sama berjalan mendekati Mas Jevin. Aku bermaksud mengenalkan Zeline, tapi Mas Jevin sudah buru-buru pergi.“Kok dia kabur, Mbak?” tanya Zeline padaku.Aku mengangkat bahu. “Mbak juga nggak tahu.”Zeline mengendus-endus seperti anjing pelacak membaui mangsanya.“Mana parfumnya wangi pake banget,” ujarnya berkomentar. “Dia straight kan, Mbak?” Pertanyaannya mengejutkanku.“Kok nanyanya gitu
ZACHJevin menyetir pelan di sebelahku sedangkan aku duduk sambil merokok. Sudah sepertiga perjalanan tapi tak satu pun kata yang terlontar dari bibirnya.“Jev, lo nggak ngerokok?” Aku menyodorkan Parliament Night Blue-ku padanya.“Lo aja.” Jevin menolak.“Jadi ceritanya lo udah berhenti?” tanyaku sekalian meledeknya. Kenapa aku bilang meledek? Karena untuk berhenti merokok tidaklah segampang itu.“Sayang aja capek-capek nyari duit tapi ujung-ujungnya buat dibakar.”Tawaku lepas seketika mendengar jawaban Jevin. Sebagai seorang arkeolog bergaji hingga delapan ratus juta apalah artinya sebungkus Parliament yang harganya hanya 120k buat Jevin.Iya, Jevin memang seorang arkeolog. Di Indonesia pekerjaan tersebut kurang diminati, karena selain gajinya yang standar, biasanya seorang arkeolog akan dikirim ke tempat-tempat terpencil untuk menyelidiki sejarah di daerah tersebut. Tidak hanya satu atau dua bulan, biasanya arkeolog harus menetap tahunan di sebuah tempat hanya untuk menguak sejara
ZOLAKapan terakhir aku mendapat kejutan? Sepanjang ingatan di kepala, kejutan paling besar yang pernah kuterima bukanlah hadiah di saat ulang tahun, melainkan pada saat mengetahui aku hamil tanpa menikah.Lalu setelahnya hidupku benar-benar begitu penuh dengan kejutan. Tanpa harus diberi pun hidupku sudah cukup mengejutkan. Namun, kejutan yang satu ini begitu manis. Aku baru saja berniat untuk menelepon Zach. Tapi tiba-tiba dia muncul bagaikan sulap di hadapanku. Dia sampai seniat itu bersembunyi di dalam walk in closet—hal yang satu kali pun tidak pernah terpikirkan olehku.Now i know, selain mesyum dia juga sweet.Aku baru akan mengambil handuk ketika Zach lebih dulu membekap bibirku dengan ciumannya. Ini bukan ciuman nafsu, tapi ungkapan kerinduan yang begitu dalam.Aku mendorong dadanya pelan sebagai isyarat untuk memisahkan bibir kami.“Kenapa, Sayang?” tanyanya heran. Dia masih ingin menciumku.“Rasa rokok. Tadi berapa batang sih ngerokoknya?” keluhku sambil mengibas-ngibaska
ZOLAUsapan lembutku di kepala Zach terhenti begitu saja ketika mendengar kata-katanya.Aku mengerti dan sangat paham kalau itu adalah acara makan malam keluarga, tapi masalahnya aku nggak mungkin terang-terangan mengatakan pada Zeline bahwa dia nggak boleh ikut. Apalagi Zeline juga menginap di sini. Dia pasti akan curiga jika aku tiba-tiba menyuruhnya menginap di rumah Mbak Zoi.Aku mulai merasa ada yang aneh dengan Maminya Zach a.k.a mertuaku. Memangnya kenapa kalau Zeline ikut? Apa menurut Mami Zeline bukan keluarga? Apa kehadiran Zeline akan mengacaukan acara tersebut?Kenapa Mami terkesan nggak menyukai Zeline? Aku masih ingat ucapan Mami yang mengatakan bahwa ibu-ibu suka yang seperti Zeline. Lantas kenapa sikap dan perkataannya seperti bertolak belakang?“La ….” Zach menggoyangkan tanganku, yang membuatku terbangun dari ketermanguan panjang.“Buat aku nggak masalah, tapi boleh aku tahu kenapa Zeline nggak boleh ikut?”“Bukan nggak boleh, La, tapi Zeline kan belum menikah, se
ZOLAAku menjitak kepala Zeline yang suka ngomong sembarangan.“Kalau mau ngomong tuh dipikirin dulu, jangan asal mangap.”“Aku serius lho, Mbak. Aku pengen tidur sama Pak Ariq aja.”“Kenapa sih kamu?” Lama-lama aku kesal juga sama Zeline yang suka bicara seenak perutnya. Dia persis seperti cewek gampangan yang suka mengobral tubuh.“Nggak kenapa-kenapa, lagi pengen aja. Dari pada nanti aku dan dia tidur berdua karena accident, lebih baik aku rencanain kan? Bukannya segala sesuatu yang direncanakan akan jauh lebih baik?” ucapnya sok bijak.“Kamu nggak usah aneh-aneh ya, Zel, Mbak nggak suka dengernya.”“Anehnya di mana coba? Lagian setelah aku pikirin lagi semua yang Mbak bilang tuh nggak salah. Pak Ariq tuh husband material banget. Sekarang tinggal aku yang harus pandai-pandai ngerayu dia. Iya nggak, Mbak?”Pagi ini Zeline membuatku geleng-geleng kepala. Mungkin otaknya geser.“Kita tuh perempuan, Zel. Dan sebagai perempuan kita harus pandai menjaga diri dan kehormatan. Jangan kamu y
Zola“Zeline over time, jadi nggak bisa ikut dinner sama kita, Mas.” Mas Jevin terdiam sesaat seakan sedang meresapi makna kata-kataku. Lalu setelahnya dia kembali bertanya, “Zeline nggak tahu malam ini kita bakal dinner bareng?”Duh, aku bingung harus menjawab apa. Aku khawatir jika jawabanku akan membuatku Hangout Bertigaterjebak. Jadi lebih baik aku katakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.“Nggak tahu, Mas.”Mas Jevin mengangguk singkat kemudian berlalu tanpa kata, padahal masih banyak yang ingin kubicarakan dengannya. Aku ingin mengonfirmasi mengenai pemandangan yang kulihat kemarin karena aku yakin sepenuhnya pada apa yang kusaksikan. Aku nggak jalan sambil tidur. Apa yang kulihat itu nyata.“Kenapa lama, La?” tanya Mami saat melihatku muncul.“Tadi ke kamar mandi dulu, Mi.” Aku beralasan sambil meletakkan chicken popcorn di meja dan menyalin beberapa ke piring Fai.“Mumpung udah ngumpul semua kita langsung makan aja yuk.” Papi yang sudah lapar tidak sabar untuk memulai ac
ZACH“Zach, lo yang nyetir, gue capek.”Javas memberi kunci mobilnya dan meminta padaku untuk menyetir, padahal aku lagi ingin nyantai. Sebagai adik yang baik aku menerimanya.Javas bermaksud duduk di belakang dan menyuruh Jevin mendampingiku di depan. Tapi Jevin lebih dulu membuka pintu belakang.“Lo aja yang di depan, Jav, biar gue di sini,” ujarnya.“Bisa kualat gue ntar. Lo aja deh yang di depan.”Jevin tertawa pelan. Tawa pertamanya yang kudengar hari ini.“Gue nggak apa-apa di sini. Lo temenin Zach di depan biar bisa direm dikit ngerokoknya.”Javas tertawa lalu mengolok-olokku. “Dia kan udah dari dulu hobi ngerokok atas bawah.”“Kayak lo aja yang nggak.”Kami berdua sama-sama tertawa. Tapi yang paling menggelegar adalah tawa Javas. Entah apa yang membuatnya jadi sebahagia itu. Saat melirik melalui spion tengah aku melihat Jevin hanya diam. Dia sama sekali tidak terpengaruh oleh gurauan kami. Aku menyalakan mesin mobil dan siap-siap untuk melaju. Refleksi Zola sedang menggendon