Javas memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Bahkan tadi saking paniknya ia hampir saja menerobos lampu merah lalu lintas saat menyala. Ia tidak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk dari sekarang terjadi pada Zoia dan calon bayi mereka. Selama dalam perjalanan ponselnya tidak henti berbunyi yang berasal dari dua orang yang sama, yaitu Venna dan Rosella. Javas tidak menggubris panggilan tersebut. Saat ini tidak ada yang lebih penting selain Zoia.Setibanya di rumah sakit, Javas langsung menelepon Khanza, menanyakan di kamar mana Zoia dirawat. Setelah mengetahuinya Javas menggegas langkah menuju ruang rawat Zoia. Khanza sudah menanti di depannya.Javas masuk dan ditampilkan pemandangan mantan istrinya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit.Mendekat, Javas mengamati lekat-lekat muka pucat Zoia yang saat ini berada dalam keadaan tidur. Perutnya masih sebesar sebelumnya yang menandakan calon bayi mereka masih bersemayam di rahim Zoia. Untuk hal satu ini Ja
Ini adalah hari ketiga Zoia menjalani bed rest tanpa ‘melakukan apa-apa’. Aktivitasnya tidak lepas dari tempat tidur. Yang Zoia lakukan untuk membunuh waktu adalah main ponsel, nonton film, hingga membaca. Karena dilakukan berulang-ulang hal tersebut membuatnya bosan. Satu-satunya hal yang disyukuri Zoia dalam keadaannya saat ini adalah karena bed rest yang dijalaninya dilakukan di rumah, bukan di rumah sakit. Zolalah yang menemani Zoia selama masa itu karena Khanza harus kerja. Selama tiga hari ini tidak satu hari pun Javas absen mengunjunginya. Kalau tidak sempat siang maka Javas akan datang senjanya dan bertahan di apartemen Zoia sampai malam. Bukan hanya sekadar mengunjungi, namun Javas juga mengurus Zoia, seperti membantunya menyiapkan makan lalu menyuapi Zoia. Meskipun Zoia sudah menolak dan mengatakan bahwa ia bisa makan sendiri tapi lelaki itu bersikukuh untuk menyuapinya.Hari ini Javas datang agak malam ke apartemen Zoia. Seharian ia sibuk dengan kasus yang menimpa perusaha
Berhari-hari lamanya Javas memikirkan nasehat Tony padanya.Apa benar yang dikatakan sahabatnya itu bahwa rasanya pada Venna hanyalah sekadar obsesi dan bukan cinta?Jika perasaan itu adalah cinta seharusnya ia cemburu kan jika Venna dicium lelaki lain?Saat Zoia dekat dengan Zico padahal hanya bicara biasa dada Javas bagai terbakar api. Sedangkan saat ini Javas tidak merasakan apa-apa. Ia merasa baik-baik saja. Tidak ada hati yang panas atau rasa ingin menonjok lelaki yang sedang mencium Venna. Javas tidak merasa cemburu.Ia hanya diam bergeming menyaksikannya.Saat ini Javas sedang berada di bandara menjemput Venna. Gadis itu berjalan mendekati Javas sambil melempar senyum.“Siapa, Ven?” tanya Javas ingin tahu jati diri lelaki yang barusan cipika cipiki dengan Venna.“Oh, itu penumpang. Kebetulan tadi bareng aku,” jawab sang gadis.“Akrab banget kayaknya sampai cium kamu segala".Venna tertawa ringan. “Sebenarnya bukan hanya penumpang, tapi adeknya temenan sama aku.”“Aku kenal?”“N
“Jav …”“Zoiang …”“Duduk, Jav.” Zoia menyilakan Javas yang masih berdiri untuk duduk.Javas menggerakkan kepala membentuk anggukan kemudian duduk di sofa panjang tepat di sebelah Zoia. Ia lebih suka bersebelahan begini dari pada berhadapan. Interaksinya jauh lebih intens.“Tumben ke sini jam segini?” Zoia mengawali percakapan dengan pertanyaan.“Hari ini aku kan belum ke sini. Rasanya ada yang kurang kalau belum setor muka.”Jawaban Javas menderaikan tawa Zoia.Javas diam mengamati dan menikmatinya hingga kemudian Zoia merasa salah tingkah sendiri karena tatapan Javas yang begitu lekat padanya.Zoia menyimpan tawa. “Ini kamu ke sini langsung dari kantor lagi ya?” tanya Zoia melihat kemeja navy yang dipakai Javas, yang lengannya sudah digulung hingga sebatas siku.“Bukan, tapi dari bandara menjemput Venna.” Zoia membisu. Semoga saja perubahan air mukanya saat ini tidak terbaca oleh Javas. Untuk menyamarkan perasaannya Zoia sengaja memanggil Zola yang berada di kamar.“Laaa, tolong a
Zola keluar dari kamar sambil membawa ponsel di genggamannya. Tadi Zola mendengar bahwa Zoia ingin meminta nomor telepon seluler Zach, tapi untuk apa Zoia memintanya?“La, Mas Javas mau nelfon Zach, Mbak minta nomernya ya,” kata Zoia setelah Zola berada di dekatnya.Zola mengangguk pelan kemudian menyebutkan beberapa digit angka yang merupakan nomor telepon kekasihnya.“Sini ponsel kamu, Jav.”Javas memberikan dan membiarkan Zoia menyimpan nomor Zach di sana.“Nih, Jav, coba deh kamu telfon dulu.” Zoia mengembalikan ponsel Javas.Men-dial nomor tersebut, Javas menempelkan ponsel di telinganya.Zoia dan Zola sama-sama hening. Mereka menunggu sampai terhubung dan Javas berbicara dengan Zach.“Nggak nyambung,” kata Javas sembari menjauhkan ponsel dari telinga lalu melihat layar. “Emang nggak nyambung, Mas.”Javas dan Zoia serentak memandang pada Zola.“Udah satu minggu ini Zach nggak bisa dihubungi.” Zola menambahkan keterangannya.“Kok nggak bisa? Udah bener kan itu nomernya?”“Udah, M
Pertanyaan Zoia menggantung begitu saja karena persidangan akan dimulai. Zoia menyimpan di kepalanya dan berharap segera mendapat jawaban setelah sidang selesai nanti.Javas akhirnya mengizinkan Zoia menyaksikan sidang tersebut karena kepalang tanggung Zoia sudah berada di sana.Suasana di ruang sidang sempat ricuh karena orang tua korban mengamuk tidak terima anaknya meninggal. Mereka meminta Javas dihukum seberat mungkin dan izin perusahaannya dicabut. Javas memahami emosi dan perasaan orang tersebut. Tapi menurutnya terlalu berlebihan. Javas bukanlah melakukan pembunuhan berencana yang jauh lebih kejam. Lagi pula perusahaannya hanyalah distributor, bukan produsen.Sesekali Javas menoleh ke belakang, melempar pandang pada Zoia. Di saat yang sama Zoia juga menatapnya sambil menebar senyum. Meskipun awalnya Javas keberatan Zoia ada di sana, tapi jujur saja kehadiran Zoia memberinya energi baru. Kehadiran Zoia membantu meredam emosi dan amarahnya. Zoia bagaikan oase di padang pasir yan
Sudah sejak tadi Zoia bersabar menghadapi Venna. Tapi semakin ke sini Venna semakin ke sana. Ingin rasanya Zoia menjepit bibir perempuan itu dengan penjepit gorengan agar bibir tipisnya itu tidak lagi berkicau sembarangan.“Bapaknya nggak kabur. Sebentar lagi Bapaknya pasti datang.”Venna mendengkus. Bola matanya berotasi mendeteksi keberadaan Javas di sekitarnya. Tapi lensa matanya gagal menangkap sosok lelaki itu.“Well, Zoia, aku hanya ingin memberitahu satu hal.”Zoia memasang telinganya, ingin tahu hal sepenting apa yang akan disampaikan Venna padanya.“Aku dan Javas belum putus. Status kami masih berpacaran.”“Terus?” timpal Zoia ringan.Reaksi yang ditunjukkan Zoia di luar dugaan Venna. Tadinya ia pikir Zoia akan terbakar emosi dan menghujaninya dengan kata-kata tajam. Tapi Venna tidak patah arang. Ia terus berusaha menekan Zoia.“Aku nggak ada maksud apa-apa bilang ini sama kamu. Aku cuma kasihan kalau ternyata kamu jadi baper sendiri oleh perlakuan Javas. Fyi ya bumil cantik,
“Kok malah semua baju Mbak kamu bawa ke sini?” Zoia menatap Zola penuh tanda tanya saat gadis itu membawa banyak pakaiannya.“Nggak semua sih, Mbak.”“lya, emang nggak semua, tapi nggak perlu sampe satu tas gede gini juga,” kata Zoia lagi sambil memandang ke arah travel bag besar yang dibawa Zola. Zoia hanya butuh satu pasang pakaian ganti serta pakaian dalam, tapi Zola malah membawa satu koper besar. “Ini Mas Javas yang nyuruh, makanya aku bawa sekoper gini.” Zola menyampaikan alasannya sambil menyatukan pandangannya searah Zoia.“Ada-ada aja. Sekarang Mas Javas-nya mana?”“Kayaknya lagi di luar.”“Coba deh kamu panggilin dulu.”“Bentar, Mbak.”Zola keluar dari kamar Javas yang ditempati Zoia kemudian mencari Javas. Zola menemukan Javas sedang merokok di beranda.“Mas Javas, dipanggil Mbak Zoi, katanya tolong ke kamar sebentar.” Zola menyampaikan sesuai dengan yang dikatakan Zoia padanya tadi.Dengan sigap Javas berdiri dan membuang rokoknya kemudian berlalu masuk ke dalam rumah.“K
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.