ZOLAAku nggak akan mengingkari kalau Zach sangat gentle dalam hal ini. Namun, untuk bertemu dengan mantannya, terutama Venna, apa nggak akan membuatku sakit hati?“Gimana, La? Kamu mau?” Zach masih bersimpuh di lantai sambil menggenggam hangat tanganku.“Nggak usah,” putusku memberi jawaban. “Kenapa nggak usah? Bukannya kamu nggak percaya sama aku? Kamu lebih percaya sama orang lain dari pada aku. Jadi agar semua jelas lebih baik kita langsung selesaikan.”Aku menggelengkan kepala. Aku memutuskan untuk mempercayai Zach, karena seharusnya memang begitu. Aku mencoba mengikhlaskan semua yang terjadi di antara mereka dulu.“Aku nggak mau ketemu sama dia. Aku percaya sama kamu.”Zach auto tersenyum lalu mengecup lembut tanganku. Tapi bukan berarti aku memberinya jalan untuk kembali. Sudah sangat banyak yang terjadi, dan sebagian besar di antaranya adalah pengalaman buruk. Tapi aku nggak akan menyesalinya. Aku juga nggak akan berdiri di tempat yang sama. Stop crying over spilt milk. I hav
ZOLAZach berhasil membuatku memenuhi keinginannya untuk membawaku malam ini ke rumah orang tuanya.Aku nggak menolak karena tahu pasti dia ingin menjelaskan mengenai kami pada mami papinya.Sambil menyetir Zach mendudukkan putra kami di pangkuannya. Tadi aku melarang, khawatir anak sekecil Fai yang belum mengerti apa-apa akan mengganggu, lalu Zach kehilangan konsentrasi dan berpotensi membuat kami kecelakaan. Namun, dia meyakinkanku bahwa bisa mengatasinya.Dan lihatlah sekarang, Fai duduk anteng setelah sebelumnya begitu excited ingin menggerakkan setir.“Cepat gede ya, Nak, biar bisa Papa ajarin nyetir.”Seakan mengerti maksudnya, Fai mengelus pipi Zach yang dibalasnya dengan mencium puncak kepala anak itu. Pemandangan indah tersebut membuatku terharu sendiri. Bahagia melihat interaksi keduanya.“La, kita ke apartemen aja yuk, nggak jadi ke rumah Mami.”“Ngapain ke sana? Ada yang ketinggalan?” Kami sudah melewati separuh perjalanan, tiba-tiba saja dia berubah pikiran.“Bukan, tapi
ZOLAZach tetap masuk ke kamar walau aku sudah melarangnya.“Aku cuma sebentar, cuma mau mastiin keadaan kamu dan Fai doang.” Dia beralasan.Zach lalu ikut naik ke tempat tidur, berbaring di sebelah Fai yang sudah lelap sejak tadi. Bibirnya melengkung membentuk senyum memandangi inci demi inci permukaan wajah putra kami.“Hidung dan bibirnya mirip aku ya, La,” katanya berkomentar. Akhirnya dia menyadarinya.“Sure, kan anak kamu.”Senyumnya semakin lebar. Lalu kemudian memudar begitu saja bersama rautnya yang berganti ekspresi.“Aku nggak bisa bayangin gimana dulu waktu kamu hamil dan ngelahirin dia sendiri. Terus kamu juga harus ngerawat dan ngurus dia tanpa aku.” Zach terlihat begitu frustasi menyesali semua yang telah terjadi. Namun, sebesar apapun penyesalannya tetap tidak akan bisa mengembalikan waktu.“Don’t cry over spilt milk. Every cloud has a silver lining,” jawabku mencoba untuk ikhlas menerima ini semua. Tapi rupanya Zach nggak setuju dengan pendapatku.“Aku nggak bisa me
ZOLASepanjang hubunganku dengan Zach baru kali ini dia berbicara dengan nada suara yang cukup keras padaku. Bahkan suaranya mengalahkan riuhnya suara musik di sekitarku.Tadi, aku terpaksa menemani Ariq ke sini. Ariq hanya akan mendatangi tempat hiburan malam untuk dua alasan. Karena lagi suntuk atau untuk merayakan sesuatu. “Siapa, La?” Ariq bertanya setelah aku selesai menerima telepon.“Teman, Pak.” Tentu aku nggak akan sejujur itu untuk mengatakan telepon tadi adalah dari Zach. Jawabanku hanya akan menumbuhkan tanda tanya besar di kepala Ariq.“Teman yang mana? Anak-anak kantor?” Ariq mulai kepo dan seperti biasanya ingin tahu apa saja. Jika dia nggak mendapatkannya dariku maka dia akan mencarinya sendiri. Bahkan sampai sekarang aku nggak tahu dari mana Ariq tahu kalau aku sudah punya anak tanpa menikah.“Bukan teman kantor, Bapak nggak kenal.”Syukurlah Ariq nggak menanyakannya lebih lanjut. Dia kemb
ZACHAku memaki-maki di dalam hati saat melihat apa yang dilakukan Ariq pada Zola. Dan Zola membuatku semakin emosi lantaran membiarkan Ariq menyentuh pahanya. Kalau tadi gagal menahan diri mungkin Ariq sudah babak belur di tanganku.Aku dan dia sama-sama bungkam setelah berada di mobil. Aku nggak bisa menjamin tidak akan mengeluarkan umpatan jika dipaksa bicara sekarang. Sampai akhirnya dia duluan yang berinisiatif memecah kebisuan di antara kami.“Zach ...” Dia menggumamkan namaku. Hanya itu.Aku nggak merespon dan tetap fokus menyetir. Aku rasa jika dia peka pasti tahu saat ini kalau aku marah padanya.“Kamu marah?” Dan dia menanyakan hal-hal yang nggak perlu ditanyakan lagi.“Menurutmu?” balasku tanpa menoleh.“Aku terpaksa. Aku juga nggak mau, tapi udah tugasku.”“Kamu udah kayak lady escort aja,” ucapku sinis sambil menahan sakit hati. “Awalnya emang nemenin, tapi lama-lama dipegang-pegang. Jadi
ZACHAku mengembalikan ponsel ke dalam saku setelah panggilan berakhir. Mami memintaku pulang secepatnya.Dan kini aku memandang bingung pada Zola yang duduk di sebelahku. Apa yang harus kulakukan?Meminta Zola pulang ke rumah Javas agar terhindar dari pertemuan dengan Cassandra adalah hal yang nggak mungkin kulakukan. Bukannya menyelesaikan masalah, kalau sampai Zola tahu pasti hubunganku dengannya akan semakin memburuk. Lagi pula akan sampai kapan aku menghindari pertemuan keduanya?Calm down, Zach, everything gonna be okay. Aku mengsugesti diri sendiri agar nggak panik. Aku pasti bisa menghadapinya.“La, jadi kita makan?” Aku mengonfirmasi setelah keluar dari komplek Nusantara Building.“Jadi.” Zola menyahut singkat.“Kita makan di mana?”“Terserah.” Jawabannya masih seirngkas tadi, seolah nggak berminat.“Aku lagi pengen makan lasagna, kamu gimana?”“Boleh deh,” jawabnya setuj
ZACHTanganku membelit erat memegang pinggang Zola yang berbaring di sebelahku. Kami masih rebah di sofa dengan tubuh tanpa busana setelah bercinta tadi.We did it again.Semua terjadi begitu saja tanpa rencana. Bercinta dengannya kali ini sama sekali nggak pernah ada dalam planning-ku. Tadi aku hanya ingin mengajaknya makan berdua, nggak lebih, tapi godaan itu datang begitu saja sehingga terjadilah segalanya.Zola menatapku tanpa jeda. Sorot matanya terlihat sendu. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Aku takut setelah segala sensasi ini berlalu maka Zola akan meledakkan kemarahannya.“La, kamu marah?” tanyaku memecah hening setelah sedari tadi hanya irama nafas kami yang menemani.Zola menggerakkan kepalanya pelan. “Marah kenapa?”“Karena apa yang kita lakuin malam ini.”“Memangnya kalau aku marah ada gunanya?”Bibirku otomatis mengembang mendengar jawaban Zola. Dari nada bicaranya aku tahu bahwa dia tidak mempermasalahkan percintaan panas kami tadi. Setelah sangat lama tidak meny
ZOLATante Rosella sudah menelepon sejak tadi, tapi Zach baru mengatakan sekarang. Jujur aku agak kecewa mengetahuinya. Mestinya dia bisa bilang sejak tadi. Mau nggak mau aku jadi berpikir jangan-jangan Zach mengajakku bercinta adalah demi meredakan emosiku yang akan muncul kemudian.Dan Cassandra, di mana sih harga dirinya? Apa dia nggak punya malu walau sedikit? “Kenapa baru bilang sekarang?” kataku memprotes.Zach nggak langsung menjawab pertanyaanku. Yang dilakukannya adalah mengembuskan nafas panjang seakan pertanyaanku adalah sesuatu yang berat untuk dijawab.“Kalau tahu dia datang seharusnya dari tadi kita pulang," kataku lagi.“Ngapain kita buru-buru pulang? Biarin aja dia nunggu.”Kali ini aku yang terdiam. Ngapain juga kami buru-buru pulang. Memangnya siapa Cassandra? Kalau dia memang butuh sudah seharusnya dia menunggu.“Lagian kenapa dia bisa ke sini?” tuntutku ingin tahu.“Aku juga nggak tahu, La. Mungkin lagi pulang ke rumah orang tuanya terus mampir ke rumah Mami.”“Ma
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.