ZOLA
Zach akhirnya pergi meninggalkanku dan Cassandra hanya berdua. Aku nggak tahu apa yang akan dibicarakannya. Tapi mengingat lagi ucapannya, bicara sebagai sesama wanita, membuatku berpikir bahwa ini benar-benar penting. Aku diam menunggu sampai dia bicara duluan. Nggak ada salahnya memberi dia kesempatan mengeluarkan uneg-unegnya. Asal setelah ini semua jelas dan terang. Asal dia mengerti bahwa dia nggak bisa lagi tetap seperti sebelumnya.Cassandra memindaiku dari puncak kepala hingga ujung kaki. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini mengenaiku. Tapi aku yakin jika di dalam hatinya dia sedang menilaiku. Penilaian yang buruk tentu saja.“Aku nggak nyangka kalau kamu bakal kayak gini. Aku pikir kamu perempuan baik-baik.” Akhirnya kalimat itu terucap dari mulutnya setelah dia puas mengamatiku sejak tadi.Tentu saja aku tersinggung mendengar kata-katanya. Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut aku sangat paham apa maksudnya. Dia menganggapkuZOLAAku nggak tahu bagaimana cara menanggapi ocehan Cassandra yang bahkan mengaku-ngaku sudah tidur dengan Zach. Tapi dalam hal ini aku tahu siapa yang harus kupercayai.Masih terngiang di telinga saat tadi Zach mengatakan, “Mungkin aku memang bajingan, tapi aku hanya akan meniduri perempuan yang aku cintai. Aku nggak bakal bisa nggelakuin itu dengan perempuan yang nggak aku cintai, La.”Aku memutuskan untuk memercayai Zach daripada orang luar yang jelas-jelas mencintai orang yang mencintaiku. Andai saja bisa aku ingin merekam semua perkataan Cassandra dan memberitahu pada Zach sebagai bukti betapa sahabat yang disanjung-sanjungnya selama ini sangat jauh dari image yang ditunjukkannya. Tapi tidak semudah itu untuk melakukannya. Cassandra pasti akan curiga jika aku mengeluarkan ponsel dan mengutak-atiknya. Aku yakin setiap pergerakanku tidak akan lepas dari pengawasannya.Aku pernah mendengar ungkapan yang mengatakan bahwa yang selalu cinta
ZOLAAku kaget saat tiba-tiba Zach mendekat kemudian menjilat sudut-sudut bibirku. Entah kenapa dia suka sekali menjilat bibirku.“Susunya lebih manis kalau diminum dari bibir kamu,” komentarnya sambil tertawa setelah melepaskan bibirku dari pagutannya.Aku mencubit lengannya yang membuat tawanya semakin keras. Aku buru-buru membekap mulutnya agar Zach diam.“Ssssh!!! Nanti Fai bangun.”Zach mengambil tanganku dari mulutnya untuk kemudian mengecupnya lembut. Aku membiarkannya melakukan apa yang dia suka sambil berpikir apa ini modusnya untuk melunakkan hatiku setelah kedatangan Cassandra tadi.“Dia udah pulang?” tanyaku ingin langsung membahas pertemuanku dan dia tadi.“Udah.”“Nggak diantar?”Zach menjawab dengan gelengan kepala.“Kenapa enggak?”“Buat apa?” Dia balik bertanya.“Biasanya dia kan nempel mulu sama kamu,” jawabku sebal.“Itu ka
Tante Rosella menatapku curiga saat melihat rambutku yang basah ketika pagi ini aku ikut bantu-bantu di ruang belakang. “Baru selesai mandi, La?” tanyanya padaku.“Iya, Tante,” jawabku pelan.“Keramas juga?”Aku nggak ngerti dan belum menangkap arah pertanyaannya, namun tak urung menganggukkan kepala.Tante Rosella nggak bertanya lagi, dan aku pun berinisiatif untuk bantu-bantu menyiapkan sarapan.“La, Zach udah bangun?” Tahu-tahu Tante Rosella sudah berdiri di sebelahku saat aku menyendok gula ke dalam cangkir. Aku bermaksud membuat kopi untuk Zach.“Udah, Tante, lagi makein baju Fai.”Fai bangun pagi-pagi sekali, lalu minta keluar dari kamar dan membawanya ke kamar Zach. Dia tahu kalau Zach adalah papanya. Zach masih tidur, tapi Failah yang setiap pagi membangunkannya. Lalu mereka akan mandi berdua. “Semalam Zach tidur di mana?” Pertanyaan itu menyentakku. Aku menoleh dan mendapati sorot penuh selidik yang diarahkan tepat padaku.“Di kamar Mas Jevin, Tante.”“Bukan di kamar kam
ZOLAZach langsung merangkulku setelah mendengar jawabanku, sampai-sampai dia lupa kalau saat ini sedang menyetir. Dia juga bersikeras untuk mengantar sampai ke ruanganku dan meminta untuk bicara dengan Ariq. Tapi aku belum mengizinkan. Biar semua berjalan dulu baru nanti bicara pada Ariq.“Gimana, La, kamu sudah bicara sama Zach Mahanta tentang acara itu?” Ariq langsung menodongku dengan pertanyaan begitu aku menampakkan diri di hadapannya.“Sudah, Pak, dia bersedia, tapi dia mau berangkat sabtu besok, jadi waktunya mepet banget.”Ariq manggut-manggut sembari mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja.“Jadi kapan dia bisa?” tanyanya kemudian.“Mungkin besok atau lusa, Pak.” Aku memang sudah mengatakan pada Zach mengenai program baru untuknya, tapi belum membahas kapan akan diadakan.“Bagus, makin cepat akan makin baik. Pokoknya kamu arrange semua sampai selesai, nanti Nia dan tim akan membantu kamu.”
ZOLAZach hanya diam di sepanjang perjalanan kami setelah pulang dari rumah Cassandra tadi. Aku nggak tahu apa yang mengisi pikirannya saat ini. Tapi aku belum puas melampiaskan kekesalanku. Aku kesal bukan hanya karena kebohongan Cassandra, tapi juga karena dia mengaku-ngaku pacaran dengan Zach.“Gimana bisa keluarga Cassandra menyangka kamu pacaran sama dia?”Zach menjawab dengan embusan nafasnya sebelum memandang padaku. “Aku juga nggak tahu, La.”“Pasti dia yang bilang sama orang-orang. Dan kalau tadi aku nggak ada mungkin kamu bakal iyain,” ocehku lagi sambil melipat tangan di dada.“La, udahlah, jangan mengada-ada. Ada atau nggak ada kamu sikapku bakalan sama.”Aku mendengkus kesal lalu melempar pandang ke luar. Meskipun Zach sudah mengklarifikasi semuanya tapi tetap saja emosiku masih belum bisa diredakan.“Nggak usah marah lagi, La. Apa yang terjadi jangan sampai mempengaruhi mood kamu. Kita mau men
ZACHMami melarangku ke mana-mana berhubung aku akan menikah. Tapi bukan Zach namanya kalau hanya diam dan mendekam di rumah. Malam ini aku berada di rumah Javas. Kami duduk berdua di beranda mengobrol ringan sambil merokok. Ini adalah untuk pertama kalinya aku berbincang akrab dengan Javas sepanjang sejarah menjadi adiknya. Walaupun obrolan kami berisi ledekan-ledekan Javas padaku.“Dari tadi gue ngeliat Zola cemberut mulu, lo nggak maksa dia buat nikah sama lo kan?”Aku menjentikkan abu rokok ke dalam asbak. Aku tahu apa yang membuat Zola melipat muka. Apalagi kalau bukan kekesalannya pada Cassandra.“Ya nggaklah. Emangnya lo yang suka maksa.”“Gue? Siapa yang gue paksa?” balas Javas tidak terima.“Nggak ingat apa dulu lo ngejar-ngejar Zoia ngerengek minta balikan?”Javas tertawa waktu kupulihkan ingatannya tentang masa lalu.Aku dan Javas memiliki kesamaan walau tidak terlalu mirip. Sama-sama pernah menyia-nyiakan wanita yang kami cintai lalu melewati perjuangan yang tidak muda
ZOLAAku mendadak speechless mendengar pengakuan lugas Zach. Tentu saja aku kaget apalagi setelah mengingat kata-katanya bahwa dia dan Cassandra tidak memiliki hubungan apa pun melebihi teman.Dan pertanyaannya sekarang adalah, hubungan pertemanan seperti apa yang mereka jalani? Teman seperti apa yang mencium bibir temannya?“Jadi ternyata selama ini kamu bohongin aku, Zach?” ungkapku kecewa.“Aku sama sekali nggak bohongin kamu, La.” Dia menyanggah kata-kataku.“Jadi kalau bukan bohong apa namanya? Dusta?”“La, tolong dengar aku dulu.” Zach menggenggam tanganku yang berada di punggung Fai.“Apa lagi yang harus aku dengar? Tentang kamu yang ternyata tidur sama dia?” Nada suaraku meningkat. Aku tidak ingin marah, tapi apa yang baru saja kudengar menggelitik emosiku naik.Zach menggelengkan kepalanya. “Harus berapa kali aku bilang, aku nggak akan tidur dengan perempuan yang nggak aku cintai? Aku memang pernah nyium dia, tapi hanya sebatas itu, La. Dan itu juga pada momen yang spesial.”
ZOLAToday is my day.Setelah sekian banyak drama serta lika-liku hubungan kami di sana sini, akhirnya perjalanan hidup mengantarku pada hari ini.Pagi ini aku dan Zach akan menikah. Kami menyelenggarakan acara tersebut bukan di hotel atau tempat lainnya, melainkan di rumah orang tua Zach. Acara tersebut tidak mengundang banyak orang. Yang hadir hanyalah orang tua serta keluargaku dan Zach.Meskipun berbeda dengan Mbak Zoi dan Mas Javas yang dulu pernikahan keduanya diselenggarakan secara mewah dan meriah saat Euro trip dengan kapal pesiar, tapi aku bahagia. Bagiku yang terpenting adalah esensi pernikahan itu sendiri.Berhubungan acaranya mendadak, maka semua serba dadakan. Baju pengantinku adalah pemberian Tante Rosella. Aku juga tidak menggunakan make up artist untuk merias. Zelinelah yang mendandaniku from head to toe.“Cantik kamu, Dek.” Pujian itu meluncur dari bibir Mbak Zoi yang memperhatikanku sejak tadi.
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.