“Ada yang mau gue sampaikan.”
Kalimat yang keluar dari mulut Jace membuatku bersikap waspada. Dengan segala kecanggungan yang selalu aku perlihatkan padanya, harusnya dia tahu bahwa berbicara berdua saja denganku tanpa kehadiran pacarnya di sini merupakan hal yang tidak wajar.
Aku berdeham sambil menenangkan apa pun yang sedang berkecamuk di kepalaku. “Ada apa?”
Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop putih. “Nih, nitip buat wali kelas lo. Surat sakitnya Sheryl.”
Aku menaikan kedua alisku. Menyadari kalau aku sudah terlalu jauh menduga hal-hal yang mustahil terjadi. Dasar bodoh!
Aku kembali menghadap Jace dan mengerjap dengan cepat. “Sakit? Kok, gue enggak tahu?”
Merasa heran mendengar Sheryl sakit. Semalam dia habis dari rumahku untuk mengerjakan tugas. Dan dia tidak terlihat sedang sakit.
Aku tidak mengambil amplop yang menggantung di tangan Jace. Aku sibuk merogoh tas untuk mengambil handphone-ku.
Oh, pantas aku tidak tahu Sheryl sakit. Handphone-ku mati.
Jace tidak bersuara ketika menaruh amplop dari Sheryl di bawah buku pelajaranku. Sudut mataku menangkap kalau dia masih memperhatikanku. Aku memilih mengabaikannya. Beberapa menit kami tidak saling bicara, sampai ahkirnya Jace bangkit dari kursi di sampingku.
Dia pergi meninggalkanku seiring dengan kelas yang mulai ramai. Tidak ada lagi kata-kata darinya. Juga dariku. Begitulah jika kami bertemu. Jarang bicara dan selalu menghindari tatapannya. Jangan tanya mengapa. Pokoknya, aku tetap memilih seperti itu sampai aku sendiri tahu mengapa aku harus seperti itu.
***
Banyak yang aku tidak mengerti tentang perkembangan perasaanku di masa remaja ini. Ada kalanya aku akan bersemangat menjalani hari. Mengerjakan latihan soal matematika dengan suka rela dan menyelesaikan tugas fisika dengan gembira.
Lalu di suatu ketika, hari-hari akan menjadi terasa mendung, murung dan tidak bergairah. Itu yang aku rasakan ketika aku harus melihat Jace dan Sheryl jalan bersama sambil bergandengan tangan. Mood-ku seketika berantakan dan jadi tidak berselera makan. Aku langsung memikirkan kesalahan apa yang mereka lakukan padaku sehingga aku akan menjadi merasa sedih dan kesal dalam waktu yang besamaan.
Aku menduga, aku hanya risi dan iri karena aku belum punya pacar saja. Aku selalu meyakinkan diri bahwa aku harus ikut senang dengan kemesraan Jace dan Sheryl. Dan cara yang paling tepat untuk itu adalah dengan segera memiliki pacar. Sampai akhirnya aku membuka diri pada seorang cowok bernama Zoey—sepupunya Yosef, teman sekelasku.
“Gue kasih nomor lo, ya?” pinta Yosef pada suatu hari.
“Kok bisa sepupu lo pengen kenalan sama gue? Emang dia pernah liat gue sebelumnya?” tanyaku dengan penuh curiga. Aku tidak terlalu dekat dengan Yosef, jadi aneh rasanya ketika dia bilang sepupunya minta nomorku.
“Gue juga enggak tahu, tiba-tiba dia tanya-tanya tentang lo.” Jawaban Yosef tidak memuaskan.
“Anak sekolah mana, sih?” tanya Sheryl yang sama-sama curiga dengan maksud si Yosef ini.
“Anak SMA Budi Bakti.”
“Wih, sekolah elit. Orang kaya, dong,” celetuk Briya yang baru bergabung di mejaku.
“Kalo cuma kaya doang buat apa? Yang paling utama tuh mukanya. Ganteng, enggak?” Sheryl menyeringai dan menaikan satu alisnya sambil menatap ke arahku.
“Ganteng. Gue jamin. Nih, gue kirim fotonya.” Yosef meyakinkan kami.
Setelah berdiskusi panjang dengan teman-temanku, dan keselamatan Yosef sebagai jaminannya. Akhirnya aku bersedia untuk jadi pacar sepupunya itu.
Menurut teman-temanku, Zoey sudah lolos seleksi tipe pacar ideal untukku karena berwajah lumayan dan juga kaya. Mereka juga mengingatkan Zoey agar tidak lupa membelikanku cokelat saat valentine nanti. Aku hanya tertawa ketika Zoey mengangguk pasrah dan mengucapkan janji di depan teman-temanku agar selalu bersikap baik dan sopan padaku.
Di pertemuan pertamaku dengan Zoey, dia bercerita kalau aku pernah adu cerdas cermat dengannya waktu kami SMP. Itu menjadi nilai tambah untuknya. Artinya, dia juga termasuk anak yang berprestasi.
“Dulu aku kaget ada cewek cantik yang jenius kayak kamu,” ucapnya kala itu. “Semenjak itu, aku selalu penasaran kamu masuk ke SMA mana setelah lulus SMP.”
Aku tersipu mendengarnya. Baru kali ini aku dipuji oleh orang yang baru aku kenal. Biasanya, yang selalu memujiku adalah ayahku.
“Lalu, tahu dari mana aku sekelas sama Yosef?” tanyaku penasaran.
“Fotomu ada di feed Inst’agram-nya Yosef. Saat kalian acara api unggun.” Zoey mengeluarkan handphone-nya dan menunjukan foto yang dimaksud.
Ada dua fotoku yang diunggah Yosef di aplikasi berbagi foto itu. Satu, saat kami melakukan sesi foto kelas di depan api unggun. Lalu yang kedua saat aku dan Sheryl diminta berswafoto bersama Yosef. Entah apa tujuan yosef waktu itu, tetapi kita senang-senang saja berfoto bersama.
***
Aku baru saja selesai membilas piring terakhir ketika handphone-ku berdering. Nama Sheryl muncul di layar.
“Halo,” sapaku setelah menggeser ikon terima.
“Kat ...,” Suara Sheryl terdengar bergetar. Dia pasti habis menangis.
Aku mendesah dan memutar bola mataku. “Ada apa lagi, Sher?”
Bukannya aku tidak sopan pada Sheryl yang sepertinya sedang bersedih ini. Aku sudah kenyang mendengar tangisannya. Dalam seminggu, pasti ada hal yang harus dia tangisi. Jadi, aku sudah terbiasa mendengar dia seperti ini.
Sheryl memang agak melankolis. Dia selalu mendramatisir setiap persoalan hidupnya. Walau memang menjadi seorang Sheryl tidak mudah. Dia anak yang dilahirkan tanpa ayah. Hanya ada ibu dan dirinya saja di rumah yang besarnya empat kali lipat dari besar rumahku. Semua tanggung jawab untuk mengurus segala hal dia pikul sejak dia masih remaja. Makanya, dia selalu mencariku. Dia selalu menumpahkan segala kesedihan hidupnya padaku yang dia anggap aku sedikit lebih beruntung darinya.
“Gue nginep di rumah lo, ya? Gue mau curhat.” Sheryl masih terisak.
“Besok aja di sekolah. Malam ini gue mau belajar buat kuis besok,” saranku sambil mengeringkan tangan pada handuk kecil yang tergantung di dekat tempat mencuci piring.
“Gue udah di depan. Bukain gerbang.”
Sambungan terputus. Aku menggeleng pelan sambil memaki Sheryl dalam hati.
Aku berjalan ke pintu depan. Melewati ibuku yang sedang asik dengan handphone-nya di ruang televisi. Sesekali dia tersenyum sendiri saat membaca pesan yang masuk.
“Ke mana, Kat?” tanya ibuku tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphone.
“Ada Sheryl di depan,” jawabku.
Aku menemukan Sheryl dengan wajah sembap di kursi rotan teras rumahku. Dia langsung masuk tanpa menungguku mempersilakannya. Ia menyapa ibuku di ruang televisi dan menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua. Aku mengekor di belakangnya.
Ibuku sempat menanyakan Aiden, adikku yang masih belum pulang. Dia sedikit cemas karena malam semakin larut. Handphone-nya pun tidak bisa dihubungi. Namun, karena ini bukan yang pertama Aiden menghilang seperti ini. Jadi aku tidak terlalu khawatir. Nanti juga anak itu pulang.
“Lo kenapa?” Aku membuka pertanyaan ketika kami sudah duduk dengan nyaman di kasur.
Sheryl mengambil bantal merah muda di sampingnya lalu melanjutkan tangisnya.
“Kenapa Sheryl? Tante lo dateng lagi? Atau om lo minta duit lagi?” tebakku sambil mengusap rambut panjangnya yang tidak pernah kusut.
Sheryl menggeleng kencang. “Ini bukan tentang keluarga gue. Ini tentang Jace.”
Seketika perasaanku tidak enak. Ada hal yang selalu membuatku bersikap berlebihan ketika mendengar nama Jace. Apalagi sekarang dia membuat Sheryl menangis.
“Jace kenapa?” tanyaku ragu.
Sheryl mencoba meredakan isakannya. Lalu dengan suara serak dia bicara. “Jace ikut tawuran.”
“Hah? Tawuran?” tanyaku menegaskan apa yang tadi aku dengar.
Sheryl mengangguk lalu menghapus air matanya.
Seharusnya hal ini tidak membuatku terkejut. Dari awal aku sudah tahu kalau Jace memang bukan murid teladan. Teman-temannya adalah kelompok murid yang paling dicari oleh guru BP, atau biasa kita panggil dengan Guru Kesiswaan. Tidak ada yang setidaknya mau memasukan baju seragam ke dalam sabuk celana. Semuanya urakan dan tidak pernah rapi. Sering membolos dan merokok di warung belakang sekolah. Sungguh perilaku yang tidak bisa dibanggakan.
Semua hal buruk itu seolah bisa dimaklumi hanya karena dia berwajah tampan dan jago basket. Ketika melihat Jace tersenyum dan melakukan atraksi tebar pesona, hilanglah semua sisi negatif yang melekat di dirinya. Sheryl harusnya sudah bisa menduga kalau Jace akan sejauh ini. Bergabung dalam tawuran antar pelajar. Namun, tetap saja, Sheryl adalah fans Jace nomor satu. Senakal apa pun kelakuan pacarnya.
“Lo kata siapa?” tanyaku dengan lembut.
“Banyak yang bilang ke gue. Mereka lihat Jace gabung sama anak-anak kelas XI ke arah timur,” paparnya dengan suara serak. Isakannya mulai berhenti.
Tadi sore aku memang mendengar ada yang tawuran, tetapi lokasinya jauh. Bahkan itu sudah masuk ke daerah perbatasan kota. Tidak mungkin Jace tawuran di wilayah yang bukan daerah kekuasaan dia dan gengnya
“Lo yakin Jace ikut tawuran?”
Sheryl mengangguk. “Gue belum bisa hubungin dia. Gue takut dia kenapa-napa.”
Aku mengerutkan dahi. “Handphone-nya mati?” kekhawatiran tiba-tiba menyelimutiku.
Sheryl mengangguk lemah seiring dengan isakan yang kembali terdengar.
Aku menggigit bibir demi menekan rasa cemas yang mulai merambat naik. “Kita cek di kontak teman-teman sekolah. Barang kali ada info tentang tawuran sore tadi,” usulku.
Tanpa menunggu persetujuan Sheryl, aku segera mengambil Handphone-ku. Segera kubuka aplikasi berbagi pesan dan mencari info pada unggahan-unggahan teman sekolah. Tidak ada yang membahas tawuran.
Lalu jariku berhenti bergulir pada salah satu unggahan seorang kakak kelas. Seketika tubuhku membeku melihat sebuah foto luka bacok di bagian perut dari seseorang yang mengenakan seragam SMA tempatku sekolah
Ya Tuhan, itu tidak mungkin Jace, 'kan?
“Kenapa, Kat?” Suara Sheryl menyadarkanku. Aku menoleh ke arahnya tanpa mampu menjelaskan apa yang baru saja aku lihat. Sheryl seperti sudah menduga bahwa ada hal buruk yang telah aku ketahui. Dia merebut handphone di tanganku dan segera memekik histeris. Beberapa detik kami saling tatap dan tidak berani mengambil kesimpulan atas apa yang sedang kami perkirakan. Bisa saja itu orang lain. Ada puluhan orang yang terlibat dalam tawuran sore tadi. Kemungkinan Jace yang menjadi korbannya adalah sangat kecil. “Katy, ada apa? Sheryl kenapa?” tanya ibuku ketika masuk ke dalam kamar dengan wajah khawatir. Sepertinya dia mendengar suara Sheryl saat tadi histeris. Aku menjawab pertanyaan ibuku dengan memperlihatkan gambar buram korban tawuran yang mengenaskan tadi padanya. “Astaga! Ini siswa dari SMA kamu?” Aku dan Sheryl mengangguk berbarengan. “Anak jaman sekarang semakin brutal. Kalian pintar-pintar jaga diri ya. Jangan sampai
Zoey menyambutku dengan senyuman yang mengembang ketika aku menghampirinya. Aku menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk memastikan cowok ini tidak melihat apa pun yang terjadi antara aku dan Jace tadi. Posisiku memang sedikit terhalang oleh tembok pos jaga di samping gerbang. Itu membuatku bisa bernapas lega karena tidak perlu mencari alasan untuk menjelaskan pada Zoey tentang kejadian aneh yang baru saja aku alami. Bagaimana tidak aneh. Jace berbisik dengan cara yang vulgar di telingaku. Mengucapkan kalimat yang sangat tidak masuk akal. Kalimat yang membuatku mengambil langkah untuk segera pergi meninggalkannya. Bahkan aku masih merinding jika harus mengingat kalimat yang diucapkan oleh pacar sahabatku ini. “Maaf lama,” ucapku ketika masuk ke dalam mobil milik Zoey. Zoey tersenyum sambil menyalakan mesin mobilnya. “Santai aja. Memang habis apa tadi di pos?” “Aku ada urusan dulu sama pacarnya Sheryl,” jawabku mencoba tetap jujur. “Ada apa
Hujan tidak pernah berhenti sampai kami tiba di rumahku. Gigiku gemerutuk, lututku bergetar dan mataku perih. Aku sampai tidak bisa merasakan jari-jari kakiku karena kedinginan.Aku dibimbing Jace menuruni motornya. “T-thanks,” kataku terbata karena terlalu menggigil kedinginan.Aku kemudian buru-buru berlari memasuki pelataran rumah seraya mendekap tubuhku sendiri. Sungguh, rasanya aku ingin segera berganti pakaian dan memeluk selimut yang hangat. Dengan buru-buru, aku pun menggedor pintu rumah dengan kencang agar segera bisa masuk.“Ma!” teriakku.Aku menoleh ke belakang. Jace ikut turun dari motor dan berdiri di teras melihat ke arah langit. Dia menggosok-gosok tangannya yang berkerut. Dia juga pasti sangat kedinginan.“Kat? Hujan-hujanan?” Ibuku keluar dari ambang pintu dengan wajah terkejut.Aku tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam rumah. Namun, aku kembali lagi ke luar dan berseru pada
“Katy!” Aku menoleh ke arah suara orang yang memanggilku berasal. Ada Sheryl yang sedang melambaikan tangannya dan mengejarku dengan langkah cepat. Aku berhenti melangkah demi menunggunya menyusulku. “Tumben enggak telat.” Aku menyambut tangannya yang lebih dahulu melingkari pundak. Sheryl mengerucutkan bibirnya. “Gue enggak pernah telat. Lo aja yang kepagian. Orang normal tuh, dateng ke sekolah saat detik-detik gerbang akan di tutup.” Aku tertawa kecil sambil kembali melangkah menuju ruang kelasku. “Eh, Semalem Zoey jadi jemput lo kan?” tanya Sheryl tiba-tiba. Seketika jantungku berhenti berdetak. Ingatanku kembali pada kejadian malam tadi yang membuatku tidak bisa tidur. Pada tatapan mata Jace yang mengurungku di bawah kendalinya. Pada sentuhannya yang menarik semua oksigen di sekitarku. Lalu pada kalimatnya yang memporak-porandakan keyakinanku bahwa aku sudah bisa melupakan perasaanku pada kekasih sahabatku ini. Aku mengambi
Aku melenguh pelan. Rasa sakit yang tidak tertahankan segera menyerang kepalaku. Rasanya seperti habis dibenturkan dengan kencang. Aku mengerang dan mencoba untuk membuka mataku perlahan. Beberapa detik kemudian akhinya aku bisa menangkap beberapa cahaya yang menulusup masuk lewat bulu-bulu mataku. “Argh.” Suaraku terdengar serak. Mataku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka dengan sempurna. Tunggu, aku tidak kenal ruangan ini. Mataku menyapu sekeliling ruangan tanpa jendela yang berukuran empat kali tiga meter ini. Dua buah lemari buku usang. Beberapa vas bunga retak. Bahkan ada yang hancur sama sekali. Lalu ada sebuah grand piano penuh debu. Lengkap dengan tumpukan partitur yang sudah menguning. Aku terbatuk beberapa kali. Rasanya, tenggorokanku kering dan sakit. Aku juga merasa nyeri di pergelangan kakiku. Aku raba dan melihat di tempat sakit itu berasal. Ada lebam dan guratan bekas tali yang mengikat kakiku. Jelas sekali kakiku
“Bisa ceritakan kembali apa yang anda lihat di sana?” sudah ke sekian kalinya polisi di depanku ini bertanya padaku. Aku ingin ceritakan semua. Namun, lidahku tiba-tiba terasa kelu. Tanganku masih gemetar dan fokusku masih belum kembali. Aku masih bingung harus memulai cerita mengerikan tadi malam itu dari mana. Seorang perawat mendekatiku dan berbisik dengan ramah. “Tarik napas dalam-dalam dan keluarkan perlahan. Ceritakan saja apa yang kamu ingat. Selebihnya bisa menyusul nanti.” Aku melirik ibuku yang duduk di sampingku. Dia menggenggam tanganku erat dan mengangguk pelan. “Enggak apa-apa. Pelan-pelan aja ceritanya. Yang penting kamu bikin laporan dulu. Supaya kasus ini bisa cepat diproses.” Ibu memelukku sedikit lebih erat. Ternyata, hanya pelukannya lah yang aku butuhkan. Pelukan yang bisa meredakan ketakutanku saat ini. “Temanku gimana, Sus?” tanyaku dengan suara parau. “Kondisinya sudah stabil. Sudah masuk ruang rawat. Tinggal me
“Kalian pernah pulang bersama saat malam?” Sheryl mengulangi pertanyaan yang sempat aku alihkan tadi. Dia memicingkan matanya padaku dan Jace secara bergantian. Membuatku tidak mampu berkilah atau membuat alasan yang bagus dalam waktu singkat. “Jace?” panggil Sheryl, karena si tersangka utama ini malah terlihat tidak peduli. “Itu udah lama. Enggak perlu dibahas lagi,” jawabnya santai. Lalu memejamkan mata seolah keadaan ini tidak terlalu penting untuk dibahas. Seiring dengan itu, Zoey masuk ke dalam ruangan. Memotong ketegangan yang sedang berlangsung di ruangan ini. “Sher, lama banget cuma bawa handphone doang,” celetuk Zoey sebelum menyadari ada yang tidak beres dari ekspresi kami bertiga. “Ada apa nih?” Sheryl membuang wajahnya ke arah Zoey. “Lo tahu mereka pernah pulang bersama malam-malam?” Wajah Zoey seketika berubah. Dia menatap lurus padaku, seolah ingin mengatakan bahwa aku seharusnya sudah membereskan hal ini
Zoey mendesak, dan mendorong badanku ke belakang. Ini membuatku tidak lagi menyukai apa yang sedang Zoey perbuat padaku. Aku tidak nyaman dan merasa terancam. Zoey sudah melewati batasnya Aku tidak membuka bibir ketika Zoey terus mendesaku. Dia mencari kesempatan dan sedikit memaksa. Sampai akhirnya aku mampu mendorongnya dan menyudahi apapun kegiatan kami itu. “Zoey stop,” erangku dengan suara serak. Zoey menghentikan ciumannya ketika sadar aku menekan dadanya dengan tanganku. Dia menatapku penuh tanya. Kemudian menarik napas dan mengembuskan dengan kasar. “Maaf, aku enggak bisa ...” “No, It’s on me. Aku yang minta maaf.” Zoey memotong ucapanku. Suaranya masih terdengar bergetar. Lalu kami saling diam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku atas perlakuan Zoey tadi. Apa aku belum siap? Atau memang aku tidak terlalu menyukai Zoey? Oh, Tuhan. Ide yang kedua terdengar san
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan membuatku membuka mata. Seesekali terdengar siulan ringan membuatku sedikit tersenyum. Dia pasti sedang dalam suasana hati yang bagus pagi ini.Aku mengedarkan tangan mencari handphone di sepanjang nakas. Setelah menemukannya, aku mengetuk layarnya dan melihat tampilan penanda waktu.“Masih jam enam pagi.” Lirihku dengan dahi mengkerut. Kenapa dia sudah bangun bahkan sudah mandi sepagi ini?Tidak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Sosok cowok tampan yang sudah membuat jari manisku tersemat cincin cantik, melangkah keluar dari kamar mandi. Dia menoleh ke arahku ketika dia sadar aku juga sudah terbangun pagi ini.“Lho? Kamu bangun?” tanyanya sambil mendekat. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna pink milikku.Aku mengangguk. Menarik badanku supaya duduk lebih tinggi dan bersandar pada kepala ranjang. Kamu kenapa udah mandi jam segini? Ini masih jam enam pagi.”Cowok tinggi dengan senyuman paling sempurna
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta
Aku mengerjap. Gejolak menyakitkan dari bagian atas perut memaksaku untuk membuka mata. Namun, terlalu silau. Sinar-sinar itu terlalu menyakiti mataku. Lalu dorongan kuat itu kembali mendera perutku. Seolah isinya sedang diaduk dan sebentar lagi akan meledak melewati kerongkongan.Aku mengerang dengan lemah sambil mencoba membuka mataku lagi. Semoga kali ini sinar itu tidak terlalu menusuk bola mata.“Kat?”Ah, suara Aiden. Untunglah ada orang di sampingku. Cahaya putih yang menyelusup melewati bulu mataku menampilkan siluet sosok yang familar. Aku kembali mengerjap berharap bayangan buram itu bisa segera menjadi jelas.Bau antiseptik, cairan infus yang menggantung, dan selang oksigen di hidung menjelaskan bahwa aku sedang di rumah sakit. Tentu saja. Aku habis tertabrak mobil.Ingatan tentang bagaimana aku harus berakhir di rumah sakit ini membuat kepalaku diserang rasa nyeri yang hebat. Jeritan klakson dan decitan ban yang kencang kembali berdengung di telinga. Duniaku berputar kenca
Jace's POV Suara orang berdebat di luar ruangan membuatku jengah. Pertengkaran konyol, saling tuduh dan menyalahkan tak berkesudahan. Beberapa kali suster mengingatkan untuk mereka tetap tenang, tetapi para manusia yang rata-rata berumur hampir setengah abad itu tetap saja bersitegang. Di ujung ruangan, pria muda dengan wajah dan raut serupa dengan kakaknya sedang tertunduk lesu. Sama denganku yang tengah di rundung gelisah, dia pun tampak terganggu dengan ucapan-ucapan tidak masuk akal yang selalu menjadi perdebatan para orang tua di luar sana. “Nyokap lo bikin rusuh,” ucapnya ketika pria muda itu mendongak ke arahku. Aku terkekeh pelan. Tidak ada yang lucu. Hanya kekehan pengganti rasa getir yang sedang menggelayuti dadaku sekarang. “Sorry enggak ngabarin lo semalam. Gue terlalu ketakutan dan lupa ngasi tahu keluarganya,” sesalku mengingat Aiden yang baru mengetahui berita ini saat Katy sudah selesai menjalani operasi darurat. Aiden menegakkan punggung. Melepaskan napas panjang
“Katy!” Aku mendengar Alex berteriak, menghentikan langkahku yang masih saja mengejar mobil Jace tanpa melihat keadaan sekeliling. “Lo mau ngapain?” Tanganku di tarik dengan kencang membuatku tersentak ke bahu jalan. Aku menoleh dan baru menyadari aku berlari terlalu ke tengah. Membuatku hampir tersenggol mobil yang sedang melaju dari arah belakang. “Alex, tolongin gue. Susul dia.” Aku merengek. Entahlah, hanya ini yang bisa aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut dia kembali menghilang. Alex mengembuskan napas dengan kasar lalu menggerakan kepalanya ke belakang. Memintaku untuk segera naik ke atas skuternya. “Naik.” Tidak sulit untuk mengejar mobil Jace yang tidak mungkin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba di persimpangan, dia harus berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. “Jace!!” Aku mengetuk kaca mobilnya ketika posisiku sudah berada tepat di samping mobilnya. Sekilas, aku melihat raut terkejut dari wajah Jace. Namun, Dia tidak sempat membuka kaca mobil
Aku mematung memandangi mobil Jace yang menjauh. Meninggalkanku dengan kebingungan atas tuduhan yang di layangkan padaku, tanpa pernah menanyakan kebenarannya terlebih dahulu.Aku mengerjap demi menahan butiran air yang hendak meluncur dari sudut mata. Menghela napas beberapa kali, lalu segera membuka layar handphone. Mencoba mencari tahu penyebab sikap Jace yang berubah drastis seperti ini.Sebuah pesan dari nomor baru dengan waktu kirim paling kini telah terbuka. Aku usap layar demi menampilkan isi pesan itu.‘Kat, ini gue Alex. Gue dapet nomor lo dari Arula. Makasi ya udah nemenin gue malam tadi. Maaf gue enggak anterin lo pulang. Istirahat yang cukup. Lo pasti kelelahan.’Aku menelan ludah sambil meremas handphone dalam gegaman. Pantas saja Jace semarah ini. Siapa pun yang membaca kalimat di dalam teks tadi tentu akan berpikir negatif tentang apa yang telah terjadi semalam.Aku harus segera menjelaskan semuanya sebelum dia memutuskan untuk menjauhiku lagi. Aku tidak bisa membiarka