Share

Dia Istriku Bukan Pembantu
Dia Istriku Bukan Pembantu
Author: Ricny

Bab 1

Author: Ricny
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Ran tolong dong ambilkan tisu, piringnya kayak kotor gini," kata Mas Haris saat kami hendak sarapan di meja makan.

"Masa sih, Mas? Itu sudah dilap loh sama Ranti tadi pagi."

"Bawel banget, ambilin aja napa sih," sahut Mbak Kania-istri Mas Haris.

Akhirnya Ranti yang baru saja akan duduk kembali ke belakang mengambil tisu.

Selesai mengambil tisu, Ranti duduk di sebelahku. Saat baru saja ia akan mengambilkan nasi goreng ke dalam piringku ibu sudah kembali memerintahnya.

"Kecapnya dong Ran, kurang kecap ini nasi gorengnya."

"Itu emang sengaja Bu, Bang Ridho gak terlalu suka kalau nasi gorengnya kebanyakan kecap," jawab Ranti.

"Ya udah sih ambilin aja, pake ngasih alesan segala," sahut Mbak Kania lagi.

Karena malas berdebat Ranti kembali bangkit mengambil kecap.

Aku mulai memasang wajah tak suka.

"Ibu 'kan udah bilang, bikin nasi gorengnya dipisah aja buat Ridho sama buat kita, beda selera soalnya," kata Ibu seraya mengambil botol kecap itu dari tangan Ranti.

"Maaf Bu, soalnya tadi Ranti lagi repot cuci mangkok bekas semalam pada bikin mie, gak tahu bekas siapa tapi mangkoknya lumayan banyak," jawab istriku apa adanya.

Aku menarik napas berat, kasihan Ranti, padahal sebelum dia tidur semalam dia sudah cuci semua piring supaya paginya kerjaan terasa lebih ringan, eh malah ada bekas mangkok bekas si Suci dan teman-temannya itu.

Sarapanpun berlanjut. Seperti biasa Ranti lebih dulu sibuk mengisi piring dan gelasku sebelum akhirnya ia mengambil untuk dirinya sendiri.

Baru selesai ia mengisi air minum ke dalam gelasku, mas Haris sudah kembali bicara.

"Tolong isi juga gelas Mas dong Ran, habis nih," katanya seraya menyodorkan gelas kosongnya.

"Yah tekonya habis, Mas," seru Ranti sambil menaruh teko kosong itu di tengah-tengah meja.

"Ya udah tolong ambilin ke belakang sebentar sana," titah Mas Haris.

Aku mulai geram, tak terima kenapa sejak tadi saat mereka butuh apa-apa selalu saja istriku yang disuruh oleh mereka.

"Kenapa harus Ranti sih, Mas? Mbak Kania kan ada," protesku kemudian, sambil melirik ke arah istri Mas Haris yang juga duduk di sampingnya.

"Kania belum selesai sarapan, tanggung," jawab Mas Haris dengan entengnya.

Aku menyeringai, "tapi Ranti juga belum mulai sarapan, Mas. Kasihan," ujarku lagi.

"Udah sih Rid biarin aja, Ranti juga gak keberatan ini." Ibu menyahut.

"Ya gak bisa dong Bu, kasihan Ranti, kapan sarapannya kalau daritadi disuruh-suruh terus?"

"Wajar aja istrimu disuruh-suruh Rid, kerjaannya kan emang diem di rumah, kecuali kalau istrimu itu kerja kayak si Kania, boleh lah kamu protes."

Aku menggeleng kepala, bisa-bisanya ibu bicara begitu, apa beliau gak pikirin bagaimana perasaanku dan Ranti?

Walau sehari-harinya Ranti di rumah, bukan berarti mereka bebas nyuruh-nyuruh istriku bukan?

"Ranti! Ayo ke belakang! Sekalian ambilkan cardigan yang kemarin kamu setrika mau Ibu pake sekarang," imbuh Ibu lagi pada istriku.

"Kaos kaki Suci juga dong Kak, sekalian ke belakang," sahut Suci-adik bungsuku.

"Enggak!" Refleks aku menyahut dengan suara lantang.

Kugebrak meja makan sedikit kencang sampai air dalam gelas tumpah sebagian.

"Istriku bukan pembantu! Jadi jangan pernah kalian suruh-suruh Ranti lagi, kalian paham?" lanjutku, emosiku meluap-luap bak air mendidih dalam panci.

Semua orang terperangah. Sejurus kemudian ibu melepaskan sendoknya.

"Maksud kamu apa? Gak terima kamu istrimu Ibu suruh-suruh?" tanya beliau dengan raut wajah yang sudah berubah.

Jelas saja aku tak terima, dari mulai bangun subuh sampai sekarang jam 7 pagi istriku gak ada hentinya di dapur.

Selesai sarapan bahkan dia masih harus lanjut ngerjain pekerjaan rumah, entah nyuci bajulah, cuci piring bekas sarapanlah, belanja ke pasar buat besoklah, dan masih banyak lagi tugas istriku yang tak bisa kusebutkan satu persatu.

Dan hal itu sudah berlangsung selama 2 bulan ini sejak aku menikah dengan Ranti. Di mana harusnya pengantin baru seperti kami sedang diberi waktu untuk saling mengenal dan mengisi waktu dengan menyenangkan, mereka malah sibuk jadikan istriku sebagai pembantu gratisan.

Bagaimana aku tidak marah?

"Jelas Ridho gak terima dong Bu, kasihan Ranti dari pagi kerja terus, setidaknya kalau dia sudah ada di meja makan berhentilah nyuruh Ranti, masing-masing orang udah diberi dua tangan dan kaki kan?" jawabku kecut.

"Ridho!" Ibu menyentak, tampak beliau tak suka mendengar ucapanku.

"Ya wajar aja Ibu nyuruh dia ngerjain kerjaan rumah, kerjaan rumah 'kan gak seberapa, gak terlalu capek kaya kita kerja nyari duit, lagian 'kan cuma istrimu yang diem di rumah."

"Kalau gak mau disuruh-suruh makanya kerja dong nyari duit, lihat aja! Walau Ibu udah tua, Ibu masih kuat tuh kerja ke luar, nyari duit buat makan, biar gak nyusahin orang lain terus," imbuh beliau lagi meneleng tajam ke arah istriku.

"Tahu heran banget kenapa sih Kak Ridho sensitifan begitu?" sahut Suci.

"Istri dari kampung aja kamu belain segitunya Ri ... d Ri ... d." Mbak Kania ikut menyahut sambil menggelengkan kepalanya.

Dadaku mulai riuh bergemuruh, rasanya ingin kulakban saja mulut mereka itu satu persatu andai mereka bukanlah keluargaku.

Entah kenapa tega sekali mereka bicara begitu di depan istriku.

Maksud mereka sebetulnya apa? Memang niat membuat Ranti sedih? Atau mereka sengaja supaya Ranti gak diem di rumah lagi, begitu?

"Cukup ya!" Aku yang tak tahan akhirnya bertelunjuk jari ke arah Mbak Kania.

"Udah, Bang!" bisik Ranti menyikut lengan sebelum aku melanjutkan ucapanku.

"Biarlah Abang bela kamu Ranti, sudah tak tahan rasanya kamu selalu dihina begini. Mereka anggap kamu pembantu hanya karena kamu gak kerja, padahal Abang gak merasa keberatan sama sekali, karena kalau cuma buat makan Abang sanggup berikan," ujarku lagi dengan suara yang sengaja kukeraskan.

Mereka semua mengerling dengan bibir tertarik sebelah.

Mereka memang begitu, selalu saja merendahkan istriku di mana pun Ranti berada. Dan parahnya jika aku berusaha membela istriku mereka akan tertawa seolah-olah sikapku itu berlebihan.

"Biar Ranti ambilkan, cuma air seteko 'kan? Kenapa harus ribut-ribut?" sahut Ranti seraya bangkit.

Aku kembali menarik tangannya.

"Bukan masalah air seteko nya Ran, tapi masalahnya harga dirimu akan terus-terusan diinjak-injak kalau kamu selalu menuruti perintah mereka." Tegas aku bicara sambil menatap keluargaku tajam.

Ibu mendecih pelan, "terserahlah, istri dari kampung aja kau bela mati-matian," katanya.

"Ya terus kalau bukan Ridho siapa lagi yang akan belain Ranti, Bu?" Aku menantang, rasanya kemarahanku kini sudah berada di ubun-ubun.

"Percuma ngomong sama kamu Ridho, Ibu males, kayak kamu nikah sama anak presiden aja sampe gak boleh disuruh-suruh, sadar diri aja sih, hidup aja masih numpang di sini," sinis Ibu lagi.

Aku yang sedang marah makin terluka saat ibu bilang kami masih numpang.

Akhirnya aku benar-benar bangkit, lalu kutarik tangan istriku.

"Ayo! Lebih baik kita pergi dari sini!" ucapku tegas.

Ibu terperangah, wajahnya berubah cemas saat beliau mendengar aku akan pergi membawa istriku pergi.

"Tunggu dulu Rid, Ridhooo! kamu mau kemana?"

Tak kupedulikan walau ibu berteriak. Aku terus menarik istriku ke kamar dan mulai memasukan baju-baju kami ke dalam koper.

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Mua Wanah
baru BCA suami yg ngebelain istri, biasanya ikut menganiaya
goodnovel comment avatar
Aline
bagussss Ridho
goodnovel comment avatar
Yunita Anisyah
lanjoot thor.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 2

    "Ridho hentikan! Kamu mau kemana?"Ibu merebut baju di tanganku dan melemparkannya ke tembok."Ridho mau pergi dari sini, lebih baik Ridho tinggal di kontrakan daripada tinggal rumah ini tapi gak ada satupun yang mau menghargai Ranti sebagai istri Ridho," tegasku.Mulut ibu menganga, mungkin beliau sedang syok karena anak lelaki yang biasanya selalu kalem dan nurut apa saja kata beliau kini berubah jadi macan liar."Ridho! Apa-apaan ini? Tinggal di kontrakan katamu?!" sengit Ibu.Dan sebelum aku menjawabnya ibu sudah bicara lagi."Heh kamu gadis kampung." Ibu melotot ke arah Ranti seraya menoyor dadanya sebelah."Lihat anakku! Sejak dia menikah denganmu entah kenapa anakku jadi anak durhaka seperti ini, dia jadi berani membantah dan membentakku begini," imbuh beliau berteriak kencang.Tubuh Ranti bergetar ketakutan. "Tapi Ranti gak ada niat buat-""Diam kamu!" potong Ibu. Beliau bertelunjuk jari, sejurus kemudian tangan beliau melayang dengan gagahnya, untunglah aku segera menangkis

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 3

    Aku pun benar-benar pergi tanpa membawa apapun dari rumah itu. Malas juga, takutnya mereka ngajak debat lagi gimana?Bismillah aja, walau pergi tanpa apapun, bahkan mobilku pun aku tinggal, tapi aku yakin kalau niat membahagiakan istri pasti akan selalu diberikan jalan yang mudah.Saat kami berjalan di bahu jalan perumahan mewah ibu, Ranti mengentikan langkah sambil menarik tanganku sedikit."Kita mau pergi kemana, Bang?""Entahlah."Ranti menarik napas berat."Ranti kan sudah bilang, apa-apa teh coba atuh dipikirkan dulu, pikirkan masak-masaknya.""Abang kesal Ran, kamu selalu aja disuruh-suruh begitu, dua bulan Abang sabar, hari ini mungkin bom waktu nya."Ranti menggelengkan kepala."Kita bahkan gak pamitan ke Bapak loh, kasihan nanti kalau beliau nyariin, gimana?" ucapnya lagi dengan wajah cemas.Aku menghela napas dalam, baru kuuingat soal bapak.Sudah 5 bulan ini Bapak sakit, beliau hanya bisa terbaring di kamar dengan selang infus dan oksigen.Itulah kenapa ibuku tak memperker

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 4

    Ranti menggeleng dengan senyuman renyah."Kasih aja atuh Bang, gak apa-apa kita setengahnya aja."Aku menatap Ranti dengan kening mengerut, istri yang aneh, biasanya para istri minta uang belanja sepenuhnya, tapi ini gaji malah disuruh kasih ke ibu setengahnya.Gajiku cuma 4,7 juta, kalau kukasih ke ibu 2 juta saja, apa dia bisa kelola sisanya dalam waktu sebulan? Belum lagi biaya transfort juga aku selalu minta setiap hari."Udah transfer aja, Bang." "Kamu yakin Ran? Sisanya cuma 2 juta 700 loh kalau Abang transfer ke ibu 2 juta. Kamu harus bayar kontrakan, bayar iuran, belanja sehari-hari belum lagi uang transfort Abang." "Yakin." jawabnya sambil mengecek sesuatu di dalam plastiknya.Akhirnya aku pun membuka aplikasi mobile bankingku dan mentransfer gaji 2 juta rupiah ke rekening Ibu."Sudah Ran.""Alhamdulillah, semoga Bapak cepet sembuh." katanya.Tak lama ponselku kembali berdering. Nama mbak Kania tertera di sana."Ada apa nih mbak Kania? Tumben telepon, jangan-jangan mau buat

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 5

    Ah aku harap keputusanku membawa Ranti pergi bukanlah keputusan yang salah, aku hanya ingin menyelamatkan Ranti dari ketidakberdayaan dan ulah keluargaku yang senang memanfaatkannya.Lagipula aku menikahinya untuk kujadikan pendamping hidup, bukan untuk menjadi pembantu, enak saja."Ya udah nanti Haris ambil lagi uang gaji Haris ke Kania," jawab Mas Haris akhirnya dengan nada suara yang frustasi."Bagus, gitu dong, lagian si Kania kan juga kerja, gak usahlah kamu kasih dia uang, biar uangmu buat berobat Bapak saja, kamu kasih semua ke Ibu," kata Ibu lagi, berusaha sekuat tenaga agar anak lelakinya itu mau menuruti beliau. "Ya udah iya." Lagi-lagi Mas Haris setuju walau dari nada suaranya kudengar tampak sangat berat.Bagaimana tidak berat? Walau bagaimanapun siapa sih yang ingin urusan keuangan dan urusan rumah tangganya dicampuri orang lain?Walau yang mencampurinya adalah ibu sendiri, rasanya tetap saja berat.Alih-alih menikah untuk bahagia malah terancam kandas di tengah jalan.C

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 6

    "Loh ya gak bisa gitu dong Rid, kasihan Ibu nanti pemasukannya kurang kalau kamu gak transfer," sahut Mas Haris keberatan."Pemasukan untuk apa sih sebetulnya? Uang dari Ridho kan untuk biaya perawatan Bapak, uang dari Mas Haris anggaplah untuk hidup sehari-hari dan uang dari Suci buat pengobatan Bapak, apa itu masih kurang juga?" Aku mencecar menjelaskan satu persatu sumber dan kemana sekiranya uang itu pergi.Biarlah ibu tak suka dan biarlah aku dianggap anak perhitungan. Selama ini aku hanya manut apa kata ibu, dimintai setengah gaji, istriku disuruh kerjakan tugas rumah dan bahkan ibu pernah bilang padaku seperti apa yang beliau katakan pada Mas Haris saat tadi di belakang.Katanya meski aku sudah menikah, kewajibanku tetap menomor satukan ibu, barulah setelah itu istriku.Aku ingat saat ibu maksa minta dibelikan baju setelah aku ketahuan membelikan Ranti baju dari mall. Dan yang membuatku tak habis pikir ibu minta baju yang harganya jauh di atas harga baju Ranti.Padahal saat i

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 7

    Masalahnya dari mana aku dapat uang sebanyak itu? Gajiku saja bahkan gak sampe 5 juta per bulannya.Mbak Kania dan Mas Haris mungkin bisa karena mereka sama-sama punya gaji, sementara aku dan Ranti?"Iya, kenapa? Jangan bilang ya kamu keberatan lagi, ini tahlilan Bapak loh," sahut Ibu, mencecar tajam ke arah aku dan Ranti."Bu, tapi masalahnya dari mana kami dapat uang sebanyak itu?""Ya terserah kamu!" sengit Ibu. Wajahnya makin tak santai sejak seminggu lalu kami berdebat soal biaya perawatan Bapak."Sok sok an mau tanggung perawatan Bapak, sekarang Bapak meninggal aja gak mampu sumbang tahlilan." Ibu bicara lagi dengan suara pelan namun masih dapat kudengar jelas."Ya bukannya begitu Bu, kalau bayar perawat kan rutin tiap bulan sehabis Ridho gajian, nah sekarang, Ibu bilang kami harus sumbang dalam waktu 7 hari, darimana kami dapat uang 10 juta itu, Bu?" Aku mencoba menjelaskan walau kutahu kekesalan Ibu padaku akan kembali membuatku dan Ranti tersudut."Ya dari mana aja terserah k

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 8

    "Dia emang susah diatur, selalu aja nurut apa kata istrinya, gak bisa dibilangin atau dirayu, hih amit-amit semoga kamu nanti gak punya anak yang kayak kakakmu itu," jawab Ibu bergidik bahu.Si Suci manggut-manggut sambil menjebikan bibirnya juga sedikit."Oh ya Bu, terus itu soal sumbangan 5 juta per orang apa gak kebanyakan? Ibu kan tahu Suci gak punya duit, Bu," kata Suci lagi.Ibu berdecak sambil mengibaskan tangannya."Gak usah dipikirin itu mah, Ibu sengaja cuma mau bikin Kakakmu si Ridho kelabakan. Biar kakakmu itu kapok karena udah banyak bantah Ibu. Pokoknya intinya Ibu mau buat kakakmu, si Ridho itu kembali lagi ke rumah ini supaya si Ranti juga balik ke sini.""Ibu sih waktu itu pake bilang mereka masih numpang segala, jadinya kak Ridho kesinggung kan?"Ibu mengembuskan napas kasar."Ibu kesel sama kakakmu Ci, masa iya istrinya dibelain terus begitu, yang Ibu mau itu si Ridho kayak si Haris, selalu mengutamakan Ibu, tapi dibentak bukannya minta maaf dan takut si Ridho malah

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 9

    Aku setuju. Selesai salat isya dan tahlil buat Bapak akhirnya kita pergi ke warnas langgananku di dekat kantor.Warnas di mana dulu aku bertemu dengan istri pujaanku ini."Bang, susah gak sih kalau kemana-mana naik angkot begini?" tanya Ranti saat kami masih di dalam angkot."Iya sebetulnya susah, tapi gimana? Ada mobil Abang di rumah ibu males bawanya. Tahu sendirilah sekarang kamu juga Ran, jangankan bawa apa-apa gak bawa apa-apa aja Ibu masih aja dendam sama Abang," jawabku lesu.Ranti menepuk pundakku."Besok kita beli, gak usahlah ambil dari rumah Ibu, males juga, takut dijadikan bahan omongan," kata Ranti."Ya besok kita beli," sahutku sambil mengerling.Istriku ini, selain pemberani baru kutahu dia pandai bercanda juga. Tadi saat di rumah ibu ia sepakati urunan 5 juta itu, barusan dia bilang besok kita beli mobil.Hadeh, dikira suaminya punya ilmu ngepet apa.Sesampainya kami di warnas."Eh si Kiranti ampun baru ke sini lagi sejak nikah," kata Bik Mae."Maklumlah Bik, namanya

Latest chapter

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 48

    "Benar 'kan apa kata Ibu? Si Suci memang pelakunya, dasar anak kurang ajar." Ibu geram dan tak bisa mengendalikan emosinya. Beliau pun melangkah ke dalam dengan emosi yang meluap-luap, aku tak bisa mencegahnya sebab langkah ibu yang terlalu cepat seperti kilat. "Suciii." Ibu berteriak di bibir pintu.Suci menoleh dengan wajah terkejut."Kalian?"Tapi kemudian anak itu tertawa kencang."Oh hahaha baguslah kalian sudah datang," ujarnya menantang sambil melotot ke arah kami.Sementara tangan kanan nya memegang sebilah bambu. Rupanya selama diculik istriku disiksa oleh si Suci dengan sebilah bambu itu karena saat kulihat Ranti ia tengah terikat dengan luka-luka lebam di sekitar kaki dan tangannya."Apa yang kamu lakukan pada istriku Suci? Lepaskan dia!" semburku."Dia??" Suci menunjuk kearah Ranti."Hahaha aku gak akan pernah melepaskannya, coba saja kalau kalian bisa lepaskan, lepaskan saja." Suci lalu mengayunkan sebilah bambu yang dipegangnya itu dan hendaknya memukulkannya pada Ran

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 47

    Aku mematung sebentar, perkataan ibu mungkin ada benarnya tapi apa iya si Suci yang menculik istriku? Untuk apa ia melakukan itu? Dan kenapa harus Ranti? Anak itu memang nekat? Tapi aku harap Jika benar Ranti diculik sama dia, semoga Ranti baik-baik saja dan suci tidak melakukan apapun pada istriku. "Apa Ibu yakin bisa Suci yang melakukannya?" tanyaku lagi, memastikan."Ibu yakin sekali, gak mungkin orang lain, si Suci pasti si Suci."Aku manggut-manggut, sekarang aku sama yakin nya dengan ibu. Bedebah kalau sampai si Suci yang melakukannya, aku pasti akan menangkapnya dan menyeretnya kembali ke dalam penjara. "Tapi kira-kira untuk apa ia melakukan ini, Bu?" Aku bicara lagi."Jangan bodoh Ridho, orang yang sedang dendam apapun akan dilakukan demi hatinya merasa puas."Benar juga apa yang dikatakan ibu."Sekarang kita harus berpikir gimana caranya kita bisa menangkap si Suci dan mencari bukti bahwa dialah yang sudah menculik Ranti," kata Ibu lagi.Aku dan ibu pun diam mencoba menca

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 46

    Pov Ridho."Ada apa, Bang?" tanya Ranti."Suci kabur.""Apa?" sahut Ibu di belakang."Iya, Bu, katanya Suci kabur dari tahanan.""Ya Tuhan bisa-bisa nya si Suci kabur, itu tahanan atau tempat apa? menjaga anak bau kencur saja tidak bisa." Ibu terdengar makin kesal."Entahlah," balasku sama kesalnya.Mobil pun melaju semakin kencang, gara-gara kabar kaburnya suci dari lapas membuat kami semua resah dan ingin segera sampai ke rumah. Entah apa yang sudah terjadi, kok bisa-bisanya si Suci kabur dari Lapas.Ya Tuhan Semoga saja anak itu tidak berbuat ya aneh-aneh.-Pukul 3 sore kami sampai di rumah.kami langsung masuk dan beristirahat sebab perjalanan yang kami tempuh cukup jauh, lebih-lebih kami tidak menyempatkan diri untuk beristirahat di rest area tadi siang tadi.Malam hari aku menghubungi pengacaraku. Ia ternyata sudah mengetahui tentang kaburnya suci dari lapas."Iya ini juga sedang saya usahakan, Pak, katanya lapas sedang ada perbaikan, Suci meminta izin untuk membeli pembalut

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 45

    "Aduh jauh juga ya Ran rumahmu ini, Ibu sampe encok," katanya sambil memegangi pinggang yang sakit.Memang lumayan juga perjalanan dari Jakarta ke Kuningan-Jabar.Bisa 6 sampai 7 jam perjalanan, sayangnya ke Kuningan belum ada kereta atau pesawat jadi hanya bisa ditempuh dengan mobil saja."Emang jauh. Bu, gak ada AC lagi," sahut Ayah lagi-lagi setengah menyindir."Aa." Bunda memberi kode. Spontan ayah pun nyengir.Kami masuk ke dalam rumah. Di dalam makanan enak sudah tersedia, rupanya Bunda menelepon Bik Mursi untuk menyiapkannya saat tadi kami akan pulang."Ayo pada makan dulu, perjalanan jauh capek." Bunda menggelar karpet di ruang keluarga dan mulai menaruh nasi serta lauk pauknya di tengah-tengah."Eh kok udah ada makanan aja, Bu?" tanya Ibu keheranan."Kalau hidup di kampung emang gak usah khawatir Bu, jangankan makanan, uang saja berhamburan di luar rumah," sahut Ayah. Bunda menggeleng kepala."Eh masa sih?""Kalau enggak percaya nanti ikut jalan-jalan keliling desa.""Aa." B

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 44

    PoV Ranti."Ran, kamu berhasil, Ibu sudah menyesali semua perbuatan buruknya sama kita terutama sama kamu, kamu hebat," bisik Bang Ridho di telingaku.Karena tubuhku masih lemas dan tak bisa bergerak aku hanya membalas dengan senyuman."Kamu seneng 'kan? Makanya kamu harus cepat sembuh ya sayang," ucap Bang Ridho lagi.Aku memejamkan mata."Iya, Bang.""Saya juga mau lihat anak saya, Sus." Kudengar suara gaduh Bunda dan Ayah di luar.Mereka tampak memaksa ingin masuk ke dalam."Maaf Bu, tapi di dalam hanya boleh dua orang saja yang menjenguk."Ibu mertua bangkit, beliau menatapku sekali lagi sebelum akhirnya beliau mengalah dan memberi kesempatan untuk Bunda masuk bergantian."Cepet sembuh ya Lus," katanya pelan nyaris tak terdengar.Sejurus dengan itu ada bagian di hatiku yang rasanya teriris, kali ini bukan karena hal yang menyakitkan tapi karena terharu sekaligus tak percaya ibu mertuaku kini sudah bisa membuka hatinya untuk menerimaku.Ibu mertua keluar, Bunda tergesa-gesa masuk k

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 43

    "Bisa, Ibu sudah jauh lebih baik hari ini."Aku tersenyum lebar seraya mengusap dada, untunglah aku diberi kesempatan mendonor untuk Ranti. Semoga dengan cara ini aku bisa menebus sedikit kesalahanku padanya.Selesai dilakukan pemeriksaan aku dibawa ke ruang khusus, di sana segera darahku diambil.Selesai melakukan donor aku kembali dibawa ke ruang rawat inap, sebetulnya aku merasa sudah lebih baik tapi dokter menyarankanku agar aku tetap dirawat dulu sampai 2 hari ke depan, lebih-lebih karena aku baru saja melakukan donor."Makasih Bu, Ridho pikir Ibu--.""Ibu minta maaf ya Rid, penyesalan memang selalu datang di akhir," potongku.Ridho mengangguk ragu, kasihan dia, gara-gara aku yang keterlaluan Ridho mau tak mau harus rela menerima batunya juga.Entah bagaimana keadaan Ranti sekarang, semoga menantuku itu bisa sehat kembali."Kapan operasinya dimulai?""Sekarang sedang dipersiapkan Bu dan akan segera dimulai.""Bawa Ibu ke depan ruang operasi Rid, Ibu ingin menunggu Ranti juga di s

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 42

    PoV Ibu Mertua"Maaf Bu, pasien masih harus istirahat banyak karena tubuhnya banyak yang cidera, luka bekas operasinya juga belum sepenuhnya sembuh," kata Dokter.Aku terpaksa melepaskan diri dari Ranti. Padahal saat ini aku benar-benar tengah menyesali kebodohanku.Kupikir selama ini Ranti adalah menantu yang kurang ajar. Sejak kehadirannya di rumahku sebagai istri nya Ridho aku tak pernah sedikitpun menyayangi dan menerimanya.Bagiku dia adalah benalu, pemisah antara aku dan anak laki-lakiku karena sejak Ridho menikah dengannya ia jadi lebih sering menghabiskan banyak waktu dengan wanita itu.Jujur saja aku cemburu dan tak terima, aku mengizinkan kedua anak lelakiku menikah bukan agar mereka hidup bahagia lantas melupakanku.Aku hanya ingin mereka tidak merusak anak gadis siapapun dan bisa menyalurkan hasrat bilogisnya pada istri mereka masing-masing.Tapi sial, setelah menikah mereka justru memilih jalan sendiri-sendiri, mereka tak lagi meminta bantuan atau pendapatku lagi. Mereka

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 41

    Tapi tidak, aku tidak boleh ragu-ragu pergi ke kantor polisi, dengan bantuan layar monitor cctv di ponselku aku akan terus memantau gerak-gerik mereka dan memastikan mereka tak banyak bertingkah di dalam rumahku.Pukul setengah 9 aku sampai di kantor polisi, segera kuberikan bukti rekaman suara Suci yang ada di dalam ponselku itu."Baik, Bu, kami akan segera melakukan penangkapan dan pemeriksaan pada terduga.""Baik, Pak, saya tunggu, terduga ada di rumah saya sekarang dan dia berniat terbang ke Surabaya siang nanti," ujarku lagi.Petugas polisi mengangguk paham.Aku kembali bangkit saat sudah menyelesaikan urusanku. Di koridor kantor polisi kutelepon kembali Bang Ridho."Bang, semua beres.""Oke, makasih istriku."Dari sana aku tak kemana-mana lagi, karena khawatir dua brekele itu akan berbuat ulah segera aku kembali pulang.-Sampai di rumah aku mendengar suara ribut-ribut di kamar ibu dan Suci. Perasaanku langsung tak enak, secepat kilat aku berlari menaiki anak tangga."Ibu bilang

  • Dia Istriku Bukan Pembantu   Bab 40

    "Kenapa Ibu pucat? Apa jangan-jangan bener ya?" tanyaku lagi tanpa jeda.Ibu menggeleng cepat."Mungkin si Suci kecapekan karena udah pergi seharian ke pasar," jawabnya cemas. Kening ibu mendadak basah oleh keringat dingin."Ah masa? Tapi kok si Suci tidurnya kayak orang kena obat ya?" sindirku lagi, ibu makin tersesak-sesak memegangi dadanya."Hati-hati loh Bu, pemakaian obat tidur berlebihan bisa menyebabkan tidak sadar lagi seumur hidup." Aku berbisik di telinganya. Ibu yang sedang panik makin ketakutan."Apaan sih ngaco aja kalau ngomong.""Dih kalau gak percaya tanya aja sama dokter."Ibu makin cemas, ia berusaha membangunkan anaknya berkali-kali. Sementara aku memilih pergi."Ci Suci bangun hei Suci, masa kamu gak mau bangun lagi sih?"Aku terkikik di tangga. Puas rasanya bisa memberi mereka pelajaran meski entah kapan mereka berubahnya.Aku masuk dalam kamar, bosan juga rasanya tak ada Bang Ridho di rumah, aku jadi kesepian meski ada dua brekele yang selalu bikin ulah.Kubanti

DMCA.com Protection Status