Ranti menggeleng dengan senyuman renyah.
"Kasih aja atuh Bang, gak apa-apa kita setengahnya aja."Aku menatap Ranti dengan kening mengerut, istri yang aneh, biasanya para istri minta uang belanja sepenuhnya, tapi ini gaji malah disuruh kasih ke ibu setengahnya.Gajiku cuma 4,7 juta, kalau kukasih ke ibu 2 juta saja, apa dia bisa kelola sisanya dalam waktu sebulan? Belum lagi biaya transfort juga aku selalu minta setiap hari."Udah transfer aja, Bang.""Kamu yakin Ran? Sisanya cuma 2 juta 700 loh kalau Abang transfer ke ibu 2 juta. Kamu harus bayar kontrakan, bayar iuran, belanja sehari-hari belum lagi uang transfort Abang.""Yakin." jawabnya sambil mengecek sesuatu di dalam plastiknya.Akhirnya aku pun membuka aplikasi mobile bankingku dan mentransfer gaji 2 juta rupiah ke rekening Ibu."Sudah Ran.""Alhamdulillah, semoga Bapak cepet sembuh." katanya.Tak lama ponselku kembali berdering. Nama mbak Kania tertera di sana."Ada apa nih mbak Kania? Tumben telepon, jangan-jangan mau buat ulah lagi," ucapku sebelum aku menerima telepon itu."Angkat, Bang,"titah Ranti.Malas sebetulnya, tapi akhirnya kuusap juga layar ponsel itu."Hallo kenapa, Mbak?""Udah transfer ke Ibu belum kamu? Jangan mentang-mentang udah pisah rumah kamu jadi ngerasa lepas tanggung jawab ya," kecutnya.Aku menarik napas dalam. Iparku ini bener-bener gak sopan, selalu saja ikut campur soal keuanganku, heran."Udah barusan," jawabku pendek.Kututup telepon tanpa bicara lagi."Ada apa, Bang?" tanya Ranti."Biasalah mbak Kania, selalu aja urusan soal duit. Kayak ngerasa ketakutan kita gak kasih biaya pengobatan Bapak," dengusku."Udah biarin aja, yang penting kita jangan kayak mereka," ujar Ranti ringan.***Esok harinya ibu menelepon lagi."Datang ke rumah ya San kalau kamu ada waktu, ajak istrimu juga," ucap beliau lembut.Aku hampir tak percaya kenapa ibu jadi berubah manis lagi? Kemarin beliau marah-marah, bahkan minta uang pun sampai tak basa-basi dulu.Ada apa nih? Apa jangan-jangan ada udang di balik rempeyek? Hah bisa jadi."Mau apa, Bu? Bukannya Ibu gak suka kami datang lagi ke sana?" tanyaku akhirnya.Masih kuingat jelas saat Ibu mengusir kami dari rumah, beliau sampai hina-hina Ranti dan mengancam kami agar kami tak datang lagi ke sana.Makanya sampai sekarang pun kami belum berani jenguk Bapak."Ah kamu nih kebiasaan deh suka besar-besarin masalah, yang udah mah udah dong Rid," kata Ibu lagi."Ridho mau ke sana, asal Ibu janji, gak akan hina-hina Ranti lagi," tegasku.Ibu diam sebentar, tapi akhirnya beliau setuju juga. Dengan nada suara yang ramah beliau bicara."Iya tenang saja, kemarin Ibu cuma lagi kesel karena kamu pindah mendadak gitu dari rumah Ibu. lagian kasihan Bapak, takut nyariin kalian."Baiklah, kalau alasannya soal Bapak, rasanya aku juga tak bisa menolak.Sepulang kerja kuturuti permintaan Ibu datang ke rumahnya, kuajak juga Ranti ke sana."Eh Kak Ranti sama Kak Ridho, sini masuk, Kak." Suci menyambut kami ramah.Lagi-lagi aku mengerutkan kening, kenapa nih anak? Kok jadi ikutan berubah kayak bunglon begini?Perasaan sewaktu aku mau pergi dia sama Ibu yang paling murka. Tapi kenapa sekarang Suci juga jadi kayak Ibu? Berubah manis dan ramah begini."Baguslah, masih ingat rupanya kau sama Bapak," sahut Mbak Kania yang sedang duduk di depan tv bersama Suci.Suci cepat menyikut tangan Mbak Kania."Ish jangan begitu," ucapnya pelan.Malas meladeni mereka, aku pun bergegas masuk ke kamar Bapak bersama Ranti."Maaf ya, Pak, kemarin kami pindah rumah tapi gak pamitan dulu," ucapku sambil menggenggam tangan Bapak."Gak apa-apa Rid, bagus kamu mau mandiri, kalau udah nikah emang harusnya begitu." Senyum Bapak pada kami."Tapi Ibu gak suka Ridho pergi, Pak, Ibu marah banget kemarin, takutnya dosa, Pak."Bapak tersenyum tipis sambil menggeleng kepala."Ibu mu emang selamanya bakal begitu, itu sudah wataknya, Ibu mu gak mau sampe kamu dan Masmu itu pindah rumah karena menurutnya anak lelaki itu milik ibunya selama mereka masih hidup, walau memang begitu kenyataannya tapi sebetulnya prakteknya gak seperti Ibumu juga.""Dia itu memang salah kaprah, dari sejak muda cuma uang saja yang dia pikirkan, sampai heran Bapak, mau marah juga percuma. Udah gak usah kamu pikirkan Ibumu, yang penting kamu rumah tangga dulu yang bener, di sini Ibumu juga baik-baik aja kan?"Aku manggut-manggut mendengar wejangan Bapak."Iya Pak. Tapi sepertinya Ibu juga udah gak marah sih, makanya kami bisa kesini sekarang karena Ibu yang pinta tadi pagi," ujarku lagi."Jelas saja, Ibumu gak akan bisa marah lama-lama sama anaknya, bisa rugi bandar dia," bisik Bapak terkekeh.Sedang asik mengobrol aku pamit ke belakang sebentar. Niat hati mau pergi ke kamar mandi tapi tak sengaja kudengar obrolan Ibu dengan Mas Haris di ruang makan."Tegas dong Haris, gimana ceritanya gaji kamu dirampas sama si Kania? Biasanya juga kamu kasih setengahnya sama Ibu, apa kamu udah gak sayang sama Ibumu ini?"Keningku mengerut, karena penasaran akhrinya aku bersembunyi dulu di dekat pintu ruang makan."Bukannya begitu, Bu, tapi sekarang Kania udah pinter, malah dia ngancam gak mau kerja lagi kalau Haris gak kasih dulu uang gaji Haris ke dia," jawab Mas Haris, terdengar sangat hati-hati bicara dengan Ibu.Ibu mendesah kesal, "sshh kamu nih, jadi anak laki itu harus tegas dong, jangan mau dikuasai istri, apa kamu mau kamu disebut sutis? Suami takut istri? Rendah banget jadinya posisimu itu kalau kamu bisa diatur-atur sama si Kania."Aku menggeleng kepala. Mendengar percakapan Ibu dan Mas Haris aku sudah bisa menyimpulkan sedikit bahwa memang benar apa yang dikatakan Bapak, selama ini Ibu ingin terus menguasai anak lelakinya.Gak beres, walau aku posisinya sebagai anak, tapi aku tahu ini gak beres.Berbakti pada orang tua memang harus bahkan kewajiban tapi konteksnya gak bisa disamakan saat anak lelaki sudah menikah dan berkeluarga.Gimna bisa Ibu ingin terus mengatur keuangan anak laki-lakinya sementara dia sadar betul anak laki-lakinya sudah menikah?Ah aku harap keputusanku membawa Ranti pergi bukanlah keputusan yang salah, aku hanya ingin menyelamatkan Ranti dari ketidakberdayaan dan ulah keluargaku yang senang memanfaatkannya.Lagipula aku menikahinya untuk kujadikan pendamping hidup, bukan untuk menjadi pembantu, enak saja."Ya udah nanti Haris ambil lagi uang gaji Haris ke Kania," jawab Mas Haris akhirnya dengan nada suara yang frustasi."Bagus, gitu dong, lagian si Kania kan juga kerja, gak usahlah kamu kasih dia uang, biar uangmu buat berobat Bapak saja, kamu kasih semua ke Ibu," kata Ibu lagi, berusaha sekuat tenaga agar anak lelakinya itu mau menuruti beliau. "Ya udah iya." Lagi-lagi Mas Haris setuju walau dari nada suaranya kudengar tampak sangat berat.Bagaimana tidak berat? Walau bagaimanapun siapa sih yang ingin urusan keuangan dan urusan rumah tangganya dicampuri orang lain?Walau yang mencampurinya adalah ibu sendiri, rasanya tetap saja berat.Alih-alih menikah untuk bahagia malah terancam kandas di tengah jalan.C
"Loh ya gak bisa gitu dong Rid, kasihan Ibu nanti pemasukannya kurang kalau kamu gak transfer," sahut Mas Haris keberatan."Pemasukan untuk apa sih sebetulnya? Uang dari Ridho kan untuk biaya perawatan Bapak, uang dari Mas Haris anggaplah untuk hidup sehari-hari dan uang dari Suci buat pengobatan Bapak, apa itu masih kurang juga?" Aku mencecar menjelaskan satu persatu sumber dan kemana sekiranya uang itu pergi.Biarlah ibu tak suka dan biarlah aku dianggap anak perhitungan. Selama ini aku hanya manut apa kata ibu, dimintai setengah gaji, istriku disuruh kerjakan tugas rumah dan bahkan ibu pernah bilang padaku seperti apa yang beliau katakan pada Mas Haris saat tadi di belakang.Katanya meski aku sudah menikah, kewajibanku tetap menomor satukan ibu, barulah setelah itu istriku.Aku ingat saat ibu maksa minta dibelikan baju setelah aku ketahuan membelikan Ranti baju dari mall. Dan yang membuatku tak habis pikir ibu minta baju yang harganya jauh di atas harga baju Ranti.Padahal saat i
Masalahnya dari mana aku dapat uang sebanyak itu? Gajiku saja bahkan gak sampe 5 juta per bulannya.Mbak Kania dan Mas Haris mungkin bisa karena mereka sama-sama punya gaji, sementara aku dan Ranti?"Iya, kenapa? Jangan bilang ya kamu keberatan lagi, ini tahlilan Bapak loh," sahut Ibu, mencecar tajam ke arah aku dan Ranti."Bu, tapi masalahnya dari mana kami dapat uang sebanyak itu?""Ya terserah kamu!" sengit Ibu. Wajahnya makin tak santai sejak seminggu lalu kami berdebat soal biaya perawatan Bapak."Sok sok an mau tanggung perawatan Bapak, sekarang Bapak meninggal aja gak mampu sumbang tahlilan." Ibu bicara lagi dengan suara pelan namun masih dapat kudengar jelas."Ya bukannya begitu Bu, kalau bayar perawat kan rutin tiap bulan sehabis Ridho gajian, nah sekarang, Ibu bilang kami harus sumbang dalam waktu 7 hari, darimana kami dapat uang 10 juta itu, Bu?" Aku mencoba menjelaskan walau kutahu kekesalan Ibu padaku akan kembali membuatku dan Ranti tersudut."Ya dari mana aja terserah k
"Dia emang susah diatur, selalu aja nurut apa kata istrinya, gak bisa dibilangin atau dirayu, hih amit-amit semoga kamu nanti gak punya anak yang kayak kakakmu itu," jawab Ibu bergidik bahu.Si Suci manggut-manggut sambil menjebikan bibirnya juga sedikit."Oh ya Bu, terus itu soal sumbangan 5 juta per orang apa gak kebanyakan? Ibu kan tahu Suci gak punya duit, Bu," kata Suci lagi.Ibu berdecak sambil mengibaskan tangannya."Gak usah dipikirin itu mah, Ibu sengaja cuma mau bikin Kakakmu si Ridho kelabakan. Biar kakakmu itu kapok karena udah banyak bantah Ibu. Pokoknya intinya Ibu mau buat kakakmu, si Ridho itu kembali lagi ke rumah ini supaya si Ranti juga balik ke sini.""Ibu sih waktu itu pake bilang mereka masih numpang segala, jadinya kak Ridho kesinggung kan?"Ibu mengembuskan napas kasar."Ibu kesel sama kakakmu Ci, masa iya istrinya dibelain terus begitu, yang Ibu mau itu si Ridho kayak si Haris, selalu mengutamakan Ibu, tapi dibentak bukannya minta maaf dan takut si Ridho malah
Aku setuju. Selesai salat isya dan tahlil buat Bapak akhirnya kita pergi ke warnas langgananku di dekat kantor.Warnas di mana dulu aku bertemu dengan istri pujaanku ini."Bang, susah gak sih kalau kemana-mana naik angkot begini?" tanya Ranti saat kami masih di dalam angkot."Iya sebetulnya susah, tapi gimana? Ada mobil Abang di rumah ibu males bawanya. Tahu sendirilah sekarang kamu juga Ran, jangankan bawa apa-apa gak bawa apa-apa aja Ibu masih aja dendam sama Abang," jawabku lesu.Ranti menepuk pundakku."Besok kita beli, gak usahlah ambil dari rumah Ibu, males juga, takut dijadikan bahan omongan," kata Ranti."Ya besok kita beli," sahutku sambil mengerling.Istriku ini, selain pemberani baru kutahu dia pandai bercanda juga. Tadi saat di rumah ibu ia sepakati urunan 5 juta itu, barusan dia bilang besok kita beli mobil.Hadeh, dikira suaminya punya ilmu ngepet apa.Sesampainya kami di warnas."Eh si Kiranti ampun baru ke sini lagi sejak nikah," kata Bik Mae."Maklumlah Bik, namanya
"Heh berani banget sih Kak Ranti ngomong gitu sama Ibu." Si Suci menyahut geram.Tapi Ranti menghadapinya justru dengan tenang dan santai."Kenapa Ci? Kakak hanya minta catatan keuangannya saja, bukan minta uangnya, apa itu salah?" jawab Ranti lagi.Mulut si Suci menganga. "Betul." Kemudian Mbak Kania menyahut setuju."Kami rasa kami memang harus tahu untuk apa saja kira-kita uang 25 juta itu," imbuh Mbak Kania."Diam kamu Kania! Jangan suka ikut-ikutan kayak mereka. Mereka itu anak-anak durhaka!" sengit Ibu."Astagfirullah jangan sembarangan mengucap sumpah serapah, Bu, apalagi seenaknya melabeli anak sendiri dengan perkataan tidak baik," kata Ranti lagi.Ibu makin terlihat murka."Kamu emang benalu Ranti. Sudah kau kotori otak anakku sekarang kau pun kurang ajar sama Ibu." "Siapa sih Bu yang kurang ajar itu? Ranti hanya minta catatan pengeluaran dan pemasukan soal uang tahlilan, kira-kira siapa saja yang sudah menyumbang untuk tahlilan Bapak? Biar kalau ada yang belum nyumbang, bi
Aku berbalik menghadap Ranti yang tengah duduk di sisi ranjang.Perlahan aku juga duduk di sampingnya. Kasihan Ranti, dari semalam diam saja, sekarang kelihatan sangat kesal, mungkin dia sangat tersinggung dengan ucapan ibu semalam."Ranti ... maafkan atas ucapan ibu semalam ya, kamu kan tahu gimana ibu, jangan dimasukan ke hati ya," ucapku pelan.Ranti menggeleng dan mengibaskan tangannya."Gak apa-apa, Bang.""Tadi kamu bilang mau beli mobil biar gak dihina-hina ibu lagi, Abang jadi ngerasa bersalah."Ranti malah tertawa."Ranti mau beli mobil bukan karen itu aja sih alesannya, tapi biar Abang gak telat pergi kerja kalau hujan," jawabnya sambil menyanggah dagunya di atas bantal.Aku tersenyum sambil menggeleng kepala, lalu mengacak rambutnya yang diikat ke belakang."Iya nanti kita beli ya, tapi kalau Abang udah naik jabatan atau dapat bonus mendadak," kataku terkekeh.Aku lalu bangkit."Eh Abang mau kemana? Tunggu dulu."Aku akhirnya duduk kembali."Apa lagi? Katanya kamu mau beli
Percakapan mereka berakhir. Aku yang sejak tadi hanya menyimak langsung bertanya."Kenapa kata Ayah sama Bunda Ran?""Mereka mau bantuin kita beli rumah Bang, asik," jawab Ranti berseri-seri.Alisku menaut.Bantuin beli rumah? Apa tak salah? Maaf maaf tapi kalau boleh jujur, rumah keluarga Ranti di kampung itu sangat sederhana bahkan jauh dari kata mewah.Bahkan mereka itu terlihat seperti keluarga golongan menengah ke bawah, itulah sebabnya ibu sering sewot sama Ranti karena beliau berpikir keluarga Ranti itu jauh beda dengan keluargaku.Tapi sekarang apa? Mereka mau bantuin kami beli rumah?"Abang kenapa sih bengong begitu?" Ranti mengagetkanku lagi."Enggak Ran, Abang cuma khawatir Ayah sama Bunda akan kecewa sama Abang."Ranti berdecak sambil mengibaskan tangannya."Ck Ayah sama Bunda bukan orang seperti itu, Bang.""Tapi kalau bisa gak usahlah kita minta bantuan mereka soal tempat tinggal Ran, kasihan, masa rumah buat kita mereka yang harus pusing." Ranti tertawa sedikit, "kenap
"Benar 'kan apa kata Ibu? Si Suci memang pelakunya, dasar anak kurang ajar." Ibu geram dan tak bisa mengendalikan emosinya. Beliau pun melangkah ke dalam dengan emosi yang meluap-luap, aku tak bisa mencegahnya sebab langkah ibu yang terlalu cepat seperti kilat. "Suciii." Ibu berteriak di bibir pintu.Suci menoleh dengan wajah terkejut."Kalian?"Tapi kemudian anak itu tertawa kencang."Oh hahaha baguslah kalian sudah datang," ujarnya menantang sambil melotot ke arah kami.Sementara tangan kanan nya memegang sebilah bambu. Rupanya selama diculik istriku disiksa oleh si Suci dengan sebilah bambu itu karena saat kulihat Ranti ia tengah terikat dengan luka-luka lebam di sekitar kaki dan tangannya."Apa yang kamu lakukan pada istriku Suci? Lepaskan dia!" semburku."Dia??" Suci menunjuk kearah Ranti."Hahaha aku gak akan pernah melepaskannya, coba saja kalau kalian bisa lepaskan, lepaskan saja." Suci lalu mengayunkan sebilah bambu yang dipegangnya itu dan hendaknya memukulkannya pada Ran
Aku mematung sebentar, perkataan ibu mungkin ada benarnya tapi apa iya si Suci yang menculik istriku? Untuk apa ia melakukan itu? Dan kenapa harus Ranti? Anak itu memang nekat? Tapi aku harap Jika benar Ranti diculik sama dia, semoga Ranti baik-baik saja dan suci tidak melakukan apapun pada istriku. "Apa Ibu yakin bisa Suci yang melakukannya?" tanyaku lagi, memastikan."Ibu yakin sekali, gak mungkin orang lain, si Suci pasti si Suci."Aku manggut-manggut, sekarang aku sama yakin nya dengan ibu. Bedebah kalau sampai si Suci yang melakukannya, aku pasti akan menangkapnya dan menyeretnya kembali ke dalam penjara. "Tapi kira-kira untuk apa ia melakukan ini, Bu?" Aku bicara lagi."Jangan bodoh Ridho, orang yang sedang dendam apapun akan dilakukan demi hatinya merasa puas."Benar juga apa yang dikatakan ibu."Sekarang kita harus berpikir gimana caranya kita bisa menangkap si Suci dan mencari bukti bahwa dialah yang sudah menculik Ranti," kata Ibu lagi.Aku dan ibu pun diam mencoba menca
Pov Ridho."Ada apa, Bang?" tanya Ranti."Suci kabur.""Apa?" sahut Ibu di belakang."Iya, Bu, katanya Suci kabur dari tahanan.""Ya Tuhan bisa-bisa nya si Suci kabur, itu tahanan atau tempat apa? menjaga anak bau kencur saja tidak bisa." Ibu terdengar makin kesal."Entahlah," balasku sama kesalnya.Mobil pun melaju semakin kencang, gara-gara kabar kaburnya suci dari lapas membuat kami semua resah dan ingin segera sampai ke rumah. Entah apa yang sudah terjadi, kok bisa-bisanya si Suci kabur dari Lapas.Ya Tuhan Semoga saja anak itu tidak berbuat ya aneh-aneh.-Pukul 3 sore kami sampai di rumah.kami langsung masuk dan beristirahat sebab perjalanan yang kami tempuh cukup jauh, lebih-lebih kami tidak menyempatkan diri untuk beristirahat di rest area tadi siang tadi.Malam hari aku menghubungi pengacaraku. Ia ternyata sudah mengetahui tentang kaburnya suci dari lapas."Iya ini juga sedang saya usahakan, Pak, katanya lapas sedang ada perbaikan, Suci meminta izin untuk membeli pembalut
"Aduh jauh juga ya Ran rumahmu ini, Ibu sampe encok," katanya sambil memegangi pinggang yang sakit.Memang lumayan juga perjalanan dari Jakarta ke Kuningan-Jabar.Bisa 6 sampai 7 jam perjalanan, sayangnya ke Kuningan belum ada kereta atau pesawat jadi hanya bisa ditempuh dengan mobil saja."Emang jauh. Bu, gak ada AC lagi," sahut Ayah lagi-lagi setengah menyindir."Aa." Bunda memberi kode. Spontan ayah pun nyengir.Kami masuk ke dalam rumah. Di dalam makanan enak sudah tersedia, rupanya Bunda menelepon Bik Mursi untuk menyiapkannya saat tadi kami akan pulang."Ayo pada makan dulu, perjalanan jauh capek." Bunda menggelar karpet di ruang keluarga dan mulai menaruh nasi serta lauk pauknya di tengah-tengah."Eh kok udah ada makanan aja, Bu?" tanya Ibu keheranan."Kalau hidup di kampung emang gak usah khawatir Bu, jangankan makanan, uang saja berhamburan di luar rumah," sahut Ayah. Bunda menggeleng kepala."Eh masa sih?""Kalau enggak percaya nanti ikut jalan-jalan keliling desa.""Aa." B
PoV Ranti."Ran, kamu berhasil, Ibu sudah menyesali semua perbuatan buruknya sama kita terutama sama kamu, kamu hebat," bisik Bang Ridho di telingaku.Karena tubuhku masih lemas dan tak bisa bergerak aku hanya membalas dengan senyuman."Kamu seneng 'kan? Makanya kamu harus cepat sembuh ya sayang," ucap Bang Ridho lagi.Aku memejamkan mata."Iya, Bang.""Saya juga mau lihat anak saya, Sus." Kudengar suara gaduh Bunda dan Ayah di luar.Mereka tampak memaksa ingin masuk ke dalam."Maaf Bu, tapi di dalam hanya boleh dua orang saja yang menjenguk."Ibu mertua bangkit, beliau menatapku sekali lagi sebelum akhirnya beliau mengalah dan memberi kesempatan untuk Bunda masuk bergantian."Cepet sembuh ya Lus," katanya pelan nyaris tak terdengar.Sejurus dengan itu ada bagian di hatiku yang rasanya teriris, kali ini bukan karena hal yang menyakitkan tapi karena terharu sekaligus tak percaya ibu mertuaku kini sudah bisa membuka hatinya untuk menerimaku.Ibu mertua keluar, Bunda tergesa-gesa masuk k
"Bisa, Ibu sudah jauh lebih baik hari ini."Aku tersenyum lebar seraya mengusap dada, untunglah aku diberi kesempatan mendonor untuk Ranti. Semoga dengan cara ini aku bisa menebus sedikit kesalahanku padanya.Selesai dilakukan pemeriksaan aku dibawa ke ruang khusus, di sana segera darahku diambil.Selesai melakukan donor aku kembali dibawa ke ruang rawat inap, sebetulnya aku merasa sudah lebih baik tapi dokter menyarankanku agar aku tetap dirawat dulu sampai 2 hari ke depan, lebih-lebih karena aku baru saja melakukan donor."Makasih Bu, Ridho pikir Ibu--.""Ibu minta maaf ya Rid, penyesalan memang selalu datang di akhir," potongku.Ridho mengangguk ragu, kasihan dia, gara-gara aku yang keterlaluan Ridho mau tak mau harus rela menerima batunya juga.Entah bagaimana keadaan Ranti sekarang, semoga menantuku itu bisa sehat kembali."Kapan operasinya dimulai?""Sekarang sedang dipersiapkan Bu dan akan segera dimulai.""Bawa Ibu ke depan ruang operasi Rid, Ibu ingin menunggu Ranti juga di s
PoV Ibu Mertua"Maaf Bu, pasien masih harus istirahat banyak karena tubuhnya banyak yang cidera, luka bekas operasinya juga belum sepenuhnya sembuh," kata Dokter.Aku terpaksa melepaskan diri dari Ranti. Padahal saat ini aku benar-benar tengah menyesali kebodohanku.Kupikir selama ini Ranti adalah menantu yang kurang ajar. Sejak kehadirannya di rumahku sebagai istri nya Ridho aku tak pernah sedikitpun menyayangi dan menerimanya.Bagiku dia adalah benalu, pemisah antara aku dan anak laki-lakiku karena sejak Ridho menikah dengannya ia jadi lebih sering menghabiskan banyak waktu dengan wanita itu.Jujur saja aku cemburu dan tak terima, aku mengizinkan kedua anak lelakiku menikah bukan agar mereka hidup bahagia lantas melupakanku.Aku hanya ingin mereka tidak merusak anak gadis siapapun dan bisa menyalurkan hasrat bilogisnya pada istri mereka masing-masing.Tapi sial, setelah menikah mereka justru memilih jalan sendiri-sendiri, mereka tak lagi meminta bantuan atau pendapatku lagi. Mereka
Tapi tidak, aku tidak boleh ragu-ragu pergi ke kantor polisi, dengan bantuan layar monitor cctv di ponselku aku akan terus memantau gerak-gerik mereka dan memastikan mereka tak banyak bertingkah di dalam rumahku.Pukul setengah 9 aku sampai di kantor polisi, segera kuberikan bukti rekaman suara Suci yang ada di dalam ponselku itu."Baik, Bu, kami akan segera melakukan penangkapan dan pemeriksaan pada terduga.""Baik, Pak, saya tunggu, terduga ada di rumah saya sekarang dan dia berniat terbang ke Surabaya siang nanti," ujarku lagi.Petugas polisi mengangguk paham.Aku kembali bangkit saat sudah menyelesaikan urusanku. Di koridor kantor polisi kutelepon kembali Bang Ridho."Bang, semua beres.""Oke, makasih istriku."Dari sana aku tak kemana-mana lagi, karena khawatir dua brekele itu akan berbuat ulah segera aku kembali pulang.-Sampai di rumah aku mendengar suara ribut-ribut di kamar ibu dan Suci. Perasaanku langsung tak enak, secepat kilat aku berlari menaiki anak tangga."Ibu bilang
"Kenapa Ibu pucat? Apa jangan-jangan bener ya?" tanyaku lagi tanpa jeda.Ibu menggeleng cepat."Mungkin si Suci kecapekan karena udah pergi seharian ke pasar," jawabnya cemas. Kening ibu mendadak basah oleh keringat dingin."Ah masa? Tapi kok si Suci tidurnya kayak orang kena obat ya?" sindirku lagi, ibu makin tersesak-sesak memegangi dadanya."Hati-hati loh Bu, pemakaian obat tidur berlebihan bisa menyebabkan tidak sadar lagi seumur hidup." Aku berbisik di telinganya. Ibu yang sedang panik makin ketakutan."Apaan sih ngaco aja kalau ngomong.""Dih kalau gak percaya tanya aja sama dokter."Ibu makin cemas, ia berusaha membangunkan anaknya berkali-kali. Sementara aku memilih pergi."Ci Suci bangun hei Suci, masa kamu gak mau bangun lagi sih?"Aku terkikik di tangga. Puas rasanya bisa memberi mereka pelajaran meski entah kapan mereka berubahnya.Aku masuk dalam kamar, bosan juga rasanya tak ada Bang Ridho di rumah, aku jadi kesepian meski ada dua brekele yang selalu bikin ulah.Kubanti