Aku cekikikan sambil kutahan sebisanya."Hihihi."Malu bukan main pasti sedang ibu rasakan sekarang."Gak salah denger nih kita, Bu?" tanya seorang ibu pengajian yang punya alis cetar.Sepertinya ibu itu juga menyimpan dendam pada ibuku, karena dilihat dari wajahnya ia tampak sangat puas menertawakan juga."Enggak Ibu-Ibu, bukan begitu, menantu saya ini kadang emang harus diginiin supaya dia ngerti, maklumlah dari kampung maksa mau jadi istri anak saya, yaa ibaratnya cocok jadi pembantu malah maksa mau jadi ratu, jadinya enggak nyambung, hehe hihi," ujar Ibu. Tertawa elegan diakhir kalimatnya.Sontak aku diam. Lagi-lagi ibu berani hina istriku, keterlaluan."Ah kata siapa cocok jadi pembantu? Wajahnya ayu begitu, pinter pula.""He em udah ayu, pinter dan baik pula, buktinya nawarin kita buah, enggak kayak tuan rumahnya haha hihi hahahaha."Semua ibu-ibu tertawa lepas. Seperti sangat puas sekali menertawakan ibuku, terutama bu Husaebah tetangga kami di komplek yang dandanannya paling h
Aku menelan saliva. Tapi untunglah Bunda segera bicara."Gak apa-apa Rid, jangan heran, itu namanya ibu mu sedang cemburu, makanya ibu mu itu selalu marah tanpa alasan dan apa yang dilakukan Ranti selalu saja salah di mata beliau."Ayah mertua kembali bicara."Tapi apa perlu cemburu berlebihan seperti ini?""Aa bisa diem gak?" Bunda menyentak. Ayah mertua sontak diam."Gak apa-apa ibu mu begitu, yang penting kamu harus punya prinsip kuat, bahwa rumah tangga itu dipelihara berdua, dijalani berdua dan dilewati berdua. Bunda terimakasih sekali karena kamu sudah membela Ranti, itulah yang membuat rumah tangga menjadi langgeng, suami jadi orang terdepan untuk membela istri dan istri jadi orang terdepan yang menyemangati suami."Bunda memberiku wejangan panjang lebar. Kudengarkan dan kuterima dengan baik."Oh ya Ran, kamu punya uang berapa ingin beli rumah, Nak?" tanya Bunda lagi pada Ranti."Gak tahu juga, udah lama gak dihitung. Bentar Ranti ambil dulu."Istriku bangkit mengambil panci ya
Dari rumah ibu aku pun segera pergi ke kantor dan bekerja seperti biasanya meski sudah telat sedikit.Pukul 5 sore sepulang aku kerja, Ranti, Bunda dan Ayah sudah ada di kontrakan lagi. Mereka tengah dengan serius mengobrol sambil memakan rujak dan minuman dingin."Sini, Bang," kata Ranti.Aku pun ikut menimbrung."Bang kita udah dapat rumah baru dong." Ranti memberi kabar dengan wajah berseri-seri."Oh ya? Kok bisa?""Bisa dong dibantu broker rumah yang biasa kerja di Ayah, langsung sat sit set dapet. Ranti yakin Abang bakal cocok, karena rumahnya ada di perumahan mewah dan berkelas."Aku mengernyitkan dahi, sedikit tak paham soal broker rumah yang biasa kerja pada Ayah, maksudnya gimana? Tapi ah ya sudahlah yang penting Ranti senang, ia sudah dapatkan rumah sesuai yang ia mau."Rumahnya masih dalam tahap pembangunan sebulan lagi kita tengok lah, Bang," katanya lagi."Siap, Bos.""Oh ya pada tahu gak?" Aku bicara lagi.Mereka yang tengah berkumpul menoleh."Apa, Bang?""Toko ibu mau
"300 juta bukan uang sedikit tentunya. Saya ragu apa isi rekeningmu mencapai 300 juta," katanya nyaris merendahkan ayah.Aku menggebrak meja lagi."Jangan bicara begitu pada Ayah saya."Ayah menahan dadaku agar tak semakin liar."Oke oke baik, kalem saja anak muda, sebentar." Pria itu bangkit dan mengambil sertifikat toko dari kamarnya."Itu kan yang kalian maksud?" Dilemparkannya sertifikat itu kemudian ke atas meja.Segera kuambil dan kubaca dengan teliti."Benar, ini sertifikatnya, Yah." "Oke ambilkan saya kwitansi dan nomor rekening Anda," kata Ayah lagi.Pria itu kembali masuk untuk kedua kalinya."Sudah saya transfer 300 juta," ucap Ayah saat Pak Hanapi sudah duduk di sofa bersama kami lagi."Oke!" Pak Hanapi segera membuat kwitansi penebusan sertifikat itu."Atas nama siapa?" tanyanya."Ridho, Ridho Semesta," jawab Ayah mantap.Aku yang sedikit kaget hanya bisa mengatupkan bibir."Kenapa Ayah gak tulis nama Ayah aja?" "Biarlah, kwitansi ini nanti untuk ditunjukan juga pada i
Ranti mengatur napas sebisa mungkin saat ia sudah duduk di sebelahku.Aku tahu bagaimana perasaannya sekarang. Makanya tadi aku lebih memilih banyak diam, kubiarkan Ranti menumpahkan rasa kesalnya pada ibu.Selama ini Ranti sudah berusaha jadi menantu yang baik, tapi selalu saja salah di mata ibu alih-alih Ranti diterima."Kamu gak apa-apa Ran?" tanyaku akhirnya."Ranti tuh kesel sama ibu, kenapa sih ibu gak pernah mau nerima Ranti hanya karena latar belakang Ranti orang desa? Padahal kalau Ranti mau, Ranti bisa aja ceritakan semua yang Ranti punya.""Sabar Ran, sabar."Ranti mendengus kesal di bangkunya. Aku sendiri sampai merasa bersalah dan tak enak hati dengan perilaku ibuku yang tak kunjung beres dari dulu itu.***Hari-hari pun berlalu.Walau sudah banyak sekali pertengkaran antara ibu dan kami, tapi kami tetap menghormati beliau sebagaimana mestinya.Hari ini kami berniat ke rumah ibu lagi untuk mengambil kunci yang beberapa hari lalu belum berhasil kami ambil."Bang, kira-kir
Ibu menelan ludah. Jika biasanya ibu langsung meletuskan bom molotopnya saat beliau marah, kini mulut ibu tampak kelu terkunci."Jadi gimana, Bu? Ibu mau tetep jaga toko itu atau enggak?" tanya Ranti lagi.Ibu yang masih bimbang memutuskan makin terlihat cemas sebab terus saja didesak oleh Ranti."Ya udah," ucap beliau akhirnya dengan mata mengerling tajam."Ya udah apa?""Ibu yang jaga," jawabnya ketus sambil sekuat tenaga ibu menahan agar mulutnya itu tak lagi memaki Ranti.Ranti menjebikan bibir sedikit. "Bagus kalau gitu, lagian kan kata Ibu, Ibu gak biasa hanya diam di rumah, jadi biar Ibu tetap ada kegiatan Ibu bisa jagain toko kami."Ibu terlihat makin murka. Tapi lagi-lagi ia tak bisa apa-apa selain menahan diri agak tak terjadi perdebatan lagi dengan Ranti.Aku cekikikan dalam hati.Yakin deh nih pasti ibu lagi mikir gimana caranya terbiasa bersikap manis pada kami, agar ibu bisa merebut hati Ranti dan memperbaiki namanya di depan kami.Wah wah benar apa kata ayah mertua, ua
Aku tak langsung percaya. Bagaimana kalau ini hanya akal-akalan ibu saja? Bukan maksud suudzon sama ibu sendiri, tapi kelakuan ibuku memang begitu, tak jauh dari sifat bohong dan suka menilep uang.Ranti di sampingku sama, ia pun tampak biasa saja meski ibu sedang tampak sangat bersedih."Udahlah beresin aja semuanya beresin," kata Ranti.Akhirnya hari itu aku kembali tidak masuk kerja karena harus mengurus toko yang masih berantakan.Ranti pun sama, ia ikut membantu membereskan semuanya bersama ibu._Pukul 12 siang semuanya sudah selesai, aku dan ibu istirahat di depan toko sambil membicarakan berapa jumlah taksiran barang modal yang hilang."Kayaknya ini mencapai 30 juta, barang hilang rokok utamanya, pada dirusak pula," kata Ibu.Dadaku langsung kembang kempis. 30 juta modal hilang. Tapi anehnya kenapa para pencuri itu harus merusak barang kami yang lainnya? Kenapa gak diambil aja semuanya?Beras, minyak, gula, terigu, sabun dan lainnya semua dirusak tanpa alasan.Kalau logika se
"Apa? Jadi kau pelakunya? Kau yang sudah merusak toko itu? Iya? Begitu?" Ibu mencecar."Iya!!! Memang Haris, kenapa?" Mas Haris berteriak.Aku dan Ranti saling melirik dengan sedikit menganga. Tak kusangka ternyata Mas Haris adalah pelakunya, astagfirullah manusia macam apa itu?Aku tahu pasti dia sedang marah dan kecewa pada ibu karena istrinya dibawa ke kantor polisi, tapi apa perlu dia marah lalu melampiaskannya pada barang-barang yang tak punya salah?"Anak bia*ab! Gak tahu rasa terimakasih sedikitpun. Maksudmu apa merusak toko itu Hah? Setelah istrimu menjaminkan sertifikatnya sekarang kamu juga merusak isinya. Hwah hebat, memang hebat.""Jadi maksudmu apa? Maksudmu merusak toko itu apa Haris? Apa??Jelaskan!!" desak Ibu lagi."Ibu mau tahu alasannya? Alasannya karena Haris marah dan kecewa sama Ibu. Sedikit saja kami berbuat salah Ibu sudah main jebloskan saja istri Haris ke dalam penjara, padahal selama ini kami selalu menuruti apa kata Ibu.""Dasar anak durhaka!!" Suara Ibu ma
"Benar 'kan apa kata Ibu? Si Suci memang pelakunya, dasar anak kurang ajar." Ibu geram dan tak bisa mengendalikan emosinya. Beliau pun melangkah ke dalam dengan emosi yang meluap-luap, aku tak bisa mencegahnya sebab langkah ibu yang terlalu cepat seperti kilat. "Suciii." Ibu berteriak di bibir pintu.Suci menoleh dengan wajah terkejut."Kalian?"Tapi kemudian anak itu tertawa kencang."Oh hahaha baguslah kalian sudah datang," ujarnya menantang sambil melotot ke arah kami.Sementara tangan kanan nya memegang sebilah bambu. Rupanya selama diculik istriku disiksa oleh si Suci dengan sebilah bambu itu karena saat kulihat Ranti ia tengah terikat dengan luka-luka lebam di sekitar kaki dan tangannya."Apa yang kamu lakukan pada istriku Suci? Lepaskan dia!" semburku."Dia??" Suci menunjuk kearah Ranti."Hahaha aku gak akan pernah melepaskannya, coba saja kalau kalian bisa lepaskan, lepaskan saja." Suci lalu mengayunkan sebilah bambu yang dipegangnya itu dan hendaknya memukulkannya pada Ran
Aku mematung sebentar, perkataan ibu mungkin ada benarnya tapi apa iya si Suci yang menculik istriku? Untuk apa ia melakukan itu? Dan kenapa harus Ranti? Anak itu memang nekat? Tapi aku harap Jika benar Ranti diculik sama dia, semoga Ranti baik-baik saja dan suci tidak melakukan apapun pada istriku. "Apa Ibu yakin bisa Suci yang melakukannya?" tanyaku lagi, memastikan."Ibu yakin sekali, gak mungkin orang lain, si Suci pasti si Suci."Aku manggut-manggut, sekarang aku sama yakin nya dengan ibu. Bedebah kalau sampai si Suci yang melakukannya, aku pasti akan menangkapnya dan menyeretnya kembali ke dalam penjara. "Tapi kira-kira untuk apa ia melakukan ini, Bu?" Aku bicara lagi."Jangan bodoh Ridho, orang yang sedang dendam apapun akan dilakukan demi hatinya merasa puas."Benar juga apa yang dikatakan ibu."Sekarang kita harus berpikir gimana caranya kita bisa menangkap si Suci dan mencari bukti bahwa dialah yang sudah menculik Ranti," kata Ibu lagi.Aku dan ibu pun diam mencoba menca
Pov Ridho."Ada apa, Bang?" tanya Ranti."Suci kabur.""Apa?" sahut Ibu di belakang."Iya, Bu, katanya Suci kabur dari tahanan.""Ya Tuhan bisa-bisa nya si Suci kabur, itu tahanan atau tempat apa? menjaga anak bau kencur saja tidak bisa." Ibu terdengar makin kesal."Entahlah," balasku sama kesalnya.Mobil pun melaju semakin kencang, gara-gara kabar kaburnya suci dari lapas membuat kami semua resah dan ingin segera sampai ke rumah. Entah apa yang sudah terjadi, kok bisa-bisanya si Suci kabur dari Lapas.Ya Tuhan Semoga saja anak itu tidak berbuat ya aneh-aneh.-Pukul 3 sore kami sampai di rumah.kami langsung masuk dan beristirahat sebab perjalanan yang kami tempuh cukup jauh, lebih-lebih kami tidak menyempatkan diri untuk beristirahat di rest area tadi siang tadi.Malam hari aku menghubungi pengacaraku. Ia ternyata sudah mengetahui tentang kaburnya suci dari lapas."Iya ini juga sedang saya usahakan, Pak, katanya lapas sedang ada perbaikan, Suci meminta izin untuk membeli pembalut
"Aduh jauh juga ya Ran rumahmu ini, Ibu sampe encok," katanya sambil memegangi pinggang yang sakit.Memang lumayan juga perjalanan dari Jakarta ke Kuningan-Jabar.Bisa 6 sampai 7 jam perjalanan, sayangnya ke Kuningan belum ada kereta atau pesawat jadi hanya bisa ditempuh dengan mobil saja."Emang jauh. Bu, gak ada AC lagi," sahut Ayah lagi-lagi setengah menyindir."Aa." Bunda memberi kode. Spontan ayah pun nyengir.Kami masuk ke dalam rumah. Di dalam makanan enak sudah tersedia, rupanya Bunda menelepon Bik Mursi untuk menyiapkannya saat tadi kami akan pulang."Ayo pada makan dulu, perjalanan jauh capek." Bunda menggelar karpet di ruang keluarga dan mulai menaruh nasi serta lauk pauknya di tengah-tengah."Eh kok udah ada makanan aja, Bu?" tanya Ibu keheranan."Kalau hidup di kampung emang gak usah khawatir Bu, jangankan makanan, uang saja berhamburan di luar rumah," sahut Ayah. Bunda menggeleng kepala."Eh masa sih?""Kalau enggak percaya nanti ikut jalan-jalan keliling desa.""Aa." B
PoV Ranti."Ran, kamu berhasil, Ibu sudah menyesali semua perbuatan buruknya sama kita terutama sama kamu, kamu hebat," bisik Bang Ridho di telingaku.Karena tubuhku masih lemas dan tak bisa bergerak aku hanya membalas dengan senyuman."Kamu seneng 'kan? Makanya kamu harus cepat sembuh ya sayang," ucap Bang Ridho lagi.Aku memejamkan mata."Iya, Bang.""Saya juga mau lihat anak saya, Sus." Kudengar suara gaduh Bunda dan Ayah di luar.Mereka tampak memaksa ingin masuk ke dalam."Maaf Bu, tapi di dalam hanya boleh dua orang saja yang menjenguk."Ibu mertua bangkit, beliau menatapku sekali lagi sebelum akhirnya beliau mengalah dan memberi kesempatan untuk Bunda masuk bergantian."Cepet sembuh ya Lus," katanya pelan nyaris tak terdengar.Sejurus dengan itu ada bagian di hatiku yang rasanya teriris, kali ini bukan karena hal yang menyakitkan tapi karena terharu sekaligus tak percaya ibu mertuaku kini sudah bisa membuka hatinya untuk menerimaku.Ibu mertua keluar, Bunda tergesa-gesa masuk k
"Bisa, Ibu sudah jauh lebih baik hari ini."Aku tersenyum lebar seraya mengusap dada, untunglah aku diberi kesempatan mendonor untuk Ranti. Semoga dengan cara ini aku bisa menebus sedikit kesalahanku padanya.Selesai dilakukan pemeriksaan aku dibawa ke ruang khusus, di sana segera darahku diambil.Selesai melakukan donor aku kembali dibawa ke ruang rawat inap, sebetulnya aku merasa sudah lebih baik tapi dokter menyarankanku agar aku tetap dirawat dulu sampai 2 hari ke depan, lebih-lebih karena aku baru saja melakukan donor."Makasih Bu, Ridho pikir Ibu--.""Ibu minta maaf ya Rid, penyesalan memang selalu datang di akhir," potongku.Ridho mengangguk ragu, kasihan dia, gara-gara aku yang keterlaluan Ridho mau tak mau harus rela menerima batunya juga.Entah bagaimana keadaan Ranti sekarang, semoga menantuku itu bisa sehat kembali."Kapan operasinya dimulai?""Sekarang sedang dipersiapkan Bu dan akan segera dimulai.""Bawa Ibu ke depan ruang operasi Rid, Ibu ingin menunggu Ranti juga di s
PoV Ibu Mertua"Maaf Bu, pasien masih harus istirahat banyak karena tubuhnya banyak yang cidera, luka bekas operasinya juga belum sepenuhnya sembuh," kata Dokter.Aku terpaksa melepaskan diri dari Ranti. Padahal saat ini aku benar-benar tengah menyesali kebodohanku.Kupikir selama ini Ranti adalah menantu yang kurang ajar. Sejak kehadirannya di rumahku sebagai istri nya Ridho aku tak pernah sedikitpun menyayangi dan menerimanya.Bagiku dia adalah benalu, pemisah antara aku dan anak laki-lakiku karena sejak Ridho menikah dengannya ia jadi lebih sering menghabiskan banyak waktu dengan wanita itu.Jujur saja aku cemburu dan tak terima, aku mengizinkan kedua anak lelakiku menikah bukan agar mereka hidup bahagia lantas melupakanku.Aku hanya ingin mereka tidak merusak anak gadis siapapun dan bisa menyalurkan hasrat bilogisnya pada istri mereka masing-masing.Tapi sial, setelah menikah mereka justru memilih jalan sendiri-sendiri, mereka tak lagi meminta bantuan atau pendapatku lagi. Mereka
Tapi tidak, aku tidak boleh ragu-ragu pergi ke kantor polisi, dengan bantuan layar monitor cctv di ponselku aku akan terus memantau gerak-gerik mereka dan memastikan mereka tak banyak bertingkah di dalam rumahku.Pukul setengah 9 aku sampai di kantor polisi, segera kuberikan bukti rekaman suara Suci yang ada di dalam ponselku itu."Baik, Bu, kami akan segera melakukan penangkapan dan pemeriksaan pada terduga.""Baik, Pak, saya tunggu, terduga ada di rumah saya sekarang dan dia berniat terbang ke Surabaya siang nanti," ujarku lagi.Petugas polisi mengangguk paham.Aku kembali bangkit saat sudah menyelesaikan urusanku. Di koridor kantor polisi kutelepon kembali Bang Ridho."Bang, semua beres.""Oke, makasih istriku."Dari sana aku tak kemana-mana lagi, karena khawatir dua brekele itu akan berbuat ulah segera aku kembali pulang.-Sampai di rumah aku mendengar suara ribut-ribut di kamar ibu dan Suci. Perasaanku langsung tak enak, secepat kilat aku berlari menaiki anak tangga."Ibu bilang
"Kenapa Ibu pucat? Apa jangan-jangan bener ya?" tanyaku lagi tanpa jeda.Ibu menggeleng cepat."Mungkin si Suci kecapekan karena udah pergi seharian ke pasar," jawabnya cemas. Kening ibu mendadak basah oleh keringat dingin."Ah masa? Tapi kok si Suci tidurnya kayak orang kena obat ya?" sindirku lagi, ibu makin tersesak-sesak memegangi dadanya."Hati-hati loh Bu, pemakaian obat tidur berlebihan bisa menyebabkan tidak sadar lagi seumur hidup." Aku berbisik di telinganya. Ibu yang sedang panik makin ketakutan."Apaan sih ngaco aja kalau ngomong.""Dih kalau gak percaya tanya aja sama dokter."Ibu makin cemas, ia berusaha membangunkan anaknya berkali-kali. Sementara aku memilih pergi."Ci Suci bangun hei Suci, masa kamu gak mau bangun lagi sih?"Aku terkikik di tangga. Puas rasanya bisa memberi mereka pelajaran meski entah kapan mereka berubahnya.Aku masuk dalam kamar, bosan juga rasanya tak ada Bang Ridho di rumah, aku jadi kesepian meski ada dua brekele yang selalu bikin ulah.Kubanti