Hasan menggeliat seraya meringis menahan rasa sakit yang teramat sangat. Raut wajahnya memperlihatkan betapa sakit yang dirasakan tubuhnya saat ini. Bu Zubaedah yang mendengar teriakan Hasan bergegas bangkit untuk melihat kondisi Hasan. Tak biasa Hasan mengeluh sakit sampai seperti itu.Alangkah terkejutnya Bu Zubaedah yang melihat tubuh Hasan memerah. "Astaghfirullah, kenapa sampai seperti itu badanmu San?" "Biasalah, terlalu malam di luar rumah jadi ada saja gangguannya," kata Nek Miya. Dia tak memperdulikan Hasan yang terus saja menggeliat bahkan seperti orang yang menggelupur, menahan rasa sakitnya. Kata-kata Nek Miya terdengar ambigu. Sari dan Bu Zubaedah tak faham betul maksudnya. Gangguan seperti apa yang mendera Hasan? Apakah sekedar angin malam, atau ada makna lain yang tersirat dari perkataan Nek Miya itu. Sari merasa tak tega melihat keadaan Hasan. Kelihatan sekali dia menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tapi untuk menghentikan Nek Miya, dia pun segan. "Sari, ada di
Rosa menggelayut manja di lengan ayahnya, untuk meredam emosi Tuan Anaconda. Dia tak ingin ayahnya marah, dan akhirnya justru melarangnya mendekati Hasan lagi. Kalau hal itu sampai terjadi, dia bisa mati karena menahan rindu."Ayah, jangan marah ya. Maafkan Rosa. Rosa juga tak mengerti, kenapa Rosa seperti ini? Rasa cinta ini begitu menyiksa Ayah. Ayah tak tau, seperti apa rasanya menanggung rindu pada orang yang dikasihi." Rosa bercerita dengan suara lirih di lengan ayahnya. Dia sedang berusaha merayu Tuan Anaconda, dengan suaranya yang mendayu."Ayah tau Rosa. Tapi yang jadi masalah, kau mencintai makhluk dari bangsa lain. Akan banyak rintangan yang harus kau hadapi. Apalagi dia sudah beristri. Kejadian yang baru menimpamu, masih belum seberapa Rosa. Belum lagi dari bangsa siluman sendiri. Mereka pasti akan mencibir ayah, kalau tau akan hal ini." Tuan Anaconda menjadi gusar sendiri. Ada penyesalan di hatinya telah memberi restu pada Rosa waktu itu. Dia tak pernah bisa menolak permi
Sementara di rumah Hasan. Nek Miya mencampur minyak urutnya dengan daun bidara yang diambil Sari dari rumahnya. Sari belum tau, apa maksud Nek Miya mencampur daun bicara itu di minyaknya. Baru kali ini hal itu Nek Miya lakukan. Sepanjang mengurut Hasan, mulut Nek Miya terus saja menggumamkan ayat-ayat suci. "Arrrgghhh, sa–kiitt." Sepanjang itu pula, Hasan terus mengerang kesakitan. Hasan sampai mencengkeram kuat bantalnya, juga mengeraskan rahang demi menahan rasa sakit yang mendera akibat sentuhan tangan Nek Miya."Pe–lan Nek," rintih Hasan, Sari tak tega melihat wajah kesakitan Hasan. Dia memilih keluar dari kamar, lalu duduk bersama dengan mertua dan adik iparnya. Mamak Hasan juga tak tega, sudah lebih dulu dia keluar dari kamar.Hasan mulai tak merasakan sakit lagi di tubuhnya setelah satu jam lebih Nek Miya mengurutnya. Padahal di awal tadi, Hasan seperti merasa bukan diurut, tapi dicubiti sekujur tubuhnya oleh Nek Miya. Hingga menimbulkan rasa sakit hingga ke jantung. Masih u
"Iya Dek, betul kata Mamak. Besok kesana kita. Siapa tau, tak panjang umur Paman Fudin–""Halah, kau Hasan. Malah mendoakan yang tidak-tidak pula." Mamak Hasan langsung memotong kalimat anaknya, seraya mencubit pelan paha anaknya yang duduk di sebelahnya."Aduh Mak. Maksud Hasan Mak, kalau sampai tak panjang umur Paman Fudin, Sari juga yang akan menyesal." Hasan menjelaskan maksudnya tadi, agar mamaknya tak salah faham, seraya mengelus pahanya yang sesungguhnya tak sakit, karena hanya dicubit sayang saja oleh Bu Zubaedah."Siapa tau, kalau melihatmu datang dan sudah berbaikan dengan keluarganya. Penyakitnya bisa sembuh Sari," kata Bu Zubaedah, berusaha membujuk menantunya itu. Sari dibantu oleh Ratna, mengangkat piring, nasi, beserta sop untuk mereka makan bersama. "Kita makan dulu, ya Mak. Nanti saja soal Paman Fudin dibahas," kata Sari seraya mengambilkan nasi buat mertuanya. Bu Zubaedah menggeleng kepala melihat menantunya itu. Entah beban berat apa yang tersimpan di hati Sari,
"Buat apa Mamak malu? Kau itu sudah lebih dari menantu buat Mamak. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Justru Mamak berharap, kalau lah benar, ibu-ibu itu Emakmu, kau cari dia, urus baik-baik." Nasehat dari Bu Zubaedah benar-benar membuat Sari terharu. Begitu besar kasih sayang mertuanya pada dirinya, hingga sangat tulus menerima dirinya apa adanya."Terima kasih, ya Mak. Beruntung Sari punya mertua Mamak. Betuah rasanya hidup Sari ini," kata Sari seraya memeluk mertuanya dari samping. "Mamak pun beruntung, punya menantu macam engkau Sari." Mamak Hasan mengelus punggung Sari lembut. Hati Hasan terasa damai melihat dua wanita yang paling dikasihinya itu. Dia tercenung, teringat apa yang terjadi pada dirinya dan Rosa. Kegelisahan kini merajai hatinya. Dia merasa sangat bersalah sudah mengkhianati Sari. Hasan teringat akan Rosa. Bagaimana dengan Rosa? Apa Hasan harus mengabaikannya begitu saja? Setelah mereguk manis madu Rosa. Hasan jadi frustasi memikirkan semua itu. Tapi dia juga terl
"Sudah sore, Mamak pulang ya. Takut gelap di jalan," kata Bu Zubaedah. "Dek, sekalian saja kita ikut Mamak. Kan mau menjenguk Paman Fudin," kata Hasan pada Sari."Iya Sari. Mamak pun juga mau menjenguk si Fudin." Bu Zubaedah mengamini kata-kata Hasan. Sari diam, menimbang, apakah harus saat itu juga dia ke rumah pamannya. Tapi, tak ada salahnya juga. Toh, cepat atau lambat dia tetap harus menjenguk pamannya. Malah lebih baik kalau ditemani ibu mertuanya."Ya sudah. Sari siap-siap dulu ya Mak. Tapi ini sudah sore sekali Bang. Bagaimana kalau kita kemalaman di jalan?" "Kita menginap di rumah Mamak aja, besok baru pulang," jawab Hasan. "Nah, itu baru benar Bang. Udah lama kakak tak menginap disana. Aku ingin sekali tidur memeluk Rehan." Ratna sangat antusias abangnya mau menginap di rumah mereka. "Nanti, kalau Kakak melahirkan, kakak titipkan Rehan ya?" "Tak usah Kakak minta, aku akan ambil cuti seminggu untuk menjaga Rehan," jawab Ratna dengan senyum mengembang. "Ya sudah, Kakak
"Paman, Sari pulang ya. Sari tak bermaksud membuat kegaduhan di rumah Paman. Sari hanya rindu, dan ingin tau keadaan Paman," kata Sari setelah lebih dulu bangkit dari duduknya. Bu Zubaedah dan Hasan terpaksa mengikuti Sari. Keadaan di rumah itu tak memungkinkan bagi mereka untuk mengobrol lagi tentang banyak hal."Kenapa cepat sekali. Paman masih sangat rindu denganmu." Pak Fudin sangat sedih, keponakannya tersayang hanya singgah sebentar saja. "Biar sajalah dia pergi! Buat apa datang, kalau hanya membuat keributan," kata Bu Mudah dengan tangan melipat di dadanya. Dia tampak pongah melihat Sari."Kau! Tak bisa kau jaga mulutmu? Bukan dia yang buat keributan, tapi kau sendiri! Seharusnya kau senang, Sari datang bersama suami dan mertuanya untuk menyambung silaturahim yang sempat putus!" Pak Fudin sangat marah dengan istrinya."Kenapa Ayah sekarang membela Sari?" tanya Aina, anak Pak Fudin. Air mukanya tampak tak senang. "Ya, Ayah menyesal baru membelanya sekarang. Kalau saja sejak d
"Jadi kau hendak ke rumah si Fudin, Sari? tanya Bu Zubaedah pagi ini. Bu Zubaedah sedang menjemur pakaian, sementara Sari sedang duduk di atas dipan bambu sambil memetik sayur bayam yang hendak disayurnya. Bu Zubaedah tak mengizinkannya mencuci pakaian kali ini."Insha Allah jadi Mak. Mamak mau ikut lagi?" "Tak lah. Tak sampai hati Mamak melihat kau dimarahin sama si Midah. Tapi Mamak juga tak akan melarangmu kesana. Sepertinya hal yang akan Fudin sampaikan sangat penting." Bu Zubaedah sudah selesai menjemur semua pakaiannya, lalu duduk di dekat Sari. "Usahakan, jangan dilawan bibimu itu. Mamak takut, penyakit Fudin kumat. Kau pun sedang hamil besar, jangan sampai bibimu itu silap, dan berbuat hal yang tak diinginkan," nasehat Bu Zubaedah."Iya Mak. Sari janji nggak akan melawan sama Bi Midah," kata Sari. Dia sudah selesai memetik bayamnya, kini mulai meracik bahan masakannya yang lain."Sari, jujur sama Mamak. Kenapa sikap si Midah seperti itu dengan engkau?" "Entahlah Mak, Sari
Sari terus berusaha berkonsentrasi memanggil Nyi Baisucen. Dia harus tau kebenaran tentang Rosa. Apakah Rosa adalah saudari yang dicarinya selama ini?"Bibi Baisucen." Berulang kali Sari memanggil Nyi Baisucen. Namun Nyi Baisucen tak juga menjawabnya. Sari hampir putus asa. Kenapa bibinya tak menjawab panggilan darinya? Kalau dia ke klinik Pak Hanif, akan memakan waktu yang lama. Hampir setengah hari perjalanan menuju ke sana. Belum lagi perjalanan pulang. Dia tak bisa meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama. Sari mencoba untuk berkonsentrasi lagi. Mungkin tadi bibinya sedang sibuk pikirnya."Bibi Bai. Bibi Bai. Bibi Bai.""Ada apa Sari?" Sari lega, akhirnya Nyi Baisucen menjawab panggilannya. "Bibi bisa Bibi datang lagi? Ada yang hendak Sari bicarakan." "Bibi akan datang malam nanti. Klinik sedang ramai saat ini. Paman Hanif akan curiga." "Baik Bibi. Sari akan menunggu Bibi di taman kota." "Ya, Bibi akan menemuimu di sana." Sari mengakhiri panggilan telepatinya. Dia seg
Dua orang wanita cantik tampak sedang duduk berbincang di sebuah taman kecil yang ada di sebuah klinik pengobatan alternatif. Mereka adalah Nyi Baisucen dan Rosa. Sama dengan Sari, Rosa juga merasakan ada suatu kejanggalan dengan perbincangan mereka tadi malam. "Bi, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang Bibi sembunyikan? Kenapa Bibi bilang Sari adalah kemanakan Bibi? Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Sari itu manusia sejati? Berbeda dengan Bibi." Rosa mencecar Nyi Baisucen dengan pertanyaan yang sejak tadi malam juga menggelayuti hatinya. Nyi Baisucen masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Dia sedang memikirkan, bagaimana cara mengawali ceritanya pada Rosa."Kenapa Bibi diam? Apa ada yang sedang Bibi sembunyikan." Rosa menyelidik."Rosa, memang sudah seharusnya kau tau cerita ini. Sejak lama Bibi ingin menceritakan padamu, tapi Bibi tak bisa. Ayahmu melarang siapapun untuk menceritakan kebenaran ini padamu." "Apa maksud Bibi?" tanya Rosa dengan alis menaut. Nyi Bai
"Siapa yang datang pagi buta begini?" tanya Nyi Baisucen pada Sari, pandangannya tak lepas dari Honda HR V warna silver yang sedang parkir di pekarangan rumah Sari."Itu mobil Bang Hasan, Bi. Ada apa ya?" Sari pun bertanya-tanya. Hasan turun lebih dulu, baru disusul oleh Rosa. Nyi Baisucen terkesiap melihat keduanya. Matanya tak bisa berkedip sama sekali. "Siapa yang bersama dengan Hasan, Sari?" Dia bertanya, untuk memastikan dugaannya tak salah. "Itulah istri kedua Bang Hasan, Rosa namanya." Nyi Baisucen terperangah, tak percaya mendengar hal yang diungkapkan Sari. Nyi Baisucen terduduk lemas. 'Berarti, orang yang telah kudukung untuk menikahi Rosa adalah Hasan' batinnya.Penyesalan segera menyergap kalbu Nyi Baisucen. Kenapa dulu dia tak menyelidiki terlebih dahulu, siapa laki-laki yang dicintai Rosa? Sayangnya dia tak hadir pada saat Rosa menikah, hingga dia tak juga mengenal suami Rosa. Apalagi sudah sangat lama Rosa dan Nyi Baisucen tak lagi bertemu."Bibi!" Rosa sangat terk
Rosa langsung membawa Hasan ke rumah ayahnya, setelah sebelumnya memanipulasi penglihatan Hasan. Sehingga yang tampak di pandangan Hasan adalah sebuah rumah yang mewah juga megah, dengan banyak security yang berjaga di setiap sisinya, baik diluar maupun di dalam. Security itu langsung membuka pintu rumah tatkala melihat kehadiran Rosa beserta suaminya. Sampai di dalam Rosa berpapasan dengan Sanca yang melihatnya dengan sinis. "Mau apa kesini, tengah malam begini?" sinis Sanca. ''Aku mau bertemu Ayah." Rosa tak lagi memperdulikan Sanca, dia langsung berjalan melenggang tanpa peduli dengan tatapaan tak suka Sanca pada Hasan.Apalagi Rosa melihat wajah Hasan kian memerah karena suhu tubuhnya semakin meningkat. Rosa menggandeng tangan Hasan yang panas untuk mempercepat langkah kakinya. Tak dipedulikan rasa terbakar di telapak tangannya.Rosa langsung menuju ke kamar Tuan Anaconda, sempat dia juga berpapasan dengan Panglima Derik di depan pintu kamar Tuan Anaconda. Walaupun Panglima Der
Hasan merasa sangat gelisah malam ini, tubuhnya terasa panas. Dia senantiasa merasa kegerahan, hingga bajunya basah karena keringat. Berulang kali dia mengganti posisi tidurnya tapi tak membantu juga untuk mengurangi rasa gerah yang sedang menderanya. Rosa merasa tempat tidurnya terus berderit sejak tadi. Dia membuka matanya, lantas melihat suaminya yang tidur dengan gelisah. Alisnya menaut melihat suaminya yang bertingkah aneh."Kenapa Bang?" tanyanya pada suaminya, lantas duduk di atas ranjangnya.Dicepolnya asal rambutnya yang ikal mayang itu, hingga menampakkan dengan jelas lehernya yang jenjang."Gerah," jawab Hasan sambil mengipasi tubuhnya dengan baju sendiri. Rosa melihat ac di kamarnya, ac nya hidup. Tak ada masalah dengan itu. Gadis cantik itu bangkit, untuk memeriksa kondisi suaminya. "Astaga! Badan Abang panas sekali!" pekiknya ketika punggung tangannya ditempelkan ke dahi Hasan. Hasan duduk, dibukanya baju yang telah basah oleh keringat. Namun tak juga mengurangi rasa
Aina duduk di hadapan seorang laki-laki paruh baya yang penampilannya tampak biasa saja. Siapa yang sangka kalau orang yang berada di depannya itu adalah seorang Dukun yang dikenal cukup handal dalam memuaskan semua kliennya.Aina mengenalnya dari rekomendasi seorang rekannya yang sudah tau jam terbang si Dukun."Ini Ki, fotonya." Aina menyerahkan dua lembar foto ke tangan laki-laki itu. Laki-laki yang dipanggil Aki melihat foto itu dengan seksama. Tadinya dia duduk dengan santai sambil bersandar di sandaran sofanya. Tapi ketika melihat kedua foto itu, matanya membulat sempurna."Ada apa Ki?" tanya Aina yang melihat perubahan pada ekspresi Dukun itu. "Ini sulit dipercaya," gumam Dukun itu. "Kenapa emangnya Ki?" Aina semakin bingung melihat sikap Dukun itu. "Ini, siapa perempuan ini?" Dukun itu bertanya seraya menunjuk wajah Rosa."Dia istri kedua si Hasan, Ki. Orang yang mau saya hancurkan. Ini Ki." Aina menunjuk wajah Hasan dan Sari."Saya ingin menghancurkan keduanya Ki. Mereka
"Sari, bisa kau temani aku ke toko Hasan? Aku juga ingin berkenalan dengan istri keduanya." Aina sudah mendapatkan foto Sari dan semua yang ada di rumahnya. Kini tinggal foto Hasan dan madu Sari.Permintaan Aina cukup mengundang tanya di hati Sari. Untuk apa Aina ingin berkenalan dengan Rosa?"Tak apa kan kalau aku ingin berkenalan dengan istri Hasan. Siapa tau, suatu hari nanti aku bersama dengan kawan-kawanku bertandang ke toko itu untuk membeli baju, jadi bisa diskon," kata Aina dibarengi dengan tertawa yang palsu, seolah Aina bisa mendengar kata hati Sari."Oh, boleh saja. Paman dan Bibi, mau ikut juga ke toko Bang Hasan?" tanya Sari. Beberapa tahun ini, Pak Fudin dan Bu Midah sudah sering datang ke rumah Sari dan sudah tau toko Hasan juga istri keduanya. Namun masih saja Pak Fudin belum bisa menerima kehidupan berpoligami yang dijalankan keponakannya itu. Hingga membuatnya sedikit enggan kalau harus sering bermanis-manis dengan Hasan. Dia tak marah karena Sari. "Kalian sajalah.
"Emak mau kemana?" tanya Sari pada Rasidah yang ingin menuruni anak tangga. "Mau nasi," jawab Rasidah dengan wajah merajuk seperti anak kecil."Sebentar lagi ya Mak." Sari mencoba menahan Rasidah.Tapi Rasidah malah menepiskan tangan Sari. Wanita setengah baya yang terkadang sifatnya seperti anak kecil itu, tak peduli akan larangan Sari. Dia terus saja turun ke bawah. Sari menghentikan langkah kakinya tak berniat menyusul Rasidah. Akhirnya Sari hanya memperhatikannya dari atas saja. Denyut di punggungnya masih terasa, Sari meringis sambil mencoba merana bagian punggungnya.Bersamaan dengan itu, dia merasa mendengar suara Nyi Baisucen. "Kau dimana Sari?" Sari mencoba berkonsentrasi lagi. Mungkin dengan mengirimkan sinyal telepati, bibinya akan tau keberadaannya. Namun Sari merasa semua cukup aman, jadi dia tak perlu meminta bibinya untuk datang. Mungkin karena dia merasa cemas dengan kedatangan Ayah Rosa maka tanda lahirnya berdenyut."Bibi, Sari di rumah Bang Hasan." Suara batin Sa
Tuan Anaconda sekali lagi memanggil Rosa dengan suara yang lebih kuat, "ROSA!" "I–iya Ayah," jawab Rosa gugup. Hasan segera mengajak Rehan dan Rasidah naik ke atas lagi. Namun Rasidah justru menolak, dia masih memegang paha ayam goreng yang sangat pesat terasa baginya. "Mamak bawa aja ayamnya semua. Makan di atas," bujuk Hasan. Akhirnya Rasidah mau juga. Rosa harap-harap cemas. Setelah melihat Hasan, Rehan dan Rasidah hampir sampai di lantai dua rumah mereka. Baru Rosa membuka pintu rukonya. "Kenapa lama sekali!" hardik Tuan Anaconda. "Tadi kuncinya susah dibuka Ayah," alasan Rosa."Kenapa Ayah datang malam-malam kesini?" tanya Rosa. "Apa harus ada alasan untuk bertandang ke rumah anak sendiri?" tanya Tuan Anaconda. Tuan Anaconda menyapu seluruh sudut ruko dengan matanya. Dia berjalan perlahan melihat setiap bagian sudut ruko Rosa yang banyak dihiasi manekin-manekin cantik yang dipakaikan baju contoh. "Mana suamimu?" "A–ada Yah. Di–atas." Rosa sangat gugup, takut kalau ayahn