"Sudah sore, Mamak pulang ya. Takut gelap di jalan," kata Bu Zubaedah. "Dek, sekalian saja kita ikut Mamak. Kan mau menjenguk Paman Fudin," kata Hasan pada Sari."Iya Sari. Mamak pun juga mau menjenguk si Fudin." Bu Zubaedah mengamini kata-kata Hasan. Sari diam, menimbang, apakah harus saat itu juga dia ke rumah pamannya. Tapi, tak ada salahnya juga. Toh, cepat atau lambat dia tetap harus menjenguk pamannya. Malah lebih baik kalau ditemani ibu mertuanya."Ya sudah. Sari siap-siap dulu ya Mak. Tapi ini sudah sore sekali Bang. Bagaimana kalau kita kemalaman di jalan?" "Kita menginap di rumah Mamak aja, besok baru pulang," jawab Hasan. "Nah, itu baru benar Bang. Udah lama kakak tak menginap disana. Aku ingin sekali tidur memeluk Rehan." Ratna sangat antusias abangnya mau menginap di rumah mereka. "Nanti, kalau Kakak melahirkan, kakak titipkan Rehan ya?" "Tak usah Kakak minta, aku akan ambil cuti seminggu untuk menjaga Rehan," jawab Ratna dengan senyum mengembang. "Ya sudah, Kakak
"Paman, Sari pulang ya. Sari tak bermaksud membuat kegaduhan di rumah Paman. Sari hanya rindu, dan ingin tau keadaan Paman," kata Sari setelah lebih dulu bangkit dari duduknya. Bu Zubaedah dan Hasan terpaksa mengikuti Sari. Keadaan di rumah itu tak memungkinkan bagi mereka untuk mengobrol lagi tentang banyak hal."Kenapa cepat sekali. Paman masih sangat rindu denganmu." Pak Fudin sangat sedih, keponakannya tersayang hanya singgah sebentar saja. "Biar sajalah dia pergi! Buat apa datang, kalau hanya membuat keributan," kata Bu Mudah dengan tangan melipat di dadanya. Dia tampak pongah melihat Sari."Kau! Tak bisa kau jaga mulutmu? Bukan dia yang buat keributan, tapi kau sendiri! Seharusnya kau senang, Sari datang bersama suami dan mertuanya untuk menyambung silaturahim yang sempat putus!" Pak Fudin sangat marah dengan istrinya."Kenapa Ayah sekarang membela Sari?" tanya Aina, anak Pak Fudin. Air mukanya tampak tak senang. "Ya, Ayah menyesal baru membelanya sekarang. Kalau saja sejak d
"Jadi kau hendak ke rumah si Fudin, Sari? tanya Bu Zubaedah pagi ini. Bu Zubaedah sedang menjemur pakaian, sementara Sari sedang duduk di atas dipan bambu sambil memetik sayur bayam yang hendak disayurnya. Bu Zubaedah tak mengizinkannya mencuci pakaian kali ini."Insha Allah jadi Mak. Mamak mau ikut lagi?" "Tak lah. Tak sampai hati Mamak melihat kau dimarahin sama si Midah. Tapi Mamak juga tak akan melarangmu kesana. Sepertinya hal yang akan Fudin sampaikan sangat penting." Bu Zubaedah sudah selesai menjemur semua pakaiannya, lalu duduk di dekat Sari. "Usahakan, jangan dilawan bibimu itu. Mamak takut, penyakit Fudin kumat. Kau pun sedang hamil besar, jangan sampai bibimu itu silap, dan berbuat hal yang tak diinginkan," nasehat Bu Zubaedah."Iya Mak. Sari janji nggak akan melawan sama Bi Midah," kata Sari. Dia sudah selesai memetik bayamnya, kini mulai meracik bahan masakannya yang lain."Sari, jujur sama Mamak. Kenapa sikap si Midah seperti itu dengan engkau?" "Entahlah Mak, Sari
Pak Fudin langsung membuka pintu rumahnya dengan lebar dan menunggu Sari tepat di ambang pintu rumahnya. Sari terus saja menunjukkan senyumnya yang manis ke arah Pak Fudin. Sementara, dia berusaha tak menghiraukan Bu Midah yang ada di samping Pak Fudin."Assalamualaikum Paman." Sari lebih dulu mengucapkan salam sambil mencium takzim punggung tangan Pak Fudin. Agak ragu Sari ingin bersalaman dengan Bu Midah, tapi untuk mengabaikannya pun, Sari merasa tak enak hati. Sari ulurkan juga tangannya kehadapan Bu Midah, kali inj Bu Midah tak menolak uluran tangan Sari. Dia mau bersalaman dengan Sari. Sri sedikit merasa heran, tapi juga lega. Artinya, Bu Midah mulai terbuka hatinya untuk menerima dirinya. "Masuklah. Ada yang ingin Paman tunjukkan," kata Pak Fudin. Sari menggamit lengan pamannya itu dengan manja. Layaknya seorang anak yang bermanja dengan ayahnya. "Berapa bulan kandunganmu Sari?" "Delapan bulan Paman." "Sebentar lagi melahirkan. Sempat atau tidak Paman melihat kelahiran
"Heehhuhh, Paman … tak apa-apa," kata Pak Fudin sambil berusaha mengatur nafasnya. Sari kembali duduk di tempatnya. Dia sengaja tak mendesak Pak Fudin untuk bercerita lebih lanjut lagi. Dia biarkan dulu Pak Fudin mengatur nafasnya agar normal kembali. "Paman membawa ibumu kembali pulang ke rumah. Paman juga memanggil Dokter yang untuk memeriksa kondisi ibumu. Paman sangat terpukul mendengar hasil pemeriksaan Dokter waktu itu." Pak Fudin terus bercerita. Dia berusaha tenang, dengan pandangan menerawang, mengingat kembali kejadian silam yang kelam. Meski sesekali harus menarik nafas yang dalam. Hati Sari terus saja berdebar, matanya memanas. Dia seolah bisa merasakan dan melihat peristiwa dulu dari cerita pamannya. "Menurut hasil pemeriksaan Dokter, ibumu menjadi korban rudapaksa." Air mata Sari langsung berderai mendengarnya. Dia sudah menduganya sejak tadi, tapi hatinya menolak.Lidah Sadi terasa kelu untuk bertanya lagi. Bahkan untuk meminta Pak Fudin untuk tak melanjutkan cerit
"Kau lahir setengah jam kemudian," ungkap Pak Fudin. Sari berusaha mencerna kata-kata Pak Fudin. "Maksud Paman, Sari kembar?" Pak Fudin menganggukkan kepalanya. Sari terhenyak, terduduk lemas di tempatnya. Tak pernah dia menduga, kalau dia memiliki saudara kembar. Sekalipun dia tak pernah mendengar, Paman atau bibinya menyinggung tentang hal ini."Lalu … dimana dia sekarang Paman?" tanya Sari dengan bibir bergetar.Sari sama sekali tak menyangka, kenyataan yang akan didengarnya. Dia sangat menyesalkan, kenapa baru sekarang pamannya menceritakan hal ini. Pak Fudin kembali lagi menghela nafasnya. Dia bangkit, berjalan menuju pintu kamar. Sari bingung, apakah pamannya tak akan menjawab pertanyaan yang dia lontarkan? Apakah pamannya akan membiarkan cerita ini menggantung begitu saja. Atau … apakah kembarannya meregang nyawa sesaat setelah dilahirkan? Kalau iya, kenapa Pak Fudin tak lantas bercerita saja? Paling Sari akan bertanya, dimana kuburnya."Dia tak sama seperti kau, Sari." Pak
"Bang, dijawab saja. Abang kan sudah menceritakan semua sama Sari. Biar tak mengganjal lagi di hati Abang," kata Bu Midah lembut. Sari melihat, bibinya itu benar-benar tulus berubah padanya. "Paman berencana hendak menghanyutkan di sungai, tapi Paman tak tega. Akhirnya Paman tinggal dia di tepian sungai. Paman berharap, ada yang menemukan dan sudi merawatnya."Sari membekap mulutnya, tak menyangka, pamannya setega itu. Bagaimana bayi yang baru lahir bisa bertahan di luar rumah sendirian? Pikirnya. Bukan inginnya terlahir dengan wujud yang tak wajar seperti itu. "Paman mengintip dari kejauhan. Benar-benar berharap ada manusia berhati baik yang datang," kata Pak Fudin dengan suara bergetar. Sementara Sari terus menangis, dia sangat sedih membayangkan, seandainya dia yang ada di posisi kembarannya itu. "Paman lihat, ada seorang perempuan yang cantik sekali datang. Paman tak tau pasti, dia datang darimana, karena mata Paman terus saja pada bayi itu," sambung Pak Fudin.Sari menghapus
"Kenapa sore sekali pulangnya? Apa ada masalah disana?" tanya Bu Zubaedah, sesaat setelah Sari dan Hasan masuk ke rumahnya."Paman tadi sakit lagi, Mak. Kami membawanya ke rumah sakit dulu tadi," jawab Hasan. Lalu duduk di sebelah Bu Zubaedah, sambil menikmati pisang goreng yang masih panas.Sari langsung masuk ke kamar, mengambil baju gantinya."Sari mandi dulu, ya Mak. Gerah sekali," kata Sari."Iya, mandi lah," sahut Bu Zubaedah."Rehan mana Mak? Sudah mandi dia, Mak?""Sudah, tadi dibawa Ratna jajan." Sari tersenyum mendengarnya, lalu langsung masuk ke kamar mandi. "San, bagaimana tadi sikap si Midah sama Sari?" tanya Bu Zubaedah, sambil berbisik. Matanya melirik ke kamar mandi, takut terdengar oleh Sari."Alhamdulillah, tadi Bi Midah sangat baik. Tampaknya dia sudah berubah, Mak," jawab Hasan. Mulutnya terus mengunyah pisang goreng, hingga sudah habis berapa potong."Sukurlah kalau begitu. Sangat cemas Mamak, kalau sampai si Midah seperti tadi malam lagi. Apa kumat lagi si Fudin
Sari terus berusaha berkonsentrasi memanggil Nyi Baisucen. Dia harus tau kebenaran tentang Rosa. Apakah Rosa adalah saudari yang dicarinya selama ini?"Bibi Baisucen." Berulang kali Sari memanggil Nyi Baisucen. Namun Nyi Baisucen tak juga menjawabnya. Sari hampir putus asa. Kenapa bibinya tak menjawab panggilan darinya? Kalau dia ke klinik Pak Hanif, akan memakan waktu yang lama. Hampir setengah hari perjalanan menuju ke sana. Belum lagi perjalanan pulang. Dia tak bisa meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama. Sari mencoba untuk berkonsentrasi lagi. Mungkin tadi bibinya sedang sibuk pikirnya."Bibi Bai. Bibi Bai. Bibi Bai.""Ada apa Sari?" Sari lega, akhirnya Nyi Baisucen menjawab panggilannya. "Bibi bisa Bibi datang lagi? Ada yang hendak Sari bicarakan." "Bibi akan datang malam nanti. Klinik sedang ramai saat ini. Paman Hanif akan curiga." "Baik Bibi. Sari akan menunggu Bibi di taman kota." "Ya, Bibi akan menemuimu di sana." Sari mengakhiri panggilan telepatinya. Dia seg
Dua orang wanita cantik tampak sedang duduk berbincang di sebuah taman kecil yang ada di sebuah klinik pengobatan alternatif. Mereka adalah Nyi Baisucen dan Rosa. Sama dengan Sari, Rosa juga merasakan ada suatu kejanggalan dengan perbincangan mereka tadi malam. "Bi, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang Bibi sembunyikan? Kenapa Bibi bilang Sari adalah kemanakan Bibi? Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Sari itu manusia sejati? Berbeda dengan Bibi." Rosa mencecar Nyi Baisucen dengan pertanyaan yang sejak tadi malam juga menggelayuti hatinya. Nyi Baisucen masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Dia sedang memikirkan, bagaimana cara mengawali ceritanya pada Rosa."Kenapa Bibi diam? Apa ada yang sedang Bibi sembunyikan." Rosa menyelidik."Rosa, memang sudah seharusnya kau tau cerita ini. Sejak lama Bibi ingin menceritakan padamu, tapi Bibi tak bisa. Ayahmu melarang siapapun untuk menceritakan kebenaran ini padamu." "Apa maksud Bibi?" tanya Rosa dengan alis menaut. Nyi Bai
"Siapa yang datang pagi buta begini?" tanya Nyi Baisucen pada Sari, pandangannya tak lepas dari Honda HR V warna silver yang sedang parkir di pekarangan rumah Sari."Itu mobil Bang Hasan, Bi. Ada apa ya?" Sari pun bertanya-tanya. Hasan turun lebih dulu, baru disusul oleh Rosa. Nyi Baisucen terkesiap melihat keduanya. Matanya tak bisa berkedip sama sekali. "Siapa yang bersama dengan Hasan, Sari?" Dia bertanya, untuk memastikan dugaannya tak salah. "Itulah istri kedua Bang Hasan, Rosa namanya." Nyi Baisucen terperangah, tak percaya mendengar hal yang diungkapkan Sari. Nyi Baisucen terduduk lemas. 'Berarti, orang yang telah kudukung untuk menikahi Rosa adalah Hasan' batinnya.Penyesalan segera menyergap kalbu Nyi Baisucen. Kenapa dulu dia tak menyelidiki terlebih dahulu, siapa laki-laki yang dicintai Rosa? Sayangnya dia tak hadir pada saat Rosa menikah, hingga dia tak juga mengenal suami Rosa. Apalagi sudah sangat lama Rosa dan Nyi Baisucen tak lagi bertemu."Bibi!" Rosa sangat terk
Rosa langsung membawa Hasan ke rumah ayahnya, setelah sebelumnya memanipulasi penglihatan Hasan. Sehingga yang tampak di pandangan Hasan adalah sebuah rumah yang mewah juga megah, dengan banyak security yang berjaga di setiap sisinya, baik diluar maupun di dalam. Security itu langsung membuka pintu rumah tatkala melihat kehadiran Rosa beserta suaminya. Sampai di dalam Rosa berpapasan dengan Sanca yang melihatnya dengan sinis. "Mau apa kesini, tengah malam begini?" sinis Sanca. ''Aku mau bertemu Ayah." Rosa tak lagi memperdulikan Sanca, dia langsung berjalan melenggang tanpa peduli dengan tatapaan tak suka Sanca pada Hasan.Apalagi Rosa melihat wajah Hasan kian memerah karena suhu tubuhnya semakin meningkat. Rosa menggandeng tangan Hasan yang panas untuk mempercepat langkah kakinya. Tak dipedulikan rasa terbakar di telapak tangannya.Rosa langsung menuju ke kamar Tuan Anaconda, sempat dia juga berpapasan dengan Panglima Derik di depan pintu kamar Tuan Anaconda. Walaupun Panglima Der
Hasan merasa sangat gelisah malam ini, tubuhnya terasa panas. Dia senantiasa merasa kegerahan, hingga bajunya basah karena keringat. Berulang kali dia mengganti posisi tidurnya tapi tak membantu juga untuk mengurangi rasa gerah yang sedang menderanya. Rosa merasa tempat tidurnya terus berderit sejak tadi. Dia membuka matanya, lantas melihat suaminya yang tidur dengan gelisah. Alisnya menaut melihat suaminya yang bertingkah aneh."Kenapa Bang?" tanyanya pada suaminya, lantas duduk di atas ranjangnya.Dicepolnya asal rambutnya yang ikal mayang itu, hingga menampakkan dengan jelas lehernya yang jenjang."Gerah," jawab Hasan sambil mengipasi tubuhnya dengan baju sendiri. Rosa melihat ac di kamarnya, ac nya hidup. Tak ada masalah dengan itu. Gadis cantik itu bangkit, untuk memeriksa kondisi suaminya. "Astaga! Badan Abang panas sekali!" pekiknya ketika punggung tangannya ditempelkan ke dahi Hasan. Hasan duduk, dibukanya baju yang telah basah oleh keringat. Namun tak juga mengurangi rasa
Aina duduk di hadapan seorang laki-laki paruh baya yang penampilannya tampak biasa saja. Siapa yang sangka kalau orang yang berada di depannya itu adalah seorang Dukun yang dikenal cukup handal dalam memuaskan semua kliennya.Aina mengenalnya dari rekomendasi seorang rekannya yang sudah tau jam terbang si Dukun."Ini Ki, fotonya." Aina menyerahkan dua lembar foto ke tangan laki-laki itu. Laki-laki yang dipanggil Aki melihat foto itu dengan seksama. Tadinya dia duduk dengan santai sambil bersandar di sandaran sofanya. Tapi ketika melihat kedua foto itu, matanya membulat sempurna."Ada apa Ki?" tanya Aina yang melihat perubahan pada ekspresi Dukun itu. "Ini sulit dipercaya," gumam Dukun itu. "Kenapa emangnya Ki?" Aina semakin bingung melihat sikap Dukun itu. "Ini, siapa perempuan ini?" Dukun itu bertanya seraya menunjuk wajah Rosa."Dia istri kedua si Hasan, Ki. Orang yang mau saya hancurkan. Ini Ki." Aina menunjuk wajah Hasan dan Sari."Saya ingin menghancurkan keduanya Ki. Mereka
"Sari, bisa kau temani aku ke toko Hasan? Aku juga ingin berkenalan dengan istri keduanya." Aina sudah mendapatkan foto Sari dan semua yang ada di rumahnya. Kini tinggal foto Hasan dan madu Sari.Permintaan Aina cukup mengundang tanya di hati Sari. Untuk apa Aina ingin berkenalan dengan Rosa?"Tak apa kan kalau aku ingin berkenalan dengan istri Hasan. Siapa tau, suatu hari nanti aku bersama dengan kawan-kawanku bertandang ke toko itu untuk membeli baju, jadi bisa diskon," kata Aina dibarengi dengan tertawa yang palsu, seolah Aina bisa mendengar kata hati Sari."Oh, boleh saja. Paman dan Bibi, mau ikut juga ke toko Bang Hasan?" tanya Sari. Beberapa tahun ini, Pak Fudin dan Bu Midah sudah sering datang ke rumah Sari dan sudah tau toko Hasan juga istri keduanya. Namun masih saja Pak Fudin belum bisa menerima kehidupan berpoligami yang dijalankan keponakannya itu. Hingga membuatnya sedikit enggan kalau harus sering bermanis-manis dengan Hasan. Dia tak marah karena Sari. "Kalian sajalah.
"Emak mau kemana?" tanya Sari pada Rasidah yang ingin menuruni anak tangga. "Mau nasi," jawab Rasidah dengan wajah merajuk seperti anak kecil."Sebentar lagi ya Mak." Sari mencoba menahan Rasidah.Tapi Rasidah malah menepiskan tangan Sari. Wanita setengah baya yang terkadang sifatnya seperti anak kecil itu, tak peduli akan larangan Sari. Dia terus saja turun ke bawah. Sari menghentikan langkah kakinya tak berniat menyusul Rasidah. Akhirnya Sari hanya memperhatikannya dari atas saja. Denyut di punggungnya masih terasa, Sari meringis sambil mencoba merana bagian punggungnya.Bersamaan dengan itu, dia merasa mendengar suara Nyi Baisucen. "Kau dimana Sari?" Sari mencoba berkonsentrasi lagi. Mungkin dengan mengirimkan sinyal telepati, bibinya akan tau keberadaannya. Namun Sari merasa semua cukup aman, jadi dia tak perlu meminta bibinya untuk datang. Mungkin karena dia merasa cemas dengan kedatangan Ayah Rosa maka tanda lahirnya berdenyut."Bibi, Sari di rumah Bang Hasan." Suara batin Sa
Tuan Anaconda sekali lagi memanggil Rosa dengan suara yang lebih kuat, "ROSA!" "I–iya Ayah," jawab Rosa gugup. Hasan segera mengajak Rehan dan Rasidah naik ke atas lagi. Namun Rasidah justru menolak, dia masih memegang paha ayam goreng yang sangat pesat terasa baginya. "Mamak bawa aja ayamnya semua. Makan di atas," bujuk Hasan. Akhirnya Rasidah mau juga. Rosa harap-harap cemas. Setelah melihat Hasan, Rehan dan Rasidah hampir sampai di lantai dua rumah mereka. Baru Rosa membuka pintu rukonya. "Kenapa lama sekali!" hardik Tuan Anaconda. "Tadi kuncinya susah dibuka Ayah," alasan Rosa."Kenapa Ayah datang malam-malam kesini?" tanya Rosa. "Apa harus ada alasan untuk bertandang ke rumah anak sendiri?" tanya Tuan Anaconda. Tuan Anaconda menyapu seluruh sudut ruko dengan matanya. Dia berjalan perlahan melihat setiap bagian sudut ruko Rosa yang banyak dihiasi manekin-manekin cantik yang dipakaikan baju contoh. "Mana suamimu?" "A–ada Yah. Di–atas." Rosa sangat gugup, takut kalau ayahn