Setelah pulang kerja, aku tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan berkunjung ke kosnya Kak Panggih, karena ia mengajakku untuk berbicara. Baru kali ini aku melihat raut wajahnya yang begitu kusut. Bahkan, terkesan sedang banyak pikiran. Aku duduk bersandar pada tembok, sedangkan Kak Panggih duduk di atas kasur miliknya. Lama sekali pemikiran datang dan pergi mengganggu ketenanganku. Hanya terdengar suara cicak pada dinding kamar kos yang memecah kesunyian.“Ada apa Kak?” tanyaku membuka pembicaraan. Sejujurnya aku merasa lelah sekali. Namun, karena melihat perubahan sikap dari kekasihku, rasanya ada yang perlu kami bicarakan. Walaupun aku tidak yakin kalau semua akan baik-baik saja. Terutama jika melihat wajah kebingungan Kak Panggih.“Hmm.. Aku bingung mau ngomongnya, Dik.” Kak Panggih mengatakannya dengan napas yang terdengar berat. Sepertinya masalah yang ingin dibicarakan benar-benar sebuah masalah besar.“Ya, jelasin aja, Kak. Aku akan mendengarkannya,” ucapku dengan hat
Aku sampai di rumah jam delapan malam. Untung saja bapakku sedang dinas ke luar kota. Setidaknya tidak akan membicarakan mengenai keterlambatanku pulang ke rumah. Apalagi biasanya aku akan mengabari seandainya pulang malam. Saking terbawa emosi karena permasalahan dengan Kak Panggih tadi, aku sampai lupa mengabari keluargaku.Setelah sampai di kamarku, aku berbaring dan menatap langit-langit kamar. Perasaanku masih terasa sakit. Pengakuan jujur dari Kak Panggih masih membayangiku. Seandainya saja aku memilih untuk menjauh saat Kak Panggih mencoba untuk mendekatiku, aku tidak perlu merasakan hal seperti ini. Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berusaha memenuhi rongga dada dengan menghirup udara sebanyak mungkin. Karena sejak pulang dari kos Kak Panggih, aku merasakan sesak yang terasa begitu menyiksa.Aku mengambil ponsel di dalam tas selempang milikku. Namun, satu pun pesan tidak kuterima. Padahal biasanya Kak Panggih akan memastikan kalau aku telah sampai di
Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke kantor. Karena semalam menangis tersedu, mataku terlihat sedikit sembab. Padahal aku sudah mengompres kelopak mataku dengan handuk kecil yang dibasahi air dingin. Namun, tetap saja masih terlihat sembab. Semoga tidak ada yang menanyakan perihal ini. Rasanya memalukan menjelaskan alasannya. Sehingga lebih baik untuk diam saja.“Selamat pagi..” sapa Anggreni tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Lalu, ia menatapku seakan tidak percaya.“Kenapa memandangiku seperti itu?” tanyaku sewot. Entahlah, pagi ini perasaanku menjadi lebih sensitif. Mungkin karena bertengkar dengan Kak Panggih kemarin.“Nggak kenapa. Cuma heran melihat matamu tiba-tiba sembab. Kayaknya kemarin waktu pulang kerja masih biasa aja,” jawab Anggreni santai. Ia menaruh tas selempangnya di kursi sebelah dan mulai menyalakan komputer. “Mau cerita?” tawarnya dengan tersenyum ramah.“Iya, boleh.”“Ya udah.. Kita ke ruang belakang aja. Sekalian sarapan. Aku bawa bubur ayam buat kita,”
Hari jumat jam lima sore di akhir bulan, biasanya aku akan terlambat pulang karena harus mengerjakan laporan akhir bulan yang tidak sedikit. Tadi Anggreni minta ijin untuk pulang lebih awal, karena sedang tidak enak badan. Sehingga pekerjaan yang harus kuselesaikan bertambah lebih banyak dari biasanya. Maka dari itu aku harus lembur kerja hari ini.Aku sudah mengabari keluargaku mengenai hal ini, supaya tidak membuat khawatir orang di rumah. Aku menghela napas panjang. Sudah tiga hari aku memberikan waktu kepada Kak Panggih untuk berpikir. Maka dari itu aku tidak menjawab satu pun pesan singkat, bahkan mengabaikan setiap telepon darinya. Meskipun sebenarnya aku pun merasa tersiksa.Karena harus mengabaikan pemuda yang kucintai. Jujur saja, aku merindukan suaranya. Apalagi kami biasanya sering menghabiskan waktu bersama jika di kantor. Tapi, selama tiga hari aku berusaha untuk menghindari Kak Panggih. Salah satunya adalah makan siang di warung makan yang cukup jauh. Karena masih be
Hari sabtu adalah hari yang paling aku nantikan. Selain karena memang hari libur, kali ini aku menyempatkan diri untuk berolahraga di lapangan renon. Banyak sekali murid sekolah berpakaian seragam olahraga yang berkumpul di lapangan yang bisa dibilang sangat luas. Matahari belum sepenuhnya muncul di langit, namun sinarnya mulai terlihat dari arah timur. Berolahraga di pagi hari adalah salah satu hal yang selalu kunantikan. Dulu aku sering melakukan kegiatan ini waktu masih sekolah bersama teman-temanku. Terkadang aku pun berolahraga bersama dengan Dwiyan. Aku tersenyum miris mengingat sosok yang telah lama menghilang. Sejak aku memintanya untuk pergi, ia tidak berusaha untuk memintaku kembali. Sepertinya Dwiyan mulai sadar kalau apa pun yang telah hancur, akan sangat sulit untuk membangunnya kembali.Aku menarik napas panjang, sebelum mulai berlari mengitari lapangan renon. Setelah tiga puluh menit. Aku pun duduk di salah satu bangku yang ada di pinggir di dekat pohon yang rindan
Satu minggu setelah pertemuan terakhir dengan Dwiyan, aku mengajak Yanti untuk bertemu di restoran khas Italia kesukaan kami. Restoran bernama The Alley Valley berada di Jalan Merdeka. Biasanya akan ada banyak tamu di hari minggu. Namun, karena Yanti hanya bisa bertemu hari ini, aku pun tidak masalah dengan hal itu. Karena aku ingin menanyakan pendapat dari sahabatku mengenai masalah yang kuhadapi. Setelah memarkirkan motor di parkiran restoran. Aku pun berjalan menuju pintu masuk dan mendorongnya pelan.Suara gemerincing bel yang berbunyi membuat waitress tersenyum dan menghampiriku yang sedang memandang ke sekeliling restoran untuk mencari meja yang kosong. “Selamat datang di Alley Valley.. Meja untuk berapa orang?” sapa seorang waitress bertubuh mungil dengan ramah.“Untuk dua orang aja.. Tapi, teman saya sekitar sebentar lagi datangnya,” jelasku ramah.“Oh ya, nggak apa-apa kok.. Mau ruangan indoor atau outdoor?” tanya waitress itu lagi.“Outdoor deh.. Untuk daftar menunya n
Setelah bertemu dengan Yanti dan menghabiskan waktu hingga makan siang, aku pun sampai di rumah jam tiga sore. Baru saja menaruh sepatu pada rak, aku terkaget dengan kehadiran Bapak yang tersenyum tipis. Sudah cukup lama aku tidak melihat kehadirannya. Seingatku bulan lalu adalah terakhir kali bertemu dengan Bapak. Selain karena sifat tegasnya, aku mulai menjauh karena merasa kalau kami tidak pernah akur setiap kali berkumpul dengan anggota keluarga lainnya. “Sore, Pak.. Kok tumben sudah di rumah?” tanyaku berjalan masuk menuju ruang tamu. Bapak duduk di salah satu sofa kecil berwarna krem. Di tangannya memegang sebuah tas kanvas berwarna hitam.“Ya, kerjaan sudah selesai.. Citra tidak suka Bapak di rumah ya?” “Eh, bukan gitu, Pak.. Cuma agak heran kerjaan Bapak cepat selesai,” jawabku sedikit merasa canggung. Selama berada di rumah, aku jarang mengobrol berdua dengan Bapak. Meskipun waktu aku masih kecil sering duduk di pangkuan Bapak, sambil disuapi camilan kesukaanku. Setiap
Hari rabu, jam delapan malam, setelah pulang kerja, aku pun seperti biasa harus kontrol ke Dokter Psikiater. Karena obatku hanya tinggal beberapa tablet untuk seminggu. Sudah lima belas menit aku menunggu di lantai tiga. Ada beberapa pasien dari ruangan dokter yang lain terlihat menunggu di bangku kayu sebelahku. Di hadapanku adalah ruang praktik Dokter Gigi. Dan, ruangan di pojok sebelah kanan di dekat tangga adalah praktik Dokter Spesialis Anak.Aku menumpukan kedua telapak tangan di pangkuanku. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis. Akhir-akhir ini banyak hal-hal terjadi di luar dugaan. Salah satunya adalah kebahagiaan yang kurasakan karena suasana hangat di keluargaku.Selain itu hubunganku dengan Kak Panggih pun membaik. Meskipun aku belum mengenal orangtuanya. Mungkin kalau ada kesempatan, aku berniat untuk mengenal orangtua Kak Pak Panggih.Hanya saja, aku belum sempat menceritakan perihal penyakitku kepada kekasihku. Ada perasaan takut kalau Kak Panggih tidak dapat menerima kead