“Jangan seenaknya sendiri!” Sonya berteriak kepada Aksa yang berdiri di depannya. Sejak tadi Sonya menunggu kedatangan Aksa dengan gusar. Berjalan mondar mandir di ruang kerjanya sambil terus mencoba menghubungi Aksa. Setelah 30 menit menunggu, akhirnya pegawai barunya itu tiba juga. Ia membuka pintu, menggerakan jari telunjuk meminta Aksa masuk ke ruangannya. Baru saja Aksa menutup pintu, pria itu sudah harus menerima amarah Sonya. “Jangan pikir karena kamu kenal dengan Dimas, aku tidak berani memecatmu. Dimas tidak pernah menolak permintaanku.”Sonya menatap Aksa tajam. Ia berdiri dengan tanggan di pinggang menunjukkan superioritasnya. “Maaf, Bu. Tadi saya terjebak macet.” Aksa menjawab sambil menundukkan wajah menyesal. “Aku tidak mau tahu! Kalau aku minta kamu datang, aku tidak ada peduli ada gempa atau angin topan, kamu harus datang. Paham?” Aksa mengangguk pasrah, tidak ingin membuat Sonya seakin murka. Ia tetap menunduk dan membiarkan Sonya merasa menang. Sesuai dugaan,
Jangan pikir aku tidak tahu apa yang terjadi, Lan!” Nyonya Agnes menoleh tipis, melirik Alan yang duduk tidak jauh dari Aksa. Mata wanita itu menyipit, menatap sinis Alan. Ia kembali beralih fokus pada Aksa. Wajah pria itu sama dinginnya dengan Alan. Tanpa ekspresi. Tidak ada senyum dan guratan gugup. “Memangnya apa yang saya lakukan, Nyonya? Saya hanya bekerja dengan baik.” Alan menjawab datar. Nyonya Agnes mendengus mendengar jawaban Alan. Tentu saja ia tidak percaya begitu saja. “Dan kamu? Pria miskin sepertimu, apa yang Alan janjikan untukmu, hah? Jangan macam-macam dengan keluarga Mahardika.” Sudut bibir Aksa terangkat mendengar ancaman Agnes yang adalah ibu tiri Dimas. “Aku sudah sangat mengenal permainan Mahardika, Tan. Aku tidak takut sama sekali.” Aksa menjawab dengan santai. Ia kembali fokus kepada beberapa lembar kertas yang ada di sisi kosong di sebelahnya. Agnes terhenyak mendengar panggilan Aksa untuknya. Ia menatap Aksa penuh selidik, mencoba mengingat dimana ia
“500 juta! Aku akan membayarmu 500 juta jika kamu mau memberikan semua informasi. Bagaimana?”Aksa menahan nafasnya agar emosinya tidak ikut meledak. Ia menatap Sonya dalam. Ia masih tidak percaya wanita yang ada di depannya ini ternyata musuh dalam selimut. Dada Aksa bergemuruh, ingin sekali membentak Sonya seperti yang ia lakukan jika menemukan karyawan Maha yang melakukan kesalahan. Wajah Aksa berubah memerah. Untungnya Sonya salah menilai rona merah di wajah Aksa. Ia pikir lelaki itu gugup karena berdekatan dengannya. “Apa ibu gak takut? Bagaimana kalau saya membocorkan niatan ibu ini ke pak Alan?”Sonya menyeringai. Ia menegakkan tubuh, membusungkan dadanya sangat percaya diri. “Apa kamu pikir mereka akan percaya kepadamu, hem? Kamu hanya pegawai rendahan, sedang aku sudah memberikan banyak jasa untuk perusahaan ini. Pilihanmu hanya satu Aksa, masuk ke dalam permainanku.”Lima belas menit berada di ruang rapat, lebih dari cukup untuk Aksa bisa mengetahui wajah Sonya yang sebe
“Sudah lama sekali kita gak ketemu, Ra. Setelah kamu memilih Aksa, aku gak nyangka kamu masih mau ketemu sama aku. ”Aksa menajamkan telinga mendengarkan percakapan Alan dan Dara di dalam ruang pantry. Keningnya berkerut mendengarkan percakapan tidak biasa kedua orang itu. Ia tahu Alan dan Aksa dulunya satu kampus tetapi ia tidak menyangka kalau Alan mengenal Dara. Mata awas Aksa memperhatikan sekitar. Ia menjaga tangannya agar tidak membuat pintu bergerak dan membuat Alan juga Dara mengetahui keberadaannya. Aksa tidak sabar mendengar jawaban Dara. Ia menyeka keringat di keningnya. Jantung Aksa berdebar kencang takut jika ia harus menghadapi kenyataan pahit antara Alan dan Dara. “Mas, ini soal mas Aksa.” Aksa menahan nafas mendengar namanya disebut. Ia merapatkan tubuhnya ke pintu, bersiap mendengarkan. Kantong celana Aksa bergetar. Tangannya memegangi ponsel, takut getarannya terdengar sampai ke dalam. Dengan terpaksa Aksa mengambil ponsel, ingin mematikan benda pipih itu kar
“Waktu kuliah saya menyukai Dara, Tuan Muda.”Pengakuan Alan membuat Aksa semakin geram. Kepalanya terasa semakin panas dan darahnya mendidih. “Dia wanita bersuami, Al!” Aksa menendang bagian belakang kursi Alan dengan kencang.0Jok Alan berguncang kuat. Ia hanya bisa pasrah menerima amukan sang tuan muda. Setelah mengamuk di halaman belakang hotel dan memukuli Alan, Aksa dan Alan kini bicara dengan tenang di dalam mobil Alan. “Dan, kenapa tidak kamu ceritakan dari awal kalau kamu mengenal istrinya Aksa? Hah?” pekik Aksa lagi yang masih kesal. “Itu hanya masa lalu, Tuan muda. Saya rasa itu bukan informasi penting untuk tuan muda.” Alan menjelaskan. Aksa kembali menendang jok Alan. Pria itu mengumpat memaki Alan. Sedang Alan hanya bisa diam menerima amukan Aksa. Pria yang sedang gelap mata itu membuang nafas kasar.“Apa yang Dara katakan kepadamu, Al? Apa kalian masih saling suka?” Aksa membaringkan kepalanya yang berputar karena terlalu banyak minum pada sandaran.Mendongak ke a
“Apa dia bisa dipercaya?” Salim menunjuk Aksa.Pria itu masih bengong mencoba mencerna rencana Sonya sekaligus mengendalikan emosinya.Sonya dan tuan Dirga menoleh melihat Aksa. Keduanya menatap Aksa penuh tanda tanya, menunggu jawaban dari Aksa.Aksa membetulkan posisi duduknya. Berdehem singkat, akhirnya ia menjawab. “Aku akan melakukan tugasku. Urusan di luar itu, akan aku selesaikan di luar kantor.”Sonya menghampiri Aksa, berdiri di depan pria itu dengan tangan di pinggang. “Artinya kamu profesional?”“Aku selalu melakukan tugasku dengan baik, bu Sonya.” Aksa menjawab dengan yakin. Puas dengan jawaban Aksa, Sonya menoleh melihat Salim. Pria itu tidak percaya begitu saja, tatapannya masih tertuju pada Aksa. Mencoba membaca pikiran rivalnya itu.Salah seorang pegawai kementerian mengangkat tangan. Ia juga memiliki pertanyaan untuk Sonya.“Katakanlah kita bisa melakukan semua rencanamu. Bagaimana kita mengelabuhi Dewa Mahardika? Dia bukan orang yang bodoh.”Sonya tersenyum licik m
“Rasanya nama ini tidak asing,” gumam Aksa saat melihat nama di batu nisan putih milik ibu Aksa.Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal mencoba mengingat nama Dona Arum. Ia sangat yakin pernah mendengar nama itu.“Papa ngapain ke sini, ya?” Aksa kembali bermonolog.Bunga lili segar tersandar di batu nisan ibu Aksa. Bunga lili yang dibawa oleh Dewa Mahardika.Makan Dona sudah bersih. Bunga tabur menutupi tanah yang basah setelah disiram oleh air oleh Dewa.Aksa semakin penasaran apa hubunganpapanya dengan ibu Aksa.Ia jongkok disisi tanah makam. Mengusap batu nisan putih sambil terus berusaha mengingat nama itu.Aksa menaburkan bunga yang ia bawa. Memanjatkan doa sebisanya karena ia bukan pria yang religius.Merasa cukup berada di sana, Aksa memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia menghampiri rumah kecil yang letaknya tidak jauh dari makam. “Mas ini lucu, makam ibunya sendiri kok lupa!” serunya ketika Aksa kembali. “Ketemu, kan makamnya?” tanyanya lagi. Ia mempersilahkan Aksa duduk d
Tin! Tin tin! “Siapa, sih?! Malam-malam gini masih berisik aja!” Agnes mundur satu langkah. Ia mematikan lampu dan menutup ruang kerja suaminya. Sambil menggerutu, keluar dan berteriak kepada satpam dari pintu depan. Kesempatan ini digunakan Aksa untuk keluar dari ruang kerja. Sama seperti saat masuk tadi, Aksa juga keluar lewat jendela. Berlari di bawah bayangan dinding dan keluar melalui pintu samping. Aksa menunggu beberapa saat di bawah pohon. Tak lama ia melihat dua cahaya bulat dari lampu depan mobil perlahan mendekat. “Tuan muda, ayo!” Alan membukakan pintu dan Aksa segera masuk. Untung saja tadi ia sempat menghubungi Alan. Asistennya itu melakukan pengalihan perhatian dengan sangat baik. Aksa melepas penutup wajahnya. Menurunkan resleting jaket hitam yang ia kenakan lalu menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba terasa berat setelah mengetahui kenyataan. Satu hembusan nafas kasar keluar dari bibir Aksa. Ia mengusap wajahnya lalu ber-hah seperti sedang membuang bebannya.
“Dimas kembali?” Salim mendelik. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel lalu menghubungi Sonya. “Kamu bilang, kecelakan ini akan membuat Dimas menghilang selamanya, tapi kenapa dia muncul lagi?” Salim mencecar Sonya begitu wanita itu menjawab panggilan teleponnya.Salim diam, mendengarkan suara Sonya diujung telepon. Ia mengangguk beberapa kali lalu menutup teleponnya.“Usahakan sebisa mungkin untuk meredam berita ini.” Sambil berjalan, Salim memberi perintah kepada asisten ayahnya sedang ia sendiri akan bertemu dengan Sonya dan melihat sendiri keadaan Dimas di rumah sakit.Sonya dan Salim terpaksa harus kembali masuk ke dalam lift karena hanya orang tertentu yang bisa melihat keadaan Dimas.Tentu saja itu perintah Alan. Sejak kemunculan ‘Dimas’ dalam lelang tender, ia sudah menyiapkan banyak hal yang pastinya akan menjadi kejutan.“Bagaimana menurutmu, Son? Apa Dimas benar-benar sembuh dan kembali?” Ia dan Sonya sedang berdua di dalam lift.Hening.Keduanya tidak ada yang bisa men
“Kartu debit siapa itu?” Bambang menatap curiga kartu kecil berwarna kuning keemasan yang Aksa serahkan kepada perawat pria yang membawakan tagihan Dara. “Kartu saya, Yah.” Aksa membiarkan perawat pria itu bekerja. Menggesek kartunya pada mesin kecil yang ia bawa. “Silahkan PIN-nya, Pak.” Aksa menerima mesin merchant dari perawat. Menekan beberapa angka, tak lama keluar kertas tanda pembayarannya berhasil. Mulut Bambang terbuka lebar melihat kartu Aksa benar bisa digunakan. Pun begitu dengan rekan parlemen Bambang. Mereka saling tatap heran. Baru beberapa menit yang lalu ia menghina Aksa habis-habisan. “Darimana kamu dapat uang sebanyak itu, hah?! Pinjol?” Bambang menuduh di depan sejawatnya. Aksa mendengus pelan, kesal tetapi tidak bisa marah. “Awas aja kalau sampai ada debt collector yang datang ke rumah!” Setelah memberikan ancaman, Bambang bergabung lagi dengan teman satu partainya. Samar-samar Aksa mendengar rencana Bambang yang akan maju menjadi calon gubernur. Ket
“Dok —dokter!” Wanita berpakaian serba putih itu memanggil dokter dari tempatnya berdiri. Matanya tak lepas dari uang merah yang ada di dompet Aksa.Jarak bangkar Dara tidak terlalu jauh dari meja dokter. Wanita paruh baya berkacamata itu bergegas berdiri dari duduk begitu melihat kepanikan di wajah sang perawat senior.Uang memang bisa memperlancar urusan.Saat pemakai jasa asuransi di nomor sekiankan, gepokan uang merah mempercepat pelayanan.“Apa yang terjadi?” Dokter itu menempelkan stetoskop di dada Dara sambil mendengarkan cerita Aksa. Ia kemudian menanyakan informasi dasar kepada perawat.Sama seperti perawat tadi, dokter juga memeriksa mata Dara dengan senter kecil. Hasilnya dokter itu mengirim Dara untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.“Kita akan lihat apa benturan saat jatuh berdampak pada mata ibu Dara.”Dokter itu mengisi beberapa formulir, meminta Aksa melakukan pendaftaran dan pembayaran sebelum Dara mendapatkan penanganan lebih lanjut.Hanya butuh 15 menit, kin
“Dara, bangun!” Aksa berlari kencang menaiki anak tangga berusaha menangkap Dara agar tidak menggelinding sampai dasar tangga di lantai satu. Ia berhasil menangkap Dara yang tepat di pertengahan tangga antara lantai satu dan dua. Tak sempat lagi memikirkan Salim juga Bambang yang berteriak ketika melihatnya masuk rumah, Aksa menggendong Dara yang lemas. Ia bergegas membawa Dara turun. Melompati beberapa anak tangga sekaligus agar cepat sampai di lantai bawah. Aksa berhenti di depan pintu masuk. Melihat deretan mobil yang terparkir di halaman depan, ia memilih mobil milik Bambang. Menunggu taksi akan memakan waktu! “Hei, mau kamu bawa kemana putriku?” Bambang menarik tangan Aksa yang baru saja membaringkan Dara di kursi belakang. “Kamu mau menculik Dara, ya?” teriak pria tua itu lagi. Ia menarik tangan Aksa memaksa pria itu menoleh melihatnya. “Membawanya ke rumah sakit!” Aksa membalas dengan teriakan. Melampiaskan kemarahannya karena Bambang diam saja saat Dara diperlakukan b
“Seharusnya kau sudah bisa menebak!” Dewa keluar dari ruang kerja Sonya setelah menjawab Aksa. Wajah arogan dan berkharismanya tidak luntur meski bayang-bayang kejadian 30 tahun lalu kembali melintas di benaknya.Aksa masih berdiri di tempatnya walau pintu sudah kembali tertutup. Ia menatap Alan, kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Al?”Alan mengangkat pundak. “Kita berdua tahu bagaimana cara kerja tuan besar, Tuan muda. Seharusnya anda sudah bisa menebak.” Alan mengulang perkataan Dewa.Ya, Aksa bisa membayangkan apa yang papanya lakukan kepada keluarga Hartawan. Apa karena itu ibunya selama ini menghilang dan tidak pernah berusaha untuk menemuinya?Lagi-lagi Aksa dihadapkan pada pertanyaan yang hanya Dewa Mahardika yang tahu jawabannya.Alan mulai melakukan tugasnya. Ia menangkat interkom dan memanggil beberapa orang untuk melakukan investigasi internal sesuai dengan perintah tuan Dewa.Tidak butuh waktu lama, mulai dari satpam sampai perwakilan divisi terkait masuk ke ruang k
“Jelaskan padaku tentang proyek itu, Son.” Tatapan dingin Dewa seakan menembus jantung Aksa. Pria itu memang bicara kepada Sonya namun pandangan matanya mengarah pada Aksa.Tidak mendengar suara Sonya yang seharusnya menjawab pertanyaan, Dewa mengalihkan tatapannya kepada manajer marketing Maha Group.“Sonya?” Suara dingin Dewa kembali terdengar membuat si empunya nama merinding.Sonya terhenyak kaget. Ia mendongak menatap Dewa sejenak lalu memalingkan wajahnya melihat Aksa meminta bantuan.Rupanya Dewa mengerti maksud dari tatapan Sonya. Pria itu menyandarkan punggungnya lalu berkata, “Aku mau jawaban darimu, Sonya! Bukan anak ingusan itu!” Sonya kembali dibuat kaget dengan permintaan sang pemilik perusahaan. Sejak Dimas memegang kendali Maha Group, Dewa tidak pernah lagi mencampuri urusan perusahaan.Tapi kali ini, Dewa Mahardika pebisnis legenda kembali turun gunung. Terjun langsung menangani perusahaannya.“O —om, itu….”“Ini di kantor, Sonya. Bersikaplah profesional. Kau meman
“Bagaimana dengan Salim?” tanya Aksa yang baru saja memenangkan tender pertamanya untuk Maha Group.Pria itu melonggarkan dari dan membuka dua kancing kemejanya. Membiarkan dinginnya AC mobil mendinginkan tubuhnya.Bukannya menjawab, Alan malah terkekeh. Ia memutar kunci mobil sambil membayangkan apa yang Salim alami saat ini.“Rencana tuan muda memang selalu terbaik. Aku yakin saat ini Salim Dirga sedang kerepotan. Tuan mau pesan cakaran atau tamparan?” Aksa berdecak tetapi tidak menjawab pertanyaan sarkas Alan. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Tiba-tiba ia merindukan Dara.Wanita itu selalu bisa menghilangkan lelahnya seperti saat pertama kali ia bekerja sebagai porter.****“Kenapa kita berhenti disini?” Salim mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa melihat apa yang membuat mobilnya berhenti.Mobil mewah miliknya bahkan belum keluar dari pagar. Pria yang selalu berpenampilan rapi ini melirik jam tangan miliaran yang melingkat di lengannya. “Maaf, Tuan, saya tidak b
Tin! Tin tin! “Siapa, sih?! Malam-malam gini masih berisik aja!” Agnes mundur satu langkah. Ia mematikan lampu dan menutup ruang kerja suaminya. Sambil menggerutu, keluar dan berteriak kepada satpam dari pintu depan. Kesempatan ini digunakan Aksa untuk keluar dari ruang kerja. Sama seperti saat masuk tadi, Aksa juga keluar lewat jendela. Berlari di bawah bayangan dinding dan keluar melalui pintu samping. Aksa menunggu beberapa saat di bawah pohon. Tak lama ia melihat dua cahaya bulat dari lampu depan mobil perlahan mendekat. “Tuan muda, ayo!” Alan membukakan pintu dan Aksa segera masuk. Untung saja tadi ia sempat menghubungi Alan. Asistennya itu melakukan pengalihan perhatian dengan sangat baik. Aksa melepas penutup wajahnya. Menurunkan resleting jaket hitam yang ia kenakan lalu menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba terasa berat setelah mengetahui kenyataan. Satu hembusan nafas kasar keluar dari bibir Aksa. Ia mengusap wajahnya lalu ber-hah seperti sedang membuang bebannya.
“Rasanya nama ini tidak asing,” gumam Aksa saat melihat nama di batu nisan putih milik ibu Aksa.Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal mencoba mengingat nama Dona Arum. Ia sangat yakin pernah mendengar nama itu.“Papa ngapain ke sini, ya?” Aksa kembali bermonolog.Bunga lili segar tersandar di batu nisan ibu Aksa. Bunga lili yang dibawa oleh Dewa Mahardika.Makan Dona sudah bersih. Bunga tabur menutupi tanah yang basah setelah disiram oleh air oleh Dewa.Aksa semakin penasaran apa hubunganpapanya dengan ibu Aksa.Ia jongkok disisi tanah makam. Mengusap batu nisan putih sambil terus berusaha mengingat nama itu.Aksa menaburkan bunga yang ia bawa. Memanjatkan doa sebisanya karena ia bukan pria yang religius.Merasa cukup berada di sana, Aksa memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia menghampiri rumah kecil yang letaknya tidak jauh dari makam. “Mas ini lucu, makam ibunya sendiri kok lupa!” serunya ketika Aksa kembali. “Ketemu, kan makamnya?” tanyanya lagi. Ia mempersilahkan Aksa duduk d