“Apa kamu lupa kalau ayah ini anggota dewan? Hah?!” Suara Bambang menggelegar menggema di ruang tamu. Wajah pria itu merah saking marahnya.“Punya menantu pekerja kasar saja sudah bikin malu apalagi kalau orang tahu kamu itu penjudi?” pekiknya lagi.“S – saya gak main judi, Yah. Hanya minum sedikit buat ngilangin sakit kepala.” Aksa mencoba menjelaskan. Tetapi mertuanya yang sudah terlanjur naik pitam tidak mau mendengarkan.Pria paruh baya itu kembali berteriak sampai membangunkan Dara yang tadinya sudah terlelap.“Peminum sama penjudi itu satu paket. Awas aja, ya kalau ada orang yang datang dan nangih hutang kamu. Ayah lebih rela kamu yang dipukul daripada harus bayarin hutang kamu.” Bambang yang sedang dimakan api amarah, mendorong Aksa sampai terjerembab ke sofa yang ada di belakang.Dara berlari menghampiri Aksa, membantu suaminya berdiri lalu menuntun Aksa kembali ke kamar.Wanita itu tidak bertanya apapun. Ia langsung menyiapkan air hangat untuk Aksa mandi dan juga baru bersih.
“Enak banget, lu ya?” Tiga orang staff marketing senior mendatangi kubikel Aksa yang sedang bersiap untuk pulang.Sudah pukul dua siang dan ia harus bergegas ke bandara. Shift nya sebagai porter akan mulai jam tiga sore.Aksa mengabaikan ketiganya. Ketiga orang ini yang membuat Aksa repot seharian ini. Memperlakukannya seperti office boy. Meminta Aksa membuat kopi sampai membeli makan siang. Parahnya lagi, mereka tidak memberikan uang jadi Aksa terpaksa membayar makan siang mereka. Ketiganya melihat barang-barang Aksa yang masih ada di atas meja. Salah satu dari mereka membuka kotak makan siang dan mencicipi masakan Dara.“Enak. Masakan istri lu?” Pria itu mengangguk sambil terus memakan bekal Aksa hingga hampir habis. Ia menyerahkan kembali kotak bekal berwarna hijau kepada Aksa.Aksa menerimanya dengan bibir cemberut. memasukkan kotak itu ke dalam tas ransel sambil menggerutu dalam hati. “Anak baru udah seenaknya sendiri. a banget bisa pulang jam segini.” pria dengan kemeja hitam
“Berani sekali kamu mengusik Aksa.” Suara Alan terdengar tegas dan lebih berat dari biasanya.Lima orang yang berada dalam ruangan tersentak kaget. Alan yang sedang menggunakan jas abu-abu fit body duduk dengan gagah di kursi manajer personalia. “Bahkan berani menuduh dia sebagai pencuri. Apa kalian sudah bosan bekerja di Maha Group, hah?!” Suara Alan meninggi. Ia menatap tajam bergantian empat orang yang berani menuduh tuan mudanya seperti elang yang siap menangkap mangsanya. Teriakan Alan membuat Heru dan yang lainnya tersentak kaget dan menundukkan kepalanya dalam karena ketakutan. “Bu —bukan begitu, Pak. Aksa ini sudah berani masuk ke ruang kerja tuan muda dan mengambil berkas ini.” Amir menunjuk binder yang menjadi topik pembicaraan mereka sejak tadi. Alan melirik sinis binder itu. Ia kemudian mendorong map tebal itu ke arah Aksa. “Anda bisa membawanya pulang, Tuan. Anda bisa melanjutkan kegiatan anda. Saya akan mengurus mereka.”Rahang keempat orang itu terjatuh melihat Ala
“Kamu ini benar-benar payah!” ejek Bambang yang berdiri di belakang Dara. Setelah mendapatkan telepon dari rekan kerja Aksa, Dara segera berangkat. Melihat putrinya yang sedang terburu-buru, Bambang akhirnya mengantarkan Dara. Aksa pingsan saat mengangkat peti jenazah. Itu karena ada darah yang merembes keluar dan terlihat dari plastik pembungkusannya. Rekan-rekan Aksa membawanya ke klinik yang ada di bandara. Aksa sudah siuman ketika Dara dan Bambang hanya saja pria itu masih lemas. “Laki-laki macam apa yang pingsan hanya karena setitik darah? Kamu ini tidak pantas disebut laki-laki.” Bambang kembali menghina Aksa. Aksa yang masih menggunakan oksigen mengabaikan ucapan mertuanya. Ia melirik tangannya yang digenggam erat sh Dara. Wanita itu khawatir sampai berkaca-kaca. Aksa memaksakan senyumnya untuk menghibur sang istri. Tangannya terangkat mengusap lembut pipi Dara. Tiga jam berada di klinik dan menghabiskan satu botol infus, Aksa akhirnya diizinkan pulang. Tidak ingin ter
“Hukuman apa yang kamu berikan kepada mereka, Al?” Aksa duduk di kursi kebesaran Dimas. Membuka laptop kesayangannya. Laptop yang berisi banyak sekali dokumen rahasia perusahaan termasuk proyek-proyek yang akan Maha Group kerjakan. “Heru dan kawan-kawannya menjadi tim di lapangan. Sedang Amin, saya memindahkannya ke perusahaan cabang di daerah.” Alan memberikan laporan. Ia menarik kursi di depan meja, duduk disana menunggu perintah berikutnya dari Aksa. Dengan lincah Aksa memasukkan kode rahasia untuk mengakses laptopnya. Itu bukan pekerjaan sulit, Aksa masih ingat semua kode yang Dimas buat. Sambil mengetik proposal yang sudah ia susun semalam, Aksa memberikan perhitungan modal dan keuntungan kepada Alan. “Tolong periksa ini, Al.” Alan membacanya dengan cepat. Ia keluar ruangan sebentar kemudian kembali dengan membawa laptopnya sendiri. Pria itu ikut sibuk mengerjakan perhitungan yang Aksa minta. Menyusun angka yang semalam Aksa tulis. Aksa tiba-tiba ingat sesuatu saat sedan
“Lan, kamu harus pecat dia!” Tangan Sonya menunjuk Aksa yang berdiri depan mejanya Ia sedang merengek manja, meminta Alan memecat Aksa yang menurutnya tidak becus bekerja. Wanita itu suka berbuat semaunya sendiri karena merasa dekat dengan Dimas. Alan meraup wajahnya frustasi. Ia melirik Aksa yang memberi kode dengan mata agar segera mengurus Sonya. “Emang salah dia apa, Sonya? Lagian aku gak berani mecat dia. Tuan muda sendiri yang minta dia buat kerja di sini.”Sonya mendelik tidak percaya. Setahunya Dimas tidak pernah mengurusi karyawan yang di rekrut namun sangat sering memecat pegawai Maha.“Gak mungkin!” seru Sonya. Mata wanita itu kembali melihat Aksa. Memperhatikan Aksa mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu tahu sendiri bagaimana Dimas, Lan. Dia itu concern banget sama penampilan. Pegawai gak wangi aja bisa dipecat, sedang dia —?” Sonya menjeda perkataannya. Sonya menghampiri Aksa. Ia memutari Aksa. Mendekatkan hidungnya, mencium aroma Aksa. Menarik kerah keme
“Kamu bayar dia berapa dia berapa, Sonya? Apa pelayanannya memuaskan? ejek Salim yang berjalan menghampiri Sonya dan Aksa. Sonya terlihat cuek, tidak peduli. Wajahnya datar tanpa ekspresi, wanita itu bahkan tidak menjawab pertanyaan Salim. Namun tidak dengan Aksa. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya bertemu dengan Salim tetapi yang membuatnya lebih terkejut karena pria itu sedang bersama dengan istrinya. Pun begitu dengan Dara. Wajah wanita itu berubah pucat bukan hanya karena ketahuan pergi bersama Salim tetapi juga karena melihat suaminya bersama wanita lain. “Ck! Coba lihat, Ra. Suamimu larang kamu terima hadiah dariku tapi dia terima hadiah dari wanita itu.” Salim mengejek terkekeh. “Dasar munafik!” hardik Salim sambil meludahi kaki Aksa. Tangan Aksa mengepal dengan kuat. Ia ingin sekali memukul wajah Salim. Tapi ia pria yang tahu aturan. “Dek, gak gitu. Ibu Sonya ini atasan mas di kantor.”Ha-ha-haTawa mengejek Salim mengisi pendengaran Aksa. “Kamu main gila den
“Waktumu tinggal dua hari lagi.” Aksa yang sudah berada di atas motornya menoleh, mencari sumber suara. Bambang berdiri di ambang pintu, bukan hendak mengantar menantunya tetapi untuk mengingatkan Aksa kalau sisa waktunya untuk mengganti enam miliar puang Salim tinggal dua hari lagi. “Ada baiknya kamu menyerah. Toh kamu gak akan bisa dapat uang sebanyak itu.” Bambang memberikan saran sambil menyeringai, mengejek menantunya. “Masih ada dua hari, kan? Saya akan usahakan yang terbaik yang penting Dara bisa lepas dari Salim.”Suara Aksa digantikan suara motor matik yang baru saja ia nyalakan. Aksa meninggalkan Bambang begitu saja berharap Alan sudah mendapatkan calon pembeli apartemennya. “Aksa, kemari!” Sonya memanggil Aksa dari ambang pintu ruang kerjanya. Ia langsung masuk tidak menunggu Aksa menjawab. Aksa mendongak. Ia mendorong kursinya menjauh dari meja lalu berdiri dan berjalan masuk ke ruang kerja Sonya. “Tutup pintunya!” Aksa menurut, ia mendorong pintu agar tertutup den
“Dimas kembali?” Salim mendelik. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel lalu menghubungi Sonya. “Kamu bilang, kecelakan ini akan membuat Dimas menghilang selamanya, tapi kenapa dia muncul lagi?” Salim mencecar Sonya begitu wanita itu menjawab panggilan teleponnya.Salim diam, mendengarkan suara Sonya diujung telepon. Ia mengangguk beberapa kali lalu menutup teleponnya.“Usahakan sebisa mungkin untuk meredam berita ini.” Sambil berjalan, Salim memberi perintah kepada asisten ayahnya sedang ia sendiri akan bertemu dengan Sonya dan melihat sendiri keadaan Dimas di rumah sakit.Sonya dan Salim terpaksa harus kembali masuk ke dalam lift karena hanya orang tertentu yang bisa melihat keadaan Dimas.Tentu saja itu perintah Alan. Sejak kemunculan ‘Dimas’ dalam lelang tender, ia sudah menyiapkan banyak hal yang pastinya akan menjadi kejutan.“Bagaimana menurutmu, Son? Apa Dimas benar-benar sembuh dan kembali?” Ia dan Sonya sedang berdua di dalam lift.Hening.Keduanya tidak ada yang bisa men
“Kartu debit siapa itu?” Bambang menatap curiga kartu kecil berwarna kuning keemasan yang Aksa serahkan kepada perawat pria yang membawakan tagihan Dara. “Kartu saya, Yah.” Aksa membiarkan perawat pria itu bekerja. Menggesek kartunya pada mesin kecil yang ia bawa. “Silahkan PIN-nya, Pak.” Aksa menerima mesin merchant dari perawat. Menekan beberapa angka, tak lama keluar kertas tanda pembayarannya berhasil. Mulut Bambang terbuka lebar melihat kartu Aksa benar bisa digunakan. Pun begitu dengan rekan parlemen Bambang. Mereka saling tatap heran. Baru beberapa menit yang lalu ia menghina Aksa habis-habisan. “Darimana kamu dapat uang sebanyak itu, hah?! Pinjol?” Bambang menuduh di depan sejawatnya. Aksa mendengus pelan, kesal tetapi tidak bisa marah. “Awas aja kalau sampai ada debt collector yang datang ke rumah!” Setelah memberikan ancaman, Bambang bergabung lagi dengan teman satu partainya. Samar-samar Aksa mendengar rencana Bambang yang akan maju menjadi calon gubernur. Ket
“Dok —dokter!” Wanita berpakaian serba putih itu memanggil dokter dari tempatnya berdiri. Matanya tak lepas dari uang merah yang ada di dompet Aksa.Jarak bangkar Dara tidak terlalu jauh dari meja dokter. Wanita paruh baya berkacamata itu bergegas berdiri dari duduk begitu melihat kepanikan di wajah sang perawat senior.Uang memang bisa memperlancar urusan.Saat pemakai jasa asuransi di nomor sekiankan, gepokan uang merah mempercepat pelayanan.“Apa yang terjadi?” Dokter itu menempelkan stetoskop di dada Dara sambil mendengarkan cerita Aksa. Ia kemudian menanyakan informasi dasar kepada perawat.Sama seperti perawat tadi, dokter juga memeriksa mata Dara dengan senter kecil. Hasilnya dokter itu mengirim Dara untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.“Kita akan lihat apa benturan saat jatuh berdampak pada mata ibu Dara.”Dokter itu mengisi beberapa formulir, meminta Aksa melakukan pendaftaran dan pembayaran sebelum Dara mendapatkan penanganan lebih lanjut.Hanya butuh 15 menit, kin
“Dara, bangun!” Aksa berlari kencang menaiki anak tangga berusaha menangkap Dara agar tidak menggelinding sampai dasar tangga di lantai satu. Ia berhasil menangkap Dara yang tepat di pertengahan tangga antara lantai satu dan dua. Tak sempat lagi memikirkan Salim juga Bambang yang berteriak ketika melihatnya masuk rumah, Aksa menggendong Dara yang lemas. Ia bergegas membawa Dara turun. Melompati beberapa anak tangga sekaligus agar cepat sampai di lantai bawah. Aksa berhenti di depan pintu masuk. Melihat deretan mobil yang terparkir di halaman depan, ia memilih mobil milik Bambang. Menunggu taksi akan memakan waktu! “Hei, mau kamu bawa kemana putriku?” Bambang menarik tangan Aksa yang baru saja membaringkan Dara di kursi belakang. “Kamu mau menculik Dara, ya?” teriak pria tua itu lagi. Ia menarik tangan Aksa memaksa pria itu menoleh melihatnya. “Membawanya ke rumah sakit!” Aksa membalas dengan teriakan. Melampiaskan kemarahannya karena Bambang diam saja saat Dara diperlakukan b
“Seharusnya kau sudah bisa menebak!” Dewa keluar dari ruang kerja Sonya setelah menjawab Aksa. Wajah arogan dan berkharismanya tidak luntur meski bayang-bayang kejadian 30 tahun lalu kembali melintas di benaknya.Aksa masih berdiri di tempatnya walau pintu sudah kembali tertutup. Ia menatap Alan, kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Al?”Alan mengangkat pundak. “Kita berdua tahu bagaimana cara kerja tuan besar, Tuan muda. Seharusnya anda sudah bisa menebak.” Alan mengulang perkataan Dewa.Ya, Aksa bisa membayangkan apa yang papanya lakukan kepada keluarga Hartawan. Apa karena itu ibunya selama ini menghilang dan tidak pernah berusaha untuk menemuinya?Lagi-lagi Aksa dihadapkan pada pertanyaan yang hanya Dewa Mahardika yang tahu jawabannya.Alan mulai melakukan tugasnya. Ia menangkat interkom dan memanggil beberapa orang untuk melakukan investigasi internal sesuai dengan perintah tuan Dewa.Tidak butuh waktu lama, mulai dari satpam sampai perwakilan divisi terkait masuk ke ruang k
“Jelaskan padaku tentang proyek itu, Son.” Tatapan dingin Dewa seakan menembus jantung Aksa. Pria itu memang bicara kepada Sonya namun pandangan matanya mengarah pada Aksa.Tidak mendengar suara Sonya yang seharusnya menjawab pertanyaan, Dewa mengalihkan tatapannya kepada manajer marketing Maha Group.“Sonya?” Suara dingin Dewa kembali terdengar membuat si empunya nama merinding.Sonya terhenyak kaget. Ia mendongak menatap Dewa sejenak lalu memalingkan wajahnya melihat Aksa meminta bantuan.Rupanya Dewa mengerti maksud dari tatapan Sonya. Pria itu menyandarkan punggungnya lalu berkata, “Aku mau jawaban darimu, Sonya! Bukan anak ingusan itu!” Sonya kembali dibuat kaget dengan permintaan sang pemilik perusahaan. Sejak Dimas memegang kendali Maha Group, Dewa tidak pernah lagi mencampuri urusan perusahaan.Tapi kali ini, Dewa Mahardika pebisnis legenda kembali turun gunung. Terjun langsung menangani perusahaannya.“O —om, itu….”“Ini di kantor, Sonya. Bersikaplah profesional. Kau meman
“Bagaimana dengan Salim?” tanya Aksa yang baru saja memenangkan tender pertamanya untuk Maha Group.Pria itu melonggarkan dari dan membuka dua kancing kemejanya. Membiarkan dinginnya AC mobil mendinginkan tubuhnya.Bukannya menjawab, Alan malah terkekeh. Ia memutar kunci mobil sambil membayangkan apa yang Salim alami saat ini.“Rencana tuan muda memang selalu terbaik. Aku yakin saat ini Salim Dirga sedang kerepotan. Tuan mau pesan cakaran atau tamparan?” Aksa berdecak tetapi tidak menjawab pertanyaan sarkas Alan. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Tiba-tiba ia merindukan Dara.Wanita itu selalu bisa menghilangkan lelahnya seperti saat pertama kali ia bekerja sebagai porter.****“Kenapa kita berhenti disini?” Salim mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa melihat apa yang membuat mobilnya berhenti.Mobil mewah miliknya bahkan belum keluar dari pagar. Pria yang selalu berpenampilan rapi ini melirik jam tangan miliaran yang melingkat di lengannya. “Maaf, Tuan, saya tidak b
Tin! Tin tin! “Siapa, sih?! Malam-malam gini masih berisik aja!” Agnes mundur satu langkah. Ia mematikan lampu dan menutup ruang kerja suaminya. Sambil menggerutu, keluar dan berteriak kepada satpam dari pintu depan. Kesempatan ini digunakan Aksa untuk keluar dari ruang kerja. Sama seperti saat masuk tadi, Aksa juga keluar lewat jendela. Berlari di bawah bayangan dinding dan keluar melalui pintu samping. Aksa menunggu beberapa saat di bawah pohon. Tak lama ia melihat dua cahaya bulat dari lampu depan mobil perlahan mendekat. “Tuan muda, ayo!” Alan membukakan pintu dan Aksa segera masuk. Untung saja tadi ia sempat menghubungi Alan. Asistennya itu melakukan pengalihan perhatian dengan sangat baik. Aksa melepas penutup wajahnya. Menurunkan resleting jaket hitam yang ia kenakan lalu menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba terasa berat setelah mengetahui kenyataan. Satu hembusan nafas kasar keluar dari bibir Aksa. Ia mengusap wajahnya lalu ber-hah seperti sedang membuang bebannya.
“Rasanya nama ini tidak asing,” gumam Aksa saat melihat nama di batu nisan putih milik ibu Aksa.Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal mencoba mengingat nama Dona Arum. Ia sangat yakin pernah mendengar nama itu.“Papa ngapain ke sini, ya?” Aksa kembali bermonolog.Bunga lili segar tersandar di batu nisan ibu Aksa. Bunga lili yang dibawa oleh Dewa Mahardika.Makan Dona sudah bersih. Bunga tabur menutupi tanah yang basah setelah disiram oleh air oleh Dewa.Aksa semakin penasaran apa hubunganpapanya dengan ibu Aksa.Ia jongkok disisi tanah makam. Mengusap batu nisan putih sambil terus berusaha mengingat nama itu.Aksa menaburkan bunga yang ia bawa. Memanjatkan doa sebisanya karena ia bukan pria yang religius.Merasa cukup berada di sana, Aksa memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia menghampiri rumah kecil yang letaknya tidak jauh dari makam. “Mas ini lucu, makam ibunya sendiri kok lupa!” serunya ketika Aksa kembali. “Ketemu, kan makamnya?” tanyanya lagi. Ia mempersilahkan Aksa duduk d