Hana menengadahkan kepalanya agar bisa melihat manik abu cerah milik Axel, terlihat seringai tampan terpatri di wajah tegas milik bosnya itu mampu membuat Hana seakan kehabisan oksigen. Gadis itu kemudian mendorong perlahan Axel ke arah kasur sambil balas berbisik. “Aku tahu apa yang harus kita lakukan untuk mengisi malam ini.”Axel tercengang dengan keberanian dan inisatif Hana. ‘Oh okay, toh kami juga sudah sah walau hanya pura-pura.’ Begitulah pikiran lelaki itu, bagaimana pun Axel adalah lelaki normal. Satu-satunya hal yang membuat ia menolak Salia kemarin karena wanita itu berhasil menginjak-injak harga dirinya. Sedangkan Hana, adalah seorang wanita dan dirinya pria, di sebuah kamar dengan suasana yang mendukung dan hal "itu" merupakan kebutuhan seorang pria.“Bapak tunggu di sini dulu ya, saya mau menyiapkan suatu yang hangat,” ujar Hana setelah Axel merebahkan diri diatas kasur malam pengantin mereka. Setelahnya gadis itu menghilang dari balik pintu.Axel langsung bersandar pa
Sebelum bibir mereka nyaris saja bersentuhan, setetes air mata lolos dari balik kelopak mata Hana."Andra…," gumam gadis itu dalam tidurnya.Axel langsung tertegun. 'Ternyata seperti itu, diam-diam ia bersedih dan menutupinya.'Axel mengusap pelan kepala Hana. "Tidurlah, Hana. Kamu tak pantas menangisi pria brengsek seperti itu."Kemudian malam terasa panjang bagi Axel, selama Hana tertidur di pangkuannya, lelaki itu juga mencoba terlelap tanpa merubah posisinya. Ia tak ingin gadis itu terbangun.Pagi tiba, Hana menggeliat sembari membalik badan dan matanya langsung terbuka lebar saat melihat ada sesuatu yang menonjol tepat di depan mukanya. "Aaa-!" Hana langsung menyumpal mulutnya dengan kedua tangan. Sosok tampan yang tertidur dalam keadaan duduk sekarang berada di hadapannya. Gadis itu kemudian menarik napas panjang. 'Ah benar, kami sudah menikah kemarin.'Mau tak mau gadis itu melihat sesuatu yang menonjol di antara kaki bosnya itu. 'Ya ampun besar amat itu tongkat sakti Sun Go
"Eh dianter suami ya, Mbak?" celetuk anak kos lain dan mulai melihat ke arah mobil yang berada tepat di depan gerbang. Untung saja kaca mobil Axel gelap, jadi sosok tampan di dalamnya tak terlalu tampak. Dan kali ini General Manager perusahaan Harrison Food menggunakan mobil yang berbeda dari terakhir kali ia mampir ke kos-kosan Hana."Itu-." 'Aduh bagaimana ini?' Hana mulai panik. "Eh kok ibu dan yang lainnya tahu?" tanya Hana mengembalikan topik pembicaraan."Abah dan Mamamu tadi telepon. Katanya kamu sudah enggak ngekos di kosan ini lagi, melainkan tinggal bareng sama suamimu," jelas ibu kos yang masih mencoba melihat ke dalam mobil milik Axel"Loh kok gitu. Aku masih mau ngekos di sini, Bu," rengek Hana."Wah enggak bisa Han, tahu kan peraturan kos-kosan ini? Selain yang berbatang, yang sudah enggak perawan juga enggak boleh ngekos di sini.""Tapi Bu, saya masih perawa-."Mulut Hana langsung ditutup oleh sebuah tangan besar dan kekar. "Saya akan membawa istri saya sekarang," ucap A
Jam tangan rolex yang melingkar di pergelangan Axel sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, saat Hana dan dirinya sampai di sebuah komplek apartemen. Hana mengenali komplek apartemen mewah itu yang iklannya sering muncul silih berganti di televisi lokal, dengan kalimat pamungkas dari si pembawa acara yang merupakan seorang artis terkenal; “Senin harga naik, maka beli sekarang! Cicilan cuma tiga miliar sebulan.” Ini memang bukan pertama kalinya Hana ke apartemen Axel. Sebelumnya ia bahkan sempat tidur di apartemen lelaki itu saat mereka bertukar tubuh setelah Salia memberikan obat bius pada Axel. Tapi mengapa rasanya kali ini berbeda bagi Hana. Entahlah, mungkin karena waktu itu ia begitu tegang untuk menyelamatkan Axel hingga menyebabkannya dirinya lupa kalau berada di sebuah apartemen mewah berdua saja dengan bosnya. Begitu memasuki apartemen itu Hana disuguhi pemandangan ibu kota dari jendela besar. Bagian dalam dari apartemen milik Axel merupakan ruang terbuka luas tanpa
“Ya, terserah. Pilihannya di kamarku apa kamar mandi,” ucap Axel cuek kemudian berlalu masuk ke kamarnya tanpa mengunci pintu. Baru saja Hana mau kembali melangkah ke arah sofa, Axel kembali berteriak dari arah kamar. “Jangan tidur di sofa Hana, aku enggak mau sofanya bau iler.”Hana langsung cemberut. Gadis itu kemudian memutar haluan ke arah kamar mandi luar yang terakhir ditunjuk Axel tadi. Hana kembali terpesona begitu membuka pintu kayu berwarna putih tulang itu. ‘Ini sama sekali bukan kamar mandi,’ batin Hana. Ruangan itu memiliki pagar pembatas berupa kaca tebal yang langsung terhubung dengan balkon yang tepat berada di samping ruang bersantai apartemen Axel. Terdapat kolam atau lebih tepatnya jacuzzi di tengah sana, dan sofa rotan untuk berjemur di sudut ruangan. Hana berjalan pelan mengitari jacuzzi itu yang sekarang kosong tanpa air. Seulas senyum muncul di bibirnya begitu melihat beanbag yang juga berada di sudut lain ruangan itu. “Ah aku bisa tidur dengan beanbag di dal
Axel langsung menatap datar Hana. Ia mendekatkan diri wajahnya ke wajah Hana yang mulai memucat. Gadis itu bahkan bersandar pada kepala kasur, karena Axel masih terus mendekatkan diri kepadanya. Tepatnya ke wajah Hana. “Ha ha ha,” ucap Axel seolah tertawa tapi dengan nada datar. “Han, ngaca coba. Mukamu masih muka bantal,” sembur lelaki tampan itu kemudian beranjak ke luar seraya membawa pakaian gantinya. ‘Sialan, pagi-pagi malah kena tampar. Aku juga ngapain sih?’ Hana duduk dengan raut wajah kebingungan. “Lah Bos terus mau ngapain tadi?” Segera gadis itu menggelengkan kepalanya. “Aku juga mikir apa sih?” Hana kemudian turun dari kasur dan mengikuti bosnya keluar kamar. Hana sempat tertegun begitu keluar kamar mendapati Axel mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung hingga sesiku, lengkap dengan celana bahan warna capucino. Sesuai dengan warna kopi yang ada di cangkir tangannya. Axel hanya melihat sekilas pada Hana sebelum duduk di kursi dengan model stool bar minimalis berwa
Akhirnya setelah sarapan, Axel berangkat ke kantor. Sedangkan Hana yang masih cuti menghabiskan waktunya membersihkan apartemen bosnya itu. Suara dering ponsel membuat Hana menghentikan aktivitasnya mengelap perabotan di apartemen Axel. Panggilan video call dari grup ‘kerak neraka’, otomatis Hana langsung menggeser icon berwarna hijau di gawainya. “Woiii liburan kemana lu, Han?” jerit Zidan di seberang sana dengan semangat. Hana sampai menjauhkan ponselnya karena teriakan itu. “Apa sih kamu Dan, berisik tahu!” protes Jennie. “Emang lu enggak dimarahi Raja Neraka video call sambil teriak-teriak begitu.” “Tenang Bos lagi pergi sama Pak Bambang dan pengawas internal lainnya.” “Emang ada apa Mas Zidan? Kok Pak Bos pergi sama pengawas internal?” tanya Elira penasaran. Hana yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan teman-temannya di grup itu, langsung merasa tegang. Ia tahu apa yang akan mereka bicarakan. “Nah ini gossip yang mau gue beberin sampai nelpon elu elu pada,” ucap Zidan.
“Kamu siapa?” tanya wanita itu dengan nada mendesak. “S-saya.” Lidah Hana tiba-tiba kaku tak tahu harus menjawab apa, ia takut dianggap penyusup atau pencuri di apartemen Axel oleh wanita itu. “Pe-pegawai kantornya Axel,” cicit Hana akhirnya. Suaranya terlalu kecil hingga wanita yang sudah berumur tujuh puluh tahun itu tak terlalu mendengar perkataan gadis berambut panjang itu. Miranda, nenek dari Axel Harrison hanya memperhatikan Hana dengan seksama sebelum senyum wanita itu mengembang. ‘Wah, cucuku nakal juga! Ia sama sekali tak pernah menceritakan tinggal dengan seorang wanita di apartemennya,’ batin Miranda senang. Tampak keterkejutan di mukanya mulai menghilang berganti dengan rasa penasaran. Wanita tua itu langsung berjalan secepat kakinya yang ditopang oleh tongkat itu ke arah Hana. “Jadi sudah berapa lama dengan Axel?” “Sudah tiga tahun, Bu,” jawab Hana spontan. Menjawab berapa lamanya ia bekerja di perusahaan Axel. “Sudah lama ya. Pintar juga anak itu menyembunyikan k
“Pagi!” Hana menyapa teman-temannya dengan ceria di depan cafetaria. Gadis berkulit putih itu seakan lupa apa yang terjadi dengannya kemarin. Tampaknya Axel yang menghibur Hana semalaman cukup mampu membuat gadis itu berhenti ketakutan.“Hana! Sini kumpul!” panggil Jennie yang langsung melambai-lambaikan tangannya di salah satu pojok favorit mereka di kantin kantor. Seperti biasa mereka melakukan ritual pagi hari, apalagi kalau bukan sarapan bareng.Hana langsung memesan teh kembang telang di kasir sebelum berjalan ke tempat teman-temannya berada.“Eh kamu kok jarang sarapan sih, Han? Beberapa hari terakhir ini aku lihat? Diet ya?” tanya Jennie perhatian, sesaat sebelum Hana merebahkan bokongnya di kursi.“Eh, ah iya.” Hana terlihat bingung menjawabnya. Jennie dan teman-temannya saja yang tidak tahu kalau setiap pagi ia selalu sarapan tepat jam enam bersama bos besar perusahaan ini. Axel memang setertib itu kalau urusan makan. ‘Tapi kenapa ia malah makan steak malam-malam denganku k
“Siapa yang mereka maksud dengan pedagang bakso boraks! Tuduhan macam apa itu!” teriak Axel kesal. Selama ini, pria itu bahkan selalu menghindari makan daging yang dicampur tepung yang dibentuk bulat itu. Hal itu semata-mata agar tubuhnya tetap atletis. Bagaimana mungkin sekarang seseorang membuatkannya skandal dengan pedagang bakso? Sudah begitu pedagang bakso borak pula!“Aku akan menuntut media ini karena telah menyebarkan hoax,” geram Axel. Tapi belum sempat ia membuka kunci ponsel pintarnya. Sebuah video diputar dalam acara gosip itu.Tampak Salia yang sedang berjalan di selasar apartemen yang sangat Axel hafal sekali karena itulah jalan yang selalu ia lewati setiap pulang dan pergi dari apartemennya.Sampai pada adegan Salia membeberkan bahwa dirinya sedang menuju kediaman tunangannya membuat Axel mengumpat pelan. "Sialan! Aku bahkan sama sekali tidak ada niat untuk melanjutkan hubungan ini."Video yang masih terputar di ponsel Hana pun berlanjut dengan adegan Salia mengetuk pin
Hana langsung membanting pintu apartemen Axel hingga menutup, segera gadis itu juga mengunci rapat akses keluar masuk kediamannya sekarang. Hal itu sontak membuat gadis berambut ungu yang berada di balik pintu itu semakin murka dan menggedor-gedor dengan ganas. Terdengar suara teriakan-teriakan Salia. Gadis yang berprofesi sebagai artis itu kemudian menghadap kamera dengan wajah yang basah karena air mata. “Aku diselingkuhi, guys. Ini salahku kah? Ah, tentu saja salahku. Apa kalian melihat wanita itu? Aku atau dia yang lebih cantik menurut kalian?” Salia membaca komentar-komentar yang berseliweran di layar media sosialnya. “Ah aku seperti malaikat menurut kalian, dan wanita barusan seperti pedagang bakso boraks. Kita tidak boleh seperti itu, para KUMIS. Jangan body shaming walau dia lebih jelek, pendek, bulat seperti tahu bulat digoreng dadakan kita tidak boleh menjudge seseorang.” “Ah malaikat sepertiku kenapa diselingkuhi kata kalian? Mungkin aku tidak lebih baik dari gadis itu,”
“Hai guys! Para KUMIS ngapain nih di malam ini? Sudah makan belum? Di temenin siapa? Sendirian dong, kalau ada yang nemenin Salia sedih nih,” ucap gadis berparas cantik dengan tinggi semampai pada sebuah benda pipih yang dipegang oleh seorang wanita yang mengikutinya sejak tadi. “Mundur,” Salia memberikan kode pada asistennya itu dengan tatapan mata. Tapi Ratna -si asisten tak mengerti-. Gadis berambut ungu kembali tersenyum pada kamera. “Sebentar teman-teman ada yang meminta tanda tangan nih,” ucapnya padahal mereka ada di parkiran mobil yang sepi dan tak ada seorang pun kecuali mereka berdua. “Jangan terlalu dekat! Aku enggak mau hidungku terlihat besar! Dan pakai filter untuk panas terik, kalau filter yang ini membuatku terlihat pucat karena ini khusus filter saat cuaca turun hujan dan di tempat yang sedikit pencahayaan. Gimana sih? Masa setting filter saja enggak bisa! Terus kalau ada orang lain, alihkan kameranya biar enggak kena filter! Jadi enggak kelihatan aku pakai filter! D
"APA!" jerit Hana yang langsung otomatis berdiri. Ia bahkan menyenggol es timunnya hingga jatuh mengenai Zidan."Hana elu ah bar bar betul!" protes Zidan yang bajunya terkena tumpahan es timun."Sama siapa Kak Zidan?" tanya Elira yang dari raut mukanya juga tak kalah terkejutnya dengan Hana."Sama… emak gue!" jawab Zidan yang langsung mendapat hadiah berupa toyoran kepala dari Jennie sebagai reaksi atas jawaban Zidan itu."Kamu yang benar saja! Sudah buat kaget tahu!" cecar janda beranak tiga itu."Ish becanda, Mbak. Raja Neraka sudah nikah sama Salia itu sudah pasti, siapa lagi? Kita tinggal tunggu saja mereka go publik. Paling sebentar lagi.""Kenapa mereka belum umumin tapi ya?" tanya Elira sembari melirik penasaran ke arah Hana. "Apa ada hati yang harus dijaga?""Oh tentu! Sebagai seorang artis, Salia kan punya banyak penggemar. Mungkin menunggu momentum yang tepat biar para fans tidak kecewa terlalu berat," jawab Zidan terkesan bijaksana. Zidan sebagai salah satu admin fanbase t
“Dia tidak ada kaitan dengan hal ini,” geram Axel dengan tatapan tajam. Zidan saja yang berada di samping pria tampan itu bergidik ketakutan.“Luar biasa, kau yang ku kenal selalu hati-hati sekarang malah kecolongan seperti ini,” ucap Gerrard kemudian tertawa meremehkan. “Aku akan tetap mengusut hal ini Axel, kau terlalu cepat sepuluh tahun untuk menggurui ku hanya karena ibuku berpihak padamu.”“Bukankah kau sudah melihat sendiri laporan keuangan itu? Bersih!”Gerrard menaikkan sebelah alisnya. “Hanya ada satu syarat Axel agar aku tidak lagi membahas hal ini. Kau tahu kan bagaimana aku mengusut sesuatu hingga aku mendapatkan apa yang aku inginkan? Lubang semut pun akan ku gali.”“Bahkan lubang pantat pun akan kau masuki jika perlu,” ejek Axel. Zidan nyaris tertawa saat mendengar bosnya membalas perkataan Gerrard seperti itu.Axel kemudian menyerahkan laporan keuangan itu ke pangkuan Zidan. “Kembalikan pada tempatnya,” perintah Axel, hal itu sekaligus sebuah bentuk pengusiran halus pa
“Bapak tahu kan maksud kiasan itu,” bantah Hana kesal. “Kamu pikir saya suka sama siapapun bahkan kambing? Wah, saya tersinggung jika kamu berkata seperti itu Han!” “Ya, menurut Bapak, apa lebihnya saya yang membuat Bapak tertarik? Enggak ada kan?” tanya Hana dengan kesal menatap bosnya. “Jadi kamu kambing?” Zidan yang dari tadi ingin masuk ke ruangan Axel jadi menarik ulur niatnya karena mendengar Hana dan Axel di dalam teriak-teriak perkara kambing. ‘Ini mau akikahan apa bagaimana? Kenapa bahas kambing sampai segitunya?’ “Permisi Pak,” ucap Zidan akhirnya memberanikan diri untuk masuk. “Ada Pak-.” “Kambing! Siapa suruh kamu masuk?” hardik Axel yang malah melemparkan kemarahan pada Zidan. Ah, bukan. Ia juga kesal sedari tadi pada lelaki tambun yang merupakan sekretarisnya itu. “Ma-maaf, Pak,” ucap Zidan ketakutan sambil tertunduk-tunduk. “Ada tamu, Pak.” “Kenapa enggak bilang dari tadi!” ucap Axel dengan nada ketus. ‘Yeu, belum juga gue ngomong sudah dipanggil kambing, bias
“Kita ngapain semalam?” Tampak lipatan di antara kedua alis Axel sebelum laki-laki itu tersenyum samar. “Menurut kamu ngapain?” "Saya nanya. Kenapa malah Bapak balik nanya?" Hati Hana sudah dongkol maksimal kali ini. Ia lupa lelaki lawan bicaranya merupakan bos besar, kreditur, juga suami sahnya. "Bukannya kamu sudah bisa simpulin sendiri kita ngapain semalam? Bahkan kamu kan sudah cerita dengan leluasa masalah ranjang sama rekan kerja." "Maksudnya?" Hana kebingungan. "Tadi saya dengar kamu bahas masalah ini sama Zidan, bahkan dia juga ngasih testimoni buat kamu kan? Kamu bisa naikin nafsu dia," jelas Axel. “Enggak nyangka saja sih pembahasan karyawan perusahaan ini semenjijikan itu, bahkan bisa membahas masalah ranjang dengan santai. Yah walau kamu hanya wanita yang menikah di atas kertas tapi kenapa itu menjijikan sekali, ya. Apa kamu biasa membahas hal itu dengan lelaki?” Suasana langsung hening dan canggung sesaat setelah Axel berkata seperti itu. Mereka berdua masih menatap d
Zidan langsung berlari panik ke tempat Axel berada. Kemudian pemandangan pria tambun itu tampak sangat menyedihkan dimarahi sebegitu rupa oleh General Manager Harrison Food. Sembari tertunduk-tunduk Zidan dengan langkah gontai mengikuti Axel, sedangkan lelaki itu menatap Hana dengan tatapan tajam sebelum berpaling naik ke ruangannya yang berada di lantai atas. “Raja Neraka kenapa dah? Makin hari makin serem saja,” celetuk Jennie sambil bergidik. “Dia enggak marah sama kita juga kan? Tatapannya membunuh banget tadi.” Hana menggeleng menjawab pertanyaan Jennie. ‘Kenapa ia harus marah sama kita? Tepatnya aku? Aku enggak salah kan? Apa semalam aku yang malah memaksanya meniduriku? Lagipula ini kan karena minuman dari Nenek? Masa aku yang salah? Itu kan Neneknya!' Hana menggeram kesal karena pikirannya sibuk dengan berbagai macam pertanyaan. Akhirnya ia memutuskan akan berbicara dengan Axel sesegera mungkin, karena hanya lelaki itu yang bisa menjawab segala pertanyaan di kepalanya. “Mau