Vote dan komentarnya selalu dinanti. Jangan lupa bintang lima ya ^^
Akhirnya setelah sarapan, Axel berangkat ke kantor. Sedangkan Hana yang masih cuti menghabiskan waktunya membersihkan apartemen bosnya itu. Suara dering ponsel membuat Hana menghentikan aktivitasnya mengelap perabotan di apartemen Axel. Panggilan video call dari grup ‘kerak neraka’, otomatis Hana langsung menggeser icon berwarna hijau di gawainya. “Woiii liburan kemana lu, Han?” jerit Zidan di seberang sana dengan semangat. Hana sampai menjauhkan ponselnya karena teriakan itu. “Apa sih kamu Dan, berisik tahu!” protes Jennie. “Emang lu enggak dimarahi Raja Neraka video call sambil teriak-teriak begitu.” “Tenang Bos lagi pergi sama Pak Bambang dan pengawas internal lainnya.” “Emang ada apa Mas Zidan? Kok Pak Bos pergi sama pengawas internal?” tanya Elira penasaran. Hana yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan teman-temannya di grup itu, langsung merasa tegang. Ia tahu apa yang akan mereka bicarakan. “Nah ini gossip yang mau gue beberin sampai nelpon elu elu pada,” ucap Zidan.
“Kamu siapa?” tanya wanita itu dengan nada mendesak. “S-saya.” Lidah Hana tiba-tiba kaku tak tahu harus menjawab apa, ia takut dianggap penyusup atau pencuri di apartemen Axel oleh wanita itu. “Pe-pegawai kantornya Axel,” cicit Hana akhirnya. Suaranya terlalu kecil hingga wanita yang sudah berumur tujuh puluh tahun itu tak terlalu mendengar perkataan gadis berambut panjang itu. Miranda, nenek dari Axel Harrison hanya memperhatikan Hana dengan seksama sebelum senyum wanita itu mengembang. ‘Wah, cucuku nakal juga! Ia sama sekali tak pernah menceritakan tinggal dengan seorang wanita di apartemennya,’ batin Miranda senang. Tampak keterkejutan di mukanya mulai menghilang berganti dengan rasa penasaran. Wanita tua itu langsung berjalan secepat kakinya yang ditopang oleh tongkat itu ke arah Hana. “Jadi sudah berapa lama dengan Axel?” “Sudah tiga tahun, Bu,” jawab Hana spontan. Menjawab berapa lamanya ia bekerja di perusahaan Axel. “Sudah lama ya. Pintar juga anak itu menyembunyikan k
[Bapak makan di rumah nanti malam? Mau dimasakin apa nanti?] “Cih, kenapa ia masih memanggilku Bapak sih di luar kantor. Aku juga tidak tua-tua amat sih untuk jadi Bapaknya,” protes Axel pada layar komputernya. Sebuah pesan singkat dari Hana tadi siang kembali dibuka oleh Axel. Lelaki dengan manik abu cerah itu terus memperhatikan pesan ponsel yang terhubung dengan layar komputernya sambil tersenyum-senyum sendiri tanpa berniat membalasnya. ‘Kalau aku enggak balas, pasti dia masak nasi goreng. Itu sepertinya makanan favoritnya.’ Kemudian Axel melihat jam tangannya, sudah menunjukkan pukul lima sore. ‘Sudah waktunya pulang kantor.’ Tak seperti biasanya ini sudah kali keberapa Axel melihat jam tangannya, biasanya ia malah tak menyadari matahari sudah tenggelam di ufuk barat walau hal itu terlihat jelas dari jendela ruang kerjanya. Lelaki bersurai coklat gelap itu tampak enggan menanggapi pembicaraan para kliennya melalui layar komputer. Meeting virtual, hal yang biasa dilakukan
“Aku berjanji akan memperlakukan Hana dengan baik dan sayang,” lanjut Axel yang membuat bulu kuduk Hana meremang dan bergidik. Gadis itu terkesiap mendengar pernyataan terakhir Axel. Tapi kembali sebuah tamparan mendarat di pipi pria itu, pelakunya wanita tua yang duduk di sofa, sedangkan si korban adalah cucu lelakinya yang bersimpuh di bawahnya. Miranda menatap Axel lebih berang kali ini. “Kau bahkan beraninya menggilir wanita yang kau nikahi dengan teman sekantor mu. Apa itu tidak keterlaluan, AXEL!” “HAH?” seru Hana dan Axel berbarengan. “Tidur dan digilir ramai-ramai?” tanya Axel, kemudian ia menatap tajam ke arah Hana seolah mengatakan, ‘kamu cerita apa ke Nenek?’ Hana membalas dengan tatapan yang tidak kalah bingung. “Sa-saya enggak-.” “Nek! Axel enggak pernah sebejat itu,” bantah lelaki tampan itu dengan rahang mengeras. Tak lama, masih dengan murka, Miranda menjelaskan apa yang ia tangkap dari pembicaraannya dengan Hana sebelum Axel datang. Rahang tegas lelaki itu seaka
Axel memutar manik matanya sembari mengembuskan napas menanggapi tingkah Hana. “Apa sih yang kamu pikir Han, reaksimu berlebihan sekali,” ucap Axel seraya menoyor kepala anak buahnya itu. “Ayo makan,” ajak Axel lagi. “Aku sudah lapar.” “Eh, tapi saya belum sempat masak, Pak!” teriak Hana panik lagi. Kedatangan Miranda tadi membuat Hana lupa niatnya untuk memasak makan malam. “Untunglah kamu punya bos pengertian dan baik hati sepertiku,” ujar Axel memuji diri sendiri. Hana mendelikan pandangannya sebagai reaksi dari perkataan pria tampan berambut coklat gelap itu. “Kenapa enggak terima? Keberatan?” tanya Axel dengan nada mengejek. “Tapi memang Bapak baik sekali. Jika tidak mengenal Bapak mungkin orang mengira Bapak adalah tipe yang suka semena-mena,” ucap Hana jujur. “Eh, orang berpikir begitu?” “Iya,” jawab Hana sambil menyodorkan ayam panggang beserta nasinya ke hadapan Axel. “Sudahlah aku juga tak terlalu peduli,” ucap lelaki itu sembari menaikan pundaknya kemudian makan ayam
“Kalau nyetir yang benar dong!” teriak seorang lelaki sebelum melihat kendaraan yang nyaris mencelakai dirinya. “Kamu enggak apa-apa?” tanya Axel sembari menurunkan jendela. “Eh Pak Bos-,” ucap Zidan terkejut. Ia baru sadar mobil yang nyaris menabrak dirinya adalah mobil milik atasan tertinggi perusahaan tempatnya bekerja. “Wah, enggak apa-apa Pak! Tubuh saya kuat, tulang saya sehat, walau dihantam buldoser juga saya juga masih baik-baik saja!” kilah Zidan sambil membungkuk sembilan puluh derajat, seperti anak buah mafia yang memberikan jalan pada bos besarnya. “Maaf ya. Kamu cek aja ke klinik-.” “Baik, Pak! Sekarang saya berangkat ke klinik,” ujar Zidan dengan semangat karena melihat sebuah celah untuk kabur dari jam kantor di hari ini. Tapi manik lelaki tambun itu langsung terkunci pada sosok wanita di samping Axel. Mulutnya nyaris jatuh dari tempatnya sebelum Axel melanjutkan instruksinya ke Zidan. “Entar saja Dan ke kliniknya, saat istirahat kantor. Banyak kerjaan yang harus
“Hana! Ngapain sih? Biasa aja kali!” protes Zidan.“Ya kali biasa, Bos separah itu soalnya,” ujar Elira. “Mana masih pagi loh ini!”“Tapi kamu yakin kan, Dan?” tanya Jennie meminta kepastian.“Iya, benar Mbak. Yang ceweknya itu rebahan di kursi bawah, sementara wajahnya tertutup rambut panjangnya sendiri. Enggak duduk normal seperti orang biasanya, terus pak Axel sampai mau nabrak gue loh karena enggak konsen. Menurut kalian lagi ngapain coba?”‘Tuhan, kenapa temanku tukang gibah semua?’ Hana membatin. “Bisa saja si ceweknya nyari anting yang lagi jatuh,” kilah Hana.“Eiii, ngapain kok antingnya sampai jatuh segala? Lehernya juga dihisap kah?” tanya Zidan sambil mengibas-ibaskan tangannya, seakan kepanasan. “Waw, pagi-pagi sudah kecupan ganas ya.”Hana mengembuskan napasnya perlahan. “Atau bisa saja bolpoinnya jatuh, atau-.”“Gue loh Han ada di TKP langsung,” tembak Zidan merasa kesal karena kesaksiannya diragukan.“Memang Pak Bos kelihatan semesum itu ya menurut kalian?”“Iya!” jaw
Jennie, Elira dan Zidan menatap Hana dengan tatapan janggal. “MAS AXEL!” gumam teman-teman Hana itu bersamaan, mempertanyakan apa yang baru saja keluar dari mulut gadis berambut panjang itu.“Eh! Kalian salah dengar,” kilah Hana dengan ekspresi santai padahal jantungnya berdegup kencang. 'Duh, sialan ini mulut pakai kelepasan lagi.'“Han, enggak mungkin kami bertiga ini salah denger ya,” selidik Jennie. “Sejak kapan kamu sebagai pencetus panggilan buruk untuk Raja Neraka tiba-tiba manggil dia ‘Mas Axel’?”“Salah dengar kalian! Eh balik yuk aku banyak kerjaan nih.” Gadis berkelopak mata monolid itu mencoba mengalihkan pembicaraan. Hana kemudian bangkit dari kursinya sebelum tangannya ditahan oleh Zidan.“Elu serius enggak ada apa-apa 'kan, kamu sama Pak Bos? Gue enggak mau ada duri dalam daging alias tukang cepu.” Zidan kali ini angkat bicara sambil menyipitkan matanya menatap Hana. Mencoba mengintrogasi gadis berkulit putih itu.“Apa sih, salah sebut saja, Dan. Jangan lebai deh. Aku
“Pagi!” Hana menyapa teman-temannya dengan ceria di depan cafetaria. Gadis berkulit putih itu seakan lupa apa yang terjadi dengannya kemarin. Tampaknya Axel yang menghibur Hana semalaman cukup mampu membuat gadis itu berhenti ketakutan.“Hana! Sini kumpul!” panggil Jennie yang langsung melambai-lambaikan tangannya di salah satu pojok favorit mereka di kantin kantor. Seperti biasa mereka melakukan ritual pagi hari, apalagi kalau bukan sarapan bareng.Hana langsung memesan teh kembang telang di kasir sebelum berjalan ke tempat teman-temannya berada.“Eh kamu kok jarang sarapan sih, Han? Beberapa hari terakhir ini aku lihat? Diet ya?” tanya Jennie perhatian, sesaat sebelum Hana merebahkan bokongnya di kursi.“Eh, ah iya.” Hana terlihat bingung menjawabnya. Jennie dan teman-temannya saja yang tidak tahu kalau setiap pagi ia selalu sarapan tepat jam enam bersama bos besar perusahaan ini. Axel memang setertib itu kalau urusan makan. ‘Tapi kenapa ia malah makan steak malam-malam denganku k
“Siapa yang mereka maksud dengan pedagang bakso boraks! Tuduhan macam apa itu!” teriak Axel kesal. Selama ini, pria itu bahkan selalu menghindari makan daging yang dicampur tepung yang dibentuk bulat itu. Hal itu semata-mata agar tubuhnya tetap atletis. Bagaimana mungkin sekarang seseorang membuatkannya skandal dengan pedagang bakso? Sudah begitu pedagang bakso borak pula!“Aku akan menuntut media ini karena telah menyebarkan hoax,” geram Axel. Tapi belum sempat ia membuka kunci ponsel pintarnya. Sebuah video diputar dalam acara gosip itu.Tampak Salia yang sedang berjalan di selasar apartemen yang sangat Axel hafal sekali karena itulah jalan yang selalu ia lewati setiap pulang dan pergi dari apartemennya.Sampai pada adegan Salia membeberkan bahwa dirinya sedang menuju kediaman tunangannya membuat Axel mengumpat pelan. "Sialan! Aku bahkan sama sekali tidak ada niat untuk melanjutkan hubungan ini."Video yang masih terputar di ponsel Hana pun berlanjut dengan adegan Salia mengetuk pin
Hana langsung membanting pintu apartemen Axel hingga menutup, segera gadis itu juga mengunci rapat akses keluar masuk kediamannya sekarang. Hal itu sontak membuat gadis berambut ungu yang berada di balik pintu itu semakin murka dan menggedor-gedor dengan ganas. Terdengar suara teriakan-teriakan Salia. Gadis yang berprofesi sebagai artis itu kemudian menghadap kamera dengan wajah yang basah karena air mata. “Aku diselingkuhi, guys. Ini salahku kah? Ah, tentu saja salahku. Apa kalian melihat wanita itu? Aku atau dia yang lebih cantik menurut kalian?” Salia membaca komentar-komentar yang berseliweran di layar media sosialnya. “Ah aku seperti malaikat menurut kalian, dan wanita barusan seperti pedagang bakso boraks. Kita tidak boleh seperti itu, para KUMIS. Jangan body shaming walau dia lebih jelek, pendek, bulat seperti tahu bulat digoreng dadakan kita tidak boleh menjudge seseorang.” “Ah malaikat sepertiku kenapa diselingkuhi kata kalian? Mungkin aku tidak lebih baik dari gadis itu,”
“Hai guys! Para KUMIS ngapain nih di malam ini? Sudah makan belum? Di temenin siapa? Sendirian dong, kalau ada yang nemenin Salia sedih nih,” ucap gadis berparas cantik dengan tinggi semampai pada sebuah benda pipih yang dipegang oleh seorang wanita yang mengikutinya sejak tadi. “Mundur,” Salia memberikan kode pada asistennya itu dengan tatapan mata. Tapi Ratna -si asisten tak mengerti-. Gadis berambut ungu kembali tersenyum pada kamera. “Sebentar teman-teman ada yang meminta tanda tangan nih,” ucapnya padahal mereka ada di parkiran mobil yang sepi dan tak ada seorang pun kecuali mereka berdua. “Jangan terlalu dekat! Aku enggak mau hidungku terlihat besar! Dan pakai filter untuk panas terik, kalau filter yang ini membuatku terlihat pucat karena ini khusus filter saat cuaca turun hujan dan di tempat yang sedikit pencahayaan. Gimana sih? Masa setting filter saja enggak bisa! Terus kalau ada orang lain, alihkan kameranya biar enggak kena filter! Jadi enggak kelihatan aku pakai filter! D
"APA!" jerit Hana yang langsung otomatis berdiri. Ia bahkan menyenggol es timunnya hingga jatuh mengenai Zidan."Hana elu ah bar bar betul!" protes Zidan yang bajunya terkena tumpahan es timun."Sama siapa Kak Zidan?" tanya Elira yang dari raut mukanya juga tak kalah terkejutnya dengan Hana."Sama… emak gue!" jawab Zidan yang langsung mendapat hadiah berupa toyoran kepala dari Jennie sebagai reaksi atas jawaban Zidan itu."Kamu yang benar saja! Sudah buat kaget tahu!" cecar janda beranak tiga itu."Ish becanda, Mbak. Raja Neraka sudah nikah sama Salia itu sudah pasti, siapa lagi? Kita tinggal tunggu saja mereka go publik. Paling sebentar lagi.""Kenapa mereka belum umumin tapi ya?" tanya Elira sembari melirik penasaran ke arah Hana. "Apa ada hati yang harus dijaga?""Oh tentu! Sebagai seorang artis, Salia kan punya banyak penggemar. Mungkin menunggu momentum yang tepat biar para fans tidak kecewa terlalu berat," jawab Zidan terkesan bijaksana. Zidan sebagai salah satu admin fanbase t
“Dia tidak ada kaitan dengan hal ini,” geram Axel dengan tatapan tajam. Zidan saja yang berada di samping pria tampan itu bergidik ketakutan.“Luar biasa, kau yang ku kenal selalu hati-hati sekarang malah kecolongan seperti ini,” ucap Gerrard kemudian tertawa meremehkan. “Aku akan tetap mengusut hal ini Axel, kau terlalu cepat sepuluh tahun untuk menggurui ku hanya karena ibuku berpihak padamu.”“Bukankah kau sudah melihat sendiri laporan keuangan itu? Bersih!”Gerrard menaikkan sebelah alisnya. “Hanya ada satu syarat Axel agar aku tidak lagi membahas hal ini. Kau tahu kan bagaimana aku mengusut sesuatu hingga aku mendapatkan apa yang aku inginkan? Lubang semut pun akan ku gali.”“Bahkan lubang pantat pun akan kau masuki jika perlu,” ejek Axel. Zidan nyaris tertawa saat mendengar bosnya membalas perkataan Gerrard seperti itu.Axel kemudian menyerahkan laporan keuangan itu ke pangkuan Zidan. “Kembalikan pada tempatnya,” perintah Axel, hal itu sekaligus sebuah bentuk pengusiran halus pa
“Bapak tahu kan maksud kiasan itu,” bantah Hana kesal. “Kamu pikir saya suka sama siapapun bahkan kambing? Wah, saya tersinggung jika kamu berkata seperti itu Han!” “Ya, menurut Bapak, apa lebihnya saya yang membuat Bapak tertarik? Enggak ada kan?” tanya Hana dengan kesal menatap bosnya. “Jadi kamu kambing?” Zidan yang dari tadi ingin masuk ke ruangan Axel jadi menarik ulur niatnya karena mendengar Hana dan Axel di dalam teriak-teriak perkara kambing. ‘Ini mau akikahan apa bagaimana? Kenapa bahas kambing sampai segitunya?’ “Permisi Pak,” ucap Zidan akhirnya memberanikan diri untuk masuk. “Ada Pak-.” “Kambing! Siapa suruh kamu masuk?” hardik Axel yang malah melemparkan kemarahan pada Zidan. Ah, bukan. Ia juga kesal sedari tadi pada lelaki tambun yang merupakan sekretarisnya itu. “Ma-maaf, Pak,” ucap Zidan ketakutan sambil tertunduk-tunduk. “Ada tamu, Pak.” “Kenapa enggak bilang dari tadi!” ucap Axel dengan nada ketus. ‘Yeu, belum juga gue ngomong sudah dipanggil kambing, bias
“Kita ngapain semalam?” Tampak lipatan di antara kedua alis Axel sebelum laki-laki itu tersenyum samar. “Menurut kamu ngapain?” "Saya nanya. Kenapa malah Bapak balik nanya?" Hati Hana sudah dongkol maksimal kali ini. Ia lupa lelaki lawan bicaranya merupakan bos besar, kreditur, juga suami sahnya. "Bukannya kamu sudah bisa simpulin sendiri kita ngapain semalam? Bahkan kamu kan sudah cerita dengan leluasa masalah ranjang sama rekan kerja." "Maksudnya?" Hana kebingungan. "Tadi saya dengar kamu bahas masalah ini sama Zidan, bahkan dia juga ngasih testimoni buat kamu kan? Kamu bisa naikin nafsu dia," jelas Axel. “Enggak nyangka saja sih pembahasan karyawan perusahaan ini semenjijikan itu, bahkan bisa membahas masalah ranjang dengan santai. Yah walau kamu hanya wanita yang menikah di atas kertas tapi kenapa itu menjijikan sekali, ya. Apa kamu biasa membahas hal itu dengan lelaki?” Suasana langsung hening dan canggung sesaat setelah Axel berkata seperti itu. Mereka berdua masih menatap d
Zidan langsung berlari panik ke tempat Axel berada. Kemudian pemandangan pria tambun itu tampak sangat menyedihkan dimarahi sebegitu rupa oleh General Manager Harrison Food. Sembari tertunduk-tunduk Zidan dengan langkah gontai mengikuti Axel, sedangkan lelaki itu menatap Hana dengan tatapan tajam sebelum berpaling naik ke ruangannya yang berada di lantai atas. “Raja Neraka kenapa dah? Makin hari makin serem saja,” celetuk Jennie sambil bergidik. “Dia enggak marah sama kita juga kan? Tatapannya membunuh banget tadi.” Hana menggeleng menjawab pertanyaan Jennie. ‘Kenapa ia harus marah sama kita? Tepatnya aku? Aku enggak salah kan? Apa semalam aku yang malah memaksanya meniduriku? Lagipula ini kan karena minuman dari Nenek? Masa aku yang salah? Itu kan Neneknya!' Hana menggeram kesal karena pikirannya sibuk dengan berbagai macam pertanyaan. Akhirnya ia memutuskan akan berbicara dengan Axel sesegera mungkin, karena hanya lelaki itu yang bisa menjawab segala pertanyaan di kepalanya. “Mau