Makasi sudah baca novel ini, jangan lupa komen dan vote ya ^^
Axel mengintip sedikit dari celah matanya, ia masih mengecup bibir Hana tapi kelopak mata gadis itu masih tertutup. Sambil sedikit tersenyum, Axel menyesap bibir milik Hana kian rakus. Saat gadis itu mulai memundurkan tubuhnya, sang lelaki malah menariknya semakin mendekat hingga Hana akhirnya jatuh ke pangkuan Axel. “Ma-maaf,” ujar Hana panik dengan muka semerah kepiting rebus. Gadis itu serta merta berdiri. “Sa-saya balik bekerja dulu, Raja Neraka,” pamit Hana tanpa sada. “Eh BOS! Pak Axel maksud saya,” lanjut Hana sambil melangkah gusar keluar ruangan. “Hana,” panggil Axel. “Ya?” jawab Hana sembari menatap lantai. Ia tak berani menatap manik abu cerah milik bosnya itu. “Ingat kembali seperti semula, seakan tidak terjadi apa-apa. Begitu pula dengan hubungan kita sebelumnya, hanya atasan dan bawahan. Kuharap kau tak menyebarkan hal privasi apa pun yang terjadi diantara kita Hana.” Hana mengangguk. “Dan satu lagi, hutang pacarmu enggak usah kamu lunasi. Anggap saja itu bayaran ka
Bagai sapi yang dicocok hidungnya, Hana mengikuti dengan patuh langkah Andra ke dalam restoran. Setelah memesan makanan, gadis itu membuka obrolan. “Andra yakin menjadikanku istri?” “Iya Sayang. Aku bahkan sudah mempersiapkan segalanya Han.” “Maksudnya?” Manik mata Hana kian berbinar mendengar pembicaraan tentang masa depan yang sedang dibahas Andra sekarang. “Aku akan membiayai pesta pernikahan kita, membeli rumah sekaligus membangun usaha,” jawab Andra masih dengan seulas senyum manis yang tak pudar sedari tadi dari bibirnya. Hana meneteskan air matanya, terharu. Lelaki di hadapannya mengusap pipi gadis itu seraya berkata, “jangan menangis Hana. Terima kasih telah bersabar dengan segala tingkahku selama ini, aku berjanji akan membahagiakanmu kedepannya. Tentang hutangku aku akan mentransfernya ke kamu setelah aku menjalankan proyek untuk dana masa depan kita, lusa ini, Hana.” “Ini proyek kantor?” tanya Hana, ia tiba-tiba merasa ada sesuatu yang ganjil. “TIdak ini adalah proye
Hana membubuhkan tanda tangannya di atas kertas kontrak. Di depannya Andra terlihat tersenyum lebar. “Demi masa depan kita, Hana,” ujar Andra seraya mengusap kepala gadis mungil di hadapannya kemudian meletakan map yang berisi kontrak kerja sama itu dengan hati-hati di dalam kopernya. “Pesawatku akan take off jam sembilan pagi, aku pergi dulu ya Sayang. Baik-baik tunggu aku di sini.” Pagi itu, Hana dan Andra ke kantor lebih pagi untuk menyelesaikan urusan proyek yang akan diambil oleh kekasihnya itu. Hana mengembuskan napas panjang ketika melihat taxi yang dinaiki Andra sudah meninggalkan kantor dan pergi menuju bandara. ‘Semoga tidak terjadi masalah kedepannya.’ “Tumben pagi banget elu ke kantor?” sapa Zidan yang muncul dari balik pintu divisi keuangan dengan setumpuk berkas di tangannya. Hana tertawa kecil. “Bukannya malah sebuah keajaiban seorang Zidan datang sepagi ini ke kantor?” “Dengar ya, Han. Hal ini dimulai pasca elu melemparkan tanggung jawab sebagai tangan kanan Raja
Hana mengutak-atik ponselnya sedari tadi. Berulang kali menghubungi Andra tapi tak ada balasan bahkan tampaknya handphone lelaki itu tak hidup sedari tadi. ‘Bukannya ia akan menjemputku besok pagi, katanya kemarin?’ Hana bertanya-tanya dalam hati. Tapi sampai jam delapan malam tak ada sedikitpun lelaki yang merupakan kekasih gadis berambut panjang itu menjemput. “Hana, ada tamu,” panggil Lina dari luar kamar kos Hana. Senyum gadis itu kembali terkembang. Ia sudah mengabari kedua orang tuanya akan pulang ke rumah minggu ini, bahkan sudah meminta cuti dan diizinkan oleh pihak kepegawaian kantor. Hati siapa yang tak senang, akhirnya ia pulang kampung dengan lelaki yang ia cintai dan akan segera melamarnya. ‘Itu pasti Andra!’ Bergegas gadis itu turun ke lantai bawah sembari membawa kopernya. “Siapa?” tanya Hana dengan jantung mencelos melihat dua tamu pria yang sama sekali tak ia kenal. Tiba-tiba muncul seorang lagi yang sangat Hana kenal karena ia adalah orang kedua yang paling ditak
“Eh?” Hana terkejut mendengar jawaban Axel. “Bapak mau mengantarkan saya pulang kampung, Pak? Kampung saya cukup jauh dari ibu kota dan apa hal itu enggak merepotkan Bapak?” Hana tiba-tiba tersadar, keadaannya sekarang bukanlah hal yang biasa. ‘Ah! Tentu saja ia harus mengawal tersangka penggelapan uang di kantornya!’ “Baik, Pak! Tentu! Ayo ke kampung halaman saya, Pak!” ajak Hana dengan semangat dan langsung berdiri dari tempatnya duduk sambil hendak menarik tangan Axel. “Eh malam ini langsung Pak? Jadwal kereta paling pagi ke kampung saya itu jam enam pagi,” jelas Hana. “Pakai mobil saya saja. Berapa jauh memangnya?” “Sekitar delapan jam, Pak. Bapak yakin enggak capek?” tanya Hana khawatir. “Kamu bisa gantiin saya nyetir memang? Sudah biar saya saja yang nyetir, besok juga masih libur,” tandas Axel, kemudian langsung berdiri dan jalan menuju meja kasir. “Pak, saya saja yang bayar,” ucap Hana sembari menyusul Axel yang menuju ke meja kasir. “Han, kalau kamu punya kelebihan uan
Hana mengembuskan napasnya. “Sudah lama sih, Pak. Saya dahulu selalu mengelak dan berharap Andra segera melamar saya, agar bisa terhindar dari perjodohan ini. Tapi sepertinya takdir berkata lain. Tampaknya saya memang berjodoh dengan bandot tua itu.” “Hah! Kamu akan dinikahkan dengan hewan?” tanya Axel benar-benar terkejut, ia bahkan sampai mengerem kendaraannya hingga berhenti di tengah jalan raya yang sepi. ‘Wah setidaknya keluargaku masih lebih baik, yah walaupun mereka berniat menikahkanku dengan wanita yang gilanya minta ampun.” Hana yang tadinya begitu sedih langsung tercengang mendengar pertanyaan bosnya. “Ya kali Bos! Masa enggak pernah dengar istilah bandot tua sih?” Kali ini Hana benar-benar kesal, air matanya langsung menyusut dengan cepat. “Oh. Maksudmu istilah ‘bandot tua’,” ujar Axel sambil nyengir. “Iya kali aja kamu dinikahkan dengan hewan, karena kudengar orang desa sering membuat pesugihan gitu, Han.” “Bapak, please dah! Keluarga saya juga enggak setega itu kali.
Hana menjerit panik, ia mengkhawatirkan nasib ibunya yang akan di madu. ‘Abah tak mungkin membiarkan adik-adikku untuk menikah melangkahi aku? Kemungkinan besar jadi Abah yang menikah. Kecuali Dulila, Setiara, Neta atau salah satu dari mereka hamil duluan? Amit-amit!’ Axel menepikan mobilnya, dengan segera Hana melompat keluar dari kendaraan mewah itu. Beberapa orang yang berada di dalam tenda acara tampak tersenyum lebar melihat kedatangan Hana. “Hana!” jerit seorang wanita dengan panik dan menghambur berlari keluar memeluk anak gadisnya itu. “Ayo cepat!” “Hah? Ada apa Mak?” balas Hana tak kalah panik dan ikut pasrah mengikuti ibunya yang menarik tangannya. “Kenapa kamu lama sekali datang?” tanya ibu Hana, Atun. “Mak, itu. Teman Hana, dia-,” ujar Hana berusaha menghentikan langkah ibunya karena ia nyaris saja lupa kalau tadi ke desa ini diantar oleh Axel, karena terlalu panik jika ayahnya menikah lagi. “Nanti, dia diurus sama Abah,” sambar Dulila yang juga muncul dari dalam r
Axel tak dapat bergerak sedikit pun, dua orang saksi yang merupakan pacar dan tunangan dari adik-adik Hana menahan lelaki itu. Walau postur Axel lebih besar dari kebanyakan pria di ruangan itu tapi melihat mereka semua membawa senjata tajam berupa keris, mau tak mau lelaki tampan itu berpikir dua kali jika harus melarikan diri. Sementara itu di kamar Hana. “Oh jadi bukan Abah yang menikah. Syukurlah,” ucap Hana lega. Sekarang ia sedang duduk sambil dirias secara kilat oleh salah seorang make up artist kondang di kampung itu. ‘Eh tapi siapa dong yang nikah?’ Belum sempat Hana menanyakan hal itu, Bariah, penata rias yang bertugas mendandaninya pagi itu sibuk membubuhkan lipstik di bibir tipis milik Hana. ‘Mungkin pernikahan Dulila. Pacaranya sudah niat sekali membawa adikku pindah ke luar pulau. Mereka tidak mengabari acara ini pasti karena takut aku sedih dilangkahi oleh adikku,’ simpul Hana dalam hati sambil tersenyum setelah Bariah selesai mendandaninya. “Duh, ayu sekali pengant
“Pagi!” Hana menyapa teman-temannya dengan ceria di depan cafetaria. Gadis berkulit putih itu seakan lupa apa yang terjadi dengannya kemarin. Tampaknya Axel yang menghibur Hana semalaman cukup mampu membuat gadis itu berhenti ketakutan.“Hana! Sini kumpul!” panggil Jennie yang langsung melambai-lambaikan tangannya di salah satu pojok favorit mereka di kantin kantor. Seperti biasa mereka melakukan ritual pagi hari, apalagi kalau bukan sarapan bareng.Hana langsung memesan teh kembang telang di kasir sebelum berjalan ke tempat teman-temannya berada.“Eh kamu kok jarang sarapan sih, Han? Beberapa hari terakhir ini aku lihat? Diet ya?” tanya Jennie perhatian, sesaat sebelum Hana merebahkan bokongnya di kursi.“Eh, ah iya.” Hana terlihat bingung menjawabnya. Jennie dan teman-temannya saja yang tidak tahu kalau setiap pagi ia selalu sarapan tepat jam enam bersama bos besar perusahaan ini. Axel memang setertib itu kalau urusan makan. ‘Tapi kenapa ia malah makan steak malam-malam denganku k
“Siapa yang mereka maksud dengan pedagang bakso boraks! Tuduhan macam apa itu!” teriak Axel kesal. Selama ini, pria itu bahkan selalu menghindari makan daging yang dicampur tepung yang dibentuk bulat itu. Hal itu semata-mata agar tubuhnya tetap atletis. Bagaimana mungkin sekarang seseorang membuatkannya skandal dengan pedagang bakso? Sudah begitu pedagang bakso borak pula!“Aku akan menuntut media ini karena telah menyebarkan hoax,” geram Axel. Tapi belum sempat ia membuka kunci ponsel pintarnya. Sebuah video diputar dalam acara gosip itu.Tampak Salia yang sedang berjalan di selasar apartemen yang sangat Axel hafal sekali karena itulah jalan yang selalu ia lewati setiap pulang dan pergi dari apartemennya.Sampai pada adegan Salia membeberkan bahwa dirinya sedang menuju kediaman tunangannya membuat Axel mengumpat pelan. "Sialan! Aku bahkan sama sekali tidak ada niat untuk melanjutkan hubungan ini."Video yang masih terputar di ponsel Hana pun berlanjut dengan adegan Salia mengetuk pin
Hana langsung membanting pintu apartemen Axel hingga menutup, segera gadis itu juga mengunci rapat akses keluar masuk kediamannya sekarang. Hal itu sontak membuat gadis berambut ungu yang berada di balik pintu itu semakin murka dan menggedor-gedor dengan ganas. Terdengar suara teriakan-teriakan Salia. Gadis yang berprofesi sebagai artis itu kemudian menghadap kamera dengan wajah yang basah karena air mata. “Aku diselingkuhi, guys. Ini salahku kah? Ah, tentu saja salahku. Apa kalian melihat wanita itu? Aku atau dia yang lebih cantik menurut kalian?” Salia membaca komentar-komentar yang berseliweran di layar media sosialnya. “Ah aku seperti malaikat menurut kalian, dan wanita barusan seperti pedagang bakso boraks. Kita tidak boleh seperti itu, para KUMIS. Jangan body shaming walau dia lebih jelek, pendek, bulat seperti tahu bulat digoreng dadakan kita tidak boleh menjudge seseorang.” “Ah malaikat sepertiku kenapa diselingkuhi kata kalian? Mungkin aku tidak lebih baik dari gadis itu,”
“Hai guys! Para KUMIS ngapain nih di malam ini? Sudah makan belum? Di temenin siapa? Sendirian dong, kalau ada yang nemenin Salia sedih nih,” ucap gadis berparas cantik dengan tinggi semampai pada sebuah benda pipih yang dipegang oleh seorang wanita yang mengikutinya sejak tadi. “Mundur,” Salia memberikan kode pada asistennya itu dengan tatapan mata. Tapi Ratna -si asisten tak mengerti-. Gadis berambut ungu kembali tersenyum pada kamera. “Sebentar teman-teman ada yang meminta tanda tangan nih,” ucapnya padahal mereka ada di parkiran mobil yang sepi dan tak ada seorang pun kecuali mereka berdua. “Jangan terlalu dekat! Aku enggak mau hidungku terlihat besar! Dan pakai filter untuk panas terik, kalau filter yang ini membuatku terlihat pucat karena ini khusus filter saat cuaca turun hujan dan di tempat yang sedikit pencahayaan. Gimana sih? Masa setting filter saja enggak bisa! Terus kalau ada orang lain, alihkan kameranya biar enggak kena filter! Jadi enggak kelihatan aku pakai filter! D
"APA!" jerit Hana yang langsung otomatis berdiri. Ia bahkan menyenggol es timunnya hingga jatuh mengenai Zidan."Hana elu ah bar bar betul!" protes Zidan yang bajunya terkena tumpahan es timun."Sama siapa Kak Zidan?" tanya Elira yang dari raut mukanya juga tak kalah terkejutnya dengan Hana."Sama… emak gue!" jawab Zidan yang langsung mendapat hadiah berupa toyoran kepala dari Jennie sebagai reaksi atas jawaban Zidan itu."Kamu yang benar saja! Sudah buat kaget tahu!" cecar janda beranak tiga itu."Ish becanda, Mbak. Raja Neraka sudah nikah sama Salia itu sudah pasti, siapa lagi? Kita tinggal tunggu saja mereka go publik. Paling sebentar lagi.""Kenapa mereka belum umumin tapi ya?" tanya Elira sembari melirik penasaran ke arah Hana. "Apa ada hati yang harus dijaga?""Oh tentu! Sebagai seorang artis, Salia kan punya banyak penggemar. Mungkin menunggu momentum yang tepat biar para fans tidak kecewa terlalu berat," jawab Zidan terkesan bijaksana. Zidan sebagai salah satu admin fanbase t
“Dia tidak ada kaitan dengan hal ini,” geram Axel dengan tatapan tajam. Zidan saja yang berada di samping pria tampan itu bergidik ketakutan.“Luar biasa, kau yang ku kenal selalu hati-hati sekarang malah kecolongan seperti ini,” ucap Gerrard kemudian tertawa meremehkan. “Aku akan tetap mengusut hal ini Axel, kau terlalu cepat sepuluh tahun untuk menggurui ku hanya karena ibuku berpihak padamu.”“Bukankah kau sudah melihat sendiri laporan keuangan itu? Bersih!”Gerrard menaikkan sebelah alisnya. “Hanya ada satu syarat Axel agar aku tidak lagi membahas hal ini. Kau tahu kan bagaimana aku mengusut sesuatu hingga aku mendapatkan apa yang aku inginkan? Lubang semut pun akan ku gali.”“Bahkan lubang pantat pun akan kau masuki jika perlu,” ejek Axel. Zidan nyaris tertawa saat mendengar bosnya membalas perkataan Gerrard seperti itu.Axel kemudian menyerahkan laporan keuangan itu ke pangkuan Zidan. “Kembalikan pada tempatnya,” perintah Axel, hal itu sekaligus sebuah bentuk pengusiran halus pa
“Bapak tahu kan maksud kiasan itu,” bantah Hana kesal. “Kamu pikir saya suka sama siapapun bahkan kambing? Wah, saya tersinggung jika kamu berkata seperti itu Han!” “Ya, menurut Bapak, apa lebihnya saya yang membuat Bapak tertarik? Enggak ada kan?” tanya Hana dengan kesal menatap bosnya. “Jadi kamu kambing?” Zidan yang dari tadi ingin masuk ke ruangan Axel jadi menarik ulur niatnya karena mendengar Hana dan Axel di dalam teriak-teriak perkara kambing. ‘Ini mau akikahan apa bagaimana? Kenapa bahas kambing sampai segitunya?’ “Permisi Pak,” ucap Zidan akhirnya memberanikan diri untuk masuk. “Ada Pak-.” “Kambing! Siapa suruh kamu masuk?” hardik Axel yang malah melemparkan kemarahan pada Zidan. Ah, bukan. Ia juga kesal sedari tadi pada lelaki tambun yang merupakan sekretarisnya itu. “Ma-maaf, Pak,” ucap Zidan ketakutan sambil tertunduk-tunduk. “Ada tamu, Pak.” “Kenapa enggak bilang dari tadi!” ucap Axel dengan nada ketus. ‘Yeu, belum juga gue ngomong sudah dipanggil kambing, bias
“Kita ngapain semalam?” Tampak lipatan di antara kedua alis Axel sebelum laki-laki itu tersenyum samar. “Menurut kamu ngapain?” "Saya nanya. Kenapa malah Bapak balik nanya?" Hati Hana sudah dongkol maksimal kali ini. Ia lupa lelaki lawan bicaranya merupakan bos besar, kreditur, juga suami sahnya. "Bukannya kamu sudah bisa simpulin sendiri kita ngapain semalam? Bahkan kamu kan sudah cerita dengan leluasa masalah ranjang sama rekan kerja." "Maksudnya?" Hana kebingungan. "Tadi saya dengar kamu bahas masalah ini sama Zidan, bahkan dia juga ngasih testimoni buat kamu kan? Kamu bisa naikin nafsu dia," jelas Axel. “Enggak nyangka saja sih pembahasan karyawan perusahaan ini semenjijikan itu, bahkan bisa membahas masalah ranjang dengan santai. Yah walau kamu hanya wanita yang menikah di atas kertas tapi kenapa itu menjijikan sekali, ya. Apa kamu biasa membahas hal itu dengan lelaki?” Suasana langsung hening dan canggung sesaat setelah Axel berkata seperti itu. Mereka berdua masih menatap d
Zidan langsung berlari panik ke tempat Axel berada. Kemudian pemandangan pria tambun itu tampak sangat menyedihkan dimarahi sebegitu rupa oleh General Manager Harrison Food. Sembari tertunduk-tunduk Zidan dengan langkah gontai mengikuti Axel, sedangkan lelaki itu menatap Hana dengan tatapan tajam sebelum berpaling naik ke ruangannya yang berada di lantai atas. “Raja Neraka kenapa dah? Makin hari makin serem saja,” celetuk Jennie sambil bergidik. “Dia enggak marah sama kita juga kan? Tatapannya membunuh banget tadi.” Hana menggeleng menjawab pertanyaan Jennie. ‘Kenapa ia harus marah sama kita? Tepatnya aku? Aku enggak salah kan? Apa semalam aku yang malah memaksanya meniduriku? Lagipula ini kan karena minuman dari Nenek? Masa aku yang salah? Itu kan Neneknya!' Hana menggeram kesal karena pikirannya sibuk dengan berbagai macam pertanyaan. Akhirnya ia memutuskan akan berbicara dengan Axel sesegera mungkin, karena hanya lelaki itu yang bisa menjawab segala pertanyaan di kepalanya. “Mau