PERINGATAN!Part ini mungkin mengandung adegan kekerasan dan tidak nyaman untuk beberapa pembaca. Skip aja ya kalau udah begitu :)Selamat membaca!****"Jangan membuatku memerintah dua kali."~Erik Jensen ~****Sesuai perintah dari Erik, sesampainya di rumah Starla bergegas untuk mandi. Sempat ia berpapasan dengan Adrie dan mengatakan jika malam ini Erik akan datang. Adrie mengangguk mengerti.Menggunakan handuk berbentu kimono, Starla masuk ke ruang ganti. Tepatnya ke area pakaian dalam di mana terdapat berbagai koleksi, model dan pilihan warna.Karena warna putih adalah yang diinginkan Erik, pilihan Starla jatuh ke sebuah bikini dengan bahanstainless.Meski berkain tipis, Starla menyukai model pakaian dalam tanpa kawat
WARNING ZONE!Part di bawah mungkin akan tidak nyaman bagi sebagian para pembaca. Tinggalkan sejauh mungkin jika itu terjadi. Terima kasih.***“You are my property. You belong to me.”~ Erik Jensen ~***Setelah berdiri, Erik mengumpulkan semua rambut Starla untuk ia ikat kuat menjadi satu di belakang. Selanjutnya, pria itu membalik tubuh Starla untuk menciumnya. Starla membalas ciuman Erik dan ingin mengalungkan kedua tangannya ke leher pria itu namun Erik langsung mencegah.“Jangan berani menyentuhku jika aku tidak mengijinkan,” ucap Erik tegas. Meraih kedua tangan Starla untuk ia bawa ke sebuah tiang berbentuk X.
Saat Starla membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat adalah cahaya matahari yang masuk lewat jendela kamar.Memejamkan mata, Starla mengerang lemah. Mengumpulkan sisa tenaga untuk beringsut duduk. Tubuhnya terasa sangat pegal dan lelah.Starla mengernyit saat menyadari ia tidak lagi berada di red room. Ini adalah kamarnya sendiri. Padahal seingatnya tadi pas malam ia jatuh tertidur di sana setelah banyak sekali pelepasan yang ia rasa.“Selamat pagi.”Sapaan itu mengejutkan Starla, membuat wanita berambut hitam itu menoleh. Bibirnya terbuka tak percaya melihat Erik keluar dari ruang ganti, sudah rapi dengan celana bahan dan kemeja warna putih.Aroma segar parfum Erik tercium amat jelas saat ia berjalan mendekat, menggelitik indra penciuman Starla dan membuat sedikit hasratnya timbul. Ada k
“Starla, tunggu!”Starla menoleh ketika suara pria memanggil. Dahinya mengernyit mendapati Coen berlari ke arahnya.“Eum, maaf menyita waktumu sebentar. Tapi ini.” Coen menyerahkan beberapa lembar kertas pada Starla.Meskipun bingung, Starla menerima. Wanita itu pun langsung mencoba membaca apa isi kertas tersebut.“Seperti yang kau tau kau masuk ke kelasku lebih terlambat dari pada yang lain. Mereka sudah memulai pelajaran sejak sekitar 4-5 bulan yang lalu tapi kau baru memulainya 2 hari. Aku tau, kadang kau tidak memahami pelajaranku di kelas, karena kosa kata dasar sudah kami lewati sejak lama,” jelas Coen, mengembangkan senyum yang mampu siapapun berteriak histeris.“Dan ini, mungkin bisa sedikit membantumu. Aku sudah merangkumnya semalaman dan membuat beberapa soal di d
WARNING ZONE!Pastikan umur kalian sudah 21 tahun ke atas untuk membaca cerita ini. Jika tydak, author akan melempar granat ke genteng kamar kalian! DUAR DUAR DUAARRRR!!!Selamat membaca!***Starla gugup.Jelas.Sebab saat ini ia dalam keadaan berlutut. Sementara tali-tali berwarna merah telah melilit di tubuhnya. Melingkari gundukan dadanya dan terus ke belakang mengikat kedua tangannya dengan kuat.“Kau melanggar satu peraturan lagi.” Nyata Erik tegas. Memutari tubuh Starla yang masih berpakaian lengkap.Baru saja Starla hendak bertanya peraturan yang mana saat ia ingat di satu poin di mana ia tidak boleh memakai dalaman apapun kecuali Erik meminta atau mengijinkan d
RED ZONE ATTENTION!Part di bawah ini mungkin mengandung beberapa adegan yang tidak nyaman bagi sebagian pembaca.***"Ini milikku. Apa kau mengerti?"~ Erik Jensen ~***Erik menelusuri tubuh Starla. Tangan besarnya meraba semuanya, memberikan efek sengatan-sengatan kecil pada titik-titik sensitif milik Starla.Terlebih, Erik tau ke mana tangan itu harus berhenti dan berlama-lama. Di atas kedua gundukan payudara* Starla, perut dan bagian bawah perut.Puas dengan apa yang ia lakukan, Erik berjalan menjauh. Mengambil sebuah gunting yang berada di laci samping kasur. Lalu tanpa persetujuan dari Starla, ia mulai menggunting kaus yang
As usual guys, this is a RED ZONE!***"I don't sleep in the same bed as my submissive."~ Erik Jensen ~***Jika pada sesi pertama, Erik mengikat kedua tangan dan kaki Starla di masing-masing ujung ranjang hingga membentuk huruf X, kali ini Erik mengikat wanita itu dengan cara yang berbeda.Erik menyatukan tangan kanan Starla dengan kaki kanan, sementara tangan kiri dengan kaki kiri.Ini membuat Starla sama sekali tidak bisa meluruskan kaki, atau bahkan sekedar untuk menutup inti tubuhnya yang sekarang terpampang nyata di depan Erik. Mungkin akan lebih klise lagi jika Starla menyebut posisi ini seperti mengangkang. Tapi ia dalam posisi tidur.Menatap hasil karyanya dengan puas, Er
“Selamat pagi, Nona Starla.”Sapaan itu berasal dari Espen tepat ketika Starla memasuki dapur untuk sarapan. Pemandangan itu memang tidak asing lagi bagi Starla sebab Espen selalu mengambil sarapan di sini. Alasannya sangat klise; sebab ia hanya bisa memakan masakan sarapan dari Adrie.Kata Espen, masakan Adrie tidak ada duanya. Bahkan koki di rumah Erik masih kalah jauh dengan masakan wanita paruh baya tersebut.Starla tidak tau apakah itu benar tapi harus Starla akui, Adrie memang sehebat itu dalam urusan memasak.“Selamat pagi, Espen,” sapa Starla balik. “Dan please, bukankah sudah kubilang untuk memanggilku Starla saja?”“Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Espen sambil mengunyah sandwich. Tidak seperti hari-hari biasa di mana ia selalu berpakain rapi dengan setelan jas hitam, pagi ini Espen hanya memakai kaus dan celana jeans santai. Mengingatkan Starla jika hari ini adalah hari minggu.
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan