“Apa yang terjadi dengannya?”
Erik berjalan menghampiri Groot yang sedang memapah tubuh Starla masuk ke dalam pintu rumah. Mengambil alih dari Groot, Erik mencium bau alkohol dari Starla.
“Dia mabuk?”
“Sepertinya, Tuan,” jawab Groot singkat. Ia membungkukkan badan kemudian segera berbalik dan meninggalkan rumah.
Erik meraih dua kaki Starla dan menggendongnya masuk jauh lebih ke dalam. Hendak membawanya ke lantai dua. Namun ketika ia sampai di ruang tengah, Starla menggeliat. Kakinya menendang dan ia mendorong tubuh Erik.
“Turunkan aku!” rengeknya meronta.
“Nanti di lantai dua,” jawab Erik.
“Aku bilang turu
Starla merasakan kepala berdenyut luar biasa kala membuka mata. Membutuhkan waktu beberapa saat lamanya sampai ia mampu beringsut bangun.Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, Starla merasa kepala justru terasa ingin pecah. Sampai-sampai ia perlu memeganginya. Keluar erangan kecil dari mulut.“Minum ini lebih dahulu agar kau merasa lebih baik.”Suara itu menyentak pandangan Starla. Samar, ia bisa menangkap siluet Erik dari balik cahaya yang menembus jendela kaca balkon.Starla menurut saja, membuka mulut ketika Erik menyuapkan sebutir pil dan segelas air putih. Erik pun memaksa Starla untuk meneguk habis semua air dalam gelas.Beberapa menit kemudian, kepala Starla benar-benar membaik. Dan ia terkejut ketika menemukan dirinya dalam keadaan tanpa busana. Cepat-cepat ia menarik selimut yang sudah me
Menggigit bibir, Starla menahan desahan yang ingin keluar dari bibir. Sementara ia membiarkan diri larut dalam gairah yang semakin meninggi. Kedua jemarinya dengan lembut bergerak keluar masuk, mencari titik kenikmatannya sendiri.Menatap Erik tepat di iris abu-abunya, Starla mengambil dildo yang tadi diberikan oleh Erik. Ia memasukkan benda itu perlahan, membayangkan itu adalah milik Erik.“Aaaakh,” erang Starla, menelan semua dildo. Terasa begitu penuh di sana.Starla menggigit bibir. Rasanya kakinya sudah gemetar dan tidak sanggup melanjutkan ini lagi.“Gerakkan benda itu Starla. Buatlah dirimu keluar dengannya.” Suara Erik tegas, menuntut dan memerintah.Starla menurut. Tangannya mulai menggerakkan dildo dalam inti perlahan. Dan ia merasa ... terangsang hebat.Seiring bertambah
“Starla!”Jia Li berlari kecil menghampiri Starla tepat ketika ia masuk ke dalam koridor. Di belakangnya, ada Layba dan Samantha. Ikut berjalan ke arah Starla.“Hai!” sapa Starla pada ketiga temannya.Bukannya menjawab sapaan dari Starla, Jia malah memutar-mutar tubuh Starla, seakan ia sedang mengecek sesuatu yang serius.“Oh, kau baik-baik saja? Aku sangat khawatir padamu!” tukas Jia. “Ke mana saja kau kemarin? Kau tidak masuk dan kau tidak mengabari siapapun! Kau membuat kami semua cemas. Dan lagi, aku menghubungi ponselmu ratusan kali tapi sekali pun kau tidak mengangkatnya. Apa kau bahkan mengecek pesan terakhir yang aku kirim pagi ini?!”Pertanyaan Jia yang bertubi-tubi membuat Starla meringis. “Maaf ...”“Maaf saja tidak cukup, Starla.”Keempat kepala wanita itu menoleh dan mendapati Coenrad berdiri tak jauh dari sana. Sorot matanya menampakkan rasa lelah dan lega menjadi satu. Tapi pria itu tidak akan mengatakan pada Starla atau yang lain bahwa semalaman ia tidak bisa tidur kar
"You are mine. Mine. And just mine."~ Erik Jensen ~***Erik keluar dari mobil Groot setelah menemukan mobil Espen terparkir tepat di belakangnya. Groot membungkukkan badan dan masuk kembali ke dalam mobil setelah Erik turun, ia harus segera memindahkan mobil agar nanti mobil Espen bisa maju ke tempatnya, sementara di belakang sana masih banyak mobil-mobil mewah yang mengantre kedatangan.“Mr. Jensen,” sapa Espen setelah ia keluar dari mobil. Erik hanya menjawab dengan anggukan kecil. Setelan jas berwarna krem melekat pas di tubuh atletisnya. Berikut dengan jam tangan mewah dan sepatu kulit hitam yang mengkilat.Berdiri tegap menunggu Espen membuka pintu kendaraan, Erik menemukan sebuah kaki jenjang berpijak ke tanah. Starla keluar dengan balutan gaun hijau lumut dari desainer ternama yang bekerja bawah perusahaan Erik.Tatapan Erik bergerak tepat ke w
Erik menggandeng tangan Starla masuk ke sebuah labirin yang terletak di taman belakang aula tempat pesta digelar. Dengan langkah sedikit cepat, Starla berusaha mengimbangi Erik. Alisnya bertautan keheranan karena tadi tiba-tiba saja pria ini menariknya keluar dari kerumunan orang-orang yang ada.“Apa yang kau lakukan?” tanya Starla.Erik menghentikan langkah tiba-tiba. Berbalik, iris mata abu-abunya menyapu sekitar dan puas saat melihat tidak ada apapun di sekitar mereka. Hanya ada dinding-dinding pohon berwarna hijau di sana-sini, tanda jika mereka sudah masuk cukup dalam ke dalam labirin.“Erik— mmmmpphhh.”Bibir Starla dibungkam oleh ciuman panjang Erik. Pria itu menarik pinggang Starla mendekat, sementara tangan yang lain menahan tengkuknya.Kedua bola mata Starla membulat, tak meny
Starla melangkah kaku masuk ke dalam kelas.Bukan karena tatapan tidak biasa dari teman-temannya saat ini, namun lebih berpusat pada inti tubuhnya.Pagi ini, Erik menyisipkan sebuah vibrator’ di dalam kemaluannya’. Menutup dengan celana dalam mini yang dipilih langsung oleh Erik. Sejujurnya, bukan hanya pakaian dalam yang Starla pakai, akan tetapi semua yang melekat di tubuh Starla saat ini.Ia memakai pakaian lengan panjang dengan bentuk balon berwarna cokelat muda. Kerahnya tinggi menutup leher. Sementara bagian bawah memakai rok hitam longgar sepanjang lutut. Sama sekali berbeda dengan penampilan Starla yang biasanya.Erik sengaja melakukan ini sebab di balik baju Starla sekarang, pria itu telah mengikatkan beberapa tali simpul ke seluruh tubuh. Dari leher, turun ke payudara, sampai ke pangkal paha Starla. Setia
Jawabannya tidak.Starla tidak bisa kabur.Sekarang ia bahkan menemukan Erik sudah berdiri di depan gedung kursus bersama Espen dan Groot.Dengan senyum tipis menawan yang mampu membuat hati wanita manapun meleleh seketika, Erik menatap lurus tepat ke arah Starla. Di abaikannya tatapan-tatapan penuh puja dari wanita-wanita yang baru keluar dari gedung.“Bukankah itu Erik Jensen?” pekik seseorang tidak percaya.“Tidak mungkin seorang Erik Jensen datang ke tempat seperti ini,” balas wanita yang lain.“Ini pasti sebuah tipuan sinar matahari!”“Kita sedang lapar karena sebentar lagi akan ada ujian.”Dan seterusnya gumaman itu berlanjut.Namun, meski mereka semua menolak percaya bahwa itu adalah salah satu pria paling diinginkan d
Rasanya Starla sudah tidak kuat untuk berjalan atau bahkan berdiri sekalipun. Kakinya gemetar, terlalu lemah untuk dapat menyangga tubuh yang sedang dilanda gairah’ tinggi. Selama perjalanan di dalam mobil, Erik menyalakan vibrator’ dalam getaran paling rendah. Kedua tangan Starla diikat pada pegangan atas pintu dengan dasi Erik, sehingga ia tidak bisa bergerak bebas. Tubuh yang sudah terikat simpul di dalam baju, diikat ulang oleh Erik menggunakan seat belt hingga Starla benar-benar terkunci di kursi. Starla tidak bisa mencapai ledakan yang ia ingin meski rasanya sudah amat mendesak di bawah perut. Getaran di alat dalam inti tubuhnya terlalu rendah untuk mengantarkannya ke arah sana. Jadi, itu hanya berhasil untuk terus merangsangnya tanpa mampu memberi kepuasan yang nyata. “Ayo, slave. Masuk ke
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan