PoV Diandra
"Assalamualaikum," sahut seseorang dari arah luar. Namun tak mengetuk pintu karena pintu memang tidak tertutup.
Hari ini hari Minggu, jadi aku tak berangkat ke kantor. Saat ini aku sedang membersihkan rumah dari debu-debu yang beterbangan lalu menempel di setiap sudut rumah menggunakan kemoceng.
"Waalaikum salam!" Aku menjawab tanpa menoleh ke arah pintu.
Deg! Seketika aku teringat.
Suara yang aku dengar rasanya tak asing. Lalu seketika aku menoleh ke arah pintu.
"Mas Dani!" kejutku.
Ternyata orang yang datang dan mengucap salam itu adalah Mas Dani. Mantan suamiku. Ayah dari anakku.
"Mas? Kamu?"
Kemoceng seketika kusimpan di atas meja. Mas Dani sudah berdiri nampak membawa dua buah kantong kecil entah apa isinya.
"Dani?" sahut ibu dari belakangku. Ibu me
PoV DiandraKini kami sudah membayar tiket masuk untuk jalan-jalan mengelilingi taman bunga. Yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah.Dona dan Diva asyik main berdua di karpet kecil. Sedangkan aku dan Mas Dani duduk di kursi belakang mereka. Sekitar lima sampai enam meteran."Dona anteng banget ya, Mas. Pasti dia nyaman, karena kamu sekarang ada di dekatnya," kataku memulai pembicaraan."Iya, putri kecil kita begitu ceria dan mungil. Cantik dan ceria seperti Ibunya," ujar Mas Dani.Hatiku amat tersentuh dengan rasa malu. "Bisa saja, Mas. Dona itu cantik karena Ayahnya juga ganteng. Apalagi lesung pipinya, manis sekali," jawabku refleks.Up.Mas Dani menoleh ke arahku. Duduk kami agak renggang, karena status kami sudah tak seperti dulu lagi.Dia menatapku sendu. Seperti ada kekecewaan
PoV Dani "Bu, tolong. Beritahu aku dimana Ibu dulu menemukanku. Siapa tahu aku bisa bertanya-tanya pada orang disana. Meskipun tak mungkin bila aku akan menemukan orangtua kandungku," rintihku pada ibu. Yang kini tak lagi memintaku untuk bekerja ekstra. Apakah ibu dan bapak telah menyadari apa yang mereka lakukan? "Ibu menemukan kamu di hilir sungai. Saat Ibu sedang mencuci pakaian bersama bapak kamu. Ibu menemukan kamu terapung di sungai dengan keadaan luka-luka," jawab ibu pilu. Kini dia sudah tak lagi membentakku seperti kala lalu. Ibu juga meminta maaf dengan apa yang telah ia lakukan padaku. Karena ibu tak ingin aku membencinya, juga tak ingin membenci bapak. Mereka takut kalau aku pergi dan meninggalakan mereka selamanya. "Di sungai mana, Bu? Apa di sungai desa kita dulu?" tanyaku segera menyelidik. "Iya, di sungai desa kita dulu. I
PoV 3"Bu, sekarang selain kerja di kantor aku juga kerja sampingan. Aku mau narik ojol. Dan untuk urusan utang Ibu dan bapak jangan khawatir Dani ingin segera lunasi hutang piutang Ibu semuanya. Tapi Dani mohon ya, Bu. Ibu jangan umbar utang kreditan lagi," kata Dani demikian sambil meraih tangan ibu angkatnya yang bernama Bu Ambar."Dan, Ibu jangan marah kalau Dani sudah tak bersama tante-tante lingkungan elit itu. Dani sudah mundur. Dani juga malu sama Dona dan Diandra," imbuh Dani dengan wajah memerah.Hening dan saling diam."Dani, maafin Ibu, ya. Tapi gimana, Ibu itu orangnya emosional soal uang. Heum, jadi sekarang kamu mau narik ojol?" balas Bu Ambar haru.Bu Ambar tipikal orang yang mudah iri dengan orang lain. Dia emosional dan bisa memaksakan kehendak apapun sesuai keinginannya."Ya, Bu. Aku sudah lupakan itu. Tapi Ibu janji, Ibu tak boleh umbar
PoV Dani'Kenapa aku seperti tak asing melihat yang punya rumah mewah itu, ya?'Hatiku bertanya-tanya perihal aku yang seperti mengenali sosok yang bernama Mas Reza dan juga ibunya.'Apa aku pernah berjumpa di arisan brondong tante-tante kaya itu? Akh tak mungkin. Aku tak pernah melihatnya. Astaghfirullah, apa yang aku pikirkan?'Cela mulutku pada diri ini yang malah terus kepikiran tentang pemilik rumah mewah kemarin lalu. Dan kini aku sudah duduk di pangkalan seperti biasanya. Menunggu orderan masuk."Dani? Kok ngelamun? Orderan sepi?" tanya Bang Topan yang tiba-tiba datang.Aku kaget."Enggak, barusaja saya balik, Bang. Ini lagi istrirahat," jawabku menanggapi pertanyaan Bang Topan yang barusaja tiba pukul sembilan siang ini."Oh, ya, Bang. Kemarin cewe Abang marah tuh. Kalau gak salah namanya, bi Sumi. Dia marah saat dia nanyain Abang. Ya sudah, saya jawab jujur saja," celetukku."Aduh!" Bang
PoV Dani"Dani, Ibu gak masak. Kamu beli saja makanan diluar, ya? Ibu belum pulang, masih di acara pengajian syukuran pernikahan anak bu RT," jelas ibu di telepon."Iya, Bu. Biar nanti beli saja. Sekalian Ibu mau apa?" tanyaku kembali."Ah apa saja. Terserah kamu. Lagian Ibu juga ini sudah makan. Karena disini di kasih snack," kata ibu lagi."Ya sudah, Ibu tutup dulu teleponnya. Ini Ibu lagi di toilet. Acaranya masih satu jam lagi. Paling sorean Ibu pulang."Dan begitulah kata ibu di telepon. Alhamdulillah, ibu sekarang mulai mengikuti pengajian.Kini aku masih duduk di kursi putar sembari melanjutkan pekerjaan yang barusan tertunda karena mengangkat panggilan dari ibu.Waktu sudah menunjukka pukul empat sore. Waktunya aku pulang. Karena karyawan lain juga sudah pulang terlebih dahulu.Kumatikan laya
PoV Diandra"Maaf, Mas Reza. Ada hal yang ingin saya tanyakan. Tapi sedikit pribadi, hem. Apa, Mas Reza tidak keberatan," pintaku ringis pada Mas Reza. Bibirku menyeringai malu, namun aku butuh informasi itu.Kusapu seluruh rasa malu pada wajah ini sesaat demi Mas Dani."Ehem, memangnya kamu mau nanya apa? Kalau soal jodoh, saya belum dapat, hehe," jawabnya sambil bercanda. Membuat jariku sejenak menggaruk kepala. Malu pada diri ini naik satu tingkat.Aku menyeringai. "Hem, bukan itu, Mas. Tapi ... apa Mas Reza kenal dengan tanda di lengan ini?" jelasku sembari memperlihatkan sebuah foto pergelangan lengan Mas Dani. Namun aku crop hingga yang terlihat hanyalah pergelangannya saja. Tak dengan wajah Mas Daninya."Maaf, ya, Mas," ucapku permisi sembari lebih jelas memperlihatkan foto itu.Wajah Mas Reza menyelidik. Dia nampak mengingat-ingat sesuatu tentang foto yang kuperlihatkan. Pandangannya fokus horizontal pada layar gawai enam koma
PoV Diandra"Dona? Diandra? Kalian malam-malam kesini?" tanya Mas Dani heran saat melihat kami sudah berada di rumahnya malam-malam. Karena tadi aku mencoba menghubungi nomornya. Aku memberitahu kalau aku dan Dona sudah berada di tempat tinggalnya.Ternyata Mas Dani memang sedang mengantar penumpang, dia benar-benar bekerja sampingan sebagai tukang ojek online."Ayah!"Dona langsung merengek ingin di pangku oleh Mas Dani. Wajah Dona nampak ceria dan sumringah, apalagi ia habis terbangun.Seperti biasa. Dona mencium punggung tangan ayahnya. Lalu saat itu juga Dona berpindah pangkuan.Sedangkan aku, yang biasanya mencium punggung tangannya takzim, kini tak lagi. Karena sekarang, status kami sudah berubah menjadi mantan.Haaah ... menyakitkan sekali."Sayang Ayah! Kamu sehat, Nak?" kata Mas Dani membuat batin ini mengharu. M
PoV Dani"Tunggu! Apa kamu benar-benar Abangku?" Kulepaskan kembali pelukan ini. Karena aku masih tak percaya kalau aku bisa bertemu keluargaku."Iya, Revan. Ini Abang kamu, Reza. Apapun yang ada di diri kamu mirip dengan adikku. Kamu lihat wajah kita?" kata Bang Reza demikian dengan keadaan isak tangis."Tapi? Bang, apa kalian benar-benar tidak membuangku dulu?" Kupastikan lagi, karena keraguan masih terus menyelundup di selip-selip kebahagiaan."Demi Tuhan, kami tidak pernah membuang kamu! Justru, justru saat itu tim SAR dan kepolisian mencari-cari dimana kamu berada. Bahkan, jasad pun tak mereka temukan. Hingga ... Satu bulan kemudian, polisi menyatakan. Kalau kamu hilang dan di perkirakan telah meninggal." Bang Reza menjelaskan."Aku juga masih tak percaya, tapi, tapi kita sekarang bertemu!" imbuhnya lagi sembari menatap haru diri ini.Diandra menyaksikan kami sembari menangis, dan dia menganggukkan kepalanya bermaksud