PoV Diandra
Kini kami sudah membayar tiket masuk untuk jalan-jalan mengelilingi taman bunga. Yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah.
Dona dan Diva asyik main berdua di karpet kecil. Sedangkan aku dan Mas Dani duduk di kursi belakang mereka. Sekitar lima sampai enam meteran.
"Dona anteng banget ya, Mas. Pasti dia nyaman, karena kamu sekarang ada di dekatnya," kataku memulai pembicaraan.
"Iya, putri kecil kita begitu ceria dan mungil. Cantik dan ceria seperti Ibunya," ujar Mas Dani.
Hatiku amat tersentuh dengan rasa malu. "Bisa saja, Mas. Dona itu cantik karena Ayahnya juga ganteng. Apalagi lesung pipinya, manis sekali," jawabku refleks.
Up.
Mas Dani menoleh ke arahku. Duduk kami agak renggang, karena status kami sudah tak seperti dulu lagi.
Dia menatapku sendu. Seperti ada kekecewaan
PoV Dani "Bu, tolong. Beritahu aku dimana Ibu dulu menemukanku. Siapa tahu aku bisa bertanya-tanya pada orang disana. Meskipun tak mungkin bila aku akan menemukan orangtua kandungku," rintihku pada ibu. Yang kini tak lagi memintaku untuk bekerja ekstra. Apakah ibu dan bapak telah menyadari apa yang mereka lakukan? "Ibu menemukan kamu di hilir sungai. Saat Ibu sedang mencuci pakaian bersama bapak kamu. Ibu menemukan kamu terapung di sungai dengan keadaan luka-luka," jawab ibu pilu. Kini dia sudah tak lagi membentakku seperti kala lalu. Ibu juga meminta maaf dengan apa yang telah ia lakukan padaku. Karena ibu tak ingin aku membencinya, juga tak ingin membenci bapak. Mereka takut kalau aku pergi dan meninggalakan mereka selamanya. "Di sungai mana, Bu? Apa di sungai desa kita dulu?" tanyaku segera menyelidik. "Iya, di sungai desa kita dulu. I
PoV 3"Bu, sekarang selain kerja di kantor aku juga kerja sampingan. Aku mau narik ojol. Dan untuk urusan utang Ibu dan bapak jangan khawatir Dani ingin segera lunasi hutang piutang Ibu semuanya. Tapi Dani mohon ya, Bu. Ibu jangan umbar utang kreditan lagi," kata Dani demikian sambil meraih tangan ibu angkatnya yang bernama Bu Ambar."Dan, Ibu jangan marah kalau Dani sudah tak bersama tante-tante lingkungan elit itu. Dani sudah mundur. Dani juga malu sama Dona dan Diandra," imbuh Dani dengan wajah memerah.Hening dan saling diam."Dani, maafin Ibu, ya. Tapi gimana, Ibu itu orangnya emosional soal uang. Heum, jadi sekarang kamu mau narik ojol?" balas Bu Ambar haru.Bu Ambar tipikal orang yang mudah iri dengan orang lain. Dia emosional dan bisa memaksakan kehendak apapun sesuai keinginannya."Ya, Bu. Aku sudah lupakan itu. Tapi Ibu janji, Ibu tak boleh umbar
PoV Dani'Kenapa aku seperti tak asing melihat yang punya rumah mewah itu, ya?'Hatiku bertanya-tanya perihal aku yang seperti mengenali sosok yang bernama Mas Reza dan juga ibunya.'Apa aku pernah berjumpa di arisan brondong tante-tante kaya itu? Akh tak mungkin. Aku tak pernah melihatnya. Astaghfirullah, apa yang aku pikirkan?'Cela mulutku pada diri ini yang malah terus kepikiran tentang pemilik rumah mewah kemarin lalu. Dan kini aku sudah duduk di pangkalan seperti biasanya. Menunggu orderan masuk."Dani? Kok ngelamun? Orderan sepi?" tanya Bang Topan yang tiba-tiba datang.Aku kaget."Enggak, barusaja saya balik, Bang. Ini lagi istrirahat," jawabku menanggapi pertanyaan Bang Topan yang barusaja tiba pukul sembilan siang ini."Oh, ya, Bang. Kemarin cewe Abang marah tuh. Kalau gak salah namanya, bi Sumi. Dia marah saat dia nanyain Abang. Ya sudah, saya jawab jujur saja," celetukku."Aduh!" Bang
PoV Dani"Dani, Ibu gak masak. Kamu beli saja makanan diluar, ya? Ibu belum pulang, masih di acara pengajian syukuran pernikahan anak bu RT," jelas ibu di telepon."Iya, Bu. Biar nanti beli saja. Sekalian Ibu mau apa?" tanyaku kembali."Ah apa saja. Terserah kamu. Lagian Ibu juga ini sudah makan. Karena disini di kasih snack," kata ibu lagi."Ya sudah, Ibu tutup dulu teleponnya. Ini Ibu lagi di toilet. Acaranya masih satu jam lagi. Paling sorean Ibu pulang."Dan begitulah kata ibu di telepon. Alhamdulillah, ibu sekarang mulai mengikuti pengajian.Kini aku masih duduk di kursi putar sembari melanjutkan pekerjaan yang barusan tertunda karena mengangkat panggilan dari ibu.Waktu sudah menunjukka pukul empat sore. Waktunya aku pulang. Karena karyawan lain juga sudah pulang terlebih dahulu.Kumatikan laya
PoV Diandra"Maaf, Mas Reza. Ada hal yang ingin saya tanyakan. Tapi sedikit pribadi, hem. Apa, Mas Reza tidak keberatan," pintaku ringis pada Mas Reza. Bibirku menyeringai malu, namun aku butuh informasi itu.Kusapu seluruh rasa malu pada wajah ini sesaat demi Mas Dani."Ehem, memangnya kamu mau nanya apa? Kalau soal jodoh, saya belum dapat, hehe," jawabnya sambil bercanda. Membuat jariku sejenak menggaruk kepala. Malu pada diri ini naik satu tingkat.Aku menyeringai. "Hem, bukan itu, Mas. Tapi ... apa Mas Reza kenal dengan tanda di lengan ini?" jelasku sembari memperlihatkan sebuah foto pergelangan lengan Mas Dani. Namun aku crop hingga yang terlihat hanyalah pergelangannya saja. Tak dengan wajah Mas Daninya."Maaf, ya, Mas," ucapku permisi sembari lebih jelas memperlihatkan foto itu.Wajah Mas Reza menyelidik. Dia nampak mengingat-ingat sesuatu tentang foto yang kuperlihatkan. Pandangannya fokus horizontal pada layar gawai enam koma
PoV Diandra"Dona? Diandra? Kalian malam-malam kesini?" tanya Mas Dani heran saat melihat kami sudah berada di rumahnya malam-malam. Karena tadi aku mencoba menghubungi nomornya. Aku memberitahu kalau aku dan Dona sudah berada di tempat tinggalnya.Ternyata Mas Dani memang sedang mengantar penumpang, dia benar-benar bekerja sampingan sebagai tukang ojek online."Ayah!"Dona langsung merengek ingin di pangku oleh Mas Dani. Wajah Dona nampak ceria dan sumringah, apalagi ia habis terbangun.Seperti biasa. Dona mencium punggung tangan ayahnya. Lalu saat itu juga Dona berpindah pangkuan.Sedangkan aku, yang biasanya mencium punggung tangannya takzim, kini tak lagi. Karena sekarang, status kami sudah berubah menjadi mantan.Haaah ... menyakitkan sekali."Sayang Ayah! Kamu sehat, Nak?" kata Mas Dani membuat batin ini mengharu. M
PoV Dani"Tunggu! Apa kamu benar-benar Abangku?" Kulepaskan kembali pelukan ini. Karena aku masih tak percaya kalau aku bisa bertemu keluargaku."Iya, Revan. Ini Abang kamu, Reza. Apapun yang ada di diri kamu mirip dengan adikku. Kamu lihat wajah kita?" kata Bang Reza demikian dengan keadaan isak tangis."Tapi? Bang, apa kalian benar-benar tidak membuangku dulu?" Kupastikan lagi, karena keraguan masih terus menyelundup di selip-selip kebahagiaan."Demi Tuhan, kami tidak pernah membuang kamu! Justru, justru saat itu tim SAR dan kepolisian mencari-cari dimana kamu berada. Bahkan, jasad pun tak mereka temukan. Hingga ... Satu bulan kemudian, polisi menyatakan. Kalau kamu hilang dan di perkirakan telah meninggal." Bang Reza menjelaskan."Aku juga masih tak percaya, tapi, tapi kita sekarang bertemu!" imbuhnya lagi sembari menatap haru diri ini.Diandra menyaksikan kami sembari menangis, dan dia menganggukkan kepalanya bermaksud
PoV Reza"Assalamualaikum! Mah!"Aku masuk ke dalam rumah lalu berteriak memanggil mama. Ini baru pukul sembilan malam, biasanya mama belum tidur. Apalagi Nessia, dia pasti sedang chatingan atau teleponan, seusai belajar."Iya, Den! Ibu ada di kamar," sahut Mbok Ati menghampiriku dengan segera.Lalu, tak lama setelah itu mama datang. Mungkin mama mendengar teriakanku. Karena kamar mama berada di lantai bawah. Lantai yang sedang kupijak.Mbok Ati kembali pergi meninggalkan kami. Biasanya yang datang itu Mbak Sum, jawab salam sambil menggoda-goda. Namun kini mungkin ia sedang berada jauh dari areaku."Za? Kok teriak-teriak? Ini bukan hutan, lho!" ujar mama dengan nada bercanda. Mama orangnya tegas namun lembut dan humoris."Mama duduk dulu, Reza mau bicara sama Mama," kataku sembari memboyong tubuh mama untuk duduk di sofa. Kuraih kedua bahunya sambil mendudukan mama."Ada apa, sih? Oh ya, kok kamu baru sa
"Mbak, selamat ya, sebentar lagi Mbak akan menikah. Tinggal beberapa jam lagi." Nessia memberiku ucapan kala aku baru saja selesai di make up oleh Mbak Intan. Tukang make up profesional yang semuanya di rekomendasi oleh Nessia dan Radit."Makasih ya, Ness. Dan maaf. Mungkin Mbak terkesan mengkhianati kakak kamu." Bagaimanapun juga Nessia adalah adik almarhum suamiku. Tapi dia yang mendukungku, menyiapkan segalanya untukku. Tak terkecuali."Mbak, enggak, gak ada pengkhianatan disini. Aku tahu, Mbak wanita yang baik. Dan aku tahu gimana cinta Mbak pada mereka. Tapi, aku juga ingin Mbak mendapatkan pria yang bisa menemani Mbak, yang bisa lindungi, Mbak. Aku gak mau Mbak terus-menerus menjanda. Masa depan Mbak itu masih panjang. Dan aku yakin, mas Rizky bisa jadi jodoh Mbak sampai akhir nanti. Sampai kalian kakek nenek. Sampai maut sendiri yang memisahkan kalian." Nessia kembali mengungkapkan. Telapak tangannya sedari tadi me
"Mas Dani? Mas Reza? Kalian mau kemana?" Aku melihat dua pria bersaudara itu bergandengan tangan mengenakan pakaian serba putih. Lalu mereka diam dan berbalik badan menyemai senyuman."Diandra, aku pergi. Kamu jangan lupa bahagia. Jaga anak kita," kata Mas Reza. Jelas air mataku menetes."Ta, tapi kalian mau kemana?" Aku mulai menangis. Air mata ini menghujan. Mas Dani mendekat. Dan Mas Reza diam tetap di tempatnya. Mas Dani makin mendekat ke arahku berdiri. Senyuman dan lesung pipinya amat membuat syahdu penglihatanku. Mereka tampan sekali."Diandra. Kamu jangan nangis. Kamu harus ingat, kamu punya dua anak. Dan kamu harus menjaganya." Kalimat Mas Dani. Dia juga meraih telapak tangan kiriku. Ia memberiku sebuah benda. Benda berwujud sepasang merpati. Ia berikan padaku. Dan ia simpan di telapak tanganku.Mas Dani menatapku. "Jangan lupa pula, kamu itu seorang wanita yang butuh pelindung. Kembalilah, kamu j
"Maaf, Ky. Tapi, nyatanya aku belum bisa melupakan almarhum suami aku. Aku belum bisa terima cinta kamu." Itulah jawabanku. Yang kujawab dengan penuh kesenduan. Aku bukan tahan harga, tapi inilah kenyataannya.Rizky yang tadinya bersimpuh. Kini ia bangkit perlahan dan duduk lagi di sampingku. Raut wajahnya amat datar. Namun lebih condong ke kecewa. Tarikan nafasnya pun lemas sekali. Baru kali ini aku melihat Rizky yang energik menampakkan wajah seperti ini."Tapi kenapa?" selidiknya lirih.Kami terdiam. Dan aku mulai mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan Rizky. Aku tak mau dia tersinggung dan merasa di rendahkan. Hingga kutolehkan tubuh ini menghadap ke arahnya."Aku minta maaf. Bukan maksud aku merendahkan kamu dengan menolak niat baik kamu. Jujur, kamu itu pria yang tampan, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan wanita single terutama gadis. Bukan seorang janda yang sudah memiliki putra dan putri sepertik
"Mbak, saya mau pelamiannya nanti bernuansa putih bak musim salju. Dan putih itu melambangkan kesucian." Aku memberi masukan."Enggak bisa. Saya mau pelaminan adik saya bernuansa rustic. Keren kan, Mbak, Mas. Apalagi pas malam dipakaikan lampu-lampu terang natural. Pokoknya semuanya sudah tergambar di otak saya." Rizky memberi masukan.Entah mengapa, hati ini tak merasa setuju dengan apa yang ia katakan."Gak bisa, Mbak. Menurut saya, nuansa putih itu lebih keren. Kesannya itu simple tapi modern. Tidak terlalu full color, tapi satu warna itu sudah mewakilkan keindahan." Aku kembali mengusulkan. Mas dan Mbak yang kini menghadapi kami lumayan agak bingung. Tapi mereka mencatat apa yang kami inginkan."Oh, sekalian saja semuanya putih. Gak usah ada warna lain. Kayak kain kafan," cetus Rizky. Dia malah membuatku kesal. Tapi aku tak menghiraukannya."Ah, dasar! Gak tahu indah sok-sokan bilang i
PoV Diandra***"Non? Non? Bangun, Non. Ini sudah adzan Maghrib." Suara terdengar samar-samar. Mataku mulai membuka. Kukucek sebentar."Mbok?"Aku terperanjat melihat si Mbok membangunkanku dari mimpi buruk tadi. Aku memimpikan hal buruk yang pernah kualami."Maaf, Non. Udah Maghrib. Bukan tak sopan Mbok bangunin," kata si Mbok. Aku masih sedikit pusing. Namun aku memang tadi seusai pulang dari kantor langsung menonoton televisi dan ketiduran ternyata."Ya ampun, makasih ya, Mbok. Fathan sama Dona mana?" tanyaku mencari kedua anakku."Non Dona lagi di kamarnya belajar. Den Fathan lagi main mobil-mobilan. Tuh!" tunjuk Mbok Arum ke arah anakku Fathan."Ibu?" Dia memanggilku. Karena dia sudah bisa bicara. Bahkan sudah bisa bicara sempurna di usianya yang ke-dua tahun ini."Sayang, Ibu tidur ya!" ujarku padanya sambil mendekat. Dia
PoV Diandra***"Nessia? Kamu kenapa?" tanyaku pada Nessia dengan cemas saat Nessia mengangakan mulut seusai melacak lokasi Mas Dani."Mbak, Mah, Mas Dani udah deket. Tapi kayaknya dia kena macet di jalan satu arah dekat rumah sakit," jelas Nessia dengan terharu. Wajah Nessia sumringah.Alhamdulillah, aku tenang.Pecah sudah rasa khawatir terhadap Mas Dani. Syukurlah dia sudah sampi lagi. Ini sudah dinihari. Dan kami bahagia Mas Dani telah kembali."Kamu beneran?" tanyaku memastikan. Aku akan berterima kasih banyak pada Mas Dani. Karena dia berhasil kembali dengan membawa kantung darah untuk Mas Reza.Tiba-tiba pintu ruangan Mas Reza membuka lagi.Krek.Aku, mama dan Nessia panik namun penuh harap. Aku menyergap dokter. Kuharap ada kabar baik untukku."Dokter? Gimana suami saya?" sergapku pada
PoV Diandra***"Maaf, Pak, Bu, stok darah untuk saudara Reza sudah habis." Ujar Dokter yang tiba-tiba membuka pintu ruangan."Ya Allah, lalu gimana Dokter? Apa yang harus kami lakukan?" Aku sangat panik."Dokter, dokter bisa ambil darah saya. Sebanyak yang kakak saya butuhkan, Dokter," ujar Mas Dani lantang. Bola matanya pun masih terus berkaca-kaca. Aku sangat terharu."Kami bisa saja mengambil darah dari anda," jawab dokter atas usulan Mas Dani."Tapi, rasanya tak mungkin bila kami harus mengambil terlalu banyak darah untuk pasien. Karena itu bisa membahayakan kesehatan anda," imbuh dokter lagi.Aku, Mama dan Nessia hanya bisa diam dalam kegelisahan. Karena diantara kami tak ada darah yang cocok. Selain Mas Dani, tak ada lagi di keluarga kami. Apalagi darah mereka terbilang langka. Tapi aku yakin, dokter pasti bisa menangani seperti sebelum-sebelumnya."Dok, ambil saja darah saya. Saya rela walau nyawa saya taruhannya,"
PoV Author***"Toloooong! Toloooong!"Dani terus melambaikan tangan sambil berteriak. Dimana Reza saat itu sudah pingsan kembali."Haaaarkh! Toloooong!"Akhirnya, cahaya itu makin mendekat. Dan mereka adalah tim SAR yang mencari keberadaan korban kecelakaan pesawat."Toloooong! Toloooong! Kami disini, Pak!" Dani terus berteriak meminta bantuan. Dan mereka pun mendekat.Tubuh Dani bukan tak sakit. Tapi dia masih mampu berusaha meminta pertolongan."Pak, tolong, Pak, Kakak saya sudah kehabisan banyak darah sejak tadi. Tolong kami, Pak!" Dani beteriak histeris pada beberapa orang yang sudah datang dalam dua perahu karet."Ayok, ayok bantu!" Para tim SAR sibuk di posisi masing-masing. Yang menangani Reza dan menangani Dani. Mareka juga tak lupa memasangkan alat pelampung. Karena mereka akan menaiki perahu untuk sampai di dermaga.
PoV 3***"Ness!" Diandra meraih lembaran yang Nessia baca. Ia menyelidik cemas. Pipinya sudah basah kuyup sejak tadi.Mata Diandra menyidik setiap nama korban yang sudah ditemukan. Dan banyak dari mereka yang sudah tak bernyawa. Dan itu makin membuat Diandra putus harapan. Tapi dia terus berdoa. Semoga ada keajaiban bagi korban-korban pesawat itu."Nessia? Kedua Abang kamu dimana?" tanya Diandra. Karena dia tak menemukan nama Reza ataupun Dani di daftar korban yang sudah ditemukan. Ia yakin, mereka benar-benar tidak ada di daftar korban ditemukan."Iya, Mbak. Beberapa korban masih dinyatakan hilang," jawab Nessia dengan sendu.Diandra hanya bisa menganga dengan penuh doa. Penumpang pesawat yang berjumlah 132 orang itu baru 123 orang yang ditemukan. Dan 70% sudah tak bernyawa akibat ledakan pesawat di udara.Astaghfirullah aladzim!"M-Mah, mas Reza dan mas Dani, mereka belum ditemukan, Mah. Aku yakin, mereka masih h