Setelah mendapat pesan dari Aina, Steven tidak bisa berpikir lagi. Dia langsung mandi, bergegas berpakaian dan memasukkan beberapa pakaian dengan asal ke tas ransel. Dia segera menuju bandara dengan motor sport-nya. Beruntung dia masih mendapatkan tiket ke Jakarta pada penerbangan jam tujuh malam. Hari masih jam lima sore, masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatan. Steven segera pulang untuk mengembalikan motornya dan kembali lagi ke bandara dengan menggunakan taksi. Satu jam menunggu sebelum pesawat take off membuatnya tidak sabaran, perasaannya sudah tidak karuan. Gelisah tidak menentu, apa yang akan dikatakan pada Melanie jika bertemu nanti? Di dalam pesawat, Steven hanya melamun menyesali diri, dia berkali-kali menghirup napas panjang dan berat. Apa bedanya dia dengan Agung? Sama-sama lelaki brengsek, namun mungkin dia lebih brengsek. Karena jejak kebrengsekannya tertinggal di rahim Melanie. Sementara Aina, ketika di rawat di rumah sakit, dokter langsung mengantisipasi dengan
Tak berapa lama pintu ruang ICU terbuka, muncullah sesosok lelaki berusia empat puluh tahun yang penampilannya masih seperti usia tiga puluh tahunan. "Abang, lelaki itu mirip banget sama Abang, kayak kakak adik kalian," bisik Aina di telinga suaminya. "Om Andi?" Hasan langsung menghampiri lelaki yang tengah berdiri mematung di tengah pintu, lelaki itu juga melangkah menghampiri Hasan, kedua tangannya terentang, menyambut pekikan keponakannya itu. "Hasan ... Kau sudah sebesar ini? Dulu terakhir ketemu kau masih kecil." "Kejadian itu sudah delapan belas tahun yang lalu, Om. Om Andi juga tidak berubah, masih muda dan gagah, selama ini Om kemana saja? Kenapa tidak pernah mengunjungi aku lagi sejak ibu meninggal?" Andika tersenyum penuh misteri, matanya menyiratkan kesedihan, hanya Andini saudara yang Andika punya setelah ibunya meninggal, namun saudaranya itu juga pergi dengan kasus yang sama seperti ibunya, harusnya Andika pergi mengunjungi keponakannya, masih ada Hasan dan Haris s
Setelah seharian mengelilingi daerah Ubud Bali, dengan membawa foto Melanie, Steven kembali lagi ke hotel. Usaha hari ini sungguh tidak membuahkan hasil, yang ada rasa lelah yang tak terkira. Entah kemana wanita itu pergi, lagipula Ubud kan daerahnya luas, haruskah Steven menyusuri setiap jengkal tanah di daerah ini? "Mel ... Di mana kau kini? Sekarang kurasakan rindu yang sangat dalam kepadamu Mel, maafkan aku ...." Steven hanya bisa mengeluh sambil mengamati langit-langit kamar. Terbayang malam pertama mereka ketika di Australia dulu, teriakan dan desahan Melanie sungguh membuatnya terhanyut dan kecanduan, hingga ketika wanita itu menghilang, dia seperti orang gila mencarinya ke mana-mana. Sekarang ketika mereka dipertemukan lagi, justru dia yang meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil pula, bukan karena kesalaha yang wanita itu lakukan, tetapi kesalahannya yang terlalu egois. Steven berpikir keras, dia tidak mungkin menemukan Melanie ditempat keramaian seperti tempat pencaria
Ketika Melanie baru sampai di klinik, dia segera memasuki ruangannya, klinik ini didirikan oleh teman kuliahnya di kedokteran dulu, sekarang temanya itu tengah mengambil spesialis di UGM, jadi ketika Melanie menghubunginya karena mau pindah ke Bali, temannya itu langsung meminta Melanie menjalankan kliniknya tersebut. Seorang perawat yang bertugas membantunya tergopoh-gopoh mendatanginya. "Ada apa, Sus?" tanya Melanie. "Ada korban kecelakaan, Dok. Sudah berada di ruang UGD." Klinik tersebut memang sudah dilengkapi ruang UGD, ada tiga dokter yang bertugas di sini, Melanie bertugas pagi sampai jam sebelas siang, sedang rekannya yang lain bertugas siang dan malam, karena paginya mereka bertugas di puskesmas masing-masing karena mereka dokter PNS. "Mari, Dok. Kita ke UGD," ujar perawat tersebut. Melanie yang tengah hamil besar tidak bisa berjalan cepat, dia menuju ke ruang UGD dengan santai. Sampai di ruang UGD, ada dua orang perawat satu pria dan satu wanita yang tengah menangani
Melanie yang melihat tatapan kedua bawahannya menjadi lemah, dia seorang paramedis, tentu tidak boleh mengabaikan keselamatan manusia karena masalah pribadi, harus bisa profesional, memisahkan masalah pribadi dan pekerjaan. "Baiklah, Steven ... Ayo, bangun." "Berjanjilah kau akan memberikan kesempatan kedua untukku, jika kau tidak mau memberikan kesempatan itu, aku lebih baik tidak perlu dirawat, biar saja aku kehilangan kakiku, atau sekalian kehilangan nyawaku." "Steven! Get up! What you say? Jangan menyulitkan hidupku lagi!" teriak Melanie marah, mata wanita itu memerah. "Apa kau ingin anak dalam kandunganku ini memiliki ayah yang cacat? Atau menjadi yatim sebelum lahir, ha?" Mendengar itu, Steven tersenyum tertahan, gelayar halus menyelimuti hatinya, merasaka kehangatan yang sulit diutarakan. Melanie memang wanita yang lembut hati pada dasarnya, jika dia sudah mencintai seseorang dia akan totalitas mencintainya, contohnya saja ketika dia jatuh cinta pada Hasan, dia memberikan
Namun gerakan mereka terhenti ketika wanita berjilbab lebar mendatangi mereka dan segera memeluk Nur. "Mamak ... Ai, kangen ...." "Aina? Ini Aina?" Jelas-jelas Nur tahu itu suara Aina, tetapi penampilan Aina sekarang sungguh sudah berbeda, membuat Nur pangling saja. "Wah, kau sudah hijrah ya, Ai?" ujar Fendi ketika mereka telah melepas pelukan. "Iya, Alhamdulillah," ujar Aina sambil tersenyum manis. "Kau bertambah cantik memakai jilbab seperti ini," puji Fendi dengan tulus. "Iya, Ai. Mamak suka melihat kau seperti ini." Nur segera menyusun makanan ke meja makan di bantu Fendi dan Aina, serta kedua pelayan mereka ketika Dave menuruni tangga, lelaki tua itu menatap Aina dengan tatapan takjub. "Who is she? Wow, very beautiful. Oh, daughter ... I Miss you so much." Dave segera memeluk Aina membuat gadis itu juga membalas pelukan ayahnya, rasanya sangat rindu dengan putrinya yang sudah lima bulan tidak dilihatnya "Katanya kau akan ke sini kalau liburan, kenapa belum liburan suda
Ketika mereka sudah sampai teras, Dave bergegas menyambut mereka dengan senyum ceria menghiasi bibirnya, namun ketika jarak mereka sudah sangat dekat, senyum di wajah lelaki itu menghilang. "Jackal ...," gumam lelaki tua itu. "Black Panther ...." Kedua lelaki beda generasi itu saling menatap, keterkejutan jelas tergambar di mata mereka, tidak ada kata yang terucap di kedua bibir mereka, gumaman nama yang mereka sebut juga hanya bisa didengar oleh mereka sendiri. "Ayah, ini Om aku, adik almarhumah ibuku, saudara satu-satunya ibuku." Ucapan Hasan membuyarkan kebekuan mereka, Dave tersenyum canggung, begitu juga dengan Andika, lelaki itu memang sempat salah tingkah, tetapi karena dia sudah ditempa kerasnya hidup dalam bahaya, dia cepat sekali mengatasi situasi, bersandiwara tentu menjadi keahliannya dalam menjalankan misi spy atau misi pembunuhan. "Om, ini ayah Aina istriku, jadi beliau adalah mertuaku," ujar Hasan memperkenalkan mertuanya. "Halo, Pak ... Saya Andika, Om-nya Hasan
Secara alami sontak semua orang memperhatikan ke arah yang ditunjuk oleh Duke, tak terkecuali Andika. Semakin mendekat Laura yang tengah di dorong oleh Fendi, semakin jelas wajahnya, wanita itu langsung duduk di kursi rodanya di hadapan Andika tepat, Andika tidak lepas tatapannya pada wanita di hadapannya, matanya bahkan terbelalak. Tidak ada yang menyadari jika lelaki itu kini wajahnya sudah memucat, kejutan apa lagi ini? Namun rasa keterkejutan Andika itu hanya berlangsung beberapa detik, lelaki itu sudah bisa menguasai keadaan, walaupun dalam hati ketar-ketir melihat perempuan di hadapannya. Arsen menghela napas ringan, dia menatap Arsen di sebelahnya sambil menyuapi anak itu makan, apakah anak ini yang kemarin Dave perintahkan kepadanya untuk tes DNA? Dave bilang hasilnya sangat menentukan kehidupan putri dan cucunya ke depan. "Ini, siapa?" tanya Andika menunjuk Laura. "Oh, anak sulung kami, Laura," jawab Duke singkat. "Laura ini ibunya Arsen, anak kami yang nomor dua laki-la
"Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,
Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,
Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."
Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana
Kejutan demi kejutan membuat hidup Hasan dan Aina bertambah tambah rasanya, baru saja Dodi Rosadi, teman akrab Hasan ketika SMA dulu mengungkapkan lamaran kepada ibu dan pakdenya Laras di depan keluarga besar, hal itu tentu saja membuat Hasan memeluk temannya itu dengan erat. "Akhirnya kita sodaraan juga, Bro." "Ingat, tambah lagi satu kakaknya Aina, biarpun kakak sepupu, jadi jangan macam-macam kau ya?" ancam Dodi membuat semua orang tertawa. "Sayang, Fendi gak ada di momen indah seperti ini, harusnya kita punya formasi yang lengkap," ujar Syarif. "Iya, ini ayah. Member tugas kakak Aina kok begitu amat," Jawab Steven. "Aish, gak usah kuatir. Nanti Fendi kupanggil ke sini, dijamin besok pagi sudah ada di sini," jawab Dave sambil mencebikkan bibirnya Ayuni yang mendengar itu wajahnya langsung tersenyum sumringah, Duh ... Jadi ingat waktu momen pernikahan Steven dulu, saat itu ciuman pertamanya bersama kekasihnya itu. "Besok pernikahan akan digelar di mana?" tanya Nur kepada Lar
Lelaki itu buru-buru keluar dari pesawat yang membawanya hingga ke daerah ini, tempat yang dia tandangi hampir dua puluh tahun yang lalu, namun dia tidak akan lupa di mana alamat kakak kandungnya itu berada walau sang kakak kini sudah tiada. Dia sengaja mencari penerbangan paling pagi dari Singapura ke Jakarta, dilanjutkan dari Jakarta ke Jambi, karena memang belum ada penerbangan langsung dari Singapura ke Jambi.Dia tidak bisa menunda lagi untuk bertemu seseorang yang begitu penting dalam hidupnya, pertemuannya dengan Fendi tadi malam sungguh merupakan pertemuan yang sangat mengejutkan. Andika sebenarnya enggan bertemu secara pribadi dengan pemuda itu, jika Fendi tidak setengah memaksanya. Pemuda itu mengajaknya ke taman Merlion, duduk di bangku taman sambil memandangi patung kepala singa di hadapannya. "Senang bisa bertemu dengan orang yang saya kenal di negeri asing seperti ini," ujar Fendi mengawali percakapan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Andika."Ada urusan bisnis. Pak D
"Good morning, Profesor." Sebuah sapaan bersahutan di dalam gedung itu ketika seseorang memakai kemeja putih dan celana bahan hitam datang menuju ke sebuah ruangan, kaca mata berbingkai emas yang bertengger di atas hidung lelaki itu menambah kesan dingin dan sulit untuk didekati."Morning," jawab lelaki itu singkat."In here, Prof," seru seseorang dengan seragam security menunjukkan jalan pada lelaki itu.Beberapa pria berjas hitam berjalan tegap di belakang lelaki itu, kaca mata hitam yang bertengger di setiap lelaki berjas hitam itu menambah seram penampilannya."Halo, profesor Andika Ibrahim Luthfi. Welcome, welcome," ujar seorang pria berkepala plontos memakai kemeja biru polos."Apa ini yang dimaksud dengan ruangan rahasia? Kenapa tidak terlihat rahasia sama sekali?" tanya lelaki itu dengan bahasa Inggris."Tentu rahasia yang dimaksud bukan rahasia tidak terlihat, semua ruangan ini adalah penyamaran, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalamnya.""Oke, tunjukkan aku."Pria b