Minggu-minggu berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di kantor Kieran. Clara mulai merasakan ketegangan yang semakin mencekam di antara mereka, meski keduanya berusaha menjaga jarak yang disepakati. Kieran, yang dulunya penuh dengan energi dan semangat, kini semakin jarang terlihat di kantor. Banyak waktu yang ia habiskan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan bisnis di luar kota, atau sekadar mengurung diri dalam ruang kerjanya.Clara mengerti, namun ia tak bisa menepis perasaan kesepian yang mulai merasukinya. Ketika setiap jam makan siang terasa semakin panjang tanpa ada satu pesan pun yang masuk dari Kieran, dan setiap hari pulang ke rumah terasa hampa tanpa mendengar suara atau melihat wajahnya, ia bertanya-tanya, 'apakah semua ini akan berakhir seperti ini?'Hari itu, Clara kembali ke kantor setelah libur beberapa hari untuk menghadiri pertemuan penting dengan klien besar. Ia memutuskan untuk bekerja dengan sepenuh hati agar bisa melupakan sejenak rasa rindu yang menggangg
Hari itu, Clara duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang masih kosong. Pekerjaan yang menumpuk di depannya tak mampu mengalihkan pikirannya dari percakapan dengan Kieran di bandara beberapa hari lalu. Kata-kata terakhirnya masih terngiang jelas di telinganya."Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Clara. Aku ingin kita bersama, tapi aku juga merasa aku harus memilih jalanku sendiri. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini, berada dalam kebingungan. Aku perlu waktu."Clara menarik napas dalam-dalam, matanya menatap kalender di dinding yang mencatat banyak jadwal rapat dan tugas-tugas yang belum diselesaikan. Tapi, meski semuanya harus dikerjakan, hatinya terasa hampa. Ia merasa seperti kehilangan arah. Pekerjaan yang dulu ia nikmati kini terasa begitu berat.Pagi itu, Clara bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Ia mengamati hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana, orang-orang yang berlalu-lalang, sibuk dengan dunia
Hari itu, Clara memilih untuk menghabiskan waktu seharian di kafe kecil yang biasa ia kunjungi. Tempat yang penuh dengan aroma kopi, suara tawa ringan pengunjung, dan suasana yang selalu membuatnya merasa tenang. Ia memesan cappuccino favoritnya dan duduk di pojok kafe, menunggu Kieran yang telah mengonfirmasi akan datang tepat waktu.Sudah beberapa hari mereka tidak berbicara banyak setelah percakapan panjang mereka di telepon. Clara merasakan ketegangan yang semakin menyelimuti hatinya. Rasa rindu bercampur dengan kecemasan, seakan ia sedang menunggu jawaban dari teka-teki besar dalam hidupnya. Akankah keputusan ini membawa mereka lebih dekat, atau justru membuat mereka semakin jauh?Clara menatap keluar jendela, memperhatikan orang-orang yang sibuk menjalani hidup mereka. Setiap orang sepertinya punya tujuannya masing-masing, tapi di dalam dirinya, Clara merasa seperti terjebak dalam kebingungannya. Di luar sana, dunia bergerak maju, tapi dirinya masih terhenti pada satu tit
Hari itu, matahari bersinar cerah di luar, seakan-akan turut merayakan keputusan besar yang telah diambil Kieran dan Clara. Namun, meskipun cuaca cerah, keduanya tahu bahwa tantangan baru akan segera datang. Hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan, dan meski mereka merasa siap untuk menghadapi apa pun, tetap ada kekhawatiran yang menggelayuti hati mereka.Clara duduk di ruang kerjanya, memandangi berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Sejak percakapan terakhir dengan Kieran, banyak hal yang harus diselesaikan. Tugas-tugas yang sebelumnya terasa ringan kini tampak lebih berat. Pikiran Clara sering melayang ke Kieran, tetapi ia tahu bahwa sekarang saatnya untuk fokus pada pekerjaan. Tidak mudah, tetapi ia bertekad untuk tetap teguh.Sekilas, matanya menangkap sebuah pesan masuk di layar ponselnya. Kieran. Sebuah pesan singkat yang cukup menenangkan."Aku masih memikirkan semuanya. Aku merasa lebih ringan setelah berbicara denganmu kemarin.""Tapi kita harus hati-hati dalam
Keesokan harinya, Clara tiba di kantornya dengan perasaan campur aduk. Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Meski langkahnya mantap menuju ruang kerjanya, ada sebuah kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Semalam, dia dan Kieran membuat sebuah janji besar—untuk lebih terbuka dan saling mendukung. Tetapi apakah mereka benar-benar siap? Dunia di luar mereka, dengan segala kesulitan yang ada, tampak semakin keras.Clara duduk di kursinya, menatap layar komputer. Banyak pekerjaan yang menumpuk. Namun, pikirannya tetap saja melayang, kembali pada percakapan malam itu. "Kita harus siap menghadapi semua tantangan," kata Kieran. Dan Clara tahu, itu bukan hanya tentang mereka berdua, tetapi juga tentang masa depan mereka yang kini digantungkan pada keputusan-keputusan besar.“Clara?”Suara lembut menyadarkannya dari lamunannya. Clara menoleh, melihat rekan kerjanya, Lina, yang berdiri di pintu dengan ekspresi cemas.“Ada apa?” tanya Clara, mencoba mengalihkan perhatian dari pikirann
Keesokan harinya, suasana di kantor terasa penuh dengan semangat baru. Clara, meskipun lelah dari rapat yang panjang semalam, tidak bisa menghindari perasaan lega yang mengalir dalam dirinya. Setiap detik yang dilewati bersama Kieran semakin memperkuat keyakinannya bahwa mereka bisa menghadapinya—bersama-sama. Namun, meski ada semangat baru, tantangan besar tetap menanti.Pagi itu, Clara duduk di mejanya, memandangi layar komputer yang menampilkan berbagai dokumen dan laporan. Ada begitu banyak yang harus diselesaikan. Tetapi hatinya tidak sepenuhnya di situ. Pikirannya kembali pada percakapan malam itu dengan Kieran—saat di mana mereka berdua saling berjanji untuk menjalani apa pun yang datang bersama.Meski begitu, ada sesuatu yang mengganjal. Suatu perasaan tidak pasti yang mulai menggelayuti hatinya. Clara tahu, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi setelah keputusan besar itu. Dan meskipun ia ingin percaya bahwa mereka siap, kadang-kadang keraguan itu datang begitu saja
Malam itu, setelah percakapan penuh makna di restoran, Clara dan Kieran kembali ke rutinitas mereka. Meskipun ada rasa lega yang terasa mengalir, mereka tahu bahwa perasaan tersebut tidak akan lama bertahan. Tantangan yang mereka hadapi begitu besar—baik dari sisi pekerjaan maupun hubungan pribadi mereka yang semakin kompleks.Pagi itu, Clara masuk ke kantor dengan perasaan yang campur aduk. Setiap langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Pekerjaan yang menumpuk di mejanya hanya menambah beban yang sudah ia rasakan. Sementara itu, Kieran juga tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa dunia yang mereka hadapi jauh lebih menuntut daripada yang mereka duga sebelumnya.Namun, di tengah semua itu, Clara merasakan satu hal yang tidak bisa ia pungkiri: ia tidak bisa hidup tanpa Kieran. Ada sesuatu yang mengikat mereka lebih kuat dari sekadar pekerjaan atau situasi yang mereka jalani bersama. Itu adalah sesuatu yang lebih dalam, yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, namun tera
Pagi itu, suasana kantor terasa berbeda. Clara merasa ada yang aneh, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Ia mencoba menepis perasaan itu, tetapi hati kecilnya mengatakan bahwa hari ini akan membawa kejutan. Sesuatu yang tak terduga.Saat ia baru saja duduk di meja kerjanya, Lina masuk dengan wajah cemas."Clara, ada yang ingin bertemu denganmu. Dia mengaku tahu banyak tentangmu dan Kieran. Katanya, dia punya informasi yang akan sangat berguna untuk proyek kita," kata Lina, agak ragu.Clara menatap Lina dengan bingung. "Siapa dia? Kenapa aku merasa ini tidak biasa?"Lina menggugurkan keraguan dalam dirinya dan menjawab, "Namanya Valerie, teman lama Kieran. Tapi dia... dia bukan orang yang bisa dipercaya begitu saja."Clara terdiam sejenak. Nama "Valerie" sudah cukup untuk memicu perasaan cemas di dalam dirinya. Seiring dengan kesibukannya di kantor dan hubungan yang semakin dalam dengan Kieran, Clara tidak pernah mendengar banyak tentang wanita ini. Siapa s
Langit pagi masih berwarna abu-abu ketika helikopter milik UN Special Biothreat Taskforce mendarat di dek kapal riset Aquila. Kapal ini tidak biasa—bukan sekadar laboratorium terapung, tapi pusat komando rahasia yang dikerahkan untuk menyelidiki jejak terakhir Leviathan di sebuah pulau kecil di dekat perairan Filipina Selatan.Clara menuruni tangga helikopter bersama Nathaniel dan Kieran. Angin laut menyentak rambut mereka, dan aroma garam bercampur bensin solar menyengat tajam. Mereka disambut oleh seorang pria berkacamata dengan wajah penuh luka bakar setengah pipi kiri—Dr. Elmo Takashi, ahli genetika yang dulu bekerja untuk Leviathan dan kini menjadi saksi penting sekaligus pemandu dalam misi ini."Pulau ini tidak ada di peta resmi," kata Takashi pelan. "Tapi saya tahu, mereka menyebutnya ‘Pulau Hening’. Di sana... eksperimen tahap terakhir dilakukan. Bukan hanya virus. Tapi juga eksperimen penggabungan organik dan sistem saraf AI."Kieran mencibir. “Mereka ingin menciptakan hi
Fajar menyingsing perlahan ketika mobil taktis PBB menderu menjauhi dermaga tua. Di dalamnya, Kieran duduk berdampingan dengan Clara—kedua mata mereka memantulkan sinar remang lampu kabin. Di depan, Nathaniel mengawasi borgol di pergelangan tangan Victor Arman yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terbungkus mantel panjang.Clara menengadah, menarik napas dalam. “Kita berhasil… tapi ini baru permulaan.”Kieran mengangguk tanpa bicara. Bayangan malam terakhir terus menghantui—detik ketika ia memutuskan untuk tidak menghabisi ayahnya, dan saat pintu rahasia terbuka untuk pertama kali. Kini, tanggung jawab baru menanti: Victor harus diadili, dan jaringan Leviathan yang tersisa harus dilenyapkan.— Sidang Kilat PertamaBeberapa jam kemudian, di ruang sidang darurat PBB, juri internasional berkumpul. Clara dan tim hukum menyiapkan stage: bukti forensik, rekaman duel, sampel biologis, dan pengakuan Victor sendiri. Ketika hakim ketua mengetuk palu, Victor berdiri—wajahnya tenang, meski d
Kegelapan pagi itu masih menggantung ketika Kieran membuka pintu kamar belakang rumah tua. Ia menatap Clara dan Nathaniel yang menunggunya di ruang kerja; mata Nathaniel masih basah oleh kesedihan, sedangkan Clara meraih tangannya dengan teguh. “Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Kieran pelan—suara yang jauh lebih tenang daripada detak jantungnya. “Ayahku tidak akan menunggu.”Nathaniel mengangguk. “Aku sudah menyiapkan akses ke lorong bawah tanah—jalur rahasia yang dulu kami gunakan untuk mengangkut barang. Dari situ kita bisa menyusup ke markas Leviathan.” Ia meraih peta usang yang sudah ditandai beberapa titik; salah satunya tempat Victor Arman biasanya menonton operasi—ruang kendali pusat.Clara menarik napas. “Sebelum kita bergerak, aku mau tahu: apa rencana kita jika kita bertemu dia?”Kieran menatap sekilas foto tua yang menempel di dinding—Victor muda menatapnya penuh harap. “Aku tidak datang untuk membunuhnya,” gumamnya. “Aku datang untuk mengakhiri warisan kegelapan in
Langit pagi itu mendung, seakan alam pun ikut merasakan tekanan yang menggelayuti hati Clara. Di balik jendela kamar hotel tua yang mereka tempati untuk bersembunyi, ia menatap jalanan yang sepi. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Kieran dan Nathaniel, dan selama itu pula ia hidup dalam ketegangan yang menggigit.Nathaniel duduk di kursi dekat pintu, menyusun lembaran-lembaran dokumen yang dicuri dari markas musuh mereka. Wajahnya serius, kerutan di dahinya menunjukkan beban berat yang ia pikul. Sementara itu, Kieran berdiri di dekat meja kecil, jari-jarinya mengetik cepat di layar tablet yang terkoneksi dengan sistem jaringan rahasia mereka.Clara akhirnya bersuara. "Sampai kapan kita akan terus bersembunyi?"Kieran tak langsung menjawab. Nathaniel menoleh lebih dulu, tatapannya tajam namun mengandung kelembutan. "Sampai kita tahu siapa yang bisa kita percaya. Dan siapa yang benar-benar ingin membunuhmu."Clara menggertakkan gigi, mencoba menahan kemarahan da
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Matahari yang menyelinap lewat jendela kaca besar di ruang tengah seolah enggan mengusik ketegangan yang sedang menggantung di udara. Clara duduk sendirian di meja makan, jemarinya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tatapannya kosong, pikirannya mengembara entah ke mana.Sudah tiga hari sejak Kieran menghilang setelah pertemuan rahasia itu. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, hanya keheningan yang menusuk. Clara mencoba menghubungi orang-orang dekat Kieran, namun semuanya diam, seperti sudah mendapat instruksi untuk tidak membuka mulut.Clara bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, tapi tak cukup untuk meredakan kekhawatiran yang terus menumpuk dalam dadanya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.“Kalau kau ingin tahu di mana Kieran, datanglah sendiri. Jangan ajak siapa pun. Lokasi sudah dikirim.”Pesan itu disertai koordinat. Clara menatap layar ponsel, hatinya be
Kabut tebal menutupi dermaga tua di pinggiran kota, hanya diterangi lampu kapal yang bergoyang pelan di atas air. Kieran dan Clara berdiri di ujung dermaga, mengenakan pakaian gelap dan peralatan intelijen lengkap. Di antara tumpukan kontainer berkarat, mereka tahu itulah sarang terakhir organisasi bayangan—pusat koordinasi distribusi senjata biologis yang gagal mereka bongkar.Clara menekan tombol di alat komunikasi: “Ari, status?”“Semua saluran aman, sensor gerak dan termal sudah aktif. Drone patroli berputar di atas, memperingatkan setiap pergerakan darah panas di atas dek,” jawab Ari. Kieran mengangguk, memeriksa peta holografik di tangannya. “Rute masuk lewat selokan saluran pembuangan di sebelah timur. Liora seharusnya ada di ruang kontrol atas, ruangan kaca yang menghadap dermaga. Dia tahu kita akan datang—jadi waspadai jebakan.”— Mencuri Malam —Mereka merayap melalui pintu baja kecil di ujung selokan, suara air menetes bergema di lorong beton. Setengah berlari, setengah
Hujan turun deras malam itu. Langit kelabu seakan menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar sedang menanti Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang terparkir di ujung jalan, tak jauh dari markas tersembunyi organisasi yang selama ini menghantui hidup Kieran.“Kamu yakin ingin melakukannya malam ini?” tanya Clara pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara rintik hujan di kaca depan.Kieran menoleh padanya. Mata pria itu menunjukkan tekad, tapi juga ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kalau kita menunggu lebih lama, mereka akan bergerak lebih dulu. Dan kita tak akan sempat menyelamatkan apa pun.”Clara mengangguk, menggenggam tangan Kieran erat. “Kalau begitu, kita hadapi ini bersama.”Kieran menatap jemari mereka yang saling menggenggam, lalu mencium punggung tangan Clara dengan lembut. “Apa pun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Dan aku tidak menyesal telah membawamu sejauh ini.”Clara tersenyum, meski hatinya be
Fajar keemasan menembus jendela aula pengadilan, menyinari wajah-wajah tegang yang masih terpaku menanti putusan. Clara berdiri di samping Kieran, Nadia, Marina, dan sejumlah saksi ahli, masing‑masing menyimpan harap bahwa seluruh rangkaian kejadian akan mendapatkan keadilan.— Pembacaan Putusan —Hakim mengetuk palu dengan suara mantap. “Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian, Pengadilan Internasional menyatakan terdakwa—mantan pejabat X, CEO perusahaan farmasi bayangan, serta ilmuwan utama—bersalah atas tuduhan penggunaan senjata biologis, pengkhianatan,""dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Semua terdakwa dijatuhi hukuman penjara maksimal dan denda besar, serta aset mereka disita penuh untuk kompensasi korban.”Kerumunan meledak dalam tepuk tangan tertahan; beberapa delegasi saling menyalami, mata Clara berkaca-kaca karena lega. Kieran memeluknya sebentar, menegaskan, “Kebenaran menang.”— Pembebasan dan Pemulihan —Di luar gedung, tim Karbon menyaksikan Belanda—mar
Kabut pagi masih menyelimuti jalanan ketika tim Karbon bersiap meninggalkan safehouse untuk menuju gedung Pengadilan Internasional. Rombongan mobil taktis meluncur perlahan, menyusuri jalan raya yang kini dijaga ketat pasukan PBB dan Europol. Di dalam mobil paling depan, Clara menatap cermin spion—melihat bayang-bayang pepohonan yang terangkat sejenak oleh lampu sorot lalu kendaraan rombongan. Ia menarik napas dalam, lalu menegaskan di hatinya: ini hari paling krusial.— Panggung Sidang Puncak —Di aula sidang, kursi-kursi tersusun rapi—barisan saksi ahli, delegasi negara, dan kerumunan jurnalis internasional sudah berkumpul. Clara melangkah mantap ke podium, di tangan kiri terdapat berkas dakwaan biologis yang tebal sekali. Di layar besar, grafis tentang rencana penyebaran virus, rekaman teknisi, hingga hasil uji lab independen semua menanti untuk diputar.Hakim ketua mengetuk palu, menandai dimulainya babak baru: dakwaan senjata biologis dan kejahatan kemanusiaan. Suara Clara m