Pagi itu, Clara masih terjaga lebih lama dari biasanya. Meskipun ia sudah berusaha memejamkan mata, pikirannya terus berpacu, mengingat semua keputusan yang baru saja diambil bersama Kieran dan tim. Ada sesuatu yang menegangkan dalam setiap keputusan yang mereka buat. Dan entah kenapa, kali ini, beban itu terasa lebih berat.Clara meneguk secangkir teh hangat sambil duduk di ruang tamunya yang masih sepi. Ia mengamati secarik kertas yang tergeletak di atas meja. Itu adalah catatan dari percakapan dengan Kieran, sebuah rencana yang mereka buat untuk langkah selanjutnya. Catatan itu lebih dari sekedar angka dan strategi. Itu adalah tentang masa depan—masa depan perusahaan dan, mungkin, juga masa depan mereka.Pikirannya kembali melayang pada saat-saat ketika Kieran pertama kali masuk ke hidupnya. Dulu, ia hanya seorang asisten pribadi yang tidak banyak diperhitungkan, namun kini, posisi itu telah memberinya lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam setiap keputusan besar. Mesk
Pagi berikutnya, Clara bangun dengan perasaan yang campur aduk. Semalam, percakapan dengan Kieran masih terngiang di telinganya. Kata-katanya begitu jelas, seolah-olah ada harapan yang tersirat di baliknya. Meskipun Clara ingin berpikir rasional, hatinya tidak bisa menahan perasaan yang mulai tumbuh. Ada semacam kehangatan yang mengalir dalam dirinya ketika mengenang kata-kata Kieran. Tetapi ia juga sadar, langkah besar yang mereka ambil tidak bisa didorong hanya oleh perasaan semata.Clara berdiri dari tempat tidur, berjalan menuju jendela dan mengamati suasana luar yang cerah. Udara pagi yang sejuk memberikan rasa tenang, tetapi hatinya tetap bergejolak. Seperti ada pertarungan antara kepala dan hati yang terjadi dalam dirinya. Ia ingin menjaga profesionalisme, tetapi semakin dekat dengan Kieran, semakin ia merasakan kedalaman perasaan itu.*"Apakah aku siap untuk itu?"* gumam Clara pelan.Setelah beberapa menit merenung, Clara akhirnya memutuskan untuk memulai hari dengan fo
Pagi itu, Clara merasa lebih ringan dari biasanya. Setelah percakapan yang mendalam dengan Kieran kemarin, ada rasa lega yang mengalir di dalam dirinya. Ia menyadari bahwa hidup memang penuh dengan ketidakpastian, tapi dengan membuka hati dan melangkah maju, ia akan menemukan banyak hal yang tak terduga.Ketika Clara memasuki kantor pagi itu, dia merasakan ada perbedaan. Ada rasa kedamaian yang mengalir di antara rekan-rekannya. Seolah-olah ada sesuatu yang telah berubah. Meskipun mereka belum berbicara lebih lanjut tentang perasaan mereka, Clara merasa bahwa Kieran menghargai keputusan dan ruang yang ia butuhkan.Saat ia berjalan menuju mejanya, Clara melihat Kieran sudah duduk di ruangannya. Matanya yang tajam dan penuh fokus, seperti biasa, namun kali ini ada kehangatan yang berbeda di dalam tatapannya. Clara tahu, Kieran sedang menunggu, tapi ia tidak ingin terburu-buru. Semua ini harus dilakukan dengan hati-hati.Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan penting, Clara akhirn
Pagi itu, Clara merasa ada sesuatu yang berbeda. Setelah makan malam yang penuh tawa dan percakapan hangat dengan Kieran, hatinya terasa lebih ringan. Namun, kehidupan tak pernah berjalan mulus, dan ia tahu bahwa di balik kebahagiaan itu ada banyak tantangan yang menanti.Pagi di kantor dimulai dengan rapat besar mengenai proyek yang telah mereka garap selama beberapa minggu terakhir. Clara duduk di salah satu sisi meja besar, matanya menatap layar laptopnya yang penuh dengan data dan presentasi yang harus disiapkan. Kieran duduk di ujung meja, tetap tenang dan fokus, seperti biasa. Tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa berbeda. Kieran selalu tampak kuat dan tak tergoyahkan, namun Clara tahu ada sisi lain yang tak begitu mudah terlihat.Ketika rapat dimulai, suara Kieran mengalun tenang namun tegas, memimpin diskusi dengan penuh kontrol. Setiap pertanyaan yang datang, ia jawab dengan penuh keyakinan. Clara merasa kagum dengan kemampuannya, namun di sisi lain, ia juga me
Keesokan harinya, Clara tiba lebih awal dari biasanya di kantor. Ia duduk di mejanya, merenung sejenak sambil memandangi layar komputer yang menampilkan grafik dan laporan yang harus diselesaikan. Meskipun tampak seperti pekerjaan biasa, di dalam hatinya ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Kemarin malam, percakapan dengan Kieran terasa berbeda. Ada pengakuan yang mengharukan dari Kieran, dan itu membuat Clara merasa dilema. Meskipun ia merasa dihargai dan diinginkan, ia juga tahu bahwa hubungan profesional mereka tidak bisa begitu saja tergantikan oleh perasaan pribadi. Kieran adalah CEO, dan mereka berdua bekerja dalam dunia yang penuh tekanan dan persaingan ketat. Emosi bisa menjadi gangguan.Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Clara mulai menyadari bahwa ia tidak bisa menahan perasaannya selamanya. Setiap kali ia melihat Kieran, ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar. Setiap percakapan mereka, meskipun serius, selalu menyisakan ruang bagi kedekatan yang lebi
Setelah percakapan yang mendalam dengan Kieran, Clara merasa pikirannya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Hari itu berlalu dengan cepat, tetapi baginya, setiap detik terasa seperti berjam-jam. Pekerjaan yang semula tampak seperti rutinitas biasa kini terasa jauh lebih berat. Setiap tugas yang ia lakukan, setiap laporan yang ia siapkan, semuanya terasa seperti beban yang lebih besar. Di satu sisi, ia merasa cemas tentang proyek besar yang sedang mereka kerjakan. Tetapi di sisi lain, perasaan yang ia simpan terhadap Kieran juga semakin tak terbendung. Setiap kali mereka bertemu, ada perasaan yang tumbuh lebih kuat—sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar hubungan profesional. Clara tahu bahwa dia harus membuat keputusan besar. Namun, untuk saat ini, semua itu harus ditunda. Ada banyak hal yang harus diselesaikan sebelum ia bisa benar-benar mempertimbangkan perasaannya terhadap Kieran.Namun, malam itu, Clara tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, membayangkan
Hari-hari setelah percakapan malam itu terasa berbeda bagi Clara. Meskipun mereka berdua sepakat untuk menjaga profesionalisme di kantor, setiap kali bertemu Kieran, ada ketegangan halus yang tak bisa disembunyikan. Di balik tatapan mereka yang terlihat biasa, Clara tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang lebih besar dari sekadar hubungan atasan dan bawahan.Pagi itu, Clara sedang berada di ruang kerjanya, menatap layar komputer. Daftar tugas yang menumpuk di depannya terasa berat, namun jauh di dalam hatinya, ada perasaan yang lebih mendalam—perasaan yang tak bisa lagi diabaikan. Clara tahu bahwa proyek besar yang mereka kerjakan semakin dekat pada puncaknya, dan meskipun ada banyak tekanan, ia merasa ada satu hal yang menguatkannya: kepercayaan diri Kieran terhadap dirinya. Mereka tidak hanya bekerja bersama; mereka mulai berbagi harapan dan ketakutan yang selama ini tersembunyi di dalam diri mereka masing-masing.Ketika Clara memasuki ruang rapat untuk pertemuan p
Hari-hari setelah percakapan itu terasa seperti sebuah titik balik dalam hubungan mereka. Meskipun mereka sudah saling jujur tentang perasaan masing-masing, Clara dan Kieran tahu bahwa jalan yang mereka pilih takkan mudah. Ada banyak hal yang harus mereka pertimbangkan—baik sebagai individu maupun sebagai tim dalam pekerjaan besar yang tengah mereka jalani.Clara duduk di mejanya, memandangi layar komputer yang menunjukkan berbagai email yang masuk. Tugas-tugas yang menunggu tidak mengenal kata istirahat. Namun, di sela-sela kesibukan itu, pikirannya kembali melayang pada Kieran. Ia tahu bahwa perasaan itu tak bisa lagi dipendam begitu saja. Ada yang harus diubah, dan Clara merasa, meskipun sulit, ia sudah siap untuk melangkah lebih jauh.Pagi itu, Kieran menghubunginya melalui pesan singkat."Clara, ada yang perlu kita bahas. Bisakah kamu ke ruang rapat setelah makan siang?"Clara menatap pesan itu beberapa saat, merasakan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa setiap pertemuan de
Langit pagi masih berwarna abu-abu ketika helikopter milik UN Special Biothreat Taskforce mendarat di dek kapal riset Aquila. Kapal ini tidak biasa—bukan sekadar laboratorium terapung, tapi pusat komando rahasia yang dikerahkan untuk menyelidiki jejak terakhir Leviathan di sebuah pulau kecil di dekat perairan Filipina Selatan.Clara menuruni tangga helikopter bersama Nathaniel dan Kieran. Angin laut menyentak rambut mereka, dan aroma garam bercampur bensin solar menyengat tajam. Mereka disambut oleh seorang pria berkacamata dengan wajah penuh luka bakar setengah pipi kiri—Dr. Elmo Takashi, ahli genetika yang dulu bekerja untuk Leviathan dan kini menjadi saksi penting sekaligus pemandu dalam misi ini."Pulau ini tidak ada di peta resmi," kata Takashi pelan. "Tapi saya tahu, mereka menyebutnya ‘Pulau Hening’. Di sana... eksperimen tahap terakhir dilakukan. Bukan hanya virus. Tapi juga eksperimen penggabungan organik dan sistem saraf AI."Kieran mencibir. “Mereka ingin menciptakan hi
Fajar menyingsing perlahan ketika mobil taktis PBB menderu menjauhi dermaga tua. Di dalamnya, Kieran duduk berdampingan dengan Clara—kedua mata mereka memantulkan sinar remang lampu kabin. Di depan, Nathaniel mengawasi borgol di pergelangan tangan Victor Arman yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terbungkus mantel panjang.Clara menengadah, menarik napas dalam. “Kita berhasil… tapi ini baru permulaan.”Kieran mengangguk tanpa bicara. Bayangan malam terakhir terus menghantui—detik ketika ia memutuskan untuk tidak menghabisi ayahnya, dan saat pintu rahasia terbuka untuk pertama kali. Kini, tanggung jawab baru menanti: Victor harus diadili, dan jaringan Leviathan yang tersisa harus dilenyapkan.— Sidang Kilat PertamaBeberapa jam kemudian, di ruang sidang darurat PBB, juri internasional berkumpul. Clara dan tim hukum menyiapkan stage: bukti forensik, rekaman duel, sampel biologis, dan pengakuan Victor sendiri. Ketika hakim ketua mengetuk palu, Victor berdiri—wajahnya tenang, meski d
Kegelapan pagi itu masih menggantung ketika Kieran membuka pintu kamar belakang rumah tua. Ia menatap Clara dan Nathaniel yang menunggunya di ruang kerja; mata Nathaniel masih basah oleh kesedihan, sedangkan Clara meraih tangannya dengan teguh. “Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Kieran pelan—suara yang jauh lebih tenang daripada detak jantungnya. “Ayahku tidak akan menunggu.”Nathaniel mengangguk. “Aku sudah menyiapkan akses ke lorong bawah tanah—jalur rahasia yang dulu kami gunakan untuk mengangkut barang. Dari situ kita bisa menyusup ke markas Leviathan.” Ia meraih peta usang yang sudah ditandai beberapa titik; salah satunya tempat Victor Arman biasanya menonton operasi—ruang kendali pusat.Clara menarik napas. “Sebelum kita bergerak, aku mau tahu: apa rencana kita jika kita bertemu dia?”Kieran menatap sekilas foto tua yang menempel di dinding—Victor muda menatapnya penuh harap. “Aku tidak datang untuk membunuhnya,” gumamnya. “Aku datang untuk mengakhiri warisan kegelapan in
Langit pagi itu mendung, seakan alam pun ikut merasakan tekanan yang menggelayuti hati Clara. Di balik jendela kamar hotel tua yang mereka tempati untuk bersembunyi, ia menatap jalanan yang sepi. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Kieran dan Nathaniel, dan selama itu pula ia hidup dalam ketegangan yang menggigit.Nathaniel duduk di kursi dekat pintu, menyusun lembaran-lembaran dokumen yang dicuri dari markas musuh mereka. Wajahnya serius, kerutan di dahinya menunjukkan beban berat yang ia pikul. Sementara itu, Kieran berdiri di dekat meja kecil, jari-jarinya mengetik cepat di layar tablet yang terkoneksi dengan sistem jaringan rahasia mereka.Clara akhirnya bersuara. "Sampai kapan kita akan terus bersembunyi?"Kieran tak langsung menjawab. Nathaniel menoleh lebih dulu, tatapannya tajam namun mengandung kelembutan. "Sampai kita tahu siapa yang bisa kita percaya. Dan siapa yang benar-benar ingin membunuhmu."Clara menggertakkan gigi, mencoba menahan kemarahan da
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Matahari yang menyelinap lewat jendela kaca besar di ruang tengah seolah enggan mengusik ketegangan yang sedang menggantung di udara. Clara duduk sendirian di meja makan, jemarinya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tatapannya kosong, pikirannya mengembara entah ke mana.Sudah tiga hari sejak Kieran menghilang setelah pertemuan rahasia itu. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, hanya keheningan yang menusuk. Clara mencoba menghubungi orang-orang dekat Kieran, namun semuanya diam, seperti sudah mendapat instruksi untuk tidak membuka mulut.Clara bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, tapi tak cukup untuk meredakan kekhawatiran yang terus menumpuk dalam dadanya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.“Kalau kau ingin tahu di mana Kieran, datanglah sendiri. Jangan ajak siapa pun. Lokasi sudah dikirim.”Pesan itu disertai koordinat. Clara menatap layar ponsel, hatinya be
Kabut tebal menutupi dermaga tua di pinggiran kota, hanya diterangi lampu kapal yang bergoyang pelan di atas air. Kieran dan Clara berdiri di ujung dermaga, mengenakan pakaian gelap dan peralatan intelijen lengkap. Di antara tumpukan kontainer berkarat, mereka tahu itulah sarang terakhir organisasi bayangan—pusat koordinasi distribusi senjata biologis yang gagal mereka bongkar.Clara menekan tombol di alat komunikasi: “Ari, status?”“Semua saluran aman, sensor gerak dan termal sudah aktif. Drone patroli berputar di atas, memperingatkan setiap pergerakan darah panas di atas dek,” jawab Ari. Kieran mengangguk, memeriksa peta holografik di tangannya. “Rute masuk lewat selokan saluran pembuangan di sebelah timur. Liora seharusnya ada di ruang kontrol atas, ruangan kaca yang menghadap dermaga. Dia tahu kita akan datang—jadi waspadai jebakan.”— Mencuri Malam —Mereka merayap melalui pintu baja kecil di ujung selokan, suara air menetes bergema di lorong beton. Setengah berlari, setengah
Hujan turun deras malam itu. Langit kelabu seakan menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar sedang menanti Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang terparkir di ujung jalan, tak jauh dari markas tersembunyi organisasi yang selama ini menghantui hidup Kieran.“Kamu yakin ingin melakukannya malam ini?” tanya Clara pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara rintik hujan di kaca depan.Kieran menoleh padanya. Mata pria itu menunjukkan tekad, tapi juga ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kalau kita menunggu lebih lama, mereka akan bergerak lebih dulu. Dan kita tak akan sempat menyelamatkan apa pun.”Clara mengangguk, menggenggam tangan Kieran erat. “Kalau begitu, kita hadapi ini bersama.”Kieran menatap jemari mereka yang saling menggenggam, lalu mencium punggung tangan Clara dengan lembut. “Apa pun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Dan aku tidak menyesal telah membawamu sejauh ini.”Clara tersenyum, meski hatinya be
Fajar keemasan menembus jendela aula pengadilan, menyinari wajah-wajah tegang yang masih terpaku menanti putusan. Clara berdiri di samping Kieran, Nadia, Marina, dan sejumlah saksi ahli, masing‑masing menyimpan harap bahwa seluruh rangkaian kejadian akan mendapatkan keadilan.— Pembacaan Putusan —Hakim mengetuk palu dengan suara mantap. “Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian, Pengadilan Internasional menyatakan terdakwa—mantan pejabat X, CEO perusahaan farmasi bayangan, serta ilmuwan utama—bersalah atas tuduhan penggunaan senjata biologis, pengkhianatan,""dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Semua terdakwa dijatuhi hukuman penjara maksimal dan denda besar, serta aset mereka disita penuh untuk kompensasi korban.”Kerumunan meledak dalam tepuk tangan tertahan; beberapa delegasi saling menyalami, mata Clara berkaca-kaca karena lega. Kieran memeluknya sebentar, menegaskan, “Kebenaran menang.”— Pembebasan dan Pemulihan —Di luar gedung, tim Karbon menyaksikan Belanda—mar
Kabut pagi masih menyelimuti jalanan ketika tim Karbon bersiap meninggalkan safehouse untuk menuju gedung Pengadilan Internasional. Rombongan mobil taktis meluncur perlahan, menyusuri jalan raya yang kini dijaga ketat pasukan PBB dan Europol. Di dalam mobil paling depan, Clara menatap cermin spion—melihat bayang-bayang pepohonan yang terangkat sejenak oleh lampu sorot lalu kendaraan rombongan. Ia menarik napas dalam, lalu menegaskan di hatinya: ini hari paling krusial.— Panggung Sidang Puncak —Di aula sidang, kursi-kursi tersusun rapi—barisan saksi ahli, delegasi negara, dan kerumunan jurnalis internasional sudah berkumpul. Clara melangkah mantap ke podium, di tangan kiri terdapat berkas dakwaan biologis yang tebal sekali. Di layar besar, grafis tentang rencana penyebaran virus, rekaman teknisi, hingga hasil uji lab independen semua menanti untuk diputar.Hakim ketua mengetuk palu, menandai dimulainya babak baru: dakwaan senjata biologis dan kejahatan kemanusiaan. Suara Clara m