Share

Tkitab kuno dan benda-benda spiritual

Aaron dan ILHAM berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Udara pagi itu masih segar, dengan embun yang belum sepenuhnya menguap dari dedaunan. Keduanya tetap diam sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka setelah perpisahan yang hangat dengan keluarga Hendra Wijaya. Mereka tahu bahwa apa yang telah mereka alami adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar, dan sekarang waktunya untuk melaporkan semua kejadian kepada guru mereka, Ustadz Abdullah.

Sesampainya di rumah sederhana tempat Ustadz Abdullah tinggal, Aaron mengetuk pintu kayu yang telah lama usang. Tak lama kemudian, pintu itu dibuka, memperlihatkan sosok Ustadz Abdullah yang tersenyum lembut melihat murid-muridnya berdiri di depan pintu.

“Assalamu’alaikum, Ustadz,” sapa Aaron dan ILHAM serempak.

“Wa’alaikumsalam, anak-anak,” jawab Ustadz Abdullah sambil mengisyaratkan agar mereka masuk. “Bagaimana perjalanan kalian? Apa yang telah kalian temui di luar sana?”

Setelah mereka duduk, Aaron memulai dengan menceritakan semua yang telah terjadi sejak mereka meninggalkan rumah Ustadz Abdullah. Mulai dari pertemuan pertama mereka dengan Hendra Wijaya dan putrinya, Widya Ningsih, hingga perjuangan mereka melawan sosok jahat yang telah merasuki gadis itu. Aaron juga tidak lupa menyebutkan tentang pertobatan Harjo, sang dukun, dan kematian misterius Budi Santoso beserta kehancuran seluruh harta bendanya.

Ustadz Abdullah mendengarkan dengan seksama, wajahnya sesekali menunjukkan ekspresi serius ketika mendengar detail-detail penting. Ketika Aaron selesai, Ustadz Abdullah menghela napas panjang.

“Anak-anakku, apa yang telah kalian alami adalah ujian besar. Kalian telah berhasil mengatasi tantangan ini dengan baik, dan aku sangat bangga pada kalian,” ucap Ustadz Abdullah dengan nada bijak. “Namun, kalian juga harus ingat bahwa dunia ini penuh dengan kegelapan. Banyak orang yang tergoda oleh kekayaan dan kekuasaan, dan memilih jalan yang salah. Tugas kalian, sebagai orang-orang yang telah dianugerahi ilmu, adalah untuk terus menegakkan kebenaran dan menolong sesama.”

ILHAM, yang sejak tadi mendengarkan dengan serius, akhirnya berbicara. “Ustadz, apakah ada cara lain yang bisa kami lakukan untuk melindungi orang-orang seperti Hendra dan Widya? Terkadang, rasanya sulit menghadapi kejahatan yang begitu kuat.”

Ustadz Abdullah tersenyum lembut. “ILHAM, ketahuilah bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada ilmu yang kalian miliki, tetapi juga pada keimanan dan keteguhan hati. Tidak ada kekuatan yang lebih besar daripada doa dan keyakinan pada Allah. Kalian telah membuktikan bahwa dengan niat yang baik dan kepercayaan pada-Nya, kalian mampu menghadapi apa pun.”

Aaron mengangguk setuju, namun ada sesuatu yang masih mengganggu pikirannya. “Ustadz, sebelum kami kembali ke sini, Pak Hendra mengatakan bahwa kami bisa kembali ke rumahnya kapan saja. Mereka sudah menganggap kami sebagai keluarga. Kami merasa terhormat, tapi kami juga merasa ada tanggung jawab besar yang mengikuti hubungan ini.”

Ustadz Abdullah menatap Aaron dengan penuh pengertian. “Itu adalah anugerah, Aaron. Ketika orang lain membuka pintu hati mereka untuk kalian, itu berarti mereka melihat kebaikan dalam diri kalian. Jadilah penjaga hubungan itu dengan baik. Kalian mungkin tidak selalu berada di sana, tapi kalian bisa terus mendoakan mereka dan membantu mereka dalam situasi-situasi yang membutuhkan.”

Setelah percakapan itu, Ustadz Abdullah membawa Aaron dan ILHAM ke sebuah ruangan khusus di dalam rumahnya. Di sana, di atas meja yang terbuat dari kayu jati tua, terdapat beberapa kitab kuno dan benda-benda spiritual yang hanya digunakan dalam situasi-situasi khusus.

“Anak-anakku,” kata Ustadz Abdullah sambil membuka salah satu kitab tersebut, “ilmu yang telah kalian pelajari dan gunakan adalah karunia dari Allah. Tapi ingat, kalian harus selalu rendah hati dan tidak sombong. Ilmu ini bukan untuk dibanggakan, tapi untuk menolong orang lain. Kalian telah melaksanakan tugas kalian dengan baik, tapi perjalanan kalian belum berakhir. Masih banyak tantangan yang mungkin akan kalian hadapi di masa depan.”

Ustadz Abdullah kemudian memberi mereka beberapa nasehat penting tentang bagaimana menggunakan ilmu mereka dengan bijaksana. Dia juga mengajarkan doa-doa tambahan dan zikir khusus yang bisa mereka gunakan untuk melindungi diri dari ancaman yang lebih besar.

Setelah itu, Aaron dan ILHAM bersiap untuk meninggalkan rumah guru mereka. Sebelum mereka pergi, Ustadz Abdullah memanggil mereka dan memberikan tasbih yang telah didoakannya serta beberapa benda yang bisa membantu mereka dalam menghadapi berbagai macam ancaman spiritual.

“Bawa ini bersama kalian,” kata Ustadz Abdullah sambil menyerahkan tasbih, “ini akan menjadi pengingat bahwa Allah selalu bersama kalian, di mana pun kalian berada.”

Aaron dan ILHAM menerima tasbih itu dengan rasa hormat dan terima kasih. Mereka tahu bahwa dengan dukungan dan bimbingan dari Ustadz Abdullah, mereka akan lebih siap menghadapi apa pun yang mungkin datang di masa depan.

Sebelum mereka benar-benar berangkat, Ustadz Abdullah berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Aaron, ILHAM, kalian telah melindungi banyak orang, tetapi ingatlah bahwa dalam perjalanan ini, kalian juga harus menjaga diri kalian sendiri. Jangan biarkan kejahatan merusak hati dan pikiran kalian. Jika kalian merasa lelah atau ragu, jangan ragu untuk kembali ke sini. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk kalian, seperti pintu rumah keluarga Hendra Wijaya.”

Aaron dan ILHAM menundukkan kepala sebagai tanda hormat, kemudian berangkat meninggalkan rumah Ustadz Abdullah dengan hati yang lebih ringan. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir, tetapi mereka merasa lebih siap dan lebih kuat untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.

Di perjalanan pulang, ILHAM akhirnya berbicara setelah lama diam. “Aaron, aku merasa kita sudah melalui begitu banyak hal. Tapi dengan bimbingan Ustadz Abdullah dan dukungan keluarga Hendra, aku merasa lebih yakin. Kita bisa menghadapi apa pun yang ada di depan sana.”

Aaron tersenyum, menepuk bahu adiknya dengan lembut. “Kita tidak sendiri, ILHAM. Kita punya Allah, Ustadz Abdullah, dan sekarang juga keluarga baru yang peduli pada kita. Apa pun yang terjadi, kita akan selalu memiliki mereka di sisi kita.”

Mereka terus berjalan, dengan keyakinan dan semangat baru di hati mereka. Dunia mungkin penuh dengan kegelapan, tetapi mereka tahu bahwa dengan keimanan dan keberanian, mereka bisa menyalakan cahaya kebenaran di mana pun mereka berada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status