Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Laras duduk bersama sahabatnya, Dina. Kafe itu memiliki desain vintage dengan lampu gantung yang memberi suasana hangat. Laras menyeruput cokelat panasnya, matanya menerawang jauh.
"Sudah memutuskan, Ras?" tanya Dina, memecah lamunan Laras.
Laras menarik napas panjang, "Itu bukan sekadar tawaran pekerjaan, Din. Ada sesuatu di mata Alden yang... sulit saya jelaskan."
Dina mengerutkan dahinya, "Jadi kamu merasa ada daya tarik?"
Laras mengangguk ragu, "Tidak hanya itu. Ada aura misterius dari tawaran itu."
Dina tertawa, "Kamu ini selalu dramatis! Jangan bilang kamu sudah jatuh cinta pada hari pertama?"
Laras mencibir, "Oh, berhenti! Ini serius, Din. Antara menerima tawaran Alden atau tetap fokus pada karir desainku."
Dina menatap Laras tajam, "Kamu tahu jawabannya. Tapi, apakah kamu siap menghadapi konsekuensinya?"
Laras terdiam. Dia memikirkan semua yang sudah dia lalui untuk membangun karir desainnya. Namun, tawaran dari Alden memberinya kesempatan untuk memasuki dunia bisnis kelas atas dan membangun koneksinya.
---
Sementara itu, Alden sedang berlatih golf di halaman belakang rumah megahnya. Rumahnya berada di atas bukit dengan pemandangan kota yang memukau. Setiap pukulannya menunjukkan ketenangan dan kepastian, namun pikirannya jauh dari situ. Ia memikirkan Laras dan bagaimana reaksinya terhadap tawaran tersebut.
Reza mendekat, "Ada kabar dari Nyonya Laras, Tuan?"
Alden menarik napas panjang, "Belum. Tapi saya yakin dia akan mempertimbangkannya dengan serius."
Reza tersenyum, "Sepertinya Anda benar-benar tertarik padanya, Tuan."
Alden menoleh dengan ekspresi ketus, "Bukan urusanmu."
Reza mengangguk, "Maaf, Tuan. Saya hanya berpikir mungkin Anda membutuhkan seseorang."
Alden kembali fokus pada latihan golfnya. Dalam hati, ia tahu Reza benar. Setelah perceraian yang menyakitkan lima tahun lalu, ia menjalani hidup dengan kerja keras dan kesendirian.
---
Kembali ke kafe, Dina memberi saran, "Coba bicara dengan Alden. Mintalah klarifikasi. Jangan membuat keputusan berdasarkan asumsi."
Laras mengangguk, "Mungkin kamu benar. Saya akan bicara dengannya besok."
Mereka berdua berdiri dan meninggalkan kafe. Langit mulai gelap, namun bagi Laras, ini awal dari petualangan baru dalam hidupnya.
Malam itu, Alden duduk di balkonnya dengan segelas wine merah. Ia mengirim pesan kepada Laras, "Saya harap Anda bisa memberi jawaban besok. Selamat malam, Nyonya Laras."
Laras yang baru saja sampai di rumahnya membaca pesan tersebut dan membalas, "Selamat malam, Bapak Alden. Sampai jumpa besok."
Malam itu, Laras merasa gelisah. Di kamarnya yang didekorasi dengan warna pastel dan hiasan minimalis, ia duduk di tepi jendela, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit. Setiap kali ia mencoba tidur, wajah Alden dan tawaran misteriusnya selalu muncul di benaknya.
Dengan cepat, Laras mengambil sketsa buku desainnya dan mulai menggambar. Garis demi garis, bentuk demi bentuk, tanpa disadarinya ia menggambar seorang pria berjas yang mirip Alden, ditemani seorang wanita yang cantik dengan gaun mewah. Ada sesuatu yang magis dalam gambar itu, seolah-olah menceritakan kisah asmara antara dua dunia yang berbeda.
Ponselnya bergetar, menghentikan gerakan tangannya. Sebuah pesan masuk dari Dina, "Apakah kamu baik-baik saja? Aku tahu kamu terlalu banyak memikirkan ini."
Laras membalas, "Aku baik-baik saja, Din. Hanya sedikit... kewalahan."
Dina membalas dengan cepat, "Percayalah pada instingmu, Ras. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu."
Laras tersenyum membaca pesan Dina. Ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Dina yang selalu mendukungnya.
Sementara itu, Alden duduk di ruang kerjanya yang luas dengan lampu redup. Di meja kerjanya tergeletak beberapa foto Laras yang ia ambil dari profil media sosialnya. Ada ketertarikan yang ia rasakan, namun lebih dari itu, ia merasa ada hubungan khusus yang menghubungkannya dengan Laras.
Sambil menyeruput wiskinya, ia berbisik, "Bukankah takdir yang membawa kita bersama, Nyonya Laras?"
Seiring fajar menyingsing, burung-burung mulai berkicau menyambut hari baru. Laras dan Alden, meski terpisah jarak, merasakan getaran yang sama dalam hati mereka sebuah perasaan takdir yang tak dapat dielakkan. Kedekatan tak terlihat, namun tak terbantahkan, membelenggu keduanya.
Laras sedang menyelesaikan pekerjaannya di meja resepsionis saat sebuah amplop bersegel muncul di depan matanya. Ketika dia menengadah, dia melihat Alden, Presdir perusahaan, dengan tampilan formal namun ada senyuman tipis di bibirnya."Laras, mohon luangkan waktu Anda sebentar," kata Alden dengan suaranya yang khas, dalam dan tegas.Mereka berjalan menuju kantor Alden yang mewah, dengan pemandangan kota yang memukau dari lantai tinggi. Setelah mereka duduk, Alden membuka percakapan, "Saya telah mengamati pekerjaan Anda selama beberapa waktu. Anda efisien, cerdas, dan memiliki dedikasi. Saya membutuhkan seseorang dengan kualitas Anda untuk menjadi sekretaris pribadi saya."Laras terkejut. "Saya merasa terhormat, Tuan Alden, tetapi apakah saya memenuhi syarat untuk posisi tersebut?"Alden tersenyum, "Itulah sebabnya saya menawarkannya kepada Anda. Saya yakin Anda bisa menghadapinya."Laras merenung sejenak. "Ini adalah tanggung jawab besar, dan jujur saya merasa sedikit cemas.""Mungki
Hari-hari di kantor berjalan seperti biasa bagi Laras, tetapi sejak pertemuan dengan Alden, ia merasa ada mata yang selalu mengawasinya. Setiap kali ia menengok ke arah kantor Alden, tirainya selalu tertutup rapat, tetapi rasa itu tak pernah hilang.Suatu hari, setelah rapat panjang dengan klien, Laras mengambil beberapa dokumen dan menuju ruangannya. Dia melintasi lorong panjang dan tiba-tiba, ia merasa seseorang mengawasinya. Dia menoleh dan melihat siluet Alden berdiri di balik pintu kacanya yang setengah terbuka. Dia hanya bisa melihat setengah wajah Alden, mata yang fokus mengamati setiap gerak-geriknya.Laras menelan ludah, mencoba menenangkan diri dan melanjutkan langkahnya. Namun, di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan bermunculan. *Apakah Alden memang sedang mengawasinya? Atau mungkin ini hanya perasaannya saja?*Hari itu, saat jam makan siang, Laras memilih untuk makan di kantin kantor. Ia duduk di meja pojok, memandang ke luar jendela. Beberapa menit kemudian, Alden masuk
Kafe itu bercahaya redup, dengan nyala lilin di setiap meja memberikan suasana yang hangat dan intim. Laras tiba lebih dulu, memilih meja di pojok ruangan yang agak tersembunyi. Tidak lama kemudian, Alden masuk dengan langkah pasti dan matanya segera menemukan Laras. Dia tersenyum dan mendekat."Maaf membuat Anda menunggu," ucap Alden sambil duduk di seberang Laras."Tidak apa-apa. Saya sendiri baru saja tiba," jawab Laras dengan senyuman tipis.Pelayan segera mendekat mengantarkan menu. Mereka berdua memilih makanan dan minuman, lalu menunggu pesanan datang sambil berbicara hal-hal ringan."Jadi, mengapa Anda mengajak saya makan malam?" tanya Laras, memulai pembicaraan yang sebenarnya.Alden menarik napas dalam-dalam. "Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda, Laras. Tentang kita."Laras mengangkat alisnya, "Kita?"Alden mengangguk. "Saya menyadari bahwa ada ketertarikan di antara kita, dan saya tidak ingin menyembunyikannya lagi. Saya terkesan dengan dedikasi
Suatu pagi, saat Laras tiba di kantornya, sebuah kotak elegan berwarna hitam tergeletak di atas meja kerjanya. Dengan rasa ingin tahu yang besar, dia melangkah mendekat. Kotak itu tidak bertanda, hanya diikat dengan pita merah marun.Laras mengelus kotak itu dengan jari-jarinya, berhati-hati membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah bros emas mewah dengan batu zamrud di tengahnya. Bros itu berkilauan, elegan, namun sederhana. Tidak ada catatan, tidak ada nama. Hanya sebuah bros cantik yang seakan mengatakan seribu kata."Siapa yang mengirim ini?" gumamnya pelan.Sepanjang hari itu, Laras tidak bisa menghilangkan pikiran tentang bros misterius tersebut. Dia bertanya-tanya, apakah dari Alden? Atau mungkin seseorang yang tidak ingin dikenali?Di akhir hari, saat Laras hendak pulang, Alden memanggilnya ke dalam kantornya. "Laras, apakah Anda menyukai hadiahnya?"Laras terkejut, "Itu... dari Anda, Tuan Alden?"Alden mengangguk, "Saya pikir itu cocok dengan Anda. Elegan namun berkesan."Laras
Di kantor yang dipenuhi dengan bisikan dan pandangan sinis, Laras mulai merasakan tekanan dari rekan-rekan kerjanya. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden menyebar seperti api di musim kemarau. Tidak peduli seberapa profesional dia bekerja, tatapan iri dan cemburu selalu mengikuti.Suatu hari di pantry, Laras mendengar beberapa koleganya berbisik."Itu pasti karena dia dekat dengan bos. Siapa yang tidak mendapatkan perlakuan khusus jika dekat dengan Presdir?" kata salah satu dari mereka, suaranya penuh iri.Laras meneguk kopinya, berusaha mengabaikan komentar tersebut. Namun, dia tidak bisa menghindari perasaan tidak nyaman yang muncul.Di lain waktu, saat meeting departemen, salah seorang rekan kerja menyinggung, "Sebaiknya kita tanya pendapat Laras. Siapa tahu, dia punya 'informasi khusus' dari Presdir."Semua mata tertuju padanya, beberapa menyembunyikan senyum sinis. Laras merasakan pipinya memanas. Dia tahu komentar itu bukan sekedar candaan, tetapi sebuah sindiran yang disamar
Laras menatap layar komputernya, berusaha konsentrasi pada pekerjaannya, namun pikirannya melayang. Sejak pertemuan itu, Alden telah menjadi lebih terbuka dengannya, sering berbagi tentang kehidupannya. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi misteri: masa lalu Alden.Suatu sore, ketika Laras sedang menyiapkan berkas di kantor Alden, matanya tertarik pada sebuah foto tua di dinding. Foto itu menampilkan seorang pria muda, mirip Alden, dengan seorang wanita dan anak kecil. Rasa penasarannya mengalahkan ragu-ragu.“Maaf, Pak Alden, boleh saya tahu ini foto siapa?” tanya Laras sambil menunjuk foto tersebut.Alden, yang sedang duduk di meja kerjanya, menoleh dan tersenyum pahit. “Itu ibu dan adikku,” katanya pelan. “Mereka... sudah tidak ada lagi.”Laras menyesal telah bertanya. “Saya minta maaf, Pak. Saya tidak bermaksud...”“Tidak apa-apa,” Alden memotong, suaranya tenang. “Mungkin sudah waktunya saya berbagi cerita ini dengan seseorang.”Dia lalu menceritakan kisah hidupnya. Alden bera
Kota itu terbentang luas di bawah mereka saat pesawat mulai mendekati landasan. Cahaya senja menerangi skyline kota yang eksotis, menandai awal dari perjalanan bisnis yang penting bagi Alden. Laras, yang duduk di sampingnya, mencatat dengan teliti poin-poin terakhir untuk pertemuan esok hari."Tampaknya kamu sudah siap sepenuhnya," ujar Alden, memandang Laras dengan rasa bangga.Laras menoleh, tersenyum. "Saya selalu siap, Pak Alden. Itu tugas saya."Ada hening sejenak di antara mereka, sebuah ketenangan yang terasa nyaman. Pesawat mendarat dengan mulus, dan mereka bersiap-siap untuk hotel.---Di hotel, setelah makan malam bersama delegasi, Alden mengajak Laras untuk berjalan di sekitar kota. Lampu-lampu kota berkelip, menciptakan atmosfer romantis yang tidak terduga. Laras menikmati keindahan malam itu, namun ada rasa gugup yang menggelitik di hatinya."Apa yang membuatmu memilih pekerjaan ini, Laras?" tanya Alden, memecah kesunyian.Laras berpikir sejenak. "Saya ingin membuktikan b
Setelah pengakuan yang terjadi selama perjalanan bisnis, hubungan antara Alden dan Laras memasuki fase baru, namun tidak tanpa tantangan. Laras, saat berbaring di kamarnya, merenungkan hubungan yang semakin rumit ini.Pikirannya bergulat dengan konflik internal. Perbedaan usia dan status sosial antara dia dan Alden bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Laras tahu bahwa ini bukan hanya tentang bagaimana dia merasa, tapi juga tentang bagaimana dunia luar akan melihat hubungan mereka.Di sisi lain, Alden duduk di ruang kerjanya, menatap keluar jendela, dengan pikiran yang tak kalah kusut. Dia sadar bahwa hubungannya dengan Laras akan mendapat sorotan dan mungkin tidak semua akan bersikap mendukung. Sebagai Presiden Direktur, dia memiliki reputasi dan citra perusahaan untuk dijaga.Hari berikutnya di kantor, suasana berubah. Ada ketegangan yang tak terucapkan di udara. Laras berusaha bertingkah seprofesional mungkin, namun mata-mata kecil di kantor mulai menangkap perubahan dalam interaks
Alden duduk termenung di kantornya yang megah, pandangannya menembus jendela besar yang menghadap ke kota yang sibuk. Rencana liburan romantis untuk mendekatkan diri dengan Laras terus berputar di kepalanya. Dia memanggil asistennya, Rendi. "Rendi, tolong siapkan agenda untuk akhir pekan ini. Saya ingin ke Bali," ucap Alden dengan suara yang berat. Rendi, yang sudah terbiasa dengan perintah mendadak dari Alden, segera mengangguk, "Tentu, Pak Alden. Apakah perjalanan ini untuk bisnis?" "Tidak, pribadi," jawab Alden singkat. Dalam hatinya, Alden merencanakan untuk mengundang Laras. Dia berharap liburan ini akan memberikan mereka ruang untuk mengenal satu sama lain lebih jauh tanpa tekanan dari kantor. --- Di ruang kerjanya, Laras terkejut saat menerima email dari Alden. Isinya adalah undangan untuk akhir pekan di Bali, dengan catatan bahwa ini adalah perjalanan pribadi, bukan urusan kantor. Dia ragu, namun di lubuk hatinya, dia ingin menghabiskan waktu dengan Alden. Mereka berdua
Setelah pengakuan yang terjadi selama perjalanan bisnis, hubungan antara Alden dan Laras memasuki fase baru, namun tidak tanpa tantangan. Laras, saat berbaring di kamarnya, merenungkan hubungan yang semakin rumit ini.Pikirannya bergulat dengan konflik internal. Perbedaan usia dan status sosial antara dia dan Alden bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Laras tahu bahwa ini bukan hanya tentang bagaimana dia merasa, tapi juga tentang bagaimana dunia luar akan melihat hubungan mereka.Di sisi lain, Alden duduk di ruang kerjanya, menatap keluar jendela, dengan pikiran yang tak kalah kusut. Dia sadar bahwa hubungannya dengan Laras akan mendapat sorotan dan mungkin tidak semua akan bersikap mendukung. Sebagai Presiden Direktur, dia memiliki reputasi dan citra perusahaan untuk dijaga.Hari berikutnya di kantor, suasana berubah. Ada ketegangan yang tak terucapkan di udara. Laras berusaha bertingkah seprofesional mungkin, namun mata-mata kecil di kantor mulai menangkap perubahan dalam interaks
Kota itu terbentang luas di bawah mereka saat pesawat mulai mendekati landasan. Cahaya senja menerangi skyline kota yang eksotis, menandai awal dari perjalanan bisnis yang penting bagi Alden. Laras, yang duduk di sampingnya, mencatat dengan teliti poin-poin terakhir untuk pertemuan esok hari."Tampaknya kamu sudah siap sepenuhnya," ujar Alden, memandang Laras dengan rasa bangga.Laras menoleh, tersenyum. "Saya selalu siap, Pak Alden. Itu tugas saya."Ada hening sejenak di antara mereka, sebuah ketenangan yang terasa nyaman. Pesawat mendarat dengan mulus, dan mereka bersiap-siap untuk hotel.---Di hotel, setelah makan malam bersama delegasi, Alden mengajak Laras untuk berjalan di sekitar kota. Lampu-lampu kota berkelip, menciptakan atmosfer romantis yang tidak terduga. Laras menikmati keindahan malam itu, namun ada rasa gugup yang menggelitik di hatinya."Apa yang membuatmu memilih pekerjaan ini, Laras?" tanya Alden, memecah kesunyian.Laras berpikir sejenak. "Saya ingin membuktikan b
Laras menatap layar komputernya, berusaha konsentrasi pada pekerjaannya, namun pikirannya melayang. Sejak pertemuan itu, Alden telah menjadi lebih terbuka dengannya, sering berbagi tentang kehidupannya. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi misteri: masa lalu Alden.Suatu sore, ketika Laras sedang menyiapkan berkas di kantor Alden, matanya tertarik pada sebuah foto tua di dinding. Foto itu menampilkan seorang pria muda, mirip Alden, dengan seorang wanita dan anak kecil. Rasa penasarannya mengalahkan ragu-ragu.“Maaf, Pak Alden, boleh saya tahu ini foto siapa?” tanya Laras sambil menunjuk foto tersebut.Alden, yang sedang duduk di meja kerjanya, menoleh dan tersenyum pahit. “Itu ibu dan adikku,” katanya pelan. “Mereka... sudah tidak ada lagi.”Laras menyesal telah bertanya. “Saya minta maaf, Pak. Saya tidak bermaksud...”“Tidak apa-apa,” Alden memotong, suaranya tenang. “Mungkin sudah waktunya saya berbagi cerita ini dengan seseorang.”Dia lalu menceritakan kisah hidupnya. Alden bera
Di kantor yang dipenuhi dengan bisikan dan pandangan sinis, Laras mulai merasakan tekanan dari rekan-rekan kerjanya. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden menyebar seperti api di musim kemarau. Tidak peduli seberapa profesional dia bekerja, tatapan iri dan cemburu selalu mengikuti.Suatu hari di pantry, Laras mendengar beberapa koleganya berbisik."Itu pasti karena dia dekat dengan bos. Siapa yang tidak mendapatkan perlakuan khusus jika dekat dengan Presdir?" kata salah satu dari mereka, suaranya penuh iri.Laras meneguk kopinya, berusaha mengabaikan komentar tersebut. Namun, dia tidak bisa menghindari perasaan tidak nyaman yang muncul.Di lain waktu, saat meeting departemen, salah seorang rekan kerja menyinggung, "Sebaiknya kita tanya pendapat Laras. Siapa tahu, dia punya 'informasi khusus' dari Presdir."Semua mata tertuju padanya, beberapa menyembunyikan senyum sinis. Laras merasakan pipinya memanas. Dia tahu komentar itu bukan sekedar candaan, tetapi sebuah sindiran yang disamar
Suatu pagi, saat Laras tiba di kantornya, sebuah kotak elegan berwarna hitam tergeletak di atas meja kerjanya. Dengan rasa ingin tahu yang besar, dia melangkah mendekat. Kotak itu tidak bertanda, hanya diikat dengan pita merah marun.Laras mengelus kotak itu dengan jari-jarinya, berhati-hati membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah bros emas mewah dengan batu zamrud di tengahnya. Bros itu berkilauan, elegan, namun sederhana. Tidak ada catatan, tidak ada nama. Hanya sebuah bros cantik yang seakan mengatakan seribu kata."Siapa yang mengirim ini?" gumamnya pelan.Sepanjang hari itu, Laras tidak bisa menghilangkan pikiran tentang bros misterius tersebut. Dia bertanya-tanya, apakah dari Alden? Atau mungkin seseorang yang tidak ingin dikenali?Di akhir hari, saat Laras hendak pulang, Alden memanggilnya ke dalam kantornya. "Laras, apakah Anda menyukai hadiahnya?"Laras terkejut, "Itu... dari Anda, Tuan Alden?"Alden mengangguk, "Saya pikir itu cocok dengan Anda. Elegan namun berkesan."Laras
Kafe itu bercahaya redup, dengan nyala lilin di setiap meja memberikan suasana yang hangat dan intim. Laras tiba lebih dulu, memilih meja di pojok ruangan yang agak tersembunyi. Tidak lama kemudian, Alden masuk dengan langkah pasti dan matanya segera menemukan Laras. Dia tersenyum dan mendekat."Maaf membuat Anda menunggu," ucap Alden sambil duduk di seberang Laras."Tidak apa-apa. Saya sendiri baru saja tiba," jawab Laras dengan senyuman tipis.Pelayan segera mendekat mengantarkan menu. Mereka berdua memilih makanan dan minuman, lalu menunggu pesanan datang sambil berbicara hal-hal ringan."Jadi, mengapa Anda mengajak saya makan malam?" tanya Laras, memulai pembicaraan yang sebenarnya.Alden menarik napas dalam-dalam. "Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda, Laras. Tentang kita."Laras mengangkat alisnya, "Kita?"Alden mengangguk. "Saya menyadari bahwa ada ketertarikan di antara kita, dan saya tidak ingin menyembunyikannya lagi. Saya terkesan dengan dedikasi
Hari-hari di kantor berjalan seperti biasa bagi Laras, tetapi sejak pertemuan dengan Alden, ia merasa ada mata yang selalu mengawasinya. Setiap kali ia menengok ke arah kantor Alden, tirainya selalu tertutup rapat, tetapi rasa itu tak pernah hilang.Suatu hari, setelah rapat panjang dengan klien, Laras mengambil beberapa dokumen dan menuju ruangannya. Dia melintasi lorong panjang dan tiba-tiba, ia merasa seseorang mengawasinya. Dia menoleh dan melihat siluet Alden berdiri di balik pintu kacanya yang setengah terbuka. Dia hanya bisa melihat setengah wajah Alden, mata yang fokus mengamati setiap gerak-geriknya.Laras menelan ludah, mencoba menenangkan diri dan melanjutkan langkahnya. Namun, di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan bermunculan. *Apakah Alden memang sedang mengawasinya? Atau mungkin ini hanya perasaannya saja?*Hari itu, saat jam makan siang, Laras memilih untuk makan di kantin kantor. Ia duduk di meja pojok, memandang ke luar jendela. Beberapa menit kemudian, Alden masuk
Laras sedang menyelesaikan pekerjaannya di meja resepsionis saat sebuah amplop bersegel muncul di depan matanya. Ketika dia menengadah, dia melihat Alden, Presdir perusahaan, dengan tampilan formal namun ada senyuman tipis di bibirnya."Laras, mohon luangkan waktu Anda sebentar," kata Alden dengan suaranya yang khas, dalam dan tegas.Mereka berjalan menuju kantor Alden yang mewah, dengan pemandangan kota yang memukau dari lantai tinggi. Setelah mereka duduk, Alden membuka percakapan, "Saya telah mengamati pekerjaan Anda selama beberapa waktu. Anda efisien, cerdas, dan memiliki dedikasi. Saya membutuhkan seseorang dengan kualitas Anda untuk menjadi sekretaris pribadi saya."Laras terkejut. "Saya merasa terhormat, Tuan Alden, tetapi apakah saya memenuhi syarat untuk posisi tersebut?"Alden tersenyum, "Itulah sebabnya saya menawarkannya kepada Anda. Saya yakin Anda bisa menghadapinya."Laras merenung sejenak. "Ini adalah tanggung jawab besar, dan jujur saya merasa sedikit cemas.""Mungki