Share

*Diam-Diam Mengamati*

Penulis: NineTailed
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hari-hari di kantor berjalan seperti biasa bagi Laras, tetapi sejak pertemuan dengan Alden, ia merasa ada mata yang selalu mengawasinya. Setiap kali ia menengok ke arah kantor Alden, tirainya selalu tertutup rapat, tetapi rasa itu tak pernah hilang.

Suatu hari, setelah rapat panjang dengan klien, Laras mengambil beberapa dokumen dan menuju ruangannya. Dia melintasi lorong panjang dan tiba-tiba, ia merasa seseorang mengawasinya. Dia menoleh dan melihat siluet Alden berdiri di balik pintu kacanya yang setengah terbuka. Dia hanya bisa melihat setengah wajah Alden, mata yang fokus mengamati setiap gerak-geriknya.

Laras menelan ludah, mencoba menenangkan diri dan melanjutkan langkahnya. Namun, di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan bermunculan. *Apakah Alden memang sedang mengawasinya? Atau mungkin ini hanya perasaannya saja?*

Hari itu, saat jam makan siang, Laras memilih untuk makan di kantin kantor. Ia duduk di meja pojok, memandang ke luar jendela. Beberapa menit kemudian, Alden masuk ke kantin, memesan makanan, dan tanpa alasan yang jelas, memilih duduk di meja seberang Laras.

"Makan siang yang enak," komentar Alden, mencoba memecah kebekuan.

Laras tersenyum tipis. "Ya, menu hari ini memang favorit saya."

Ada jeda sejenak sebelum Alden berbicara lagi, "Saya perhatikan Anda bekerja keras, Laras. Anda selalu memberikan yang terbaik dalam setiap proyek."

Laras menatap Alden, mencoba membaca apa yang ada di balik kata-katanya. "Terima kasih, Tuan Alden. Saya hanya berusaha memenuhi ekspektasi perusahaan."

Alden tersenyum, "Bukan hanya ekspektasi perusahaan, tapi juga ekspektasi saya. Anda tahu, bukan sering saya mengamati pekerja secara langsung. Tapi Anda... Anda berbeda."

Laras merasa sedikit tidak nyaman dengan pengakuan Alden, tetapi juga penasaran. "Maksud Anda?"

Alden menghela napas, "Saya terpesona dengan cara Anda bekerja. Dedikasi Anda, ketekunan Anda... dan tentu saja, kecantikan Anda." Dia menggigit bibir bawahnya, seolah menyadari bahwa ia mungkin telah mengungkapkan terlalu banyak.

Laras menaikkan alisnya, terkejut dengan kejujuran Alden. "Saya... saya tidak tahu harus berkata apa."

Alden menatap Laras, matanya penuh dengan emosi yang sulit didefinisikan. "Maafkan saya, mungkin saya terlalu jujur. Tapi saya merasa ada koneksi antara kita, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan atasan dan bawahan."

Laras memainkan garpu di tangannya, berusaha mengumpulkan pikirannya. "Saya menghargai kejujuran Anda, Tuan Alden. Tapi mungkin kita harus mempertimbangkan batasan-batasan profesional kita."

Alden mengangguk, "Anda benar. Maafkan saya."

Mereka kembali makan dalam keheningan, tetapi ada ketegangan di udara. Keduanya tahu bahwa sesuatu telah berubah antara mereka, sebuah pemahaman diam bahwa ada ketertarikan yang mendalam, tetapi juga rasa takut akan konsekuensi yang mungkin timbul.

Saat makan siang berakhir, Alden berdiri dan mengangkat topi imaginer ke Laras. "Sampai jumpa, Nyonya Laras."

Laras tersenyum, "Sampai jumpa, Tuan Alden."

- -

Setelah makan siang tersebut, Laras merasa ada beban di dadanya. Dia mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang kepada pertemuan singkat tadi. Suasana hening dan tatapan mata Alden yang dalam, semuanya membuatnya resah.

Saat hari hampir berakhir, Laras mendapatkan pesan singkat di ponselnya. Dari Alden. "Maafkan saya atas kelakuan saya tadi. Saya harap kita bisa bicara lebih lanjut nanti malam. Minum kopi bersama?"

Laras memandangi pesan tersebut, bingung. Sebagian dirinya ingin menolak, tetapi sebagian lainnya ingin tahu lebih dalam tentang Alden. Setelah berpikir sejenak, ia membalas, "Baik, jam 7 di kafe dekat kantor?"

Alden membalas dengan cepat, "Tentu. Sampai jumpa nanti."

Laras menghela napas panjang. Malam ini mungkin akan menjadi malam yang panjang, dan dia tidak tahu apa yang diharapkannya. Tetapi satu hal yang pasti, ada banyak hal yang perlu dibicarakan antara mereka.

Dengan perasaan campur aduk, Laras menyiapkan diri untuk pertemuan tersebut. Dia memilih pakaian yang sederhana namun elegan, berusaha menenangkan diri dengan beberapa latihan pernapasan. Pikirannya penuh dengan pertanyaan: Mengapa Alden begitu tertarik padanya? Apa yang ingin dia bicarakan? Dan yang paling penting, apa yang sebenarnya dia rasakan terhadap Alden? Semua pertanyaan itu berkecamuk di benaknya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat saat dia melangkah menuju kafe.

Bab terkait

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Makan Malam Rahasia*

    Kafe itu bercahaya redup, dengan nyala lilin di setiap meja memberikan suasana yang hangat dan intim. Laras tiba lebih dulu, memilih meja di pojok ruangan yang agak tersembunyi. Tidak lama kemudian, Alden masuk dengan langkah pasti dan matanya segera menemukan Laras. Dia tersenyum dan mendekat."Maaf membuat Anda menunggu," ucap Alden sambil duduk di seberang Laras."Tidak apa-apa. Saya sendiri baru saja tiba," jawab Laras dengan senyuman tipis.Pelayan segera mendekat mengantarkan menu. Mereka berdua memilih makanan dan minuman, lalu menunggu pesanan datang sambil berbicara hal-hal ringan."Jadi, mengapa Anda mengajak saya makan malam?" tanya Laras, memulai pembicaraan yang sebenarnya.Alden menarik napas dalam-dalam. "Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda, Laras. Tentang kita."Laras mengangkat alisnya, "Kita?"Alden mengangguk. "Saya menyadari bahwa ada ketertarikan di antara kita, dan saya tidak ingin menyembunyikannya lagi. Saya terkesan dengan dedikasi

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Hadiah Misterius*

    Suatu pagi, saat Laras tiba di kantornya, sebuah kotak elegan berwarna hitam tergeletak di atas meja kerjanya. Dengan rasa ingin tahu yang besar, dia melangkah mendekat. Kotak itu tidak bertanda, hanya diikat dengan pita merah marun.Laras mengelus kotak itu dengan jari-jarinya, berhati-hati membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah bros emas mewah dengan batu zamrud di tengahnya. Bros itu berkilauan, elegan, namun sederhana. Tidak ada catatan, tidak ada nama. Hanya sebuah bros cantik yang seakan mengatakan seribu kata."Siapa yang mengirim ini?" gumamnya pelan.Sepanjang hari itu, Laras tidak bisa menghilangkan pikiran tentang bros misterius tersebut. Dia bertanya-tanya, apakah dari Alden? Atau mungkin seseorang yang tidak ingin dikenali?Di akhir hari, saat Laras hendak pulang, Alden memanggilnya ke dalam kantornya. "Laras, apakah Anda menyukai hadiahnya?"Laras terkejut, "Itu... dari Anda, Tuan Alden?"Alden mengangguk, "Saya pikir itu cocok dengan Anda. Elegan namun berkesan."Laras

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Cemburu*

    Di kantor yang dipenuhi dengan bisikan dan pandangan sinis, Laras mulai merasakan tekanan dari rekan-rekan kerjanya. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden menyebar seperti api di musim kemarau. Tidak peduli seberapa profesional dia bekerja, tatapan iri dan cemburu selalu mengikuti.Suatu hari di pantry, Laras mendengar beberapa koleganya berbisik."Itu pasti karena dia dekat dengan bos. Siapa yang tidak mendapatkan perlakuan khusus jika dekat dengan Presdir?" kata salah satu dari mereka, suaranya penuh iri.Laras meneguk kopinya, berusaha mengabaikan komentar tersebut. Namun, dia tidak bisa menghindari perasaan tidak nyaman yang muncul.Di lain waktu, saat meeting departemen, salah seorang rekan kerja menyinggung, "Sebaiknya kita tanya pendapat Laras. Siapa tahu, dia punya 'informasi khusus' dari Presdir."Semua mata tertuju padanya, beberapa menyembunyikan senyum sinis. Laras merasakan pipinya memanas. Dia tahu komentar itu bukan sekedar candaan, tetapi sebuah sindiran yang disamar

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Masa Lalu Alden*

    Laras menatap layar komputernya, berusaha konsentrasi pada pekerjaannya, namun pikirannya melayang. Sejak pertemuan itu, Alden telah menjadi lebih terbuka dengannya, sering berbagi tentang kehidupannya. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi misteri: masa lalu Alden.Suatu sore, ketika Laras sedang menyiapkan berkas di kantor Alden, matanya tertarik pada sebuah foto tua di dinding. Foto itu menampilkan seorang pria muda, mirip Alden, dengan seorang wanita dan anak kecil. Rasa penasarannya mengalahkan ragu-ragu.“Maaf, Pak Alden, boleh saya tahu ini foto siapa?” tanya Laras sambil menunjuk foto tersebut.Alden, yang sedang duduk di meja kerjanya, menoleh dan tersenyum pahit. “Itu ibu dan adikku,” katanya pelan. “Mereka... sudah tidak ada lagi.”Laras menyesal telah bertanya. “Saya minta maaf, Pak. Saya tidak bermaksud...”“Tidak apa-apa,” Alden memotong, suaranya tenang. “Mungkin sudah waktunya saya berbagi cerita ini dengan seseorang.”Dia lalu menceritakan kisah hidupnya. Alden bera

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Pengakuan*

    Kota itu terbentang luas di bawah mereka saat pesawat mulai mendekati landasan. Cahaya senja menerangi skyline kota yang eksotis, menandai awal dari perjalanan bisnis yang penting bagi Alden. Laras, yang duduk di sampingnya, mencatat dengan teliti poin-poin terakhir untuk pertemuan esok hari."Tampaknya kamu sudah siap sepenuhnya," ujar Alden, memandang Laras dengan rasa bangga.Laras menoleh, tersenyum. "Saya selalu siap, Pak Alden. Itu tugas saya."Ada hening sejenak di antara mereka, sebuah ketenangan yang terasa nyaman. Pesawat mendarat dengan mulus, dan mereka bersiap-siap untuk hotel.---Di hotel, setelah makan malam bersama delegasi, Alden mengajak Laras untuk berjalan di sekitar kota. Lampu-lampu kota berkelip, menciptakan atmosfer romantis yang tidak terduga. Laras menikmati keindahan malam itu, namun ada rasa gugup yang menggelitik di hatinya."Apa yang membuatmu memilih pekerjaan ini, Laras?" tanya Alden, memecah kesunyian.Laras berpikir sejenak. "Saya ingin membuktikan b

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Konflik*

    Setelah pengakuan yang terjadi selama perjalanan bisnis, hubungan antara Alden dan Laras memasuki fase baru, namun tidak tanpa tantangan. Laras, saat berbaring di kamarnya, merenungkan hubungan yang semakin rumit ini.Pikirannya bergulat dengan konflik internal. Perbedaan usia dan status sosial antara dia dan Alden bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Laras tahu bahwa ini bukan hanya tentang bagaimana dia merasa, tapi juga tentang bagaimana dunia luar akan melihat hubungan mereka.Di sisi lain, Alden duduk di ruang kerjanya, menatap keluar jendela, dengan pikiran yang tak kalah kusut. Dia sadar bahwa hubungannya dengan Laras akan mendapat sorotan dan mungkin tidak semua akan bersikap mendukung. Sebagai Presiden Direktur, dia memiliki reputasi dan citra perusahaan untuk dijaga.Hari berikutnya di kantor, suasana berubah. Ada ketegangan yang tak terucapkan di udara. Laras berusaha bertingkah seprofesional mungkin, namun mata-mata kecil di kantor mulai menangkap perubahan dalam interaks

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Rencana*

    Alden duduk termenung di kantornya yang megah, pandangannya menembus jendela besar yang menghadap ke kota yang sibuk. Rencana liburan romantis untuk mendekatkan diri dengan Laras terus berputar di kepalanya. Dia memanggil asistennya, Rendi. "Rendi, tolong siapkan agenda untuk akhir pekan ini. Saya ingin ke Bali," ucap Alden dengan suara yang berat. Rendi, yang sudah terbiasa dengan perintah mendadak dari Alden, segera mengangguk, "Tentu, Pak Alden. Apakah perjalanan ini untuk bisnis?" "Tidak, pribadi," jawab Alden singkat. Dalam hatinya, Alden merencanakan untuk mengundang Laras. Dia berharap liburan ini akan memberikan mereka ruang untuk mengenal satu sama lain lebih jauh tanpa tekanan dari kantor. --- Di ruang kerjanya, Laras terkejut saat menerima email dari Alden. Isinya adalah undangan untuk akhir pekan di Bali, dengan catatan bahwa ini adalah perjalanan pribadi, bukan urusan kantor. Dia ragu, namun di lubuk hatinya, dia ingin menghabiskan waktu dengan Alden. Mereka berdua

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Pertemuan Pertama*

    Laras berjalan dengan langkah cepat di lantai berlapis marmer gedung megah itu. Suara tumit sepatunya bergema memecah kesunyian lorong. Ia memegang map biru berisi portofolio karyanya dengan erat. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu: presentasi desain mode kepada salah satu konglomerat paling berpengaruh di negara ini."Tenang, Laras. Kamu pasti bisa!" gumam Laras pada dirinya sendiri.Sementara itu, di ruangan yang besar dengan jendela kaca dari lantai hingga plafon, Alden duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu mahoni. Di usianya yang ke-45 tahun, Alden adalah sosok yang gagah dengan garis wajah tegas dan mata yang tajam. Ia sedang memeriksa beberapa dokumen ketika asistennya, Reza, berbisik, "Nyonya Laras telah tiba, Tuan."Alden mengangguk, "Baiklah, biarkan dia masuk."Pintu ruangan terbuka, dan Laras dengan percaya diri memasuki ruangan, memberi hormat dan mulai presentasi. "Selamat siang, Bapak Alden. Terima kasih telah memberi kesempatan pada saya untuk mempr

Bab terbaru

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Rencana*

    Alden duduk termenung di kantornya yang megah, pandangannya menembus jendela besar yang menghadap ke kota yang sibuk. Rencana liburan romantis untuk mendekatkan diri dengan Laras terus berputar di kepalanya. Dia memanggil asistennya, Rendi. "Rendi, tolong siapkan agenda untuk akhir pekan ini. Saya ingin ke Bali," ucap Alden dengan suara yang berat. Rendi, yang sudah terbiasa dengan perintah mendadak dari Alden, segera mengangguk, "Tentu, Pak Alden. Apakah perjalanan ini untuk bisnis?" "Tidak, pribadi," jawab Alden singkat. Dalam hatinya, Alden merencanakan untuk mengundang Laras. Dia berharap liburan ini akan memberikan mereka ruang untuk mengenal satu sama lain lebih jauh tanpa tekanan dari kantor. --- Di ruang kerjanya, Laras terkejut saat menerima email dari Alden. Isinya adalah undangan untuk akhir pekan di Bali, dengan catatan bahwa ini adalah perjalanan pribadi, bukan urusan kantor. Dia ragu, namun di lubuk hatinya, dia ingin menghabiskan waktu dengan Alden. Mereka berdua

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Konflik*

    Setelah pengakuan yang terjadi selama perjalanan bisnis, hubungan antara Alden dan Laras memasuki fase baru, namun tidak tanpa tantangan. Laras, saat berbaring di kamarnya, merenungkan hubungan yang semakin rumit ini.Pikirannya bergulat dengan konflik internal. Perbedaan usia dan status sosial antara dia dan Alden bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Laras tahu bahwa ini bukan hanya tentang bagaimana dia merasa, tapi juga tentang bagaimana dunia luar akan melihat hubungan mereka.Di sisi lain, Alden duduk di ruang kerjanya, menatap keluar jendela, dengan pikiran yang tak kalah kusut. Dia sadar bahwa hubungannya dengan Laras akan mendapat sorotan dan mungkin tidak semua akan bersikap mendukung. Sebagai Presiden Direktur, dia memiliki reputasi dan citra perusahaan untuk dijaga.Hari berikutnya di kantor, suasana berubah. Ada ketegangan yang tak terucapkan di udara. Laras berusaha bertingkah seprofesional mungkin, namun mata-mata kecil di kantor mulai menangkap perubahan dalam interaks

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Pengakuan*

    Kota itu terbentang luas di bawah mereka saat pesawat mulai mendekati landasan. Cahaya senja menerangi skyline kota yang eksotis, menandai awal dari perjalanan bisnis yang penting bagi Alden. Laras, yang duduk di sampingnya, mencatat dengan teliti poin-poin terakhir untuk pertemuan esok hari."Tampaknya kamu sudah siap sepenuhnya," ujar Alden, memandang Laras dengan rasa bangga.Laras menoleh, tersenyum. "Saya selalu siap, Pak Alden. Itu tugas saya."Ada hening sejenak di antara mereka, sebuah ketenangan yang terasa nyaman. Pesawat mendarat dengan mulus, dan mereka bersiap-siap untuk hotel.---Di hotel, setelah makan malam bersama delegasi, Alden mengajak Laras untuk berjalan di sekitar kota. Lampu-lampu kota berkelip, menciptakan atmosfer romantis yang tidak terduga. Laras menikmati keindahan malam itu, namun ada rasa gugup yang menggelitik di hatinya."Apa yang membuatmu memilih pekerjaan ini, Laras?" tanya Alden, memecah kesunyian.Laras berpikir sejenak. "Saya ingin membuktikan b

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Masa Lalu Alden*

    Laras menatap layar komputernya, berusaha konsentrasi pada pekerjaannya, namun pikirannya melayang. Sejak pertemuan itu, Alden telah menjadi lebih terbuka dengannya, sering berbagi tentang kehidupannya. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi misteri: masa lalu Alden.Suatu sore, ketika Laras sedang menyiapkan berkas di kantor Alden, matanya tertarik pada sebuah foto tua di dinding. Foto itu menampilkan seorang pria muda, mirip Alden, dengan seorang wanita dan anak kecil. Rasa penasarannya mengalahkan ragu-ragu.“Maaf, Pak Alden, boleh saya tahu ini foto siapa?” tanya Laras sambil menunjuk foto tersebut.Alden, yang sedang duduk di meja kerjanya, menoleh dan tersenyum pahit. “Itu ibu dan adikku,” katanya pelan. “Mereka... sudah tidak ada lagi.”Laras menyesal telah bertanya. “Saya minta maaf, Pak. Saya tidak bermaksud...”“Tidak apa-apa,” Alden memotong, suaranya tenang. “Mungkin sudah waktunya saya berbagi cerita ini dengan seseorang.”Dia lalu menceritakan kisah hidupnya. Alden bera

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Cemburu*

    Di kantor yang dipenuhi dengan bisikan dan pandangan sinis, Laras mulai merasakan tekanan dari rekan-rekan kerjanya. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden menyebar seperti api di musim kemarau. Tidak peduli seberapa profesional dia bekerja, tatapan iri dan cemburu selalu mengikuti.Suatu hari di pantry, Laras mendengar beberapa koleganya berbisik."Itu pasti karena dia dekat dengan bos. Siapa yang tidak mendapatkan perlakuan khusus jika dekat dengan Presdir?" kata salah satu dari mereka, suaranya penuh iri.Laras meneguk kopinya, berusaha mengabaikan komentar tersebut. Namun, dia tidak bisa menghindari perasaan tidak nyaman yang muncul.Di lain waktu, saat meeting departemen, salah seorang rekan kerja menyinggung, "Sebaiknya kita tanya pendapat Laras. Siapa tahu, dia punya 'informasi khusus' dari Presdir."Semua mata tertuju padanya, beberapa menyembunyikan senyum sinis. Laras merasakan pipinya memanas. Dia tahu komentar itu bukan sekedar candaan, tetapi sebuah sindiran yang disamar

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Hadiah Misterius*

    Suatu pagi, saat Laras tiba di kantornya, sebuah kotak elegan berwarna hitam tergeletak di atas meja kerjanya. Dengan rasa ingin tahu yang besar, dia melangkah mendekat. Kotak itu tidak bertanda, hanya diikat dengan pita merah marun.Laras mengelus kotak itu dengan jari-jarinya, berhati-hati membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah bros emas mewah dengan batu zamrud di tengahnya. Bros itu berkilauan, elegan, namun sederhana. Tidak ada catatan, tidak ada nama. Hanya sebuah bros cantik yang seakan mengatakan seribu kata."Siapa yang mengirim ini?" gumamnya pelan.Sepanjang hari itu, Laras tidak bisa menghilangkan pikiran tentang bros misterius tersebut. Dia bertanya-tanya, apakah dari Alden? Atau mungkin seseorang yang tidak ingin dikenali?Di akhir hari, saat Laras hendak pulang, Alden memanggilnya ke dalam kantornya. "Laras, apakah Anda menyukai hadiahnya?"Laras terkejut, "Itu... dari Anda, Tuan Alden?"Alden mengangguk, "Saya pikir itu cocok dengan Anda. Elegan namun berkesan."Laras

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Makan Malam Rahasia*

    Kafe itu bercahaya redup, dengan nyala lilin di setiap meja memberikan suasana yang hangat dan intim. Laras tiba lebih dulu, memilih meja di pojok ruangan yang agak tersembunyi. Tidak lama kemudian, Alden masuk dengan langkah pasti dan matanya segera menemukan Laras. Dia tersenyum dan mendekat."Maaf membuat Anda menunggu," ucap Alden sambil duduk di seberang Laras."Tidak apa-apa. Saya sendiri baru saja tiba," jawab Laras dengan senyuman tipis.Pelayan segera mendekat mengantarkan menu. Mereka berdua memilih makanan dan minuman, lalu menunggu pesanan datang sambil berbicara hal-hal ringan."Jadi, mengapa Anda mengajak saya makan malam?" tanya Laras, memulai pembicaraan yang sebenarnya.Alden menarik napas dalam-dalam. "Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda, Laras. Tentang kita."Laras mengangkat alisnya, "Kita?"Alden mengangguk. "Saya menyadari bahwa ada ketertarikan di antara kita, dan saya tidak ingin menyembunyikannya lagi. Saya terkesan dengan dedikasi

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Diam-Diam Mengamati*

    Hari-hari di kantor berjalan seperti biasa bagi Laras, tetapi sejak pertemuan dengan Alden, ia merasa ada mata yang selalu mengawasinya. Setiap kali ia menengok ke arah kantor Alden, tirainya selalu tertutup rapat, tetapi rasa itu tak pernah hilang.Suatu hari, setelah rapat panjang dengan klien, Laras mengambil beberapa dokumen dan menuju ruangannya. Dia melintasi lorong panjang dan tiba-tiba, ia merasa seseorang mengawasinya. Dia menoleh dan melihat siluet Alden berdiri di balik pintu kacanya yang setengah terbuka. Dia hanya bisa melihat setengah wajah Alden, mata yang fokus mengamati setiap gerak-geriknya.Laras menelan ludah, mencoba menenangkan diri dan melanjutkan langkahnya. Namun, di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan bermunculan. *Apakah Alden memang sedang mengawasinya? Atau mungkin ini hanya perasaannya saja?*Hari itu, saat jam makan siang, Laras memilih untuk makan di kantin kantor. Ia duduk di meja pojok, memandang ke luar jendela. Beberapa menit kemudian, Alden masuk

  • Di Atas Ranjang Presdir Kaya Raya   *Tawaran Kerja*

    Laras sedang menyelesaikan pekerjaannya di meja resepsionis saat sebuah amplop bersegel muncul di depan matanya. Ketika dia menengadah, dia melihat Alden, Presdir perusahaan, dengan tampilan formal namun ada senyuman tipis di bibirnya."Laras, mohon luangkan waktu Anda sebentar," kata Alden dengan suaranya yang khas, dalam dan tegas.Mereka berjalan menuju kantor Alden yang mewah, dengan pemandangan kota yang memukau dari lantai tinggi. Setelah mereka duduk, Alden membuka percakapan, "Saya telah mengamati pekerjaan Anda selama beberapa waktu. Anda efisien, cerdas, dan memiliki dedikasi. Saya membutuhkan seseorang dengan kualitas Anda untuk menjadi sekretaris pribadi saya."Laras terkejut. "Saya merasa terhormat, Tuan Alden, tetapi apakah saya memenuhi syarat untuk posisi tersebut?"Alden tersenyum, "Itulah sebabnya saya menawarkannya kepada Anda. Saya yakin Anda bisa menghadapinya."Laras merenung sejenak. "Ini adalah tanggung jawab besar, dan jujur saya merasa sedikit cemas.""Mungki

DMCA.com Protection Status