Liany menggenggam ponselnya dengan gelisah, sudah tiga hari tidak ada kabar dari suaminya. Sesibuk-sibuknya Adam pasti dia tetap mengirimkan pesan singkat. Dua malam belakangan ini dia bermimpi buruk, dilihatnya Adam berada di atas kapal yang sedang karam dan melambaikan tangannya. Jantungnya selalu berdetak kencang jika mengingat mimpinya itu.
Bunyi ketukan pintu mendadak membuyarkan lamunan Liany, bergegas dia membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Dua orang laki-laki berseragam mirip dengan suaminya tengah berdiri di depan pintunya.“Benar ini dengan Nyonya Adam Pratama?” tanya salah satu dari mereka dengan sopan.“Iya, benar saya Liany, istri mas Adam, silakan masuk, Pak,” dengan perasaan tak menentu Liany mempersilakan kedua tamunya itu masuk.“Siapa yang datang, Lia?” Ibu mertua Liany muncul dari balik tirai kamarnya dan mengamati kedua tamu yang mengenakan seragam kerja yang hampir mirip dengan putranya.“Kami dari perusahaan Veco tempat putra Ibu bekerja, kami ingin mengabarkan sesuatu tentang putra ibu dan rekan-rekannya.”Mendengar hal itu Ibu Witri bergegas duduk, Liany pun ikut duduk di tak jauh dari mereka.“Rig pengeboran lepas pantai tempat putra ibu bekerja mengalami kecelakaan, terjadi ledakan besar dan beberapa orang tidak bisa selamat, termasuk putra ibu, Adam Pratama. Jenazahnya yang terlempar ke laut baru ditemukan pagi tadi dan sudah diterbangkan menuju kantor pusat bersama lima rekannya yang lain.”“Apaaa? Bapak-bapak itu datang kemari untuk mengatakan jika anak saya Adam meninggal dunia?!” nada suara ibu Witri meninggi, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.“Maaf, Bu, kami turut berduka, Adam termasuk dalam korban yang meninggal dunia bersama lima orang lainnya, sementara yang lainnya mengalami luka-luka. Jenazah bisa dijemput keluarga nanti malam di halaman kantor pusat.”Air mata Liany tak tertahankan lagi, udara di sekitarnya terasa menipis, tetapi dia harus kuat, dia tidak boleh terjatuh dan lemah. Kedua tamu itu mengucapkan bela sungkawa dan berpamitan untuk berkunjung ke rumah korban lainnya.Sepeninggal kedua tamu itu, ibu Witri seketika histeris, menangis meraung seakan tidak percaya jika putra kesayangannya, kebanggaan dirinya pulang dengan tanpa nyawa. Ibu mertua Liany itu menelpon mengabarkan semua anggota keluarganya tentang kabar buruk itu dan memintanya berkumpul. Juga seorang anak perempuannya, adik Adam, Eve yang sedang bekerja di luar kota diminta pulang segera. Liany tidak mengabari siapapun, toh memang dirinya hanya sebatang kara, dirinya telah lama menjadi yatim piatu dan tidak punya kerabat dekat.“Kau … Kau menantu pembawa sial! Kau yang membuat putraku mendapat celaka!” cecar ibu Witri tiba-tiba pada Liany.“Ibu, tolong jangan berkata seperti itu, Lia salah apa sama Ibu, sampai Ibu tega berkata begitu?” tangis Liany tak terbendung lagi, kematian suaminya sudah membuat nyawanya terasa ikut pergi separuhnya ditambah perkataan ibu mertuanya yang sungguh menambah pilu Liany.“Aku tidak sudi melihat mukamu lagi! Pergi dari rumahku!” teriak Ibu Witri dengan penuh emosi.“Baik, Bu, Liany akan pergi tapi tolong biar Liany lihat dulu mas Adam yang terakhir kalinya, Liany mohon, Bu,” Liany duduk bersimpuh sambil memegang kaki ibu Witri meminta belas kasihannya.“Baik … baiklah perempuan sial, kau boleh menunggu jasad anakku pulang, setelah ini jangan harap kau memiliki tempat di rumah ini dan juga santunan kematian putraku!” hardik ibu Witri sambil melepas tangan Liany dengan sepakan kakinya kasar. Suara tangis terdengar bersahutan ketika keluarga besar ibu Witri mulai berdatangan, juga Eve adik ipar Liany yang terlihat sangat emosional.“Pembunuh kau! Perempuan sialan! Kau penyebab kakakku tidak panjang umur, pergi kau… pergi!” Eve menjambak rambut Liany dengan keras dan mendorongnya, andai para tetangga tidak memeganginya Liany sudah terjatuh di teras rumah. Pekikan kecil dan gumaman dari para pelayat terdengar, banyak yang menaruh rasa kasihan pada Liany terlebih para tetangga yang tahu jika selama ini Liany diperlakukan semena-mena oleh ibu mertua dan adik iparnya. Bahkan gaji Adam yang besar tidak pernah dipegang oleh istrinya melainkan ibunya Adam.Liany tak bisa duduk dekat jenazah suaminya, ibu RT merangkulnya untuk duduk di dekatnya sambil memberikan tisu. Liany menangis dalam diam, tak ada kata-kata dan taka da perlawanan. Di sudut ruangan ibu-ibu mulai bergunjing dengan sikap kasar Eve dan ibu Witri pada menantunya itu.“Kamu yang sabar, yaa Nak, ini semua sudah kehendak Allah, yang kuat yaa, Nak,” hibur ibu RT sambil mengelus bahu Liany. Perempuan muda itu hanya sanggup mengangguk dengan butiran air mata yang berjatuhan. Setelah pemakaman, beberapa keluarga masih berada di rumah, mereka akan menggelar takziah selama tiga malam. Liany tak ubahnya seperti pembantu di rumah itu menuruti semua perintah ibu Witri dan Eve yang masih saja menampakkan rasa kesal kepadanya dibanding rasa duka mereka.“Berapa santunan yang akan kita terima, Bu?” tanya Eve perlahan yang tertangkap telinga Liany saat membuat teh bagi keluarga besarnya.“Sekitar dua ratus juta ada mungkin itu, katanya bisa dicairkan dalam waktu tiga hari atau seminggu,” jawab ibu Witri sambil menyiapkan gelas.“Ibu akan kasih juga Liany?”“Ehhh … enak aja! Gak ada … gak akan Ibu kasih! Perempuan bawa sial, coba kalau kakakmu menurut nikah sama Selly mungkin sekarang kakakmu itu masih ada!” sergah ibu Witri.“Jangan lah begitu Mba Wit, gak kasihan kamu sama menantumu itu? Gajinya Adam selama ini kau pula yang pegang lha sekarang uang santunan kamu mau ambil sendiri, tega kamu,” tegur salah seorang kerabat ibu Witri, perempuan kurus berbalut gamis hitam longgar itu tak sengaja mendengar kata-kata ibu Witri.“Heleh … jangan kau sok ikut campur dengan urusan keluargaku, sudah kau bayar hutangmu itu kah? Sok sok pula mau peringati aku!” bentak ibu Witri yang sukses membungkam perempuan itu.Setelah tiga malam takziah dan tidak memerlukan tenaga Liany lagi, dengan kasar Eve melemparkan tas-tas milik Liany ke luar rumah. Sungguh tidak ada yang dapat mencegah perbuatan kejam itu. Para tetangga hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah ibu dan anak yang sedang mengusir janda putra mereka. Ibu RT bergegas membantu mengambilkan tas Liany dan memintanya tinggal sementara di rumah mereka.“Tidak apa, Bu, saya akan ke rumah bibi saya saja di pinggiran kota terima kasih atas tawarannya,” tolak Liany halus. Dia tidak ingin menjadi beban orang lain. Ibu Rt memasukkan amplop ke dalam kantong jaket Liany,“Ini sumbangan dari beberapa warga, melihat perlakuan ibu Witri dan anak gadisnya itu, kami sepakat tidak akan memberikan uang duka ini kepada mereka. Kami memang menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya kepadamu. Semoga kelak kehidupanmu labih baik lagi, yaa Nak.” Ibu Rt memeluk Liany sesaat. Rasa kasihan dan haru atas kesabaran Liany membuat matanya berkaca-kaca. Hingga Liany hilang di ujung jalan perempuan paruh baya itu masih berdiri di tempatnya. Liany benar-benar ingin menangis sekarang, rumah bibinya yang dulu sempat mengasuhnya ketika kecil sudah rata dengan tanah. Ada bekas kayu yang telah berubah menjadi arang kehitaman tanda api besar pernah melalap rumah ini. Dengan menenteng dua tas di tangannya Liany kembali berjalan, kali ini tanpa arah dan tujuan. Gerakan halus di perutnya membuatnya semakin bersedih. Hingga,“Liany! Kamu Liany kan?” seorang wanita muda turun dari mobil mewahnya dan memastikan jika dirinya adalah Liany yang dikenalnya.“Myla? Iya, aku Liany dan kamu Myla kan?” tanya pun berganti ke gadis yang tampak modis dan canti itu.“Yaa ampun mau kemana kamu? Bawa tas berat begini, mana lagi hamil, suami kamu mana?”“Iya, Myla, aku sedang hamil enam bulan, suamiku ….” Dengan suara gemetar Liany bercerita singkat dengan apa yang menimpanya.“Ayo ikut denganku, pasti mama tidak akan keberatan kamu tinggal bersama kami!” seru Myla sambil mengambil alih tas-tas Liany dan memasukkannya di mobil.“Tante Katrina apa kabar?” tanya Liany menyebut nama mama Myla.“Mama, baik-baik saja dan semakin sibuk, perusahaannya berkembang sangat pesat.”“Om Rudy?” tanya Liany lagi, terakhir mereka bertemu saat itu Liany dan Myla masih kelas dua SMU.“Papa, baik juga, dan yaah sama-sama sibuk.”Liany membayangkan bibinya yang cantik dan lemah lembut itu juga suami kedua bibinya, om Rudy seorang pria yang ramah, baik hati dan … rupawan.Liany memandangi takjub kediaman Myla yang sangat luas dan bagus, Myla membawakan tas Liany dan menyerahkannya kepada seorang asisten rumah tangga mereka.“Tolong siapkan kamar untuk kakak sepupu saya yaa, Bi. Ayo, Lia duduk dulu di sini, kamu pasti lelah. Aku gak nyangka aka nada orang sekejam ibu mertua dan adik iparmu itu!” seru Myla dengan geramnya.“Tidak apa, Myla, ini sudah takdirku, aku tidak peduli dengan sikap mereka, aku hanya kasihan pada anak yang kukandung ini, dia belum sempat mengenal ayahnya,” ujar Liany dengan lirih. Jemarinya dengan halus mengelus perutnya yang membuncit.“Sudah lah , jangan bersedih lagi, di sini kau akan baik-baik saja, jangan khawatir tentang apapun, segala kebutuhanmu akan dipenuhi di rumah ini, mama dan papa pastinya tidak akan keberatan.”“Non Myla, kamar kakak sepupunya sudah siap.” Bi Inah salah satu asisten rumah tangga mereka menghampiri Myla sambil menunjuk kamar depan dengan ibu jarinya.“Terima kasih yaa, Bi Inah, oh iya kenalkan, ini L
Om Rudy membukakan pintu mobil dan mengulurkan tangannya agar Liany bisa turun dengan aman. Tangan hangat om Rudy seakan-akan memberikan pesan jika Liany akan baik-baik saja bersamanya. Mereka memasuki ruangan dokter yang sudah lebih dulu dibuatkan janji oleh tante Katrin. Perawat dengan cekatan mencatat tensi darah Liany dan berat timbangannya.Air mata Liany menetes ketika dia mendengar degup jantung bayi yang dikandungnya, peninggalan Adam mendiang suaminya yang sangat berharga. USG empat dimensi yang dilakukannya memperlihatkan jika dia akan memiliki seorang putra yang memiliki garis hidung seperti ayahnya.“Ibu, tolong jaga kesehatan dan kondisinya yaa, ini berat bayinya masih kurang, jangan stress dan perbanyak makan dengan gizi yang seimbang,” saran dokter pada Liany. Matanya masih basah karena rasa sedih bercampur haru.“Tolong diperhatikan istrinya yaa, Bapak,” tegur dokter perempuan itu lagi.“Dia bukan istri saya, Bu Dok, dia putri saya, wajar mungkin dia saat ini sedang me
“Hai Lia! Bagaimana dengan hasil USG kandunganmu tadi siang?” Myla menyapa Lia saat mereka akan makan malam. Om Rudy menyusul kemudian dan menyisakan satu kursi yang kosong.“Kata dokter bayi Lia kecil jadi dia harus menambah asupan gizinya, Papa udah beliin Lia susu hamil, buah-buahan dan tambahan suplemen vitamin.” Om Rudy menjawab pertanyaan putrinya.“Mulai dari sekarang kalau makan apa aja bilang sama Bi Inah yaa supaya dimasakin, jangan sungkan kamu di sini, dulu aku juga suka langsung nyelonong ke dapur ibu kamu untuk makan.” Myla tersenyum jahil, itu adalah kenangan terakhir yang paling menyenangkan bersama mendiang ibunya Liany.“Myla, mama belum pulang yaa?” Om Rudy melirik sekilas kursi yang biasa dipakai tante Katrin.“Belum, Pa. Paling cepat Mama pulang besok deh, biasanya kan juga seperti itu. Oh ya, Pa, Myla juga mau keluar kota besok tapi Myla usahakan pulang pergi aja. Klien kita yang dari Jepang minta ketemuannya di salah satu resort koleganya, jadi Myla bisa iyakan
Mata om Rudy membuka dan melihat sekelilingnya, rasanya mimpinya sangat nyata ketika perempuan muda yang tengah mengandung itu ikut lelap dalam dekapannya. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan mendekati dini hari. Lelaki paruh baya itu terbangun dan meminum segelas air dari kulkas yang tak jauh dari tempat tidurnya. Kantuknya hilang dan Om Rudy memilih untuk masuk ke ruang kerjanya. Dinyalakan laptopnya dan lagi-lagi pandangannya tertuju pada jendelanya. Kamar Liany masih gelap tentunya perempuan muda itu masih tengah terlelap tidur.Menjelang subuh barulah kamar itu terang, sekali lagi Om Rudy memandangi kamar Liany dan melihat siluetnya yang berjalan mondar-mandir. Terbit kasihan dari pertama dia melihat perempuan itu, tetapi sorot mata Liany yang sayup masih menyiratkan ketegaran dan ketabahan. Om Rudy seperti melihat tante Katrin di masa muda, sendirian di tepi jalan saat tengah hujan yang deras. Susah payah dia meyakinkan dirinya jika dia bukan orang jahat dan hendak me
Mata om Rudy membuka dan melihat sekelilingnya, rasanya mimpinya sangat nyata ketika perempuan muda yang tengah mengandung itu ikut lelap dalam dekapannya. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan mendekati dini hari. Lelaki paruh baya itu terbangun dan meminum segelas air dari kulkas yang tak jauh dari tempat tidurnya. Kantuknya hilang dan Om Rudy memilih untuk masuk ke ruang kerjanya. Dinyalakan laptopnya dan lagi-lagi pandangannya tertuju pada jendelanya. Kamar Liany masih gelap tentunya perempuan muda itu masih tengah terlelap tidur.Menjelang subuh barulah kamar itu terang, sekali lagi Om Rudy memandangi kamar Liany dan melihat siluetnya yang berjalan mondar-mandir. Terbit kasihan dari pertama dia melihat perempuan itu, tetapi sorot mata Liany yang sayup masih menyiratkan ketegaran dan ketabahan. Om Rudy seperti melihat tante Katrin di masa muda, sendirian di tepi jalan saat tengah hujan yang deras. Susah payah dia meyakinkan dirinya jika dia bukan orang jahat dan hendak me
Sebuah kotak ponsel keluaran terbaru sudah ada di depan Liany, om Rudy menyodorkannya ketika mereka tengah makan siang bersama di rumah. Liany memandang kotak itu dengan takjub, ponsel yang mahal dan hanya bisa dilihatnya dalam iklan-iklan saja.“Buat saya, Om?” tanya Liany memastikan, kotak itu belum disentuhnya sama sekali.“Iya, buat kamu, siapa lagi? Bahkan bi Inah sudah punya ponsel sendiri ‘kan?” Om Rudy mengelap mulutnya setelah menyelesaikan makan siangnya.“Kenapa? Kamu gak suka?” Om Rudy keheranan karena Liany hanya terdiam saja memandangi kotak ponsel itu.“Suka, Om … saya suka tapi ini ponsel yang mahal, i-ini terlalu mewah buat saya,” jawab Liany gugup. Antara senang dan sungkan dirinya memandang benda yang belum berani disentuhnya.“Bukalah, Om juga sudah beli lengkap dengan kartu SIM-nya tinggal kamu pakai.” Om Rudy mendorong kotak itu lebih dekat ke arah Liany. Perlahan Liany membuka kotak ponsel itu dan terlihat benda pipih berwarna biru, dinyalakannya dan benar-benar
Liany menatap tajam ke arah pengemudi mobil yang sudah menabraknya. Beruntung saat jatuh dia masih bisa melindungi perutnya dari benturan.“Kamu bisa menyetir tidak sih? Kamu sudah membahayakan kami!” hardik Liany dengan mata berkaca-kaca, dielusnya perlahan perutnya yang sudah menginjak usia tujuh bulan.“Kita ke dokter yaa Mba untuk memeriksakan kondisi Mba, sungguh saya tidak sengaja dan saya mengakui kecerobohan saya,” Satria menangkupkan kedua telapak tangannya di dadanya. Kadang dia bersikap jahat pada wanita tetapi dia masih punya nurani untuk wanita yang tengah mengandung.“Kamu … shhh…” Liany masih hendak mengomel tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit dan mengeras.“Non Lia … Non Lia kenapa?” tanya bi Inah dengan cemas, Liany berpegang sangat erat pada lengannya.“Perut Lia sakit, Bi,” Liany berusaha mengatur napasnya, Satria semakin cemas menatap wanita yang memucat wajahnya.“Kita ke dokter yaa?” Satria segera memunguti belanjaan kedua perempuan itu dan memasukkannya ke b
Liany sudah merasa baikan dan tidak merasa keluhan lagi atas tabrakan itu. Hari-hari dijalaninya seperti biasa dan menjadi kebiasaan baru baginya untuk memasakkan anggota keluarga om Rudy. Tante Katrin, Myla dan Om Rudy sangat senang dengan kehadiran Liany yang memberi warna baru di dalam keluarga mereka. Namun, kesibukan tante Katrin dan putrinya membuat Om Rudy hanya lebih sering bersama Liany saja di rumah. Hampir segala sesuatu kebutuhan Om Rudy disiapkan atau diingatkan oleh Liany. Seperti minuman suplemennya, vitamin dan sesekali memberi bekal makan siang jika Om Rudy sedang sibuk-sibuknya dengan rapat yang beruntun.Akhir pekan Myla memilih pergi bersama teman-teman kantornya, ada janji wisata bersama mereka. Sementara tante Katrin pergi ke salon untuk perawatan rutin.“Om, Lia minta izin untuk ke pusat perbelanjaan, susu Lia sudah habis dan Lia juga mau belanja untuk makan malam.” Kali ini Lia tidak berani lagi untuk pergi tanpa izin dari om Rudy.“Kamu sama Bi Inah?” Om Rudy
Setahun kemudian …Lilis membuka kembali album foto-foto kenang-kenangannya setahun yang lalu saat keluarga majikannya mengantarkan Yelena kembali ke Inggris. Suasana haru terjadi saat Tuan Clark awalnya menolak kepulangan putrinya tetapi Satria berhasil meyakinkan ayah angkatnya itu dan membuat ayah dan anak kembali berdamai. Di sana juga mereka merayakan ulang tahun pertama Rangga dengan sangat istimewa. Lilis sungguh tak menyangka jika majikannya kali ini memperlakukan dirinya dan Lastri seperti anggota keluarga, bukan hanya sekedar majikan dan bawahan mereka.Liany dan Satria benar-benar majikan yang sangat baik dan murah hati, bahkan anak sulung Lastri diberikan beasiswa oleh perusahaan Karisma agar bisa melanjutkan pendidikannya di bangku perkuliahaan. Liany juga memberikan hadiah mesin jahit untuknya dan mengizinkan kapanpun Lilis hendak mandiri setelah menamatkan Kursus menjahitnya. Namun, Lilis masih menganggap Rangga masih kecil dan Liany masih membutu
Yelena akhirnya dilepaskan juga oleh anak buah Mike dan menjauhkan diri hingga ke sudut ruangan. Demian melangkah mendekat dengan tatapan mata yang berkilat, aura ingin membunuhnya terasa kuat.“Kau … kau keluarga korban kecelakaan itu? Waaahh … kejutan besar kita bertemu kembali, Yelena, apa kau sudah tahu ini Sayang?” Mike menoleh ke arah Yelena yang memandang takut-takut kepada Demian.“Jangan mengalihkan perhatian bangsat!” hardik Demian yang membuat Mike sedikit gentar. Moncong pistol itu sudah sangat dekat jaraknya dengan kepalanya.“Apa kau ingin membalaskan dendammu sekarang?” Mike memamerkan seringainya yang mengejek Demian. Darah Demian bergejolak hebat, ingin rasanya dia segera melesatkan satu peluru tepat ke jantung Mike, tetapi keinginannya itu ditahannya, dia tidak ingin jadi pembunuh dan merusak masa depannya sendiri. Dia hanya ingin memberikan Mike pelajaran.Demian menumbuk kepala Mike den
“Tolong ambilkan aku air minum, Sayang,” pinta Satria lirih ketika dia terbangun dari tidurnya. Bergegas Liany mengambil segelas air minum dan membantu suaminya untuk duduk. Satria terbatuk kecil, dia masih kesulitan untuk bernapas panjang. Perlahan diminumnya air pemberian istrinya. Dia menolak saat Liany ingin membantunya berbaring, Satria hanya ingin duduk saja sambil bersandar.“Yelena, apa dia pulang?” tanya Satria setelah memperhatikan jika di ruangan itu hanya ada dia dan Liany.“Iya, aku menyuruhnya pulang untuk istirahat, dia sedang hamil muda tak baik jika kelelahan.” Liany memperbaiki selimut Satria dan merapatkannya.“”Bagaimana keadaanmu, Sayang? Apa masih sakit?” tanya Liany sambil memandangi wajah suaminya.“Aku sudah merasa lebih baik, kau jangan khawatir, Sayang.” Satria meraih tangan Liany dan menggenggamnya erat. Namun, sesaat ekspresi Satria berubah dan Liany bisa membac
Demian mengantarkan Myla pulang, berbagai perasaan berkecamuk di dalam kepalanya. Keselamatan calon istrinya, Liany dan putranya serta keselamatan Satria atasannya.“Ingat jangan jauh-jauh dari ponselmu, jika ada hal yang mencurigakan segera telpon aku, mengerti?” Tak bosannya Demian memperingatkan Myla agar tetap waspada.“Dem, apa kau tak mau menjelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi atau apa yang sebenarnya kau ketahui. Sikapmu pada Yelena mencurigakan!” Myla menatap tajam kepada lelaki muda itu yang tampaknya berpikir keras untuk menjawab todongan Myla.Demian sepertinya tak bisa berkelit lagi dan Myla berhak tahu kaitan antara dirinya dan Yelena. Myla menunggu sambil melipat tangan di dadanya. Mereka duduk berhadapan di sofa tamu, sesaat Demian menghela napasnya panjang.“Kamu masih ingat ketika ketika pemakaman ibumu aku mengatakan jika aku pernah merasakan kehilangan yang pedih itu?” Demian memandang Myla
Lamat-lamat suara ambulans terdengar, Satria berusaha membuka matanya dan mencari tahu di mana dirinya sedang terbaring. Seluruh tubuhnya terasa remuk sepertinya ada beberapa tulang rusuknya yang patah akibat perkelahian tadi. Pandangan matanya kabur dan hanya mampu menangkap beberapa bayangan yang ada di dalam ambulans yang tengah melarikannya ke rumah sakit.Satria mengerang pelan, suaranya tertahan oleh masker oksigen yang digunakannya untuk membantunya bernapas. Meskipun dia merasa sangat buruk tetapi rasa bersyukurnya lebih besar karena Mike dan para begundal itu tidak menikamnya dengan senjata tajam atau menembaknya seperti yang ada di dalam pikirannya sebelum dia pingsan. Hal terakhir yang didengarnya adalah raungan Dora yang ketakutan, mungkin karena wajahnya yang sudah berlumuran darah dan terkulai seperti tanpa nyawa lagi.“Pak Bos…! Bertahan yaa Pak Bos … sedikit lagi kita tiba di rumah sakit,” ujar Dora dengan suara yang terdengar
“What the hell are you doing?!” maki Yelena yang terkejut dengan sikap kasar Myla kepadanya.“Myla?!” seru Demian dan Liany yang tak percaya dengan apa yang dilakukan Myla barusan.“Kenapa? Apa karena kau dan keluargamu telah mengadopsi kakakku dan memberikannya kehidupan yang lebih baik kau merasa berhak untuk mengacak-acak rumah tangga kakakku, hah?! Kau tak akan pernah bisa jadi istri kedua kakakku!” bentak Myla yang benar-benar murka dengan kelakuan Yelena.“Myla … Myla… kamu salah paham, Yelena tidak…”“Lia, Please, jangan membela dia, akar busuk harus segera diamputasi sebelum dia menyebar kebusukannya!” sergah Myla yang melihat Liany masih berbaik hati kepada Yelena.“Myla, tenang sedikit, aku tidak mau kamu bersikap bar-bar seperti ini,” ujar Demian sambil merengkuh bahu gadis itu dan membawanya sedikit menjauh.Satria membereskan berkas yang
Demian melonggarkan dasinya, pertemuannya dengan Yelena di rumah Satria calon kakak iparnya sungguh membuatnya gelisah. Bingung, entah bagaimana nanti cara Demian untuk memberitahukan kepada Satria jika adiknya yang satu lagi adalah gadis berandalan yang terlibat dengan kecelakaan besar keluarganya. Setumpuk file di meja kerjanya tentang ekspansi bisnis yang tengah dilakukannya sudah habis dibaca. Dia sedang memperjuangkan sebuah mega proyek yang saingannya adalah perusahaan besar milik keluarga Mike Dewangga. Kali ini Demian lah yang akan mengibarkan panji perang kepada keluarga laki-laki itu, tak akan ada ampun bagi mereka, tekad Demian.Di bawah tangan Demian, Karisma bergerak lebih cepat karena pada dasarnya Demian sendiri adalah pebisnis ulung dan punya banyak koneksi. Selama ini dia hanya bersembunyi dari bayang-bayang rasa bersalahnya atas kematian ibu, kakak ipar dan Brian kecil. Saat itu dia tengah mengantarkan mereka untuk ke sebuah perayaan ulang tahun anak salah seorang k
Lilis segera mengambil lap, mengisi ulang tekonya dan bergegas meninggalkan dapur. Satria dan mengambil botol Rangga yang terjatuh dari tangan Liany sementara Yelena membereskan mangkok bekas mie mereka.“Lia, aku dan Yelena…,”“Sat? Apa kamu mau menikahi Yelena untuk perlindungan dan bayi dalam kandungannya?” tanya Liany yang masih berdiri di tempatnya. Satria menoleh kepada Yelena yang seakan tidak terjadi apa-apa.“Tidak! Aku tidak akan menikahi perempuan lain dengan alasan apapun, aku tidak akan melakukan itu,” ucap Satria penuh penegasan. Yelena yang mendengar itu hanya tersenyum kecil, dia sedang mencuci mangkuk dan peralatan masak yang tadi dipakainya.“Biar aku yang membuatkan Rangga susu kau kembali lah ke kamar. Aku akan bicarakan hal ini dengan Yelena, itu adalah ide gila yang tidak akan kusetujui. Kembali lah ke kamar,” pinta Satria sekali lagi. Liany tidak berkata lagi, dia hanya menatap punggung Yelena yang masih berdiri di dapur lalu dia berbalik menuju kamarnya sendiri
Sepanjang perjalanan pulang Demian lebih banyak diam, dengan sabar dia mendengarkan Myla berceloteh tentang kelucuan Rangga dan Yelena si gadis urakan di mata Myla. Adik Satria yang ini benar-benar tidak menyukai adik Satria yang satunya lagi meskipun mereka menyayangi kakak yang sama.“Dem, dari tadi kok kamu diam saja, ada apa?” tanya Myla yang akhirnya menyadari kesenyapan Demian.“Tidak ada apa-apa,” jawab Demian pelan yang tatapannya fokus pada jalan raya.“Ooh ayolah, kamu jangan kayak cewek yang ditanya kenapa cuma jawab tidak apa-apa,” sindir Myla pada lelaki di sampingnya itu. Demian menarik seulas senyum di bibirnya, setelah bertemu dengan Yelena berbagai perasaan berkecamuk di dalam dirinya.“Sungguh, aku tidak ada apa-apa, aku masih sama terkejutnya melihat Yelena di tengah-tengah mereka.” Demian mencengkram erat setir mobilnya hingga buku-buku jarinya memutih rasa kesal dan sesal itu menyerbu be