Sejak kemarin Marisa memang sudah bilang kalau dia akan mengambil bagian penting di acara dinner kali ini. Tidak hanya Aksara yang memberikan support, Ari juga menyemangatinya. "Siapa tahu kamu akan naik jabatan tahun depan. Makanya kamu harus melakukan yang terbaik kali ini," kata Ari kemarin."Nanti Mas jemput jam berapa?" "Setelah acara inti selesai aku langsung pulang. Kalau nunggu acara kelar kadang sampai jam setengah satu malam, Mas.""Oke."Marisa selesai merapikan diri. Gamis brokat warna lembayung yang dibeli lebaran tahun lalu yang dipakainya malam itu. Dinner kali ini dia dan Ari tidak membeli gaun baru. Biasanya menjelang dinner mereka akan berburu gaun diskonan di pusat perbelanjaan. Tapi kali ini sepakat memakai baju yang ada saja. Tiap kali dinner, selalu jadi ajang kaum staf perempuan untuk berlomba-lomba mengenakan gaun-gaun cantik menarik. Perhiasan entah asli atau imitasi yang jelas harus barang baru. Tas dan stiletto yang heelsnya mengetuk-ngetuk lantai saat dil
Marisa yang melihat lirikan mata gadis itu tersenyum. Dia terasa kalau kata-kata itu ditujukan pada dirinya. Sementara Hafsah tidak menanggapi ucapan sepupunya yang bernama Afifah. Sadar kalau perbuatan saudaranya salah. Andai abahnya tahu, mereka pasti di marahi."Ayo, kita masuk masjid. Kenapa berhenti di sini?" ajak Bu Haji."Ayo, Nduk." Bu Arum mengandeng Marisa berjalan masuk masjid.Mereka duduk berderet di shaf paling depan di ruang jamaah wanita. Di ruang bagian selatan yang tersekat oleh papan dari kayu jati setinggi tubuh orang dewasa. Papan berplitur cokelat dengan ukiran Jepara.Marisa paling pinggir dekat dinding, kemudian Bu Arum di utaranya, Bu Haji, Hafsah, Afifah, kemudian di sambung oleh ibu-ibu yang lain. Ibu-ibu yang berjamaah hanya saling pandang sesama sendiri sambil memperhatikan Marisa. Memang banyak yang belum pernah bertemu langsung karena Marisa memang bekerja kalau siang."Calonnya Mas Aksara kok sudah pulang ke rumah Bu Arum, mereka kan belum nikah?" bisi
Aksara pamit pada mamanya kemudian melangkah keluar rumah. Duduk di bangku kayu bawah pohon mangga menunggu istrinya pulang. Setelah suara toa berhenti. Aksara beranjak ke depan pintu pagar. Dari ujung tampak istrinya berjalan berdua dengan Sarah. Kemudian wanita itu berbelok ke rumahnya, tinggal Marisa yang berjalan sendirian.Senyumnya merekah saat melihat sang suami tengah berdiri menunggunya. Setelah tegang dengan suasana di masjid tadi. Kini lega melihat Aksara menantinya. "Mas, menungguku," ucapnya ceria. Kemudian mencium tangan suaminya."Iya."Keduanya melangkah masuk rumah. Bu Arum sudah tidak ada di depan televisi. Marisa masuk kamar dan berganti pakaian. Sedangkan Aksara masih mengunci pintu baru menyusul ke peraduan."Kamu pinter juga baca Al Qur'an. Mas sama mama mendengarnya tadi," puji Aksara setelah mereka berbaring."Aku nggak sepandai mereka, Mas. Alhamdulillah, tapi aku bisa juga membaca. Nggak membuatku malu pada diri sendiri. Dulu waktu aku dan adik-adikku masih
Terdengar bunyi kemeletek, ponsel jatuh ke lantai. Dunia Shela terasa gelap gulita. Hancur dalam hitungan menit. Ponsel kembali berpendar, ada panggilan masuk dari nomernya Lion. Tapi Shela yakin, itu pasti perempuan tadi. Dibiarkannya hingga pendar cahaya itu padam dengan sendirinya.Ponsel bergetar lagi hingga beberapa kali. Kemudian Shela menekan tombol power untuk mematikan ponselnya. Sepanjang malam dia hanya duduk bersandar pada tempat tidur. Menangis saat berbagai bayangan berkelindan menyesakkan dada. Kehilangan. Itulah yang sekarang terpampang jelas dan akan terjadi setelah malam berlalu. Setidaknya sampai bulan ramadhan ini berakhir.Tahun kemarin keluarga mereka masih bahagia menyambut bulan Ramadhan. Anak-anak ceria diajak berburu takjil menjelang berbuka, meski dirinya sudah mulai sibuk dengan bisnisnya dan hubungan dengan Daniel mulai goyah. Setidaknya mereka masih bisa bersama-sama. Namun sekarang, bayangan kehancuran itu tampak nyata di hadapan.Sementara di kamar lai
Jam sembilan pagi ketika Daniel telah berpakaian rapi dan hendak keluar kamar, ia mendengar keributan di teras depan. Teriakan melengking seorang perempuan. Kata-kata cacian dan makian sarat amarah ditunjukkan perempuan itu pada Shela. "Siapa, Mbok?" tanya Daniel membuka pintu kamar. "Seorang perempuan ngamuk di depan, Pak. Ngamuk sama Ibu," jawab Mbok Parni dengan tubuh gemetar. "Anak-anak jangan boleh keluar, Mbok. Biarkan mereka di atas. Tutup kamarnya dan jangan sampai tahu ada keributan di bawah," kata Daniel yang langsung bergegas keluar rumah.Di teras, ia melihat seorang wanita mengamuk dan menjambak rambut Shela yang saat itu hanya memakai piyama. "Lepaskan!" Daniel menarik lengan perempuan dari rambut istrinya. Membuat wanita yang bersimbah air mata itu menatap tajam pada Daniel. "Kamu masih membela perempuan yang sudah mengkhianatimu? Istri busuk yang menikammu dari belakang. Dia sudah berzina dengan suamiku. Masih juga kamu bela, Mas!" teriak lantang wanita itu.Daniel
"Cepet banget, Mas?" tanya Marisa selugas mungkin untuk menutupi rasa kagetnya. Toh, dirinya juga tidak sedang berbuat curang. Dia hanya khawatir akan timbul kesalahpahaman."Bengkelnya tutup, Sayang. Mas pikir buka karena minggu kemarin sudah libur tiga hari. Tadi di pintunya ada tulisan libur sehari awal puasa." Aksara duduk di dekat sang istri. Netranya memandang jam tangan yang dipegang Marisa. Kebetulan uang sepuluh juta berada di dalam kotak yang tertutup dan tidak terlihat oleh Aksara."Ini kado dari bosku di kantor, Mas. Aku baru ingat dan membukanya tadi." Marisa bicara dengan nada tenang.Aksara memperhatikan jam tangan yang ditunjukkan oleh sang istri. Dia tahu itu jam mahal. Sebaik apa bosnya hingga memberikan kado jam semahal itu pada karyawannya. Sedangkan Marisa sendiri bukan sekretaris pribadinya, hanya staf di sana.Melihat sang suami masih diam sambil memperhatikan benda di tangannya, Marisa was-was. Apa Aksara curiga? Dirinya tidak sedang berkhianat. Antara dia dan
Marisa makin tak enak hati. Pengeluaran sebanyak itu harus di tanggung keluarganya Aksara. Padahal untuk urusan busana, mestinya menjadi tanggungan Marisa sendiri. Dia juga belum tahu kalau mereka merencanakan pakaian seragam yang sama untuk kedua keluarga . Apa dia harus menggunakan uang dari Daniel untuk mencukupi kebutuhannya sendiri?"Sabtu pagi kita berangkat, nanti nginap di rumah Mbak di Jombang. Minggu sore kita baru balik ke Surabaya."Mendengar penuturan Mahika, Marisa tidak bisa menjawab apa-apa selain mengangguk. Saat besok bertemu ibunya, dia baru bisa membahasnya dengan ibu dan Ulfa.Meski tak enak hati, Marisa merasa beruntung sekali dipertemukan dengan Aksara dan keluarganya yang sangat baik. Mau menerima dia apa adanya. Paham posisinya sebagai anak sulung yang masih memiliki banyak beban. Mengizinkannya bekerja untuk membantu keluarga. Tapi bagaimana jika dia punya anak nanti. Haruskah berhenti bekerja?Marisa menoleh pada Aksara dan Ubed yang tengah asyik bermain ber
Harga diri Marisa yang sekarang sedang jadi bahan lelucon para ibu-ibu yang asyik meng-ghibah pagi itu. Namun wanita yang berada di balik rak dagangan terus memilih beberapa kentang dan wortel, tanpa mempedulikan mereka karena ingat sekarang sedang berpuasa. Lagi pula untuk apa meladeni nyinyiran mereka, sementara dia harus cepat pulang dan bersiap untuk berangkat kerja. Walaupun obrolan mereka sangat menyakitkan.Pada saat yang bersamaan, masuk Sarah yang hendak berbelanja juga. Wanita itu melirik sekilas pada ibu-ibu yang masih seru membicarakan tentang Marisa, Aksara, dan Hafsah. Didekatinya Marisa dan menepuk pundaknya. "Nggak usah dimasukin ke hati omongan mereka," ucapnya lirih. Marisa tersenyum sekilas pada Sarah."Bu ibu, ingat to ini bulan apa? Kok seneng banget nyinyirin orang. Yang kalian omongin lagi dengerin ini, loh!" teriak ibu pemilik warung belanjaan pada keempat wanita yang berada di pojokan.Sontak mereka menoleh. Ibu pemilik warung menunjuk pada Marisa yang memili
Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai
Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan
"Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.
Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan
Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam
Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan