Jam sembilan pagi ketika Daniel telah berpakaian rapi dan hendak keluar kamar, ia mendengar keributan di teras depan. Teriakan melengking seorang perempuan. Kata-kata cacian dan makian sarat amarah ditunjukkan perempuan itu pada Shela. "Siapa, Mbok?" tanya Daniel membuka pintu kamar. "Seorang perempuan ngamuk di depan, Pak. Ngamuk sama Ibu," jawab Mbok Parni dengan tubuh gemetar. "Anak-anak jangan boleh keluar, Mbok. Biarkan mereka di atas. Tutup kamarnya dan jangan sampai tahu ada keributan di bawah," kata Daniel yang langsung bergegas keluar rumah.Di teras, ia melihat seorang wanita mengamuk dan menjambak rambut Shela yang saat itu hanya memakai piyama. "Lepaskan!" Daniel menarik lengan perempuan dari rambut istrinya. Membuat wanita yang bersimbah air mata itu menatap tajam pada Daniel. "Kamu masih membela perempuan yang sudah mengkhianatimu? Istri busuk yang menikammu dari belakang. Dia sudah berzina dengan suamiku. Masih juga kamu bela, Mas!" teriak lantang wanita itu.Daniel
"Cepet banget, Mas?" tanya Marisa selugas mungkin untuk menutupi rasa kagetnya. Toh, dirinya juga tidak sedang berbuat curang. Dia hanya khawatir akan timbul kesalahpahaman."Bengkelnya tutup, Sayang. Mas pikir buka karena minggu kemarin sudah libur tiga hari. Tadi di pintunya ada tulisan libur sehari awal puasa." Aksara duduk di dekat sang istri. Netranya memandang jam tangan yang dipegang Marisa. Kebetulan uang sepuluh juta berada di dalam kotak yang tertutup dan tidak terlihat oleh Aksara."Ini kado dari bosku di kantor, Mas. Aku baru ingat dan membukanya tadi." Marisa bicara dengan nada tenang.Aksara memperhatikan jam tangan yang ditunjukkan oleh sang istri. Dia tahu itu jam mahal. Sebaik apa bosnya hingga memberikan kado jam semahal itu pada karyawannya. Sedangkan Marisa sendiri bukan sekretaris pribadinya, hanya staf di sana.Melihat sang suami masih diam sambil memperhatikan benda di tangannya, Marisa was-was. Apa Aksara curiga? Dirinya tidak sedang berkhianat. Antara dia dan
Marisa makin tak enak hati. Pengeluaran sebanyak itu harus di tanggung keluarganya Aksara. Padahal untuk urusan busana, mestinya menjadi tanggungan Marisa sendiri. Dia juga belum tahu kalau mereka merencanakan pakaian seragam yang sama untuk kedua keluarga . Apa dia harus menggunakan uang dari Daniel untuk mencukupi kebutuhannya sendiri?"Sabtu pagi kita berangkat, nanti nginap di rumah Mbak di Jombang. Minggu sore kita baru balik ke Surabaya."Mendengar penuturan Mahika, Marisa tidak bisa menjawab apa-apa selain mengangguk. Saat besok bertemu ibunya, dia baru bisa membahasnya dengan ibu dan Ulfa.Meski tak enak hati, Marisa merasa beruntung sekali dipertemukan dengan Aksara dan keluarganya yang sangat baik. Mau menerima dia apa adanya. Paham posisinya sebagai anak sulung yang masih memiliki banyak beban. Mengizinkannya bekerja untuk membantu keluarga. Tapi bagaimana jika dia punya anak nanti. Haruskah berhenti bekerja?Marisa menoleh pada Aksara dan Ubed yang tengah asyik bermain ber
Harga diri Marisa yang sekarang sedang jadi bahan lelucon para ibu-ibu yang asyik meng-ghibah pagi itu. Namun wanita yang berada di balik rak dagangan terus memilih beberapa kentang dan wortel, tanpa mempedulikan mereka karena ingat sekarang sedang berpuasa. Lagi pula untuk apa meladeni nyinyiran mereka, sementara dia harus cepat pulang dan bersiap untuk berangkat kerja. Walaupun obrolan mereka sangat menyakitkan.Pada saat yang bersamaan, masuk Sarah yang hendak berbelanja juga. Wanita itu melirik sekilas pada ibu-ibu yang masih seru membicarakan tentang Marisa, Aksara, dan Hafsah. Didekatinya Marisa dan menepuk pundaknya. "Nggak usah dimasukin ke hati omongan mereka," ucapnya lirih. Marisa tersenyum sekilas pada Sarah."Bu ibu, ingat to ini bulan apa? Kok seneng banget nyinyirin orang. Yang kalian omongin lagi dengerin ini, loh!" teriak ibu pemilik warung belanjaan pada keempat wanita yang berada di pojokan.Sontak mereka menoleh. Ibu pemilik warung menunjuk pada Marisa yang memili
Marisa membiarkan air membasahi wajahnya. Dia tidak bisa menahan diri dari tangisnya. Perjalanan pulang tadi sekuat tenaga dia menahan agar air matanya tidak jatuh. Namun sekarang tidak sanggup lagi. Dadanya terasa sangat perih.Beberapa saat dia terengah-engah menahan isak di bawah guyuran air shower. Kemudian mengelap air di wajahnya dengan kedua tangan. Mengambil napas panjang agar melonggarkan dadanya yang sesak.Padahal dia menikah dengan Aksara saat pria itu jelas bukan milik siapa-siapa. Hanya ada perencanaan perjodohan yang belum ada pembicaraan antar dua keluarga. Begini saja, dia menerima banyak sindiran dan kebencian. Bagaimana jika dia mau menjadi istri kedua Daniel? Tentu dirinya akan terhina lebih dari saat ini.Sebutan pelakor, wanita nakal, perebut, perempuan tak laku, dan entah apalagi akan tersemat dalam dirinya. Bahkan orang tuanya pasti juga ikut menanggung malu jika rahasia itu terbongkar. Kalau sekarang, keluarganya hanya tahu dia telah bahagia. Mendapatkan suami
Marisa kaget saat dipanggil dan ditawari pulang bareng. Pak Kyai yang duduk di samping sopir melambaikan tangannya. "Ayo!"Sepersekian detik, pikiran Marisa berpikir cepat. Dilema. Mesti diterima atau di tolak. Kalau diterima, dia merasa canggung karena ada Bu Haji dan Hafsah yang diam saja. Meski terlihat tak apa-apa, tapi Marisa yakin semua belum baik-baik saja. Walaupun tak terlihat, ada tirai tipis yang terbentang di antara mereka. Namun jika ditolak, sungguh tak enak hati juga. Akhirnya Marisa berdiri menghampiri mobil. Tersenyum dan mengangguk pada Bu Haji dan Hafsah, kemudian menangkupkan tangan pada Pak Kyai. "Maaf, Pak. Terima kasih banyak, tapi saya nggak bisa ikut. Maaf, banget!" sesal Marisa. Sungguh tak enak hati menolak tawaran laki-laki baik itu."Kamu dijemput?" tanya Bu Haji.Bohong kalau Marisa bilang iya, karena Aksara memang tidak bisa menjemput sore itu. Tapi dia kesulitan mencari alasan. Marisa hanya bisa tersenyum. "Beneran kamu dijemput?" tanya Pak Kyai.Mari
Dia juga menceritakan waktu pulang tadi sempat ditawari tumpangan oleh Pak Kyai tapi ditolaknya. "Habis itu kamu pulang naik apa tadi?""Naik angkot.""Kenapa nggak naik taksi. Mas sudah bilang kalau Mas nggak bisa jemput, kamu pulangnya naik taksi saja.""Angkotnya juga sepi penumpang tadi. Lebih irit naik angkot daripada naik taksi," jawab Marisa sambil tersenyum. Aksara berdecak lirih. Marisa melepaskan tangan sang suami dari pinggangnya. Kemudian mengambil tali untuk mengikat rambutnya dan masuk ke kamar mandi untuk berwudhu. "Oh ya, nanti aku tadarus tanpa Mbak Sarah. Dia lagi berhalangan," kata Marisa sambil memakai mukenanya usai keluar dari kamar mandi."Kalau gitu, langsung pulang saja habis salat tarawih. Nanti Mas tunggu di luar.""Jangan membantah. Oke!" lanjut Aksara ketika melihat gelagat sang istri hendak membantah permintaannya. Bukan Aksara melarang istrinya mengaji, dia hanya tidak ingin istrinya kembali tersakiti oleh sikap orang-orang di luar sana. Sementara Mari
Kesibukan menjelang hari raya dan persiapan untuk acara resepsi membuat Marisa menepikan saran kakak iparnya. Dia tetap beraktivitas seperti biasanya. Banyak yang harus di kerjakan dan diurus menjelang acara besar itu. Toh, sejauh ini dia juga tidak mengalami perubahan apa-apa pada tubuhnya."Mbak, gimana kalau aku berhenti kuliah saja dan fokus bekerja?" kata Ulfa sore itu ketika Marisa mampir ke rumah ibunya setelah pulang dari kantor. Hari ini dia kerja setengah hari karena hari Sabtu. Kebetulan ibu mereka sedang mengantarkan pesanan takjil ke tetangga."Janganlah, sayang kalau kamu berhenti," jawab Marisa sambil membantu menata donat di dalam kotak. Pesanan yang diambil sore nanti."Aku baru semester empat. Kurasa nggak masalah kalau aku berhenti, Mbak. Aku kasihan sama Mbak yang mesti membiayai kami sedangkan Mbak Risa sendiri sudah menikah.""Nggak usah stop. Lanjutkan saja kuliahmu. Mas Aksara nggak mempermasalahkan itu. Lagian Mbak berharap, setelah kamu lulus dan mendapatkan