Langit kembali menggelegar, seakan menandakan bahwa bentrokan terakhir ini akan menjadi legenda. Raja Han berdiri dengan napas terengah-engah, luka-luka di tubuhnya mengalirkan darah, tetapi tekadnya tetap membara. Di hadapannya, Putri Xian Ling masih tampak tenang, meskipun energi di sekelilingnya terus bergejolak, membuat udara bergetar hebat.Di kejauhan, Panglima Xian Heng hanya bisa mengamati dengan ekspresi datar, sementara pasukan kedua belah pihak telah mundur ke batas medan perang, menyaksikan dengan penuh ketegangan.Putri Xian Ling merentangkan kipas gioknya, senyum tipis terukir di wajahnya. “Yang Mulia, kau siap untuk serangan terakhir?”Raja Han mengangkat pedangnya yang kini bersinar lebih terang dari sebelumnya. “Kita akhiri ini.”Putri Xian Ling mulai bergerak lebih dulu. Dengan satu kibasan kipasnya, udara bergetar hebat, menciptakan gelombang energi biru yang menyelimuti seluruh langit. Ribuan simbol kuno muncul di udara, membentuk formasi energi yang berputar seper
Langit East City dihiasi percikan warna-warni dari kembang api yang meledak dengan semarak. Sorakan rakyat memenuhi udara, menggema di sepanjang jalan yang penuh sesak. Di antara kerumunan, seorang penjual makanan ringan berteriak menawarkan pangsit goreng, sementara anak-anak berlomba-lomba menangkap confetti yang beterbangan. Malam itu adalah malam kemenangan, malam di mana perang dengan Kerajaan Han resmi berakhir.Di dalam istana megah yang berhiaskan lentera merah, Kaisar Xian Shen mendengarkan laporan dari Putri Xian Ling dan Panglima Xian Heng. Dengan wajah serius, namun penuh ketenangan, sang kaisar akhirnya mengangguk setuju untuk mengirim utusan perdamaian ke Negeri Han. “Ini bukan hanya kemenangan senjata, tapi juga kemenangan hati,” ucapnya bijak.Namun, di balik wajah ceria rakyat, Xian Ling menyimpan kekhawatiran. Pangeran Han Zhin, pewaris tahta Kerajaan Han, dikenal keras kepala. Walau Raja Han menyetujui perdamaian, tidak ada jaminan Pangeran Han Zhin akan melakukan h
Malam semakin larut, dan langit berhiaskan bintang-bintang yang berkilau redup seperti mata-mata kuno yang mengawasi dunia. Namun, bagi Xian Ling, keindahan itu hanya latar belakang dari kegelisahan yang berputar di benaknya. Ia duduk di tepi ranjangnya, tangannya menggenggam selimut tipis, sementara tatapannya terpaku pada sosok yang melayang di udara—Artie, entitas bercahaya dalam bentuk Kitab yang baru saja dibebaskannya dari peti besi yang selama ini terkunci rapat."Artie," Xian Ling akhirnya membuka suara, suaranya sedikit bergetar. "Aku ingin bertanya sesuatu yang lebih penting."Artie, yang sejak tadi melayang-layang tanpa tujuan seperti daun tertiup angin, berputar perlahan di udara, cahayanya berkedip-kedip seolah sedang menyiapkan diri untuk drama besar. "Oh? Sepertinya ini akan menarik. Apa itu?" tanyanya dengan nada main-main.Xian Ling menarik napas dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. "Apakah Kerajaan Han benar-benar akan mematuhi perdamaian ini? Apakah merek
Fajar baru menyingsing di cakrawala, membawa angin yang berbeda ke Benua Timur. Cahaya mentari menelusup perlahan melalui celah jendela paviliun kerajaan, menghangatkan lantai batu yang dingin. Di dalam kamar yang luas namun sunyi, Xian Ling duduk bersila di atas tatami, jemarinya membalik halaman Kitab Nirvana Surgawi dengan gerakan perlahan. Ia berniat menghabiskan hari ini mendalami ilmu, menyelami makna tersembunyi dalam kitab suci yang konon menyimpan kebijaksanaan para leluhur. Namun, ketenangan paginya terhenti ketika pintu paviliunnya diketuk dengan tergesa-gesa.Seorang pelayan masuk dengan wajah cemas, tubuhnya sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. “Putri Xian Ling,” katanya dengan suara tertahan. “Utusan dari Kerajaan Shu telah tiba di East City. Mereka membawa kabar yang mendesak.”Xian Ling menutup kitabnya dengan tenang, tapi sorot matanya berubah tajam. Kerajaan Shu? Negeri yang selama ini dikenal damai dan subur, kini mengirim utusan dalam keadaan darurat? Ini bukan
Langit di atas Negeri Shu tampak seperti kanvas kelabu yang suram, matahari tertutup oleh kabut tebal yang menggantung rendah, menciptakan suasana mencekam. Angin berembus dingin, membawa aroma tanah yang mengering dan dedaunan yang membusuk. Saat rombongan Xian Ling mendekati perbatasan negeri itu, pemandangan yang mereka temui sungguh memprihatinkan—ladang-ladang yang seharusnya hijau dan subur kini menjadi lahan tandus yang retak-retak, rumah-rumah penduduk berdiri sunyi dengan jendela-jendela tertutup rapat, seolah takut sesuatu dari luar akan menerobos masuk.Xian Ling menahan napas ketika melihat seorang petani tua duduk di tepi jalan, menggenggam cangkul yang telah berkarat. Wajahnya pucat, matanya cekung dengan lingkaran hitam yang mencolok. Petani itu menatap ke arah mereka, tapi tatapan itu kosong, seolah tidak benar-benar melihat. Ketika salah seorang pengawal mencoba menyapa, pria tua itu hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, lalu kembali menunduk, seperti menyerah
Perjalanan menuju Kuil Hitam membawa rombongan Xian Ling melintasi wilayah yang seolah telah kehilangan jiwa. Hutan-hutan yang dulunya rimbun kini penuh dengan pepohonan yang meranggas, cabang-cabangnya melengkung seperti tangan yang menggapai-gapai putus asa. Suara burung-burung dan kehidupan liar yang biasanya menjadi irama alami hutan kini menghilang, digantikan oleh keheningan yang menekan. Hanya langkah kaki kuda dan suara gemerisik angin di antara dedaunan mati yang menemani mereka.Xian Ling merasakan atmosfer semakin berat seiring mereka mendekati Kuil Hitam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi hawa dingin yang tidak biasa menyusup ke dalam tulangnya, bahkan menembus jubah tebal yang dikenakannya. Tatapan matanya tetap fokus, meskipun ia bisa merasakan keraguan dan ketakutan mulai merayap di hati para pengawalnya.“Kita sudah dekat,” kata Panglima Xian Heng, suaranya rendah, seperti enggan memecah keheningan yang menyeramkan. Ia menunjuk ke arah bukit di depan mereka, di ma
Bayangan malam masih menyelimuti Negeri Shu ketika Xian Ling melangkah masuk ke ruang pertemuan yang diterangi cahaya lentera. Aroma dupa bercampur dengan hawa dingin dari luar, menciptakan suasana yang tegang. Panglima Xian Heng dan beberapa penasihat kepercayaannya sudah menunggu, wajah-wajah mereka dihiasi kecemasan yang sulit disembunyikan.Xian Ling mengambil tempat di hadapan mereka, tatapannya tajam bagai mata pedang yang siap menebas kebohongan. "Makhluk yang aku lawan di Kuil Hitam bukanlah sumber utama bencana ini," suaranya tenang tapi membawa bobot yang tak terbantahkan. "Ia hanyalah alat. Ada tangan manusia di balik semua ini—Sekte Api Neraka. Mereka menggunakan kultivasi kegelapan untuk menciptakan kekuatan kehancuran yang tak terkendali."Panglima Xian Heng mengepalkan tinjunya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Jika itu benar, kita harus menghancurkan mereka, Tuan Putri! Aku akan mengerahkan pasukan dari Benua Timur dan menyerbu markas mereka."Xian Ling me
Penjaga bertubuh kekar itu menyeret Xian Ling ke depan, mendorongnya dengan kasar hingga langkahnya tersentak. Ruangan yang mereka masuki gelap dan berbau anyir seperti darah yang telah mengering. Nyala obor di dinding berkedip-kedip, menari liar di permukaan batu kasar."Kita memiliki tamu baru," suara berat penjaga itu bergema, memecah keheningan yang menekan.Di tengah ruangan, seorang lelaki tua duduk di atas takhta batu hitam. Matanya menyipit, tajam seperti bilah belati yang mencari celah untuk menusuk. Xian Ling bisa merasakan hawa panas yang aneh menguar dari tubuhnya, seolah ruangan ini hanya sebuah perpanjangan dari api yang mengintai di kedalaman neraka."Namamu?" Suaranya berat dan berwibawa, seakan membawa ancaman yang tersembunyi di setiap kata.Xian Ling menundukkan kepala sebagai tanda hormat. "Shui Ling."Lelaki tua itu mengamati Xian Ling sejenak, seperti menilai seekor binatang buruan yang baru saja masuk perangkap. "Mengapa kau datang ke sini, Shui Ling? Apakah dun
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima
Xian Ling meluncur ke udara, tubuhnya berputar seperti bidadari yang berputar turun dari kahyangan, pedangnya berkilau saat menyapu gelombang energi hitam yang dilemparkan Qirana. Dentuman keras menggelegar, menggetarkan tanah di bawah mereka, seakan seluruh lembah bergetar dalam gemuruh kekuatan yang saling bertabrakan. Getaran itu merembet hingga ke tulang, mengusik kedamaian yang hanya ada dalam sekejap sebelum kekuatan itu menghancurkan segalanya.Qirana melesat ke samping, tubuhnya membengkok dalam kecepatan luar biasa, lengan kirinya bergerak dengan gesit, menciptakan lingkaran cahaya hitam yang menyelimuti tangannya. Dengan satu gerakan cepat, lingkaran tersebut berubah menjadi pedang energi yang berkilau tajam, siap meluncur menembus langit.“Kau hanya mengulur waktu, Xian Ling!” seru Qirana, suaranya penuh ejekan, terdengar seperti suara angin dingin yang berbisik. Senyumannya terlukis sinis di wajahnya, seakan kemenangan sudah ada di ujung jari. “Sejak Mahasura menghilang, k
Angin kencang bertiup membuat pakaian mereka berkibar-kibar. Langit yang kelam seakan menelan cahaya matahari, menciptakan bayangan-bayangan mencekam di antara pepohonan yang melingkupi Desa Naga. Aroma tanah basah bercampur bau logam menyelubungi udara, menambah kesan bahwa akan ada kejadian yang buruk di tempat tujua mereka."Apa kita tetap akan masuk ke Lembah Iblis, Tuan Putri?" tanya Sakuntala, suaranya mengandung kegelisahan. Mata tajamnya memandang jauh ke depan tempat Lembah Iblis berada, seolah-olah mengawasi mereka dari kejauhan. Ia merasa bahwa pencarian Pendekar Dewa Naga ini hanya akan membawa mereka ke jalan buntu. Namun, membawa pulang Naga Vikrama adalah keuntungan besar bagi Benua Timur.Xian Ling menoleh, sorot matanya tegas. "Aku harus mengetahui nasib Pendekar Dewa Naga. Ramalan Artie hanya menyebutkan bahwa Mahasura Arya akan berperan penting dalam menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Aku sengaja menyimpan ramalan ini agar kerajaan-kerajaan di bawah Kekaisar
Ki Seno menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya tajam namun menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan."Aku tak tahu di mana Mahasura sekarang," ucapnya dengan suara berat, nyaris berbisik. "Tapi aku yakin ia masih hidup!"Xian Ling menatap Ki Seno dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba, pikirannya menangkap sesuatu yang terpendam di benaknya."Kata Chandani, Ki Seno selalu pergi ke Gunung Awan Putih setiap pagi... Apa yang Ki Seno lakukan di sana?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.Ki Seno tertawa kecil, nada misterius tersemat di dalamnya. "Hahaha... Kau ingin tahu? Tapi berjanjilah untuk menjaga rahasia ini!"Tanpa menunggu jawaban, tubuh Ki Seno melesat, ringan bak sehelai daun yang ditiup angin. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia berlari dengan ilmu meringankan tubuh. Bayangan tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, mendaki gunung dengan kecepatan yang mencengangkan.Xian Ling, Sun Wu Long, Sakuntala, dan Chandani segera menyusul. Sun Wu Long, meski memi