“Kau sehangat musim panas seperti biasa, Sayangku. Dan meski aku sudah memasukimu berkali-kali, kau masih saja sempit seperti anak gadis.”
“Kau laki-laki brengsek yang banyak sekali omong. Sudah berapa lusin permpuan kau tiduri, hah?”
“Itu memang benar. Tapi mereka semua tidak sehangat dirimu. Mereka terlalu kering atau terlalu basah kadang-kadang. Tapi kau hangat, sempit dan… ah, bibirmu itu, benar-benar manis dimulutku. Kau tahu, aku mendambamu setiap waktu. Rasanya aku ingin bercinta selalu denganmu. Oh, aku jadi gila setiap kali memikirkan tubuhmu. Payudaramu yang kencang, penuh, menggoda. Oh, Tuhan… aku rasa aku benar-benar gila. Buka sedikit kakimu, Sayang. Oh, ya begitu.”
“Kapan kau akan menikahiku, William?
“Secepatnya, Sayangku. Secepatnya. Agar aku bisa bercinta denganmu setiap pagi di tepi kolam renang. Aku sudah tidak sabar untuk itu. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi seperti ini.”
“Kau janji?”
“Aku janji. Oh, astaga, Sayang. Bagaimana kau melakukannya? Nikmat sekali. Oh, Tuhan… jangan berhanti, Sayang. Oh, ya, ya, begitu. Oh, nikmatanya.”
“Kau makan sambil melamun saja, Lina. Ada apa?”
Paullina tersentak kaget dari lamunan setengah sadarnya. Dia mengambil gelas air minumnya. Setelah minum dan sedikit tenang dia berkata, “Aku sedang memikirkan William. Sudah hampir dua minggu dia pergi dan tak ada kabar sama sekali.”
“Apa yang kau khawatirkan, William, kan, sedang berlibur ke Singapur. Lagipula dia lelaki brengsek. Mungkin dia sedang bersenang-seanang dengan perempuan lain dan lupa mrmberi kabar,” sahut Susan sinis. “Sudahlah, Lina, lupakan saja William itu. Dia tidak pantas untukmu. Maksudku, di luar sana masih banyak laki-laki yang lebih baik darinya.”
“Tapi dia berjanji akan menikahiku.”
“Laki-laki akan mengubar seribu janji kalau sedang mendekati wanita, Sayangku. Apalagi laki-laki brengsek yang membanggakan kebrengsekannya seperti William itu.” Susan mengunyah ayam bakarnya seolah-olah mengunyah laki-laki yang sedang mereka bicarakan. “Kalau aku jadi kau, sudah kutenggelamkan kepala Willim ke dalam lumpur. Supaya dia tidak bisa lagi mengangkat dagu kotaknya yang kokoh itu tinggi-tinggi. Kau tahu, kita ini perempuan tidak diciptakan Tuhan untuk dijadikan mainan. Apalagi pelampiasan. Tidak, perempuan Tuhan ciptakan untuk menjadi pelengkap laki-laki. Artinya, jika kita tidak dihargai kita harus pergi cari yang lain. Kau mengerti maksudku, kan?”
Paullina mengangguk asal-asalan. “Sebenarnya William itu orang baik. Tapi kehidupanlah yang mengubahnya jadi jahat. Maksudku, kadang-kadang popularitas, pujian, sanjungan, kesuksesan, mampu mengubah watak manusia menjadi lain sama sekali.”
“Kau benar. William memang tidak seburuk itu. Tapi, tetap saja, dia tidak baik untukmu, Paullina. Aku tidak mau sahabat baikku hanya dijadikan tempat pelampiasan.”
Paullina menghela napas. “Kau membuatku terharu, San. Kau memikirkan kebaikanku lebih dari siapa pun. Bahkan diriku sendiri. Tapi kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Aku memang mencintai William secara membabi-buta, liar, dan kejam. Aku tidak jahat, tapi perasaan cinta mengubahku jadi jahat. Maksudku cintaku kepada William jahat. Tidak mengenal apa pun, tidak memedulikan apa pun, bahkan saat aku tahu aku bukanlah satu-satunya wanita yang dia kencani.”
“Kalau aku jadi kau, sudah lama kutenggelamkan William ke dasar lumpur kepalanya. Sudah kuberi nama berharga. Tapi aku bukan kau, dan kau juga bukan aku. Cara mencintai kita berbeda. Kau kejam sedang aku benar-benar begitu saja.” Susan kembali mengunyah ayam bakarnya sambil masih terus bicara. “Begini, maksudku, saat seseorang mencintai, dia akan mencurahkan apa yang hidup dalam dirinya kepada pasangannya. Tapi itu bukan berarti dia memberikan seluruhnya. Kau masih harus menyisakan kewarasanmu, akal, dan logika. Kalau kau juga memberikan itu semua, hanya ada dua kemungkinan untukmu: kau akan menderita karena cintamu atau kau akan bahagia karenanya juga.”
Paullina kembali meneguk air minumnya. “Aku sudah kenyang.” Dia mendorong piring ke depan. “Omong-omong, San, aku memiliki seorang pasien yang aku rasa pendapatnya akan menggelitik jiwa penulis fiksi kriminalmu.”
“Apa itu?”
“Menurut pasienku ini, laki-laki brengsek yang sadar mempunyai pesona, dia tidak lebih dari seekor anjing berpenyakit kusta yang harus disingkirkan. Jenis laki-laki ini dapat membahayakan banyak perempuan. Karena itu, menurutnya, dia lebih baik dibunuh dengan cara apa pun agar tidak berbuat kerusakan atas diri perempuan yang lemah lebih banyak lagi. Bagaimana menurutmu?”
Susan menelan suap terakhirnya dengan susah payah. Setelah minum dia berkata, “Gagasan yang sangat menarik. Laki-laki brengsek sama dengan seekor anjing berpenyakit kusta. Aku setuju dengan gagasan itu. Kecuali bagian membunuhnya, tentu saja. Bagaimanapun kita tidak bisa dengan seenak hati menghilangkan nyawa orang lain. Atas dasar apa pun pembunuhan tidak pernah dibenarkan. Menurutku, laki-laki brengsek begini, memang perlu kita beri pelajaran berharga. Tapi pelajaran itu banyak. Bisa dengan menamparnya di depan umum, atau membuka skandalnya ke media. Banyak cara untuk membunuhnya—tentu saja membunuh dalam artian yang lain sama sekali. Aku sendiri, kau tahu, kan, lebih suka menyebutnya dengan meneggelamkan kepalanya ke dalam lumpur. Agar tidak bisa mengangkat dagu.” Susan bangkit dari duduknya, merapikan piring kotor dan membawanya ke belakang. “Kalau kau ingin istirahat, pergilah tidur. Aku sudah merapikan kamar tamu untukmu,” sambung Susan sebelum menghilang ke belakang.
Paullina membuka stoples. Pantulan wajah dari tutup kaca stoples itu membuatnya bergidik. “Aku seperti monster perempuan yang menyeramkan,” bisiknya lalu menutup kembali stoples itu. Dia bangkit menyusul Susan ke dapur. “Aku rasa aku tidak akan bisa tidur malam ini,” ujar Paullina. Dia berdiri menyender di meja kompor. “Aku masih saja kepikiran William. Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu hal yang buruk yang terjadi padanya. Sosial media William tidak aktif sudah sekitar dua minggu. Dan aku tidak bisa menghubunginya. Bagaimanapun, seburuk apa pun perlakuannya terhadapku, aku tetap saja mengkhawatirkan William.”
Susan mengerang sebal. “Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, lelaki brengsek itu tidak pantas dikhawatirkan. Bahkan sekalipun dia menghilang ditelan bumi. Karena, toh, dia akan muncul sendiri dengan sensasinya seperti biasa,” sahut Susan dari arah bak cuci piring. “Kau seharusnya lebih memperhatikan dirimu, Lina. Kau tampak lebih kurus dan lingkaran gelap di bawah matamu semakin nyata.”
“Aku baik-baik saja.” Paullina memasukan kripik kentang ke mulutnya. “Bahkan napsu makanku lebih sekarang. Hanya, yah, tekanan pekerjaan aku rasa.”
“Sepertinya kau butuh liburan. Ya, kau harus liburan untuk menenangkan diri dan melepaskan kepenatan dari rutinitasmu yang super padat itu. Bagaimana?”
“Satu-satunya yang kubutuhkan adalah tidur nyenyak, Susan. Yah, tidur yang seperti bayi. Tapi itu sulit sekali. Jam tidurku kacau dan kualitas tidurku buruk.”
“Sebenarnya apa yang sedang mengganggumu, Paullina? Aku yakin ini bukan soal William belaka.” Susan meletakan piring terakhir di rak lalu melap tangannya dan berbalik menatap temannya. Paullina sedang bersandar di meja kompor, mulutnya sibuk mengunyah keripik kentang, namun pandangannya menatap hampa ke lemari gantung di depan. “Sekarang aku semakin yakin kalau kau tidak baik-baik saja. Kalau kau tidak ingin bercerita padaku, tidak masalah. Mungkin ini soal pekerjaanmu dan kau tersumpah untuk merahasiakan itu. Tapi, kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan, apa saja, kumohon, katakan padaku. Aku ingin membantu bebanmu.”
Paullina memasukan potongan kripik kentang terakhir lalu menoloh ke Susan. “Apa kau punya obat tidur?” tanyanya benar-benar di luar dugaan. “Aku kehabisan obat tidurku dan aku lupa membelinya. Aku terlalu stres untuk bisa tidur. Dan seperti katamu, aku tidak bisa membagi masalahku ini dengan siapa pun. Tapi, ada satu hal yang ingin kuceritakan padamu—ya, aku tak bisa menyimpan ini sendirian lebih lama lagi. Sebelum kau memberiku obat tidur, sebelum aku melupakannya besok pagi—karena aku akan mengatur otakku melakukannya begitu nanti—aku beritahu kau, bahwa kau harus berhati-hati dengan banyak orang. Kau tidak boleh terlalu mempercayai orang lain, bahkan dirimu sendiri. Kadang, orang yang tampak lugu sekalipun bisa menikam perutmu dari belakang. Dan soal dirimu itu, sama seperti diriku yang merasa hebat dan kuat, tapi pada kenyataannya aku tidak sehebat dan sekuat itu.
“Kuberitahu kau ini, San, karena kau teman terbaikku. Ada seseorang yang tak diduga-duga di antara kita, yang memiliki tabiat sangat berbahaya. Dia tidak tampak mencurigakan, sama sekali seperti orang kebanyakan bahkan lebih baik lagi. Tapi dia berbahaya pada level tertinggi. Dia ini sanggup melemahkan hati manusia atau menguatkannya kalau dia suka. Dia bukan orang jahat biasa. Dia bengis dan kejam. Dan kuberitahu ini padamu, San, karena kamu juga memiliki kepala yang sama dengannya.”
“Apa maksudmu, Lina? Sebenarnya apa yang sedang kau bicarakan?”
“Kepalamu itu, San, sama dengannya, dengan orang yang tak bisa kusebutkan namanya ini. Kalau saja aku tidak tersumpah, pasti kukatakan segalanya padamu. Pasti kuceritakan betapa mengerikannya isi kepala manusia itu. Jalan pikirannya rumit sekali. Gagasan-gagasannya, ide, ekspresi, semuanya sangat buruk sekaligus mengerikan. Orang ini benar-benar berbahaya. Kepalanya berbahaya. Ya, jika kepalamu yang tajam, cemerlang dan ajaib itu kau gunakan untuk kebaikan, sebaliknya, dia gunakan kepalanya itu untuk berbuat kerusakan atas diri orang lain.”
Susan mengerutkan keningnya semakin dalam. “Lina, sebenarnya siapa yang sedang kau bicarakan ini? Siapa yang berbahaya dan harus kita waspadai?”
Paullina mendesah. “Aku tidak bisa mengatakan siapa. Sialan memang. Tapi percayalah padaku. Orang itu ada di sekitar kita. Saat ini kau belum berkenalan dengannya memang. Tapi ini Cuma soal waktu. Cepat atau lambat kau pasti akan bertemu dan berkenalan dengannya. Kalau hari itu tiba, ingat pesanku: jangan kau tatap dalam-dalam matanya. Kau akan terjerat tipu muslihatnya kalau kau menatap matanya. Dia tidak menyembunyikan dirinya di balik mata, dia menyembunyikan diri di balik tarikan senyum.”
“Lina, tenangkanlah dirimu. Bicara pelan-pelan. Aku tidak mengerti yang kau bicarakan.”
“Kau akan mengerti. Ya, nanti kau akan mengerti. Aku tahu itu. Sekarang yang perlu kau lakukan hanya tetap waspada. Jangan mudah percaya kepada orang sekalipun kau sudah cukup lama mengenalnya. Apalagi dengan orang yang memiliki tatapan mata yang menghancurkan. Segara jauhi dia, Susan. Orang ini berbahaya. Dia memiliki semacam perasaan berkuasa atas diri orang lain. Sudah banyak kasus yang kutemui dan itu mengerikan. Mereka, orang-orang yang seperti ini, bisa menjadi pembunuh berdarah dingin. Yang lebih mengerikan lagi, mereka bisa mempengaruhi orang lain untuk membunuh orang yang ingin dia bunuh. Dengan menularkan satu pemahaman atau kebencian atau apa pun itu. Ya, berbahaya sekali memang orang-orang seperti ini. Tapi bukan itu bagian mengerikannya, melainkan—”
“Paullina, hentikan! Sudah cukup, aku mohon.” Susan berseru mengguncang-guncang tubuh sahabatnya. “Apa yang terjadi padamu, Paullina? Aku tahu sudah terjadi sesuatu, aku mohon bicaralah. Kau temanku, kau bisa mempercayaiku, aku mohon, bicaralah yang sejujurnya. Aku berjanji akan membantumu, aku janji.”
Paullina memeluk Susan dan tangisnya pun pecah. “Aku hamil, San. Aku hamil dan William mencampakanku, dia tidak mau bertanggung jawab. Aku tidak tahu harus bagaimana, aku stres, dan… aku tidak tahu harus berbuat apa.”
“Bangsat! Laki-laki memang selalu ingin menangnya sendiri. Kau jangan khawatir, aku pastikan William akan menikahimu. Akan kupaksa kalau dia tidak mau.”
Paullina masih tersedu-sedu. “Aku tidak tahu apakah William mau bertanggung jawab atau tidak. Maksudku, dia sudah memutuskan hubungan. Kami sudah tidak saling komunikasi lagi.”
“William pasti menikahimu, aku pastikan itu. Bagaimanapun caranya aku tidak peduli.”
“Kalau kau tanya pendapatku sekarang, aku berpikir bahwa William lebih baik mati. Ya, lebih baik dia mati.”
Susan memejamkan mata memeluk Paullina makin erat. “Jangan bicara yang bukan-bukan, Lina. Tuhan selalu mendengar yang kita katakan. Ingat saat dulu kau marah dan berkata bahwa semoga Sammy kecelakaan dan mati saja? Semuanya jadi kenyataan, bukan? Dan sekarang, kalau William mati, bagaimana dengan dirimu, Paullina? Aku memikirkan kebaikanmu.”
Paullina memeluk Susan semakin erat namun tidak berkata apa-apa. Kenangan akan masa lalu membanjiri kepalanya bagai bendungan ambrol. Dalam banyak hal sahabatnya itu memang benar. Termasuk soal William. Susan sudah tidak setuju sejak pertama dia menjalin hubungan dengan William. William itu laki-laki brengsek yang membanggakan kebrengsekannya, begitu pendapat Susan. Tapi Paullina tidak sependapat. William itu sebenarnya lembut, romantis, dan di atas segalanya dia bisa memuaskan Paullina di atas ranjang. Satu nilai lebih di banding kekasih Paullina yang lain selama ini. Itulah sebenarnya alasan Paullina mempertahankan William. Paullina membutuhkan seseorang untuk memuaskan dirinya yang memiliki kelain seksual komplusif di atas ranjang. Dan tentu saja tidak ada orang yang tahu soal ini tanpa terkecuali William sendiri. Sebagai seorang psikolog, Paullina mempunyau kecakapan yang sempurna dalam hal bersandiwara, dia terlatih untuk menjadi banyak sosok saat berhadapan dengan pasiennya.
Semuanya akan baik-baik saja, Lina. Kita cari jalan keluarnya bersama,” gumam Susan.
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padamu, San. Terima kasih. Kau benar-benar sahabat baikku. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa membalas budi baikmu.”
“Tidak ada yang perlu dibalas. Seorang teman akan dengan senang hati menolong temannya bahkan sekalipun dia tidak meminta. Itulah gunanya teman.”
Paullina melepaskan pelukannya. “Apa kau akan tetap jadi temanku meski kau tahu segalanya? Maksudku, kau tidak akan membenciku apa pun yang terjadi?”
Susan menggenggam kedua tangan Paullina. “Kita teman selamanya, Paullina. Apa pun yang terjadi kau tetap temanku. Selama-lamanya.”
“Janji?”
Susan mengangguk. “Janji.”
“Baiklah, sekarang beri aku obat tidur. Aku lelah sekali. Aku banyak pekerjaan besok. Aku tidak mungkin menerima pasien dalam keadaan kacau.”
“Ini benar-benar akan menjadi akhir pekan yang suram,” keluh Bripka Ega yang duduk di belakang kemudi. “Dua mayat tanpa identitas. Mimpi buruk yang mengerikan.”“Tidak, belum semuanya, Pak Ega. Karena saya baru mendapat perintah dari Pak Inspektur untuk mengidentifikasi mayat yang terbakar itu malam ini juga,” sahut Aipda Zen yang duduk di sebelahnya.“Entah ini hanya perasaan saya atau memang ada yang tidak beres dengan Pak Inspektur,” ujar Bripka Arif. “Tidak biasanya Pak Inspektur seperti ini. Apa Pak Inspektur mengatakan sesuatu pada Anda, Pak Zen?”“Tidak spesisifik. Tapi, perintah yang saya dapat adalah kita harus mengidentifikasi mayat ini sedapat mungkin dan memastikan bahwa itu bukan mayat Nicholas.” Aipda Zen menoleh ke belakang, melirik kantong jenazah di samping Bripka Arif. “Saya rasa Pak Inspektur cemas bukan kepalang karena ini berkaitan dengan keponakan Pak WaKa y
“Ada apa kau menelpon tengah malam begini? Saya mengantuk.” “Saya minta maaf mengganggu waktu Anda. Saya hanya ingin mengucapkan selamat untuk Anda. Saya tidak menyangka Anda punya keberanian sebesar itu. Maksud saya, Anda benar-benar luar biasa.” “Rencanamu yang sempurna. Kau tahu itu.” “Anda mabuk?” “Tidak, saya mengantuk. Saya baru menelan obat tidur.” “Kalau begitu, baiklah. Saya tutup dulu teleponnya. Selamat malam, Dokter.” Gadis itu memutus sambungan telepon lalu merebahkan diri di ranjang. Membayangkan pencapaian hebat yang diraihnya dalam kurun waktu tiga minggu ini membuatnya tersenyum bangga. Siapa yang menyangka dia bisa melakukan hal seperti itu. Semua orang, terutama laki-laki, selalu menganggapnya lemah, tak berarti, tak mampu berbuat sesuatu sekalipun diremehkan. Dia membenci laki-laki melebihi apa pun di dunia ini. Hidupnya hancur, kelurganya berantakan karena laki-laki. Kakaknya bunuh diri setalah diham
Malam sudah larut, fajar sebentar lagi menyingsing di ufuk timur. Namun, Surya Wiratama sama sekali belum dapat memejamkan mata. Pria berambut keperakan itu masih mondar-mandir di ruang kerja pribadinya, resah bukan kepalang. Ini adalah malam ketiga Nicholas tidak pulang dan entah mengapa firasatnya buruk. Inspektur Indra juga belum memberikan kabar terkait keberadaan Nicholas. Meski anak semata wayangnya itu selalu membuat masalah, kurang ajar, dan tidak dapat dikatakan anak baik-baik meski sudah berkepala tiga, tetapi, Nicholas tetaplah anaknya. “Pa, apa belum ada kabar dari Pak Inspektur?” tanya istrinya, Lisa, yang baru masuk. Yang ditanya hanya menghela napas lalu menggeleng sedih. “Ke mana, ya, Nicholas. Nomornya tidak aktif, juga tidak memberi kabar. Ibu cemas, Pa.” “Bapa juga cemas, Bu. Walaupun Nicholas selalu bikin masalah, tapi, Bapa tetap cemas kalau begini keadaannya.” “Bapa sudah tanyai semua teman Nicholas?” “Sudah
“Selamat malam, Bu Susan. Saya minta maaf meroptkan dan mengganggu istirahat Anda. Masalahnya mendesak, Bu,” ujar Inspektur Indra saat perempuan itu tiba.“Selamat malam Pak Inspektur, Pak Ega.” Susan mengulurkan tangan untuk berjabat. “Kapan pun Anda membutuhkan bantuan saya, Pak Inspektur. Saya dengan senang hati akan membantu.”“Anda baik sekali, Bu Susan.”“Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Meskipun kecil dan tidak terlalu berarti, setidaknya ada sesuatu yang bisa saya berikan untuk negara ini.”“Anda luar biasa. Jiwa patriotisme Anda mengaggumkan.”“Silakan duduk, Bu Susan,” ujar Bripka Ega. “Sambil menunggu Dokter Diaz selesai melakukan identifikasi odontologi, mungkin Pak Inspektur akan menjelaskan terlebih dahulu duduk permasalahan genting ini.”“Tentu saja. Saya masih berada dalam gelap memang. Bahkan, meskipun saya s
Revi Miranda gelisah di tempat tidurnya. Tommy Robin, mantan suaminya yang baru keluar dari panti rehabilitasi menghilang bagai ditelan bumi. Nomor teleponnya tidak aktif dan dia tidak pulang ke rumahnya dan tidak juga ke rumah Revi. Tommy memang lelaki brengsek, begundal keparat yang tak tahu diuntung. Dia telah memberikan segalanya untuk mantan suaminya itu, bahkan telah memafkan perselingkuhan-perselingkuhan Tommy. Akan tetapi, bagai susu dibalas air tuba. Kebaikan Revi sama sekali tidak berarti apa pun. Tommy menggugat cerai Revi diusai pernikahan mereka yang baru seumur jagung. Dengan alasan tak masuk akal—Revi tidak dapat memberinya keturunan. Sebulan pasca mereka bercerai, Tommy menikah wanita simpanannya, Ana. Tapi pernikahan itu kandas dalam waktu dua bulan.“Kenapa aku harus memikirkan si brengsek itu, mungkin sekarang dia sedang bercinta dengan pacar-pacarnya,” gumam Revi. Namun itu sama sekali tidak menenangkan. Pikirannya terus berkecamuk.
Ketegangan yang mengambang di udara dalam ruangan Dokter Stefani menjadi semakin berat. Berita luar biasa yang disampaikan Inspektur Indra dan fakta yang disuguhkan dari hasil identifikasi forensik membuat ketiga orang itu diliputi kebingungan yang absolut. Susan sekali lagi memeriksa catatan Dokter Diaz, mencocokan. Tapi semua sudah sesuai deskripsi. “Pasti ada yang salah di sini,” ujar Inspektur Indra sambil menatap gambar sketsa wajah Nicholas yang dibuat Susan. “Tapi, apa mungkin Pak Surya berbohong? Sebab identifikasi forensik kecil kemungkinannya keliru.” “Sepertinya kita perlu menyelidiki lebih lanjut,” sahut Bripka Ega. “Tapi, sebaiknya kita tunggu sampai autopsi selesai dilakukan berikut tes DNA. Agar semuanya pasti.” “Saya setuju,” kata Susan. “Kalau diperbolehkan, saya menawarkan diri untuk membantu. Saya akan pergi ke Lembang mencari tahu keberadaan Nicholas. Sekaligus mengajak Lina menenangkan diri.” “Bagaimana, Pak Inspektur?”
Dimas Ardhio menyulut rokok. Dia sedang menonton siaran berita pagi. Kabar mengenai temuan mayat pria tanpa identitas di lubang galian kabel yang diduga korban pembunuhan itu membuat lelaki tampan berusia dua puluh tujuh tahun berambut kemerahan itu ngeri. Kekasihnya, Merie, mengancam akan membunuh Dimas dan dirinya sendiri jika dia berani main api di belakangnya, sementara Dimas sendiri adalah seorang petualang. Kalau Merie tahu aku punya simpanan mampus aku, bisa jadi nasibku sama seperti pria malang di televisi itu, batin Dimas.Entah untuk yang keberapa kalinya Dimas terheran-heran bagaimana dia bisa jatuh terjebak ke dalam pelukan Merie. Dia selalu membanggakan dirinya sebagai lelaki paling bebas dan bahagia, dan teman-temannya setuju akan pendapat itu. Sejak menginjak usia dua puluh, Dimas selalu berhasil memiliki beberapa gadis dalam berbagai tahap. Tahap pertama meliputi gadis-gadis yang baru dikenalnya. Mereka akan menerima telepon, coklat dan
“Jadi, menurut Anda pembunuhnya adalah kedua gadis itu?” ujar Dokter Diaz saat Susan selesai bercerita.“Tidak, sama sekali bukan begitu meskipun kemungkinannya selalu ada sekecil apa pun. Yang ingin saya katakan adalah kita tidak boleh meremehkan petunjuk meski itu tampak sepele dan tidak berarti.”“Jangan berbelit-belit, Bu Susan. Jelaskan secara singkat untuk menghemat waktu.”Susan menghela napas dalam-dalam. Sekarang dia mengerti kenapa Bripka Ega tidak begitu menyukai Dokter Diaz. “Begini, untuk mengetahui apakah ada kemungkinan kasus pertama dan kasus kedua saling terkait, kita harus mencari motif pembunuhan Nicholas terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan kedua gadis di kafe itu, membunuh itu mudah. Memang mudah jika kita tahu caranya.”“Menurut saya, kolerasinya terlalu lemah. Meskipun seperti yang Anda katakan kalau kemungkinan itu selalu ada. Mungkin saja, kan, kasus pertama bukan pembunuhan
Dia duduk di barisan depan gereja. Matanya terpejam erat dan tangannya dalam posisi berdoa. Dengan perlahan dia melepaskan diri dari ikatan dunia, dari belenggu tubuhnya. Alunan musik dan nyanyian yang naik turun mengikuti irama menghilang, menyisakan kesenyapan. Dengan gerakan refleks dia menundukkan kepalanya, sampai dagunya hampir menyentuh tangannya. Terus tenggelam semakin jauh, semakin dalam, hingga ke dasar. Lalu, dalam kehampaan, dalam kegelapan total itu, dia meminta izin kepada tuhannya. “tuhan, beri aku perlindunganmu untuk menjagal satu lagi babi persembahan. Berkatilah aku dalam tugas mulia ini, tuhan. Agar segala sesuatunya berjalan sesuai rencana.” Setelah berkata demikian dalam hatinya, dia mengangkat dagu. Membiarkan kembali dirinya terikat dunia, terikat tubuhnya. Membiarkan kembali telinganya di penuhi musik, kepalanya dipenuhi nyanyian. Dia kemudian tersenyum menatap patung Yesus yang tersalib sambil tangannya meraba, mencari rosario di tas kecilnya. Aku suda
“Baiklah, mari kita mulai penyelidikan ini dari pertama sekali,” kata Aipda Zen saat dia dan yang lainnya tiba di lokasi kejadian perkara yang hanya satu blok dari kediamannya setelah mereka selesai sarapan. “Bu, waktu Ibu dan Lina mendengar ledakan disusul sambaran api, apakah waktu itu posisi gembok pintu gerbang terbuka?” tanya Aipda Zen kepada istrinya.“Gembok itu terkunci. Tapi, sepertinya kuncinya rusak. Karena, saat Paullina membuka dengan paksa dengan menarik-narik dan memukul dengan batu kecil gemboknya terbuka.”Aipda Zen berjongkok mengamati bekas goresan di tepi gembok. Tiba-tiba Rindka ikut jongkok dan meraih gembok itu. “Mari kita coba, apakah gembok ini benar-benar rusak atau tidak,” ujarnya seraya menguncikan gembok hingga terdengar bunyi klik. Kemudian dia menarik-narik gembok tersebut sekuat tenaga dan memukulnya dengan batu yang menurut Susan digunakan oleh Paullina sebelumnya. Tapi nihil. Gembok itu t
“Oh, betapa mengerikannya zaman sekarang yang tidak lagi berperikemanusiaan ini,” kata Paullina saat membantu Susan mengupas bawang merah di dapur. “Kurasa dunia sebentar lagi kiamat. Maksudku, dalam arti yang sesungguhnya tentu saja. Lihat saja, di mana-mana terjadi pembunuhan. Seorang ibu mencincang hidup-hidup bayinya hanya lantaran ayah si bayi tidak bertanggung jawab, seorang cucu membunuh neneknya karena dinasihati jangan pulang terlalu larut malam, seorang kekasih mengubur hidup-hidup kekasihnya sendiri lantaran dia selingkuh—itu seperti umum dan tak berkesan menakutkan.”“Ketika seorang manusia kehilangan prinsip hidupnya maka dia akan berubah menjadi binatang—tak lagi memiliki simpati dan empati. Namun begitu, semua tentu saja ada alasannya. Seperti yang kita berdua tahu, zaman sekarang ini tuntutan hidup itu tinggi. Dan itu semua juga mempengaruhi tingkat emosional kita. Saat seseorang ingin dianggap ada,
Suasana hati Celline Tan sedang cerah. Setelah selesai mandi dia bernyanyi riang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Aku mengerti Perjalanan hidup yang kini kau lalui Kuberharap Meski berat, kau tak merasa sendiri Kau t’lah berjuang Menaklukkan hari-harimu yang tak mudah Biar kumenemanimu Membasuh lelahmu Celline kemudian bersiul asal-asalan. Dia mengambil sisir dan mulai menyisir rambutnya. Sesekali dia tersenyum melihat bayangan di cermin yang mengikuti semua gerak-geriknya. Gadis yang cantik dan penuh gairah hidup. Bapa, sentuh hatiku Ubah hidupku menjadi yang baru Bagai emas yang murni Kau membentuk bejana hatiku Celline berganti menyanyikan lagu rohani
“Itu ide yang brilian. Kau benar. Membunuh dengan racun lebih mudah dan minim risiko.”“Selain itu tingkat keberhasilannya tinggi dan kerjanya cepat.”“Jadi, sudah diputuskan kita akan membunuh Joe Willmar dengan racun sesuai idemu.”“Sebenarnya itu ide temanku.”“Tidak masalah. Ide itu brilian.”“Aku setuju. Dia itu jenius yang tersembunyi.”Bripka Arif mendengarkan percakapan putri semata wayangnya di telepon dan tersenyum sendiri. Rindka Amelia berusia lima belas dan berambisi menjadi penulis novel fiksi kriminal terkenal seperti idolanya, Susan Ollivia. Bripka Arif tidak berdaya. Sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu, Rindka terpuruk. Anak itu seperti kehilangan semangat hidup. Secercah harapan baru datang kemudian setelah Rindka bertemu dengan istri Aipda Zen yang memberinya novel fiksi kriminal karya terbarunya. Rindka terpesona membaca buku itu dan sejak saat i
Meriene Sophia sedang di dapur memasak sop ayam saat terdengar suara mobil masuk di depan. Dia mematikan kompor, menutup panci dan bergegas membuka pintu. Inspektur Indra turun dari mobil. Wajahnya lesu dan lelah.“Lho, katanya tidak pulang, kok Bapa pulang?” tanya Meriene.“Nanti ke kantor lagi jam setengah delapan, Bu. Bapa mau mandi dan ganti baju dulu.” Inspektur Indra meletakan sepatunya di rak di dekat pintu masuk. “Ibu masak apa? Wanginya enak sekali.”“Sop ayam. Ibu mau menjenguk teman ibu yang sedang tidak enak badan.”“Oh. Anak-anak sudah berangkat?”“Sudah. Mungkin sudah sampai sekolah. Oh, iya. Tadi Celline menelepon memberitahu kalau Revi sedang sakit. Nanti Ibu mau menjenguk Revi sekalian.”“Revi sakit apa?”Meriene menggeleng. “Ibu tidak tahu. Celline tidak menjelaskannya.” Meriene mengambil cangkir untuk menyeduh kopi. Inspe
“Jadi, menurut Anda pembunuhnya adalah kedua gadis itu?” ujar Dokter Diaz saat Susan selesai bercerita.“Tidak, sama sekali bukan begitu meskipun kemungkinannya selalu ada sekecil apa pun. Yang ingin saya katakan adalah kita tidak boleh meremehkan petunjuk meski itu tampak sepele dan tidak berarti.”“Jangan berbelit-belit, Bu Susan. Jelaskan secara singkat untuk menghemat waktu.”Susan menghela napas dalam-dalam. Sekarang dia mengerti kenapa Bripka Ega tidak begitu menyukai Dokter Diaz. “Begini, untuk mengetahui apakah ada kemungkinan kasus pertama dan kasus kedua saling terkait, kita harus mencari motif pembunuhan Nicholas terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan kedua gadis di kafe itu, membunuh itu mudah. Memang mudah jika kita tahu caranya.”“Menurut saya, kolerasinya terlalu lemah. Meskipun seperti yang Anda katakan kalau kemungkinan itu selalu ada. Mungkin saja, kan, kasus pertama bukan pembunuhan
Dimas Ardhio menyulut rokok. Dia sedang menonton siaran berita pagi. Kabar mengenai temuan mayat pria tanpa identitas di lubang galian kabel yang diduga korban pembunuhan itu membuat lelaki tampan berusia dua puluh tujuh tahun berambut kemerahan itu ngeri. Kekasihnya, Merie, mengancam akan membunuh Dimas dan dirinya sendiri jika dia berani main api di belakangnya, sementara Dimas sendiri adalah seorang petualang. Kalau Merie tahu aku punya simpanan mampus aku, bisa jadi nasibku sama seperti pria malang di televisi itu, batin Dimas.Entah untuk yang keberapa kalinya Dimas terheran-heran bagaimana dia bisa jatuh terjebak ke dalam pelukan Merie. Dia selalu membanggakan dirinya sebagai lelaki paling bebas dan bahagia, dan teman-temannya setuju akan pendapat itu. Sejak menginjak usia dua puluh, Dimas selalu berhasil memiliki beberapa gadis dalam berbagai tahap. Tahap pertama meliputi gadis-gadis yang baru dikenalnya. Mereka akan menerima telepon, coklat dan
Ketegangan yang mengambang di udara dalam ruangan Dokter Stefani menjadi semakin berat. Berita luar biasa yang disampaikan Inspektur Indra dan fakta yang disuguhkan dari hasil identifikasi forensik membuat ketiga orang itu diliputi kebingungan yang absolut. Susan sekali lagi memeriksa catatan Dokter Diaz, mencocokan. Tapi semua sudah sesuai deskripsi. “Pasti ada yang salah di sini,” ujar Inspektur Indra sambil menatap gambar sketsa wajah Nicholas yang dibuat Susan. “Tapi, apa mungkin Pak Surya berbohong? Sebab identifikasi forensik kecil kemungkinannya keliru.” “Sepertinya kita perlu menyelidiki lebih lanjut,” sahut Bripka Ega. “Tapi, sebaiknya kita tunggu sampai autopsi selesai dilakukan berikut tes DNA. Agar semuanya pasti.” “Saya setuju,” kata Susan. “Kalau diperbolehkan, saya menawarkan diri untuk membantu. Saya akan pergi ke Lembang mencari tahu keberadaan Nicholas. Sekaligus mengajak Lina menenangkan diri.” “Bagaimana, Pak Inspektur?”