Shania mematut tanaman kecil yang unik dalam sebuah pot kecil yang baru saja di terimanya dari tangan Janeta.
“Hm, ini tanaman hias yang tidak mudah untuk berkembang biak. Berasal dari gunung Cedarberg yang ada di Afrika Selatan. Tanaman ini sungguh langka dan sangat sulit di temukan keberadaannya dan konon kabarnya mempunyai daya magic yang mampu memberikan perlindungan.” gumam Shania dengan wajah berseri menggantikan rona kusut yang sebelumnya terlihat jelas.“Hmm..he..hmm.” gumam Janeta tidak jelas. Shania ternyata lebih mengetahui secara detail tentang tanaman hias yang sedang ia tawarkan itu.“Aku akan membayarnya dan sekali gus membayar jasamu untuk merawat tanaman ini! Kamu harus datang ke rumahku setiap hari dan usahakan tanaman ini bertunas dalam waktu secepat mungkin!” sederetan perintah keluar begitu saja dari bibir seksi wanita cantik berkulit putih bersih itu.“Taa.. tapi.. Nyonya!” Janeta tidak meneruskan kalimatnya. Ia hanya menatap wajah Shania yang juga tengah memandanginya.“Aku akan bayar tanaman ini 50 juta. Dan gajimu 5 juta sebulannya.” ujar Shania lalu meninggalkan Janeta yang kebingungan di teras rumah dengan biji mata membesar mengiringi kepergian Shania yang melenggok gemulai memasuki rumahnya.Tak lama kemudian Shania kembali dengan membawa selembar kertas cek.“Ini cek kontan senilai 55 juta rupiah, kamu boleh pergi sekarang ke bank untuk mencairkan uang ini dan jangan lupa kembali besok pagi untuk memulai tugasmu! Dan kamu hanya libur satu hari dalam seminggu yaitu di hari Selasa!” bagaikan terompet yang di tiup seorang, kembali wanita muda nan cantik itu memborbardir Janeta dengan sederetan perintah.“Baiklah Nyonya!” ujar Janeta mengangguk dengan hikmat. Hatinya tentu saja senang karena tujuannya untuk mendekati Shania yang tengah ia curigai sebagai pembunuh Lusy, kini telah kesampaian.“Tolong letakkan Kak Lusy di atas rak itu!” perintah Shania sambil menunjuk rak bunga bagian paling atas. Rak itu terbuat dari besi yang di cat dengan warna emas. Dari ukiran teralisnya, jelas terlihat kalau rak itu di buat oleh seseorang yang sangat ahli di bidangnya dan harganya tentu sangat mahal.“Kak Lusy?” spontan Janeta bergumam sambil menerima tanaman hias dalam pot kecil itu dari tangan Shania.Shania menatap Janeta dan dengan sedikit menunduk Janeta membalas tatapan Shania. Astaga..!Dua anak air jatuh bergulir di pipi Shania yang putih mulus.“Ma.. maaf, mengapa Nyonya menangis?” tanya Janeta penuh heran.“Kak Lusy adalah madu tuaku. Ia bagaikan Kakak kandungku. Aku mengibaratkannya dengan bunga langka ini karena aku tahu tidak banyak orang sebaik Kak Lusy.” beber Shania mulai mengusap air matanya.“Hmm, pelaku kejahatan memang selalu menampilkan kesedihan yang berlebihan untuk menutupi kesalahannya dan menghindar dari kecurigaan.” Janeta membaca sebuah kalimat yang ia dapatkan dari sebuah buku petunjuk di alam detektif. Tapi sudah pasti kalimat itu ia lontarkan hanya di dalam hatinya saja.“Baiklah Nyonya! Saya tidak mengenal Nyonya Lusy yang Nyonya sebutkan tadi.” jawab Janeta lirih sambil menundukkan kepalanya. Jelas Janeta berbohong dan tengah menggiring pengakuan Shania selanjutnya dengan pancingan kalimatnya itu.Janeta kemudian beringsut mendekati rak yang tadi di tunjuk oleh Shania lalu dengan hati-hati Janeta meletakkan pot itu pada bagian atas rak bunga tersebut.Shania mengikuti gerakan Janeta dengan pandangan matanya yang penuh misteri. Lalu setelah Janeta selesai melakukan tugasnya dan kembali ke hadapan Shania, Shania gantian berjalan perlahan menuju rak bunga tersebut.Dengan sedikit menengadah Shania menatap tanaman hias yang baru saja di taruh Janeta dengan wajah sedih dan air mata berderai.“Kak, aku akan merawatmu dengan baik. Kamu ibarat bunga ini yang tidak mudah di temui di dunia.” ucap Shania mulai terisak pilu. Bahunya berguncang turun naik.“Nyonya..!” seruan Janeta tertahan ketika melihat Shania mengangkat tangan tanpa menoleh kepadanya.“Pergilah! Biarkan aku di sini berbincang dengan Kak Lusy!” seru Shania mengusir halus Janeta untuk pergi.Janeta mengangguk dan berjalan mundur perlahan ke belakang meninggalkan teras itu. Matanya yang tajam tetap mengawasi Shania yang terus saja meratap sedih sambil memandangi tanaman hias tadi.“Sempurna !” maki Janeta lalu mengganti porseling mobil dan perlahan mengemudi meninggalkan tempat itu. Ia mengemas senyum miring di bibirnya.“Aku sudah bertemu dengan orang yang berpotensi sebagai pelaku.” lapor Janeta lirih melalui ponselnya, sementara sebelah tangan kirinya memegang kemudi dan matanya nanar memandang lurus ke jalan.“Siapa?” tanya Rusmidi dari ujung telepon.“Shania!” jawab Janeta lirih.“Bagus!” balas Rusmidi singkat lalu menutup pembicaraan.*“Hei, kamu tidak berhasil menjual satu pot bunga pun! Sudah aku katakan kalau kamu tidak berbakat menjadi seorang penjual tanaman. Coba kalau tadi aku ikut bersamamu, setidaknya 20 pot bunga bisa terjual.” Anggi langsung merepet setelah ia memeriksa dan menghitung pot tanaman hias di bak pik up yang baru saja sampai di halamannya yang menyerupai perkebunan tanaman hias. Jumlah pot yang di bawa Janeta masih masih sama dengan jumlah yang pulang sekarang. Itu artinya Janeta tidak berhasil menjual satu pot pun tanaman miliknya.“Uh, merepet aja nih si Ibu. Bukannya di suruh duduk dulu.” sungut Janeta sambil memperbaiki letak tas selempang di dadanya.“Kamu itu hidup sendiri, Janet! Kamu tidak tahu betapa besarnya biaya yang harus di keluarkan untuk biaya pendidikan anak. Mana besok aku harus membayar uang pembelian buku Rangga.” omelan Anggi terus berlanjut sambil memandang Angga putra semata wayangnya yang sedang sibuk menyiram bunga tak jauh dari bangku panjang tempat Janeta dan Anggi kini duduk.Rangga menoleh kepada ibunya dengan wajah sendu lalu berjalan perlahan mendekati Anggi dan Janeta.“Besok hari terakhir untuk membayar buku, Bu. Kalau tidak Rangga tidak di bolehkan ikut belajar.” ucap Rangga pilu lalu menundukkan kepalanya. Anak itu duduk di kelas VI Sekolah Dasar.Anggi mengusap kepala Rangga nan nampak sedih.“Sabar ya Nak. Ibu pasti akan berusaha memenuhi kebutuhanmu.” hibur Anggi mencoba tersenyum.“Iya Bu!” jawab Rangga lalu meninggalkan Anggi dan Janeta untuk meneruskan pekerjaannya menyiram tanaman. Anggi mengikuti kepergian putranya dengan pandangan matanya.“Nih !” Janeta menyodorkan satu ikat lembaran uang lima puluh ribuan.Anggi menoleh dan rongga matanya langsung melebar.“Uu.. uaang!” seru Anggi tak percaya menatap uang yang di sodorkan Janeta lalu beralih memandangi wajah Janeta yang duduk di sampingnya.“Ya uanglah, masa kue apem.” sahut Janeta sambil salah satu tangannya membenarkan letak ranting kayu yang ia jepit dengan kedua bagian giginya.“Ambillah!” ujar Janeta lalu menyodorkan uang itu lebih dekat ke dada Anggi.“Uu uuntukku..?” tanya Anggi tergagap.“Yeah.! Jawab Janeta singkat lalu membuang ranting yang tadi di gigitnya.Anggi bergegas menerima uang yang masih terikat kertas melintang yang bertuliskan nama sebuah Bank terkenal. Di kertas yang mengikat lembaran uang itu tertera jumlah nominalnya 5.000.000 Rupiah.“Ranggaaa...!! Ini uangnya Naaak..!! Anggi berlari mendekati Rangga dan mendekap uang yang baru saja di berikan Janeta di dadanya.Rangga yang sedang sibuk menyiram tanaman spontan melemparkan slang kecil yang masih di aliri air. Ia berlari menyambut kedatangan ibunya dan mereka terlihat menari-nari bahagia.Janeta hanya memandangi kebahagiaan ibu dan anak itu dari bangku yang ia duduki. Janeta meletakkan kunci mobil milik Anggi di atas bangku, lalu mendekati sepeda motornya dan berlalu begitu saja dengan kendaraan roda dua tersebut.*******Jarum jam sudah menunjukkan angka 11.27 Wib hampir tengah malam. Janeta duduk melamun di sudut kamarnya yang temaram. Ia menduduki sebuah kursi yang menghadap ke sebuah meja di mana sebuah laptop nampak menyala.“Ini cek kontan senilai 55 juta rupiah, kamu boleh pergi sekarang ke bank untuk mencairkan uang ini dan jangan lupa kembali besok pagi untuk memulai tugasmu! Dan kamu hanya libur satu hari dalam seminggu yaitu di hari Selasa!”Kata-kata Shania siang tadi di ucapkan Janeta berulang kali sehingga ia hafal kalimat itu dengan sempurna.“Hari Selasa..!??”“Ada apa dengan hari Selasa?”“Mengapa Shania memintaku libur pada hari Selasa? Mengapa Shania tidak memilih libur pada hari Minggu sebagai hari libur Nasional bahkan dunia?”“Ooh, pasti ada cerita di balik peristiwa. Tapi apa ya?” Janeta memijit pelipisnya tanda ia tengah berfikir keras. Puluhan pertanyaan menyerang otaknya. Tangannya lalu
Sesosok bayangan terlintas di ruang tamu. Janeta melihat Shania bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumahnya. Janeta meneruskan pekerjaannya merawat tanaman walau perhatiannya utuh tertuju pada seluruh gerakan yang terjadi di dalam keluarga Shania.“Sudah mau berangkat, Pa?” terdengar suara Shania mungkin kepada suaminya. Janeta makin menyaringkan pendengarannya namun dengan gaya yang tidak mencurigakan.“Yah, aku mungkin akan langsung ke Surabaya dan empat hari di sana.” terdengar jawaban Tuan Fidel dengan suara berat dan nge-bass.“Lho, kok ke Surabaya sih Pa? Bukankah besok ada pengajian dari semua karyawan dan karyawati Kak Lusy. Masa Papa nggak kelihatan di acara itu.” Shania membantah suaminya.“Pengajian itu akan tetap berjalan ada atau tiada aku. Bukankah kamu bisa mengaturnya sendiri. Bik Imah juga bisa membantu kamu.” sanggah Tuan Fidel.Janeta memiringkan kupingnya mencoba membayangkan ekpresi w
"Hm, saya juga sedikit pun tidak menyangka Tuan, Nyonya Lusy pergi dengan sangat tiba-tiba.” Tuan Morat menghela nafas prihatin. Wajahnya kusut dan sedih.“Padahal, baru satu bulan ia datang ke kantor saya. Lalu saya mendengar berita yang sangat memilukan ini.” sambung Tuan Morat makin prihatin.“Lusy menemui Tuan Morat sebulan yang lalu?” Tuan Fidel mengangkat wajahnya yang masih basah oleh air mata.Janeta menghentikan gerakan tangannya mencongkel tanah di dalam pot yang berisi tanaman talas. Keningnya berkerut dan ia semakin mempertajam insting pendengarannya.“Yah, Nyonya Lusy datang agak sore ketika itu. Saya baru saja akan meninggalkan kantor namun Almarhumah meminta saya untuk menunggu. Saya memenuhi permintaan Almarhumah dan kami bertemu selama hampir 2 jam.” jawab Tuan Morat menjelaskan.“Ooh, lalu apa yang di sampaikan oleh istri saya sehingga ada pertemuan hampir 2 jam di kantor Tuan Morat? Apakah is
Hari ini adalah hari Selasa. Hari yang di tetapkan sebagai hari libur Janeta oleh Shania.“Apa yang di lakukan Shania hari ini? Aku kok jadi kepikiran terus dan semakin penasaran.” Janeta membolak-balik badannya di atas pembaringan.“Oh, sudah pagi.” desah Janeta ketika ia melirik jam di dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 5 pagi. Rasa kantuk yang belum usai membuat Janeta menguap berkali-kali.“Sepertinya aku harus mamantau Shania lebih pagi. Aku tahu Shania adalah tipe wanita yang selalu rutin memulai aktivitasnya di pagi hari. Jam 7 aku sudah harus sampai di sana.”Janeta bangun dari pembaringan dan mengingsut langkahnya menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian ia sudah keluar dengan segar hanya menggunakan handuk yang melilit dari atas dada sampai ke atas lutut. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna agak merah bata terlihat basah. Janeta sebenarnya sungguh cantik walaupun ia jarang menonjolkan kecantikann
Dengan wajah pucat pasi Janeta berusaha menjinakkan si guk guk. Ia memberikan senyuman termanis yang ia miliki yang bahkan kepada cowok terganteng sedunia pun belum pernah ia berikan.“Heloo ganteng..! Jangan marah dulu. Kita kan belum berkenalan.” ucap Janeta mencoba merayu si guk guk yang masih saja memandang sangar ke arahnya.Bukannya merubah wajah sangarnya menjadi lebih ramah, si guk guk malah menggeram sambil memamerkan taringnya yang aduhai menyeramkan.“Iii...” Janeta bergidik. Ia mencoba melafal beberapa doa namun tidak mampu jua menurunkan frekwensi kegarangan si guk guk.“Guuk..guuuk..guuk..!” Anjing itu mulai menyalak lagi. Matanya dengan tajam memandang Janeta yang meringkuk di bawah pohon katuk yang cukup rimbun.Tiba-tiba Janeta melihat ada sebuah batu sebesar kepalan tangan tak jauh dari tempatnya duduk berjongkok. Janeta langsung teringat bahwa ia pernah membaca artikel tentang cara menanggulangi anjing g
“Kalau memang Pak Warno adalah pembunuh bayaran, mengapa justru keponakannya sendiri yang menjadi korban pembunuhan?”“Ataauuu... Ooh, tak mungkin. Tidak mungkin Pak Warno yang membunuh keponakannya sendiri.” Janeta berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah kontrakannya. Ia sibuk berdebat dengan dirinya sendiri.Pertemuan tak sengaja dengan si Ibu pemilik gubuk di tengah sawah, membuat Janeta semakin penasaran atas kematian Lusy, madu tua Shania tersebut. Semuanya menjadi semakin mencurigakan termasuk Pak Warno, paman korban sendiri. Yang jelas, Lusy pasti di habisi oleh orang yang mempunyai kepentingan dengannya. Dugaan Lusy di rampok, itu jauh dari kemungkinan.“Tapi..., Mengapa Shania bertemu dengan Pak Warno diam-diam?” Janeta terus memutar otaknya. Ia memijit pelipisnya yang mulai berdenyut.“Ataaau, jangan-jangan ada konspirasi di antara mereka berdua.” gumam Janeta menerka-nerka.“Rasanya
Sebuah kertas agak tebal berlipat yang jatuh dari balik bingkai foto pernikahan Lusy dengan Tuan Fidel, kini berada dalam genggaman Janeta. Janeta segera membuka lipatan kertas itu dan ternyata adalah sebuah foto yang nampak di ambil dari jarak yang cukup jauh dan di malam hari yang di tandakan dengan cahaya lampu yang nampak tidak begitu terang.Dalam foto itu terlihat Tuan Fidel tengah merangkul seorang wanita yang membelakangi kamera. Wajah Tuan Fidel nampak jelas namun wanita yang berdiri memunggung ke kamera tersebut terlihat membalas pelukan Tuan Fidel, hanya terlihat busananya saja.“Siapa wanita ini?” tanya Janeta di dalam hati sambil menatap foto itu. Nampaknya foto itu masih baru. Yang terlihat jelas hanyalah gaun yang dikenakan wanita di dalam foto itu agak kembang selutut berwarna orange cerah dan berhias kembang putih, high hills putih susu dan sebuah selendang berwarna putih polos yang menjuntai di punggungnya.“Sebaiknya ini aku
Sesampai di rumah Shania sudah lewat jam makan siang. Jarum jam menunjukkan pukul dua lebih dua belas menit. Cacing-cacing di dalam usus Janeta mulai berdemontrasi menuntut haknya.Janeta memarkirkan mobil majikannya dengan hati-hati di garasi. Ia turun dari mobil itu lalu bersiap untuk mendekati sepeda motornya yang juga terparkir di halaman yang luas itu. Namun sebelumnya Janeta menunggu Shania turun untuk berpamitan kepadanya.“Nyonya, saya langsung pulang sekarang?” tanya Janeta memastikan dulu kepada Shania.“Apakah kamu tidak lapar?” tanya Shania sambil merapikan roknya.Dari dalam rumah Janeta mendengar suara seorang perempuan yang sedang mengajarkan Ricana putri Shania, membaca.“Oh, ada makhluk lain di rumah ini. Aku tidak boleh pulang dulu.” ucap hati Janeta. Ia berfikir mencari cara agar tetap berada di sana.“Saya lapar sekali Nyonya. Rasanya sudah tidak kuat ke warung makan.” ucap Janeta
“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya
Batu yang cukup besar tempat Abbas dan Wira duduk berjuntai dipayungi sebatang pohon besar yang cukup rindang. Daun-daun pohon itu melindungi keduanya dari sengatan matahari yang sudah mulai naik.Namun tanpa disadari mereka berdua, ada sesosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar itu. Ia tengah mendengarkan percakapan Abbas dan Wira.“Lalu apa yang kamu dapatkan dari kebodohanmu ini, Abbas? Apakah ini membuatmu kaya raya?” Agak sedikit kesal Wira bertanya kepada Abbas.Kembali Abbas menunduk. Dan kali ini malah semakin dalam. Lalu ia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan berulang kali.“Yang Abbas dapatkan malah pengkhianatan. Abbas ternyata hanya diperalat oleh mereka.” Kali ini intonasi suara Abbas cukup keras. Tangannya terkepal.“Sudah kuduga!” jawab Wira lesu.“Paman!”“Ya..” Wira menyahuti keponakannya.“Ternyata Salma adalah selingkuhan Tuan Fidel.”“Tu.. Tuan Fidel siapa?” terbelalak mata Wira bertanya kepada Abbas.“Tuan
Kedua lelaki itu dipersilahkan Janeta untuk membersihkan badannya. Nampaknya mereka berdua memang membawa pakaian ganti hingga Janeta tidak perlu repot-repot memikirkan masalah itu.Janeta menyiapkan beberapa hidangan di meja makan. Dirinya yakin kedua orang tamunya itu tidak makan dengan teratur beberapa hari ini.“Maaf kedatangan kami telah membuat Neng sibuk.” ucap lelaki berpeci yang kini telah merubah panggilannya terhadap Janeta. Mungkin dia sudah mulai merasa akrab. Sedangkan Gunawan terlihat hanya terdiam di atas kursi rodanya. Pasti pikiran lelaki paruh baya itu masih tertuju kepada Salma putrinya yang kini sedang menjalani proses hukum di kantor polisi. Janeta dapat memahami kegundahan hati Gunawan. Mereka bertiga kini sudah berhadapan di meja makan milik Janeta. Janeta melemparkan senyuman kepada kedua lelaki itu.“Silahkan dinikmati hidangan seadanya, Pak!” ucap Janeta. Di atas meja sudah tertata rapi semangkuk besar nasi, telur dadar dan tumis bayam serta samba
“Tolong Pak! Jangan bawa Anak saya. Jika Anak saya di penjara, siapa yang akan merawat dan memberi saya makan, Pak!” seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda terus memohon kepada polisi yang akan membawa Salma ke kantor polisi. Sedangkan seorang gadis juga duduk di atas kursi roda karena sebelah kakinya sudah di amputasi. Ia menunduk dan menangis dan mencoba menggapai bahu Gunawan yang tak lain adalah ayah kandungnya.Selama ini Salma memang di paksa mencari uang oleh ibu tirinya yang serakah. Sedangkan ayahnya cacat karena kecelakaan di tempat kerja. Mau tak mau Salma harus mencari uang sebanyak mungkin bagai mana pun caranya. Kalau tidak, ibu tirinya tidak akan mau mengurusi ayahnya dan juga mengancam akan membuang adik-adiknya. Walau pun berbeda ibu, Salma sangat menyayangi kedua adiknya buah perkawinan ayahnya dan ibu tirinya tersebut.Salma kini hanya bisa termenung. Ia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan berakhir di penjara karena kejahatan y
“Syukurlah Anda sudah sehat kembali, Nyonya!”“Terima kasih Tuan Morat. Anda sudah banyak membantu saya.” jawab Nyonya Shania tersenyum kepada Tuan Morat yang satu-satunya orang yang diberi izin untuk menemuinya. Hal itu karena Tuan Morat merupakan kuasa hukum Nyonya Shania. Jadi ia sangat mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan kliennya guna menanyakan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Nyonya Shania.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya? Sudah bisakah Nyonya mengingat semua kejadian sebelum Nyonya jatuh pingsan karena meminum racun yang mematikan itu?” Tuan Morat mulai mengorek keterangan dari Nyonya Shania sambil menyalakan rekaman di ponselnya.“Pagi itu saya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saya menunggu kehadiran Janeta yang datang sudah terlambat.”“Sekitar jam berapa itu, Nyonya?” tanya Tuan Morat.“Sekitar jam 8.30 pagi.” jawab Shania sambil mengingat-ingat kejadia
Sejurus kemudian Janeta dan Cecep sudah sampai di sebuah cafe yang lumayan ramai dikunjungi sebagian besar anak muda namun ada juga beberapa orang yang mungkin pasangan suami istri. Suasana nyaman semakin tenang dengan alunan musik lembut. Cahaya remang-remang membuat suasana terasa sangat romantis. Cefe ini memang sangar cocok didatangi oleh pasangan yang tengah memadu cinta.Sekali-kali Cecep terlihat mencuri pandang kepada Janeta yang tampil sebagai wanita sempurna. Gaun hitam berbahan mengkilat dengan panjang lengan baju menutupi hingga pangkal siku, Janeta terlihat anggun dan feminim. Ditambah lagi dengan high hill walau tidak begitu tinggi namun mampu membuat Janeta benar-benar bagaikan seorang putri yang baru berusia 20 tahun. Dan ini adalah penampilan feminim Janeta yang pertama kali di dalam hidupnya. Biasanya Janeta lebih suka memakai celana jeans dan jaket. Tapi demi menghargai Sofia, Janeta tidak membantah untuk bergaun ria di malam itu. Namun dapat dipahami kalau J
Sore kini sudah merangkak ke ambang malam. Tidak terasa empat jam sudah mereka berempat berada di ruang khusus milik Om Rusmidi membahas tentang kasus pembunuhan Nyonya Lusy dan Pak Warno yang kami yakini adalah sebuah kasus pembunuhan berantai.“Oke Jane, Cecep, tugas kalian sudah selesai. Nanti Om akan meneruskan semua bukti-bukti yang telah berhasil kita kumpulkan kepada penyidik kepolisian. Dan kalian berdua silahkan menikmati hari-hari kalian tanpa harus terbebani apa pun. Kalian tidak perlu khawatir polisi akan mencari kalian karena duduk persoalannya mulai terang.” ucap Om Rusmidi yang sepertinya memberi angin kepada Janeta untuk lebih dekat dengan Cecep. Apalagi mendengar prestasi yang diukir oleh Cecep dari mulut Tuan Morat, Om Rusmidi makin menatap bangga kepada Cecep.“Baiklah Om, Tuan Morat, kami berdua undur diri.” ucap Janeta yang langsung dibalas senyuman oleh Om Rusmidi dan Tuan Morat.Janeta mengajak Cecep keluar dari rua
Tak lama kemudian Janeta dan Sofia kembali ke ruang tamu. Janeta membawa satu nampan berisi secangkir teh hangat yang asapnya masih menguap ke udara. Ia meletakkan cangkir itu persis di hadapan Cecep.“Silahkan diminum, Kang Cecep! Mumpung masih hangat!” ucap Janeta mempersilahkan.“Terima kasih, Neng!” sahut Cecep lalu mengangkat cangkir itu dan menghirup teh manis hangat yang segar buatan Janeta.Sofia yang sudah duduk di samping Janeta tersenyum ke arah Cecep, dan Cecep tiba-tiba merasa grogi karena merasa diperhatikan oleh Sofia.“Om kemana, Tan?” Janeta bertanya kepada Sofia untuk mengurangi rasa risih Cecep karena Sofia selalu memperhatikannya. Wanita itu sepertinya sangat berharap Janeta akan menikah dengan Cecep.“Tadi pagi-pagi sudah pergi bersama Bang Morat. Tidak tahu mereka mau ke mana. Biasalah Jane, mereka memang sahabat sejak kuliah dan hampir sepuluh tahun tidak bertemu langsung. Paling cuma ngobrol d