"Baru pulang?" Tito terlonjak kaget, pria itu baru saja masuk kedalam rumah lalu mengunci pintu, namun tiba tiba ada suara di belakangnya. "Bikin kaget aja lo Daf!" sentaknya jengkel sambil mengusap usap dadanya. Dafa mengabaikan Tito, pria itu baru saja dari dapur, membuat secangkir kopi, malam ini ia tidak bisa tidur. "Sampai kapan, lo kayak gini To." ujar Dafa prihatin pada sahabatnya yang tak mau berubah. "Sampai gue bisa, dapetin cewek yang benar benar gue cinta, sama kayak lo yang cinta mati ke Aya!" Dafa menghela napas lelah. Ia menaruh cangkir kopinya di atas meja, memperhatikan Tito yang sudah berbaring di sofa. "Biasanya nggak sampai jam segini?" tanya Dafa, mengalihkan pembicaraan. Dia tau, Tito kurang suka jika membahas masalah tentang perempuan. "Nah itu dia masalahnya," jawab Tito bersemangat, seperti Tito yang sebelumnya. "Kenapa?""Tadi gue ngirimin lo foto mantan suami, bini lo kan?""Ssst!!" Dafa mendelik menaruh telunjuknya di bibir sambil melihat kearah pint
"Taruh di sini Pak, yang itu sebelah sini." sepulang dari membeli furnitur, Dafa tampak sibuk. Pria itu membantu Aya memberitahu letak barang yang dia inginkan. "Hush! capek juga ya," ujar Dafa pada dirinya sendiri. Sebuah usapan di belakangnya, membuat pria itu tekejut lalu membalikkan badan, ternyata dia adalah Aya yang menyodorkan air mineral. "Maaf ya, Mas. Aku buat capek," sesal Aya, menatap bersalah pada suaminya. Dafa mengulas senyum, membingkai wajah cantik istrinya. "Kenapa mesti minta maaf, sih! aku nggak apa-apa, namanya juga orang pindahan, pasti ngerasain capek. tapi seru,""Oh iya, aku punya kejutan buat, kamu. Tapi tunggu ya?""Kejutan apa Mas?""Kalau aku kasih tau, bukan kejutan dong sayangku_" greget Dafa, begitu gemas pada Aya. Aya tersenyum malu, memainkan kancing kemeja yang Dafa kenakan. "Jangan di sini Ah, malu di lihat orang." bisik pria itu. Aya mengerutkan keningnya beberapa saat, ketika sudah paham, wanita itu mendelik memukul dada Dafa. "Mas Dafa, Mes
"Assalamu'alaikum, " salam Tito saat pria itu masuk kedalam rumah baru Dafa. "Wa'alaikumsalam, " jawab Dafa. "Yah_ kalian udah makan?""Kenapa? lo bawa makanan?"Tito mengangkat kresek hitam di tangan kanannya. "Terus siapa dong yang makanan gue?" ujarnya sedikit kecewa. "Lo sih, nggak ngomong kalau mau bawain makanan, tau gitu kan. Gue nggak order makanan!" kata Dafa yang malah menyalahkan sahabatnya itu. "Mana gue tau kalau lo order," jawab Tito tak mau kalah. Aya melambaikan tangannya memberi kode untuk melerai keduanya. "Udah, Mas. Jangan beratem, makanannya bisa di simpan dikulkas, atau buat mereka yang kerja nyusun di atas. Mereka kan belum makan," usul Aya. "Lo rela nggak? kalau makanannya buat mereka?" sungut Dafa pada Tito. "Relalah, dari pada mubazir,""Kalau gitu sini, biar aku siapin buat mereka," kata Aya menggunakan bahasa isyarat. "Hah?" beo Tito bingung. Dafa terkekeh geli. "Kasih bungkusan itu ke Aya," titah Dafa sambil menunjuk kresek ke arah istrinya. "Oal
"Mas, kita nggak kerumah kita lagi? " tanya Aya, yang melihat Dafa masih santai rebahan di sofa. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. "Aku masih capek sayang, tunggu ya." Aya menghela napas. Mendekati suaminya, sepertinya Dafa kurang sehat, melihat raut wajah pria itu. Dafa tersentak, ketika merasakan usapan lembut di keningnya. "Mas sakit?" tanya Aya khawatir. Dafa mengulum senyum, meraih tangan wanitanya, memiringkan tubuhnya agar Aya bisa duduk. "Kepala aku sedikit pusing, aku tidur bentar ya, setelah itu kita kesananya," kata Dafa tak membuka matanya, pria itu justru melingkarkan tangannya di perut Aya, tidak memperbolehkan istrinya pergi. Sedangkan Aya mengusap kepala Dafa lembut, membiarkan prianya tertidur dengan memeluk perutnya, ia memperhatikan pun memang Dafa terlihat pucat, ia menarik napas panjang. Pasti suaminya kelelahan, sepulang dari luar negeri Dafa belum sepenuhnya istirahat. Berhubung sofa di rumah Tito berukuran besar, Aya perlahan menggeser
Perkelahian pun tak bisa di hindari, keduanya bergantian menindih dan saling pukul, tak ada sedikit yang mau berhenti ataupun mengalah. "Di mana Dafa?" bentak Rama saat berada di atas tubuh Tito."Nggak tau!" bohong Tito. Membuat Rama semakin marah, ia secara brutal menyerang Tito, namun pria itu tau mau kalah, dengan skill yang dia punya.Tito membalikkan keadaan, kini dialah yang berada di atas tubuh Rama. "Lo mau celakain sahabat gue kan? HAH!" bentak Tito marah. Rama menyeringai. "Kalau ya, kenapa? sahabat lo itu. Sudah ngambil istri gue!""Mantan! dia mantan istri lo!" hardik Tito. BUGH!! Tito memberikan lagi pukulan keras tempat di rahang pria itu, setelah puas ia beranjak dari tubuh Rama yang mulai terkulai. "Lo pantes, kehilangan istri lo. gue udah tau tentang kelakuan lo! dulu seperti apa.""Itu karma buat pria brengsek kayak lo!!" "Tau apa lo tentang gue!!" teriak Rama tak Terima. "Gue memang nggak kenal lo siapa. Tapi lo berurusan sama sahabat gue, otomatis lo berur
"Sayang, sudah siap?" Pagi ini mereka sudah sangat rapi, hari ini mereka akan benar benar pindah. Dan nanti malam akan di adakan pengajian. "Sudah Mas," jawab Aya."Oke, kita berangkat." menggandeng tangan Aya Dafa keluar dari rumah Tito. Dafa sengaja mengajak istrinya pergi lebih awal, karena ia tak bisa membawa mobilnya sedikit lebih kencang. Aya merasa ada yang aneh, sebab. Dafa membawa mobilnya bukan kearah rumah mereka. Aya menepuk lengan Dafa. "Lho Mas, ini kita mau kemana?" tanya Aya ketika Dafa melihat kearahnya. "Kita, ke bandara dulu sayang." jawab Dafa. Ingin bertanya lagi, Dafa keburu melihat ke jalanan lagi. Padahal ia penasaran, Untuk apa mereka ke bandara. Tiba di bandara Dafa segera mengajak Aya masuk ke tempat penjemputan. "Kita mau jemput siapa Mas?" Dafa yang berdiri sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana, hanya tersenyum. Membuat Aya kesal. Dan tidak lama. "Kak Aya__" teriak seseorang di belakang mereka. Aya berbalik, matanya membulat sempu
Sebentar lagi, acara pengajian di rumah baru Dafa akan di mulai, kini pasangan suami istri itu masih berada di kamar untuk bersiap siap. Ayana yang memandangi wajah tampan Dafa tak bisa mengalihkan perhatiannya. Pria itu menggunakan baju koko putih, celana kain hitam dan juga peci hitam. Aura yang di berika Dafa sungguh terlihat, pria itu jauh lebih tampan dari biasanya. Dafa yang di pandang seperti itu menjadi salah tingkah sekaligus senang. Apalagi Aya, melihatnya dengan mengembangkan senyum cantiknya, Dafa pun menjadi gugup sendiri. "Jangan lihatin gitu Ah! akunya degdegan," Aya menutup mulutnya tertawa pelan. "Aku suka kamu malam ini, Mas. Sangat tampan," puji Aya tanpa ragu. "Ohh, jadi sukanya malam ini aja? kemarin-kemarin nggak suka," ujarnya, yang berniat menggoda istrinya. Aya maju, memegang dada pria itu. "Bukan gitu, Mas. Aku suka kamu dari lama kok, maksud aku, kamu malam ini jauh lebih tampan. Aku suka," jelas Aya yang takut suaminya salah paham. Dafa terkekeh, men
Di rumah sakit, Dafa sama sekali tidak tenang. Ia terus mondar-mandir di depan pintu yang bertuliskan, ruang gawat darurat. Dafa sangat khawatir dengan kondisi Aya, istrinya. Perempuan itu jarang sekali sakit, sampai pingsan seperti ini, terakhir dia masuk ke rumah sakit, ketika menerima tindakan kekerasan terhadap mantan suaminya. Setelah itu, Aya selalu baik baik. Kalau pun tidak enak badan, biasanya Aya di minta untuk membeli obat yang di resep kan oleh dokter pribadi Dafa. "Sabar, to Le_ dokter masih periksa kondisi istri kamu," tegur Pak gufron, sedikit kesal pada putranya yang terus jalan kesana kemari. "Aww!" pekik Pak gufron saat mendapatkan cubitan dari Bu Hasniah. Tito yang duduk tak jauh dari mereka, harus menahan tawanya melihat kelakuan orang tua Dafa. "Opo to Bu," sungut Pak gufron tak ingin kalah. "Diam Pak, namanya juga suami, khawatir sama istri. Yo pasti nggak bisa diam," bisik Bu Hasniah. "Udah! jangan beratem, kasian Mas Dafa lagi bingung." lerai Syifa. D
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m