Kembali ke POV 1 LestariSemalaman tadi aku tak bisa tidur. Pikiranku terganggu dengan ucapan Bastian kemarin sore.Di sebuah kursi kayu yang berada di pojok jendela ruang makan, aku duduk di sana sambil menatap ke arah luar jendela. Saat ini mentari baru menampakan sinarnya di ufuk timur. Aku membiarkan Meysa sarapan bersama Mba Sari, sementara aku memilih diam karena tak nafsu makan."Ma, kenapa gak sarapan?" Meysa menaruh tangannya di bahuku, membuatku segera menoleh."Mama belum lapar, Mey. Kamu sarapan duluan saja ya," balasku dengan lembut."Tak biasanya Mama seperti ini. Bukannya Mama harus pergi ke kantor?" Meysa tampak mencemaskanku."Sepertinya Mama akan sarapan di kantor saja, Mey. Kamu sudah selesai sarapannya?" Aku memastikan.Meysa mengangguk. "Sudah, Ma. Aku akan ambil tas dulu di kamar."Putrku mengukir senyuman manis. Senyuman Meysa bahkan selalu terasa menenangkan jiwaku. Aku menarik napas cukup panjang kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Aku beranjak dari tem
Gegas aku menoleh. "Mba Surti!" Akhirnya aku bertemu pembantu Bastian. Aku akan bertanya padanya"Non Tari, sedang apa di sini?" Surti langsung bertanya padaku."Saya ingin melihat Gina, Mba. Saya ingin minta maaf padanya." Air mataku akhirnya merembes."Non Gina belum sadar, Non," balas Surti nampak sendu."Saya tahu, Mba. Saya turut berduka cita," ucapku masih dengan bola mata yang basah oleh air mata.Namun kulihat Surti malah mengernyitkan dahinya. Dia menatapku keheranan. "Kok berduka cita, Non?" Pertanyaannya terdengar aneh."Ya saya turut berduka, Mba. Gina sahabat dekat saya. Saya sangat berduka mendengar Gina meninggal," terangku kali ini sambil mengusap air mata.Namun lagi-lagi Surti membatu, masih menatapku keheranan. "Meninggal?" Dia malah berbalik tanya."Iya, Mba Surti. Memangnya kamu belum tahu?" Surti menggelengkan kepalanya. "Tidak meninggal, Non Tari. Non Gina masih hidup kok. Hanya saja belum sadar usai operasi semalam," jelasnya.Aku tercengang mendengarnya. "Lal
Hingga akhirnya Bu Yunita membuat keputusan. "Bas, katakan sesuatu pada Gina, untuk menghentikan tangisannya," titahnya pada Bastian. "Cepat, Bas!" Namun Bastian malah terlihat mematung, belum menuruti perintah ibunya. Hal itu seketika membuat tangisan Gina semakin histeris."Tuh 'kan, Mama. Lihatlah Bastian ingin meninggalkanku," lirih Gina lagi."Tidak, Gina. Bas tak akan meninggalkan kamu." Bu Yunita tampak membelai rambut Gina.Wanita paruh baya itu kemudian menoleh pada putranya. "Bas!" panggilnya lagi terdengar sebagai sebuah penekanan.Hingga akhirnya pria di sampingku itu nampak mengangguk terpaksa. "Iya, Ma. Aku tak akan meninggalkan Gina," ucap Bastian terdengar berat.Saat ini hatiku penuh dengan perasaan senang sekaligus sedih. Aku merasa senang karena akhirnya Bastian mampu meredakan tangisan hisreris Gina. Sahabatku itu melebarkan kedua tangannya kemudian langsung memeluk Bastian yang mendekat padanya.Sementara sedihnya, karena Bastian tak akan pernah menjadi milikku s
Bastian melewati waktu beberapa menit untuk mengganti ban mobilku. Dibawah payung yang kupasang di atas kepalanya, Bastian akhirnya selesai mengganti ban. Dia membereskan kembali benda bulat itu ke dalam bagasi. Kami berdiri saling berhadapan sambil berlindung di bawah payung berwarna biru."Terima kasih atas pertolonganmu, Bas," ucapku seraya menurunkan tatapan, menghindari tatapan Bastian padaku."Sama-sama. Aku harap, kamu masih bersedia melibatkan aku setiap kali butuh pertolongan," balasnya dengan nada suara yang terdengar sangat lembut."Tidak perlu, Bas. Aku tak bisa melibatkan kamu. Sekali lagi, terima kasih banyak." Setelah itu aku membalikan badan, hendak meninggalkan Bastian di tengah-tengah hujan yang terasa semakin deras.Namun seketika langkahku tertahan ketika sebelah tanganku digenggam dari belakang.Aku menoleh. Dan ternyata Bastian yang menahan langkahku."Apa lagi, Bas?" Kulepaskan genggaman tangannya. Bukan apa-apa, sebab dia bukan lagi milikku."Apa kamu akan mem
"Tidak, Gin. Tidak seperti apa yang kamu pikirkan," bantahku segera."Tak usah membantah, Tari. Aku melihat langsung kemarin. Bahkan yang lebih menyakitkan hatiku, saat Bastian berbohong mengenai payung butut itu." Rahang Gina nampak mengeras. "Aku benci dengan kebusukanmu, Tari. Aku benci sandiwaramu," imbuhnya kemudian meluruskan jari telunjuknya ke depan wajahku. "Jangan pernah berusaha merebut Bastian dariku. Jika kamu melakukan itu, aku akan membuat perhitungan denganmu," ancamnya.Aura pada wajah Gina berselimutkan ambisi dan kemurkan. Aku sudah tak mengenal sahabatku itu. Gina yang dulu seolah telah hilang ditelan bumi, bergantikan dengan Gina yang penuh angkara murka.Setelah puas dengan kemurkaan dan ancamannya padaku, Gina kemudian pergi dengan kendaraan roda empatnya tanpa basa-basi.Sementara aku yang masih mematung di depan rumah, segera mengusap dada. 'Setega itukah Gina padaku?' gumamku dalam hati seakan masih tak percaya dengan semuanya. Dulu dia pernah menyelamatkan
"Mey, jangan nangis dong."Pagi ini, isi hati tak sama dengan cerahnya mentari yang menghiasi bumi. Isi jiwa terasa mengabu dan berlimut badai. Tapi aku berusaha terlihat tegar di hadapan Meysa.Setelah meyakinkan Meysa bahwa aku baik-baik saja, aktivitas kumulai sebagai mana biasanya. Mengantarkan Meysa ke sekolah kemudian pergi ke kantor.Sebenarnya kondisi perusahaan saat ini sedang maju, tapi entah kenapa hati ini terasa kian mengabu.Ketika jam istirahat tiba dan orang-orang bersiap dengan makan siang. Aku pun memilih makan siang di sebuah kafe terdekat dari kantor."Eh tahu gak, ternyata Bu Tari pelakor loh!"Telingaku mendengar suara seseorang berbicara di kursi belakangku—kursi yang sebelumnya kosong."Masa sih?""Padahal kelihatannya Bu Tari wanita baik ya.""Kalau gak percaya, kamu bisa lihat di sosial media. Ramai banget pada ngomongin Bu Tari. Katanya memang benar pelakor."Telingaku terasa panas mendengar perbincangan suara wanita di belakangku. Aku menoleh pada dua wanit
Bu Yunita nampak menyipitkan kelopak matanya. "Sayangnya saya gak akan termakan omong kosong kamu. Pergilah dan jangan temui anak saya. Jangan ganggu Bastian!" Bu Yunita mengusirku lagi.Aku sampai menghela napas lesu. "Bagaimana saya bisa membuktikan apa-apa kalau Ibu tak memberikan kesempatan pada saya," tuturku."Gina sudah membuktikan lebih dahulu. Saya lebih percaya pada menantu saya dari pada kamu. Pergi sekarang juga, sebelum saya meminta satpam mengusirmu," sinisnya. Bu Yunita nampak geram padaku. Entah bukti apa yang telah diberikan Gina pada ibunya Bastian, sampai-sampai Beliau begitu enggan memberi waktu padaku.Dengan terpaksa aku harus kembali ke mobil dengan tangan kosong. Pedih rasanya hati ini. Deretan fitnah yang Gina buat telah membuatku terjerembap dalam kubangan lumpur hitam, sehingga siapapun yang melihatku menjadi jijik.Aku masih diam di dalam mobil. Tubuhku terasa lemas sehingga malas mengemudikan kendaraan. Bersamaan dengan itu kulihat seorang pria berjas hit
"Apa yang tengah kalian lakukan pada menantuku?!" Bu Yunita berdiri di ambang pintu, memasang wajah marah ketika melihat Gina tengah menangis tersedu-sedu.Yang kukhawatirkan nyatanya muncul juga. Napas ini seketika lesu ketika melihat Bu Yunita berjalan dengan cepat mendekati Gina dan memeluknya."Siapa yang membuat kamu menangis, Gin?" Bu Yunita bertanya pada Gina ketika masih memeluknya."Lestari, Ma," jawab Gina dengan cepat.Aku pun terkejut mendengarnya. Sampai-sampai kelopak mataku seakan lupa untuk berkedip."Sudah Mama duga." Bu Yunita melirik sinis padaku."Tidak ada yang menyakiti Gina, Ma." Bastian langsung bersuara. Terdengar hendak membelaku."Sudah, Bas. Mama sudah bisa menebak. Kamu tak perlu repot-repot membela Tari di depan Mama dan Gina," sentak Bu Yunita yang seketika membungkam mulut Bastian."Tari, saya rasa kamu cukup tak tahu malu ya. Padahal sudah saya usir, masih saja memaksa bertemu Bastian. Aneh ya. Gak punya muka apa? Atau muka tembok." Bak senapan yang m
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria