"Mama!" Suara Meysa kembali memanggilku, bersamaan dengan itu pipiku terasa ditampar pelan. Hingga akhirnya aku membuka kelopak mata, sangat terkejut."Mey!" Aku terkejut melihat Meysa sudah berdiri di depanku. Aku segera bangkit, meraba wajah Meysa dan memastikan."Kamu gak apa-apa kan, Mey?" tanyaku khawatir."Aku gak apa-apa, Ma. Harusnya aku yang nanya, apa yang terjadi dengan Mama? Dari tadi Mama teriak-teriak. Mama mimpi buruk?" Meysa malah berbalik tanya padaku."Apa! Mimpi?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap ke arah sofa."Iya. Mama mimpi apa? Sampai teriak-teriak. Aku yang sedang di kamar mandi pun langsung ke sini," kata Meysa seraya menaikan kedua alisnya.Aku menepuk kening. "Ya ampun, jadi tadi hanya mimpi." Gegas ku duduk kembali di atas sofa. Napas di dalam dada terasa berhamburan, seakan baru saja selesai lari maraton."Maafkan Mama telah mengganggu tidurmu, Mey. Kembalilah ke kamar."Kulihat Meysa mengernyitkan dahi. "Aku belum selesai mandi, Ma. Untuk apa kembal
"Baiklah, saya akan berbicara jujur," balasnya.Aku sudah bersiap hendak mendengarkan keterangannya. Sementara pria itu nampak terlebih dahulu mengedarkan pandangan ke sekeliling area caffe. Pria itu terlihat mengamati caffe yang memang saat ini sedang ramai oleh pengunjung."Anda sedang mencari siapa? Saya menunggu keterangan Anda sekarang!" tegurku.Pria itu pun kembali meluruskan pandangannya padaku. "Maaf. Saya hanya khawatir Mba Gina ada di caffe ini," katanya.Aku sampai menyipitkan kelopak mata ketika mendengar itu. "Kenapa?""Karena Mba Gina adalah—""Bagus!" Suara bariton memotong ucapan pria itu. Bersamaan dengan itu, suara telapak tangan ditepuk terdengar mengiringi.Aku dan pria di depanku serentak menoleh. Betapa terkejut ketika melihat Bastian telah berdiri di dekat mejaku sambil bertepuk tangan dan tersenyum sinis."Bas..." Aku tercengang melihat kedatangan Bastian bagaikan makhluk halus yang entah dari mana datangnya dan tiba-tiba sudah berdiri di dekat mejaku. Gegas,
Gemercik hujan turut menemani perjalananku menuju kediaman Bastian. Tak ada niat yang buruk selain membersihkan nama baikku.Hingga akhirnya kendaraan roda empatku telah sampai di depan gerbang yang menjulang tinggi di kediaman Bastian.Aku membuka kaca mobilku. "Pak, tolong buka gerbangnya," pintaku pada satpam di rumah Bastian.Pria berseragam serba hitam itu mengangguk kemudian membuka gerbang. Aku dibiarkannya masuk tanpa banyak pertanyaan. Satpam di rumah Bastian memang sudah mengenalku, namun rasa-rasanya tak mungkin mengetahui masalahku.Dadaku berdebar cemas. Namun aku berusaha mengendalikannya. Aku mengatur napas terlebih dahulu kemudian segera keluar dari mobil."Pak, apa Bastian dan Bu Yunita ada di rumah?" Terlebih dahulu aku bertanya pada satpam di dekat gerbang, untuk memastikan."Pak Bastian baru saja tiba, Bu. Namun Bu Yunita sedang di luar kota. Beliau belum pulang," jawab satpam itu."Oh iya, terima kasih." Aku mengukir senyum ramah pada satpam rumah Bastian.Aku seg
"Bagaimana kalau Batian tahu semuanya, Gin? Apa kamu siap?" tantangku segera.Gina membeliak. "Apa pun yang akan kamu lakukan, Bastian tak akan pernah percaya sama kamu," cibirnya kemudian menutup pintu tanpa sopan.Brugh!Aku hanya bisa mengusap dada. Sahabatku itu sudah jauh berubah. Mengapa Gina jadi setega itu padaku? Dia seakan tak memiliki hati. Tak seperti dulu."Non Tari." Seseorang terdengar berbisik ketika memanggil namaku.Aku menoleh ke sumber suara. Rupanya pembantu Bastian yang memanggilku. Gegas aku mendekat padanya."Bagaimana kabarmu?" sapaku sekedar basa-basi."Kabar saya baik, Non. Hanya saja, kabar isi rumah ini yang jadi tak baik," balas pembantu Bastian—wanita yang usianya tak jauh dariku. "Kenapa dengan isi rumah ini, Mba?" Aku mengernyitkan dahi."Tuan Bastian dan istrinya sering bertengkar, padahal mereka masih pengantin baru. Bahkan Bu Yunita malah pergi liburan sendiri ke luar negri ketika merasakan isi rumah yang semakin hari semakin kacau," jelas pembantu
Bastian masih mematung. Kulihat dadanya nampak kembang kempis. Mungkin napasnya tengah panas, seperti aura pada wajahnya saat ini."Please..."Aku kembali menautkan kedua telapak tanganku. Memohon pada Bastian agar memberi kesempatan waktu untukku membela diri."Baik. Kamu hanya memiliki waktu sepuluh menit saja untuk bicara. Setelah itu, pergi dan jangan menampakan wajah di depanku," pintanya dengan tegas tanpa sedikit pun membalas tatapanku."Terima kasih, Bas." Aku menyeringai senang. Gegas kurogoh tas selempang. Kuambil ponsel pintarku. Segera kuputar rekaman suara Aldo tadi siang. Kuperdengarkan rekaman suara itu pada Bastian. Aku harap dia akan percaya.Ini adalah rekaman suara pria yang kamu tuduh selingkuhanku. Dengarkanlah dengan seksama.Hampir sepuluh menit Bastian mendengarkan rekaman suara Aldo. Bola matanya nampak membulat sempurna. Entah dia kaget, atau malah bertambah murka."Jadi, semua itu atas perintah Gina?" Dia bertanya seakan memastikan. Wajahnya masih terlihat
Dalam perjalanan pulang Bastian tak henti-hentinya menghentakn kepalan tangan di atas setir mobil. Kemarahannya tak bisa diredam. Dadanya nampak kembang kempis ketika napasnya yang keluar masuk terasa sangat panas."Tega sekali kamu berbuat seperti itu, Gina! Kamu telah menghancurkan impianku. Impianku adalah hidup bersama Tari, bukan malah bersama kamu!"Bastian tampak murka. Ia menginjak pedal gas begitu dalam, menaikan kecepatan mobilnya. Ia seakan tak perduli lagi dengan keselamatannya. Yang ia inginkan, harus segera sampai rumah dengan cepat untuk menyelesaikan masalah dengan Gina.Hanya memakan waktu beberapa menit saja, Bastian dengan cepat sudah sampai di depan rumahnya.Tampak langit sudah menghitam, pertanda malam telah menjemput. Bastian keluar dari mobilnya tanpa menyadari mobil Bu Yunita yang ternyata sudah terpakir lebih dulu di depan rumahnya.Bastian membuka pintu dengan kasar. Ia mengedarkan pandangan penuh kemurkaan ke seliling sudut ruangan di dalam rumahnya. Tak di
Masih POV Author"Jaga ucapan kamu, Bas! Tolong jangan gegabah seperti ini." Bu Yunita nampak tak setuju dengan niat putranya."Keputusanku tak bisa diganggu gugat, Ma. Aku sudah tahu kebusukan Gina. Dia yang telah membuat pernikahanku dengan Tari batal." Suara Bastian terdengar lantang terdengar di telinga Gina.Gina masih saja berdiri di balik dinding dengan lutut yang terasa semakin lemas hingga akhirnya ia menyerah kemudian berlari ke ruangan belakang."Apa hubungannya dengan Gina, Bas. Bukankah dia yang telah menolongmu. Mengapa kamu malah berprasangka buruk seperti itu." Bu Yunita masih tak paham maksud dari ucapan Bastian."Aku sudah tahu semuanya, Ma. Tari tak bersalah. Aku telah bertemu Tari, dia telah membuktikannya padaku. Semua ini salah Gina," tekan Bastian."Bisa-bisanya kamu bertemu dengan Tari setelah apa yang diperbuatnya pada keluarga kita," tanggapan Bu Yunita tampak marah. "Jangan percaya ucapan wanita murahan itu. Dia pasti tengah berusaha mendapatkan hatimu lagi,
Kembali ke POV 1 LestariSemalaman tadi aku tak bisa tidur. Pikiranku terganggu dengan ucapan Bastian kemarin sore.Di sebuah kursi kayu yang berada di pojok jendela ruang makan, aku duduk di sana sambil menatap ke arah luar jendela. Saat ini mentari baru menampakan sinarnya di ufuk timur. Aku membiarkan Meysa sarapan bersama Mba Sari, sementara aku memilih diam karena tak nafsu makan."Ma, kenapa gak sarapan?" Meysa menaruh tangannya di bahuku, membuatku segera menoleh."Mama belum lapar, Mey. Kamu sarapan duluan saja ya," balasku dengan lembut."Tak biasanya Mama seperti ini. Bukannya Mama harus pergi ke kantor?" Meysa tampak mencemaskanku."Sepertinya Mama akan sarapan di kantor saja, Mey. Kamu sudah selesai sarapannya?" Aku memastikan.Meysa mengangguk. "Sudah, Ma. Aku akan ambil tas dulu di kamar."Putrku mengukir senyuman manis. Senyuman Meysa bahkan selalu terasa menenangkan jiwaku. Aku menarik napas cukup panjang kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Aku beranjak dari tem
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria