"Apa!" Bastian menoleh padaku. "Benarkah itu, Tar?""Ya enggak, Bas. Mana mungkin!" bantahku dengan tegas."Bohong!" Wanita di depanku masih bersi kukuh dengan tuduhannya. Ia langsung memainkan layar ponselnya. "Lihat ini!" Disodorkannya layar ponsel ke hadapanku dan Bastian.Pada layar ponsel wanita itu, diputarnya rekaman video semalam ketika pria tetanggaku datang dan memberikan hadiah padaku."Ini bisa saya jelaskan," bantahku segera."Jelaskan sekarang! Untuk apa suami saya datang ke sini malam-malam?! Barang apa yang suami saya berikan semalam?!" Wanita di depanku itu nampak semakin terbakar emosi."Saya tidak tahu tujuan suami Anda!" Aku segera mengambil barang berupa tas branded pemberian tetanggaku semalam. "Suami Anda memberikan barang ini dengan dalih salam perkenalan tetangga. Ambil barang ini kembali, karena saya tidak butuh. Satu hal lagi, jangan main tampar sembarangan ya, karena saya tidak terima ini. Silahkan pergi dari rumah saya sebelum saya berubah pikiran." Aku se
Ketiga wanita itu telah berlalu dari ruanganku. Lututku bergetar lemas. Resah rasanya dengan keputusan penguasa di kantor ini.Aku mengusap kening yang tiba-tiba berkeringat, padahal di ruanganku terdapat mesin pendingin."Mba Tari, kenapa? Kok melamun di ambang pintu begini?" Salah seorang karyawan yang kebetulan lewat di depanku bertanya sekedar menyapa."Tiba-tiba saja Ibu Presdir beserta asisten dan sekertarisnya mendatangi ruangan saya. Beliau marah ketika mendapati saya bermain ponsel saat jam kerja. Saya khilaf, saya memang salah," sesalku seiring hembusan napas yang lesu dari dalam dada."Setiap ruangan di kantor ini memiliki kamera pemantau, Mba. Apa pun yang tengah kita lakukan selalu dipantau CCTV. Jadi, saya tak heran ketika terjadi blusukan seperti itu," balas wanita itu. Dia kemudian mengusap bahuku. "Saya do'akan semoga Mba Tari bernasib baik hari ini."Wanita itu kembali pergi. Mungkin karena jam kerja membuatnya tak bisa berlama-lama bicara denganku.Aku kembali resah
Bastian langsung berdiri. wajahnya masih dalam keadaan tercengang."Bas..." Setengah berbisik aku memanggil Bastian yang masih membatu dalam keterkejutan.Sementara dengan raut wajah Bu Yunita, tatapannya begitu tajam ke arahku dan Bastian. "Ikut sekarang!" Pergelangan tangan Bastian ditarik wanita itu."Aku jelaskan nanti ya," desis Bastian padaku sebelum langkahnya menjauhiku bersama Bu Yunita.Aku tercengang sendirian. Ada apa dengan Bastian? Dia tak terlihat ketakutan, tapi kedatangan Bu Yunita seakan membungkam mulutnya.Aku kembali terduduk lesu menatap sisa-sisa makanan di atas meja. Jam makan siang hampir usai, aku melambaikan tangan memanggil pelayan restaurant kemudian meminta catatan pembayarannya.Total yang harus dibayar bernilai satu juta membuat bola mataku terbelalak. Harusnya aku tak heran, sebab harga itu memang sudah biasa. Namun di dalam dompet hanya tersisa lima lembar uang kertas berwarna merah, masih kurang lima lembar lagi Aku menelan saliva resah. 'Bagaimana
Aku dan Meysa mematung tercengang dari balik pintu dapur rumah Dani. Aku menarik pelan pergelangan tangan Meysa untuk kembali ke teras depan."Mey, apa kamu yakin ingin tetap bertemu Papa? Sepertinya waktunya kurang pas," tanyaku pada Meysa untuk sekedar memastikan. Aku hanya ragu untuk bertamu malam ini."Kita sudah sampai, Ma. Sayang sekali kalau tak jadi jenguk Papa. Aku tetap ingin bertemu dengan Papa," rengek Mesya layaknya anak kecil pada umumnya.Aku memperbaiki napas kemudian menganggukan kepala. Mana bisa menolak permintaan Meysa. Gegas kutekan bell yang menempel di dinding dekat pintu sebanyak tiga kali, setelah itu menunggu sang pemilik rumah keluar."Mau ngapain ke sini malam-malam?" Santi langsung menyambut kedatangan kami dengan pertanyaan ketika pintu telah dibuka, bola matanya menatap nyalang wajahku dan Meysa secara bergantian.Aku menelaah pakaian Santi berbanding jauh dari sebelumnya, ia memakai daster kumel dan rambut yang digelung ke belakang."Aku mau ketemu deng
Aku segera berlari menuju ruang makan. Aku harus memastikan keadaan putriku. Ternyata mereka telah berpindah ke ruang keluarga. Di atas lantai ruang keluarga, nampak pecahan beling berserakan. Wajah Dani nampak marah. Pun dengan Santi.Segera kuraih pergelangan tangan Meysa, kutarik pelan dia kepangkuanku. Kutelaah seluruh tubuh putriku guna memastikan dia baik-baik saja."Kamu tidak kenapa-kenapa 'kan?" tanyaku pada Meysa.Bibir Meysa bergetar. "Aku baik-baik saja, Ma," jawabnya seraya melirik cemas pada papanya.Kupeluk Meysa kemudian pamit pada Dani dan Santi. "Kami permisi pulang."Tak ada jawaban apa pun dari mereka berdua. Aku tak perduli dengan masalah mereka yang menyebabkan pecahan beling berserakan di atas lantai.Langkah kaki ini telah sampai di depan rumah. Pesanan taksi online pun tiba pada waktunya. Aku dan Meysa segera masuk. Kami harus segera pulang. "Jalan, Pak."Setelah di dalam taksi online. "Mey, apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu ketakutan?" Aku mengusap kedua
Tanpa sadar aku telah memeluk Bastian karena terharu. "Maaf, Bas." Aku tersipu malu dan segera melepaskan pelukan."Tidak apa-apa, Tar. Aku merasa sangat bahagia saat kamu bahagia. Satu hal yang harus kamu tahu, kita adalah sahabat. Seorang sahabat akan selalu saling membantu, saling melindungi tanpa saling berhutang," kata Bastian terdengar lembut di telinga."Kamu sahabat baikku, Bas." Aliran napas di dalam dada, kini terasa lancar. "Katakan padaku, Bas. Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini? Saham di perushaaan ini bukan seharga tahu bulat. Semudah itukah kamu membelinya?" Aku melayangkan tatapan nanar, penuh tanda tanya pada Bastian.Sejenak Bastian membisu, hingga akhirnya dia kembali bersuara. "Bu Yunita yang mendanai," jawabnya."Apa! Bu Yunita?" Aku merasa aneh. "Apa iya Bu Yunita yang tegas itu bisa dengan mudah percaya padamu, Bas," imbuhku ragu."Sangat mudah, Tar." Bastian dengan entengnya."Kamu bergurau, Bas." Aku kembali ke tempat dudukku."Bu Yunita selalu percaya pad
"Katanya dia gak bisa makan malam sama aku, sebab sedang makan bersama mama dan calon istrinya." Gina bercerita dengan raut wajah sendu. Bola matanya masih berkaca-kaca, seperti ada kesedihan yang tengah dibendungnya.Aku sedikit mengernyitkan dahi. Seharian kemarin sampai menjelang malam tiba, Bastian terus bersamaku. Lalu, mengapa Bastian berbohong pada Gina? "Memangnya Bastian sudah punya calon istri?" tanyaku pada Gina.Namun Gina segera menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, Tar. Selama ini yang aku tahu, Bastian tak punya kekasih. Tapi jawaban kemarin sore serasa menusuk ulu hati," jawabnya.Lalu, siapa calon istri yang Bastian maksud? Aku rasa Bastian tengah berbohong pada Gina."Kamu menyukai Bastian?" Tatapanku menelaah pada Gina. Seketika sahabatku itu menurunkan tatapan sendunya. "Gin, jujurlah. Aku bisa merasakan kalau kamu menyukai Bastian," imbuhku.Tanpa ragu, Gina menganggukan kepala. "Sudah lama aku menyukai Bastian. Tapi dia seakan tak menyadari perasaanku. Dia sel
Setelah hari itu, tak pernah lagi kudengar gosip-gosip murahan di sekitar rumahku. Namun dampak negatifnya, tak ada yang mau berteman denganku. Tak mengapa. Bagiku saat ini fokus membesarkan Meysa. Aku juga harus fokus membesarkan perusahaan almarhum papaku. Aku berhutang budi cukup banyak pada Bastian dan mamanya—Bu Yunita yang telah menyelamatkan perusahaan Haryanto.Seperti pagi ini, aku sudah berada di kantor Bu Yunita. Bukan untuk kembali bekerja di sana, melainkan untuk mengemas barang-barang milikku yang harus kupindahkan ke kantor Haryanto."Punya pelet apa sih kamu?" Samar-samar terdenhar suara sopran bericara dari belakangu.Aku segera menoleh. Rupanya sekertaris Bu Yunita sudah berdiri di ambang pintu ruanganku. Dia berdiri seraya berpangku tangan.Aku tak mengerti maksud ucapannya. "Maaf, Anda barusan bicara apa?" tanyaku pada wanita yang berpakaian serba ketat itu. Pura-pura tak dengar.Sekertaris Bu Yunita melayangkan tatapan sinis padaku. "Tari, kamu telah berani mengam
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria